Share

5. Pelayan dan Benang Takdir Hitam

Alvin terdiam sembari memandang jam yang ada di ruang rawatnya. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Elina pamit untuk mengurus biaya administrasi. Sejak saat itu juga, wanita itu sama sekali tidak kembali untuk menemuinya, dan hal ini sungguh membuatnya merasa tidak tenang.

Apakah jangan-jangan dia melarikan diri? Sial! Aku harus menghubunginya! Alvin mengambil ponselnya, berniat untuk menelepon Elina dan menanyakan keberadaan wanita itu. Dia ingin tahu alasan kenapa Elina tidak kembali setelah membayar biaya administrasi dan kepindahannya ke ruang rawat khusus. Jika benar wanita itu melarikan diri begitu saja, maka Alvin tidak bisa tinggal diam. Dia harus bisa membuat Elina kembali.

Alvin jadi semakin tidak tenang, terlebih setelah dia sadar Elina sama sekali tidak menjawab panggilan teleponnya. Bahkan butuh waktu beberapa kali untuknya hingga Elina mau mengangkat panggilannya.

“Kau dimana? Jangan bilang kalau kau mau mencoba kabur dari tanggung jawabmu?” kata Alvin begitu sambungan teleponnya terhubung dengan Elina di seberang sana.

“Apa? Tidak! Aku tidak mungkin melarikan diri.”

“Lalu kenapa kau belum kembali? Dimana kau?”

“Aku…” Elina terdiam sesaat, seolah sedang mencari alasan.

“Kenapa kau diam saja?”

“Aku akan kembali nanti.” Elina memutuskan sambungan telepon mereka sepihak.

“Apa? Halo? Elina? Sial! Dia memutus teleponnya. Sebenarnya dia dimana?” Alvin menatap layar teleponnya yang kini menampakkan riwayat panggilannya bersama Elina.

*

Setidaknya untuk sekarang aku bisa menghindar. Untuk sementara waktu, aku harus bisa terus bersikap tenang dan jangan sampai Alvin sadar kalau aku sudah ingat tentang kejadian semalam. Kalau aku sampai ketahuan, bisa-bisa Alvin merasa menang, dan malah jadi bersikap seenaknya. Elina membatin.

Perhatian Elina beralih ketika dia mendengar suara perutnya yang berbunyi karena keroncongan. Akibat apa yang terjadi hari ini, Elina jadi sama sekali tidak sadar bahwa dirinya belum sempat makan apa-apa saking paniknya dan bahkan dia langsung berangkat menuju rumah sakit tanpa memikirkan kondisi perutnya yang masih kosong.

“Aku lapar. Sepertinya lebih baik sekarang aku pergi keluar untuk mencari restoran, dan sarapan di sana. Aku paling tidak bisa makan di area rumah sakit seperti ini.” Elina beranjak bangun. Bergegas dia pergi untuk mencari restoran atau kafe yang bisa dia kunjungi untuk membeli makanan. Setidaknya dia harus mengganjal perutnya agar tidak terlalu kosong.

Beruntung di dekat rumah sakit yang dikunjunginya terdapat sebuah restoran. Elina akhirnya mengunjungi tempat itu untuk sarapan. Tiba di dalam, Elina segera duduk dan memesan makanan. Sementara menunggu, dia terdiam sambil memperhatikan sekeliling. Mengamati kondisi restoran yang dikunjunginya saat ini.

Sepertinya tempat ini populer, ada begitu banyak pengunjung yang datang kemari untuk makan.

Elina terdiam memperhatikan keadaan restoran yang begitu sibuk. Beruntung dia masih bisa menemukan meja untuk duduk, karena melihat dari situasinya, tempat ini bahkan memiliki banyak pengunjung yang membuat seluruh mejanya penuh. Bahkan beberapa di antara pengunjung restoran itu sampai harus membungkus makanannya, itu pun mereka harus bersabar karena antrian yang panjang.

Atensi Elina beralih ketika dia melihat seorang pelayan datang menghampirinya dengan membawa nampan berisi hidangan yang dipesannya. Wanita itu lalu menaruh semua hidangan yang dibawa ke atas meja.

“Selamat menikmati hidangan anda.” Dia tersenyum simpul ke arah Elina. Alih-alih memandang wajahnya, Elina justru malah terus memperhatikan benang takdir di jari si pelayan. Sejak pelayan itu datang dan menaruh semua makanan yang dipesannya, Elina terus memperhatikan benda yang terikat di jari manis si pelayan itu. Elina melihat bahwa pelayan itu memiliki benang takdir dengan tekstur yang lebih rapuh daripada benang takdir yang biasanya dia lihat. Ada beberapa jenis benang takdir yang tentunya berbeda tergantung takdir setiap orang. Ada yang kuat, dan ada yang rapuh serta mudah putus.

Biasanya tekstur setiap benang takdir menggambarkan bagaimana nasib seseorang itu, dan sebagian dari benang takdir mereka bisa berubah. Misalnya dari benang lemah dan rapuh, bisa saja berubah menjadi lebih kuat tergantung bagaimana seseorang berubah. Begitu juga sebaliknya, yang kuat bisa saja berubah rapuh sesuai dengan perubahan pemiliknya.

Tapi kali ini, yang membuat Elina tak bisa mengalihkan pandangannya dari pelayan itu adalah karena si pelayan memiliki benang takdir yang rapuh. Bahkan mungkin benang takdir paling rapuh yang pernah Elina lihat.

Dari yang aku amati, sepertinya pelayan ini memiliki kehidupan  yang tidak terlalu bagus. Dia selalu hidup menderita dan mengalami banyak kesulitan. Bahkan sepertinya dia juga tidak beruntung dalam banyak hal, baik dalam asmara maupun pekerjaan, sepertinya tidak ada keberuntungan sedikitpun yang berpihak padanya. Elina terdiam tanpa kata. Hatinya terluka menyadari bahwa benang takdir si pelayan sudah dalam keadaan putus dan perlahan mulai menghitam. Bahkan Elina melihat ujung benang yang putus itu robek dengan tidak sempurna.

Dia akan segera meninggal, dan yang lebih parahnya lagi dengan cara yang mengenaskan. Dia akan mengalami kecelakaan hingga tidak tertolong.

Elina mendongakkan kepalanya, melihat senyuman yang terukir di wajah pelayan itu. Senyuman polos yang terlihat begitu tulus. Kedua mata Elina tanpa sadar berkaca-kaca, nyaris menangis.

Dia tersenyum setenang itu tanpa pernah tahu bahwa maut berada tepat di hadapannya. Ini hal yang paling aku benci. Aku bisa melihat takdir seseorang tapi aku sama sekali tidak pernah bisa memiliki kekuatan untuk membantu mereka, atau bahkan mungkin mengubah takdir mereka. Ujung-ujungnya aku melihat mereka meninggal tanpa pernah bisa berbuat apa-apa padahal aku tahu segalanya… Elina mengepalkan kedua tangannya erat. Dia paling benci kalau sudah terjebak dalam situasi seperti ini. Mengetahui takdir seseorang dan bagaimana mereka akan meninggal, tapi tidak pernah bisa menggunakan kemampuannya untuk membantu mereka lepas dari hukum takdir yang sudah pasti.

“Anda baik-baik saja?” Si pelayan berubah cemas begitu sadar mata Elina berkaca-kaca menatapnya.

“A-aku tidak apa-apa.” Elina bergegas mengusap air mata yang nyaris keluar dari pelupuk matanya. Dia lantas beralih mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang dengan jumlah yang cukup besar untuk tip. “Terima kasih karena kau sudah bertahan hingga sejauh ini. Kau hebat.”

Si pelayan mendadak diam dengan wajah terkejut mendengar ucapan Elina barusan. Kedua mata pelayan itu berkaca-kaca seolah mengerti dengan ucapan Elina barusan. “Aku tahu mungkin uang ini jumlahnya tidak terlalu besar, dan mungkin tidak bisa terlalu menolong, tapi aku hanya ingin mengatakan bahwa kau layak untuk bahagia. Bersenang-senanglah, dan jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”

Si pelayan menangis tanpa sadar sambil memegang uang yang baru saja Elina berikan. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Sementara hatinya terasa begitu terharu karena Elina seolah mengerti bagaimana posisinya saat ini. “Terima kasih. Kata-katamu sangat berarti untukku.”

Elina hanya tersenyum. Setelah itu si pelayan beranjak meninggalkan mejanya dengan perasaan yang tampak begitu gembira. Bahkan setelah dia kembali untuk bekerja, Elina melihat wanita itu menghubungi seseorang dengan telepon di dekat meja kasir. Dia bicara sambil memegangi uang yang diberikannya lalu tak lama melirik padanya seraya tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

Elina mengalihkan perhatiannya keluar jendela. Memperhatikan situasi di luar restoran yang dikunjunginya. Berhati-hatilah, hanya itu yang bisa aku katakan padamu

Elina mulai memfokuskan dirinya untuk menyantap hidangan yang dibelinya. Sayangnya, Elina sama sekali tidak bisa fokus ketika dia sedang berada di keramaian seperti saat ini, terlebih dengan begitu banyak orang asing di sekitarnya. Elina jadi terus memperhatikan sekeliling sambil mengamati keadaan di sekitar, memperhatikan setiap orang yang ada di restoran itu sambil mengamati benang takdir mereka yang terus mengganggu pikirannya.

Dalam situasinya saat ini, Elina melihat berbagai macam takdir dari setiap orang yang beragam. Tapi tidak ada yang lebih menyita perhatiannya dibandingkan sosok perempuan yang duduk seorang diri di pojok ruangan dekat jendela. Wanita itu tampak sedang melamun, terlihat jelas dari sikapnya yang menatap kosong keluar jendela sementara jari telunjuknya terus bergerak memutari bibir cangkir minumannya. Wanita itu terlihat seperti sedang memiliki permasalahan besar dalam hubungannya.

Elina bisa tahu karena dia melihat benang takdirnya yang nyaris putus. Dalam kasus ini, Elina melihat bahwa benang takdir wanita itu masih begitu panjang dengan warna yang sama sekali tidak berubah.

Ada dua warna berbeda yang biasanya muncul pada benang takdir seseorang. Ada benang takdir berwarna merah yang menggambarkan permulaan, kehidupan, dan cinta. Lalu ada pula benang takdir berwarna hitam yang menggambarkan akhir dan maut.

Mungkin benang merah bisa menggambarkan lebih dari satu makna, tapi hanya satu kondisi yang membuat Elina bisa dengan mudah mengartikan setiap benang yang dilihatnya. Benang merah dengan ukuran yang panjang biasanya menggambarkan kehidupan, dan ketika seseorang sudah mencapai ajalnya, maka benang itu perlahan akan putus dan akan berubah menghitam dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Lalu ketika seseorang itu benar-benar mati, maka benangnya akan menghilang.

Tapi ada pula kondisi dimana benang merah itu terkadang putus namun memiliki makna yang berbeda. Jika benang itu putus namun tetap memiliki warna merah yang sama, itu artinya ada masalah dalam hubungannya. Lalu benang itu nantinya akan menyatu dengan benang takdir orang lain yang memang ditakdirkan untuk bersatu dengannya. Itulah bagaimana terkadang seseorang bisa mengalami putus hubungan lalu menemukan pengganti lain.

Ketika sedang sibuk memandang wanita itu, perhatian Elina mendadak buyar akibat kedatangan tak terduga dari seorang lelaki yang langsung menghampiri wanita tadi dan membuat kekacauan di sana. Hal itu bahkan tidak hanya menyita perhatian Elina saja, tapi semua pengunjung restoran. Lelaki itu marah-marah pada wanita yang dilihatnya, dan bahkan wanita itu sampai ditarik dan di minta untuk keluar secara paksa. Keadaan restoran berubah kacau dalam sekejap, para pelayan mencoba untuk menghentikan pertengkaran itu, tapi mereka malah nyaris terluka karena didorong oleh lelaki tersebut. Melihat wanita itu yang tampak kesakitan sambil mencoba membebaskan diri, Elina tidak mungkin diam saja. Dia baru hendak bangkit, tapi tindakannya tertahan ketika Elina melihat seorang lelaki beranjak dari mejanya dan langsung memukul pria tersebut hingga lelaki yang menyeret wanita itu tersungkur di lantai.

Elina termangu di tempatnya. Benang yang sebelumnya terikat di antara wanita tadi dengan pasangannya yang mencoba menariknya keluar seketika terputus. Lalu benang takdir lain milik lelaki yang menolongnya terhubung dengan milik wanita itu. Kedua ujung benang itu terikat membentuk sebuah simpul yang biasa disebut simpul pertemuan. Suatu saat nantinya simpul itu akan menghilang dan benang mereka akan terhubung tanpa simpul.

Hanya dalam beberapa menit terakhir, Elina menyaksikan sendiri bagaimana suatu hubungan berakhir, dan hubungan baru terlahir.

Setelah kekacauan yang terjadi, lelaki yang tadi membuat keributan itu segera dibawa pergi oleh petugas keamanan, dan keadaan seketika kembali seperti semula. Orang-orang kembali fokus pada kegiatan masing-masing dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

*

Selesai sarapan, Elina segera beranjak meninggalkan restoran untuk kembali menemui Alvin. Lelaki itu sudah mulai meneror dengan terus mencoba meneleponnya dan menanyakan keberadaannya. Sikapnya benar-benar seperti anak bebek yang tidak bisa jauh dari induknya. Elina akhirnya terpaksa harus mempercepat sarapannya dan pergi dari sana.

Saat Elina tiba di depan pintu, pelayan yang tadi sempat melayaninya itu berlari dan menabraknya hingga Elina tidak sengaja menabrak pelanggan lain yang baru saja tiba.

“Maaf!” Pelayan itu hanya berteriak sambil melirik sekilas padanya. Elina sempat melihat ke arah si pelayan itu, ternyata dia terburu-buru karena hendak mengembalikan dompet seorang pelanggan yang tertinggal.

“Kau baik-baik saja?” Perhatian Elina buyar pada wanita yang tidak sengaja ditabraknya di depan pintu. Elina menoleh padanya, membuat pandangan mereka saling bertemu satu sama lain.

“Maaf, aku tidak sengaja.” Elina segera membenahi posisinya.

“Tidak apa-apa.” Elina beranjak menyingkir dari jalan wanita itu dan memberikannya jalan agar bisa masuk. Tepat ketika wanita itu melintasinya, Elina terdiam sesaat. Entah kenapa melihat wajah wanita itu mengingatkanku pada seseorang. Seolah pernah bertemu dengan wanita berpenampilan yang mirip dengannya. Tapi siapa? Dan dimana aku pernah melihatnya?

Elina menoleh pada wanita yang baru saja masuk itu. Wanita itu memiliki rambut merah jagung yang agak menyala dengan kulit putih dan freckles di wajahnya. Selain itu, dia memiliki warna iris biru yang begitu indah. Dia sungguh terlihat familiar, tapi ketika diingat-ingat lagi, Elina sama sekali tidak memiliki teman atau kenalan dengan penampilan seperti itu. Elina mengalihkan perhatiannya pada jari wanita itu. Kalau memang benar mereka memiliki ikatan atau pernah bertemu sebelumnya, seharusnya benang takdirnya terhubung dengannya juga. Namun begitu menunduk, fokusnya langsung tertahan begitu melihat benang takdir wanita itu memiliki warna yang berbeda. Baru pertama kali dia melihat benang takdir yang berwarna merah gelap dan hampir membuat Elina tidak bisa membedakan apakah benang takdir wanita itu merah atau hitam, terlebih kalau dia tidak memperhatikannya lagi dengan lebih cermat.

Berbagai pertanyaan muncul memenuhi kepalanya. Elina tidak mengerti kenapa wanita itu memiliki warna benang yang berbeda, dan dia juga tidak mengerti kenapa bisa ada warna lain selain merah dan hitam. Padahal seharusnya, hanya ada dua warna benang saja.

“Argghhh…” Elina meringis. Tanpa sebab yang jelas kepalanya terasa sakit, dan sistem memori di otaknya seolah mencoba menunjukkan sesuatu. Elina melihat beberapa kepingan adegan yang terlintas di benaknya, dan itu sungguh membuat kepalanya terasa sakit. Dia bahkan sampai harus berpegangan pada dinding saking tidak kuatnya menahan rasa sakit.

Tiiinnn!

Suara nyaring dari bunyi klakson mobil membuyarkan semuanya. Membuat Elina seketika tersadar dan berhenti merasakan sakit. Tapi suara lain yang dia dengan setelahnya sungguh membuat perhatiannya kembali beralih. Elina mendengar sesuatu yang bertabrakan. Begitu dia menoleh, tubuhnya langsung terasa lemas saat menyaksikan pelayan yang tadi berlari untuk mengembalikan dompet si pelanggan itu tertabrak sebuah truk hingga tubuhnya terpental sebelum akhirnya tewas di tempat.

Kejadian itu langsung menyita perhatian semua orang, terlebih saat mereka mendengar suara teriakan dari salah seorang pejalan kaki yang ada di sana yang juga ikut menyaksikan kecelakaan barusan. Sementara orang-orang mulai panik dan berlarian keluar untuk mengecek keadaan, Elina justru merasakan rasa sakit yang kembali menyerang kepalanya. Kali ini bahkan rasa sakitnya lebih kuat dari sebelumnya hingga membuatnya sama sekali tidak sadar dengan keadaan sekeliling.

Napas Elina mendadak berubah tak beraturan, tubuhnya gemetar hebat, jantungnya berdebar kencang, dan rasa sakit di kepalanya semakin kuat. Elina nyaris saja terjatuh. Beruntung ada seseorang yang menangkap tubuhnya dan membantunya. Elina tidak bisa melihat atau mendengar dengan jelas, pandangan dan pendengarannya mendadak kabur. Hanya satu hal yang Elina sadari saat itu, orang yang membantunya itu memeganginya dengan erat guna memastikan dia tidak terjatuh.

“Dokter!” Anak perempuan itu tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah wanita yang berdiri di seberang jalan. Wanita yang dipanggilnya lantas balas tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya.

“Ma, ayo kita kesana!” Anak itu meminta ibunya untuk menyeberang. Tapi wanita yang menjadi ibunya itu berusaha untuk menahannya agar mereka tetap di sana.

“Kita tunggu saja disini, okay? Lagipula dokter akan ke sini,” ujarnya dengan suara lembut. Mencoba membuat putrinya tenang. Anak perempuannya itu hanya mengangguk sambil tersenyum lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada wanita di seberang jalan.

Perempuan berpakaian dokter itu mengalihkan perhatiannya ke sisi kiri dan kanan sebelum akhirnya melangkah menyeberangi jalan untuk bisa tiba di hadapan wanita dan gadis kecil yang sejak tadi menunggunya. Tapi baru saja dia melangkahkan kaki, sebuah bus tiba-tiba berjalan dengan kecepatan tinggi dari arah lain. Bus itu bergerak dengan tidak stabil, sebelum akhirnya menabrak wanita itu hingga tubuhnya terseret beberapa meter bersama bus yang menabraknya.

Semua orang yang menyaksikan hal tersebut sangat syok. Wanita yang sejak tadi berdiri bersama putrinya langsung menarik tubuh putrinya. Menggendong anak itu dan mencoba mencegahnya menyaksikan apa yang terjadi. “Tutup matamu, sayang…”

“Ada apa, ma?” anak perempuan itu hampir menoleh, tapi dengan segera wanita itu mengusap kepala putrinya, menahan kepalanya agar tidak menoleh.

“Jangan menoleh,” ujarnya dengan suara tenang.

“Tapi dokter…”

“Pokoknya dengarkan saja apa kata mama.”

Anak perempuan itu hanya bisa diam dengan kebingungan. Dia menuruti perkataan ibunya untuk tidak menoleh. Namun perhatiannya beralih pada pintu dan jendela kaca rumah sakit.

“Dokter…” anak itu bergumam lirih. Tangannya meremas pakaian yang dikenakan ibunya saat dia melihat wanita yang sejak tadi ditunggunya terkapar di tengah jalan dalam keadaan bersimbah darah. Hal yang jelas dilihatnya saat itu adalah wajah dokter yang berlumuran darah, dan sebuah benang berwarna hitam yang terikat di jari manisnya.

Tubuh Elina semakin bergetar hebat ketika semua adegan itu mendadak bermunculan di benaknya. Di tengah apa yang dialaminya, Elina merasakan tangan seseorang memegangi wajahnya. Elina membuka kedua matanya, dan samar-samar dia melihat seorang wanita berambut merah jagung yang kini menatapnya dengan wajah panik.

“Kau bisa mendengarku?” Elina mendengar suara wanita itu samar-samar. Tapi tubuhnya sama sekali tidak bisa merespon dengan benar. Semakin lama bahkan penglihatan Elina semakin tidak jelas, dan tubuhnya semakin lemas. Tak lama setelah itu, semuanya berubah gelap, dan Elina sama sekali tidak ingat dengan apa yang terjadi setelahnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status