Share

7. Memanfaatkan Situasi

“Bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu pada temannya yang sejak tadi menunggu di sana dengan sabar. Pria yang diajaknya bicara seketika menoleh ke arah datangnya suara.

“Dia baik-baik saja. Dokter bilang kondisinya sudah membaik, tapi dia masih harus di rawat inap selama beberapa hari.”

“Syukurlah. Lega mendengarnya karena dia baik-baik saja. Omong-omong aku membawakan buah untuknya.” Dariel memberikan sekeranjang buah yang dibelinya saat diperjalanan menuju ke sana. Lewis menaruh keranjang buah itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur yang ditempati Lila. “Sejak kapan dia tidur?”

“Sejak dokter memeriksa kondisinya. Tadinya dia menunggumu, tapi kau terlalu lama datang ke sini sampai dia ketiduran.”

“Saat di perjalanan kemari tiba-tiba saja terjadi kasus pencurian. Mau tidak mau aku harus menanganinya lebih dulu.”

“Pantas saja kau terlambat.”

“Oh! Apakah kau sudah makan siang? Karena buru-buru datang ke sini aku jadi sama sekali tidak sempat makan siang. Kalau kau belum makan siang, ayo keluar bersamaku. Kita makan bersama.”

“Ayo. Kebetulan, aku juga lapar.” Lewis beranjak dari tempat duduknya. Mereka berdua berjalan keluar dari dalam ruang rawat Lila. Tapi baru sempat mereka membuka pintu, tiba-tiba saja mereka dikejutkan dengan kemunculan seorang wanita yang mendadak sudah berdiri di depan pintu, dan menghalangi jalan mereka.

“Hai, Dariel!” Wanita itu tersenyum simpul pada Dariel yang berdiri tepat di hadapannya. Dari ekspresi yang ditunjukkan wajahnya, wanita itu bisa melihat dengan jelas bahwa Dariel sangat terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba.

“Barbara? Sedang apa kau di sini?”

“Aku memiliki urusan di rumah sakit ini. Tadinya aku berniat untuk pulang karena urusanku sudah selesai, tapi aku tidak sengaja melihatmu di pintu masuk. Karena cemas kau dan paman sakit, jadi aku mengikutimu untuk memastikan,” jelas Barbara.

“Tidak. Temanku yang sakit. Aku dan ayah baik-baik saja.”

“Sungguh? Syukurlah, lega mendengarnya.” Barbara menghela napas lega.

“Omong-omong, ini temanku.” Dariel memperkenalkan Lewis. Barbara tersenyum sambil berjabat tangan dan memperkenalkan dirinya pada Lewis.

Lewis, sudah aku duga… semuanya berjalan sesuai dengan apa yang aku lihat. Kalau ingatanku tidak salah, wanita di dalam yang dimaksud oleh Dariel bernama Lila. Barbara melirik ke arah wanita di dalam kamar rawat yang baru saja dimasuki Dariel.

“Kami baru saja berniat untuk makan siang. Apakah kau mau ikut?”  tanya Dariel yang seketika mengalihkan atensi Barbara.

“Aku akan sangat senang kalau kau mau ikut makan siang bersama kami.” Lewis tersenyum.

“Ah, tidak perlu. Aku masih memiliki urusan lain setelah ini. Jadi mungkin lain kali saja aku ikut,” tolak Barbara.

“Sayang sekali, padahal aku ingin kau ikut. Pasti akan lebih menyenangkan kalau kau juga ikut makan siang bersama kami. Siapa tahu, kan kita bisa jadi akrab,” kata Lewis. Pria itu tampak langsung tertarik dengan Barbara.

“Aku benar-benar minta maaf, tapi aku harus pergi. Aku kemari hanya untuk memastikan saja. Dan karena ternyata Dariel dan paman baik-baik saja, jadi sepertinya aku bisa merasa lega. Sekarang aku harus pergi, sampai jumpa di lain kesempatan!” Barbara berpamitan.

“Baiklah, sampai jumpa.” Dariel melambaikan tangan sambil menatap Barbara yang kini berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua di depan pintu ruang rawat Lila.

“Dia cantik sekali…, omong-omong dia siapa? Apakah dia teman atau sepupumu?” Lewis masih tidak bisa berhenti tersenyum memperhatikan kepergian Barbara.

“Dia teman sekaligus tetanggaku. Kami dekat sejak kecil.”

“Oh, begitu rupanya… apakah kau tidak tertarik dengannya? Bukankah dia sangat cantik?”

“Kau ini bicara apa? Dia itu temanku, dan perasaanku tidak pernah lebih dari itu.”

“Sungguh? Lalu, apakah dia masih sendiri?” tanya Lewis lagi. Dia tampak lebih bersemangat menanyakan mengenai Barbara. Lewis ingin tahu lebih banyak mengenai wanita itu.

“Kau ini kenapa? Apakah kau tertarik padanya? Padahal ini adalah pertama kalinya kalian bertemu.”

“Tidak mungkin aku tidak tertarik. Dia benar-benar tipeku!”

*

Klap!

Elina menutup pintu ruang rawat Alvin dan berdiri sambil bersandar di dinding. Wajahnya merah merona, dan perasaannya bercampur antara marah dan malu. Dia marah karena Alvin bisa dengan beraninya meminta dia melakukan itu, dan yang lebih memalukannya lagi Elina jadi tidak bisa menolak karena ada perawat di dalam sana.

Elina menutupi wajahnya dengan kedua tangan.

Beberapa saat yang lalu…

“Tunggu! Ada sesuatu yang kau lupakan.” Alvin menghentikan langkah kaki Elina yang baru saja hendak melangkah keluar. Dengan alis berkerut, wanita itu menoleh ke arah Alvin yang baru saja bicara.

“Aku tidak melupakan apapun.”

“Tentu saja ada yang kau lupakan, ‘istriku’.” Alvin menyeringai sambil menunjuk pipinya dengan menggunakan jari telunjuk. Wajah perawat yang melihat itu seketika merona, dia bisa langsung paham dengan apa yang dimaksud Alvin.

Elina membelalakan mata begitu Alvin memberikan isyarat lain padanya. Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya.

Sial! Berani sekali dia mengambil kesempatan di saat seperti ini! Elina menggerutu di dalam hati. Elina berusaha keras untuk memikirkan cara agar dia bisa mengelak. “Nanti saja, ya? Aku sekarang buru-buru.”

Alvin tiba-tiba saja memasang wajah cemberut yang tampak dibuat-buat. “Ayolah jangan malu-malu seperti itu, lagi pula perawat tidak merasa keberatan. Aku akan sedih kalau kau pergi begitu saja…”

Elina berusaha keras menahan amarahnya. Kalau bukan karena adanya perawat di ruangan itu, mungkin Elina akan langsung memarahi lelaki itu. Alvin kini menatap Elina dengan puppy face nya.

“Anda tidak perlu merasa sungkan hanya karena ada saya, lagi pula saya mengerti bagaimana rasanya hubungan suami-istri di masa muda. Saya juga pernah mengalaminya.” Perawat itu terkekeh sambil menaruh semua makanannya. Alvin jadi besar kepala karena perawat itu membelanya.

“Dengar, kan? Jadi kau tidak perlu malu,” ujarnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Elina menghela napas panjang. Dia memaksakan tersenyum sambil berusaha menahan kesal.

“Baiklah,” kata Elina yang kemudian berjalan menghampiri Alvin.

Sial! Dia sungguh pintar untuk memanipulasi situasi untuk bisa berpihak padanya. Kalau sudah seperti ini kan aku jadi tidak punya pilihan. Elina berhenti di samping Alvin yang tampak sangat kegirangan karena rencananya berhasil.

Lihat wajah menyebalkan itu! Akan aku balas kau nanti! Elina mengepalkan tangan. Ingin sekali dia mengumpat, saking kesalnya.

Elina kemudian membungkukan tubuhnya lalu mengecup pipi Alvin.

“Akan aku balas kau nanti!” bisik Elina tepat di telinganya. Alvin menyeringai. Dia melirik Elina lewat ujung matanya. Wanita itu melayangkan tatapan sengit padanya.

“Kita lihat saja nanti,” balas Alvin. Tiba-tiba saja tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah Elina. Alvin mengusap wajah Elina, lalu tanpa peringatan menarik dagunya dan mencium bibirnya. Elina membatu saking terkejutnya. Sementara si perawat yang menyaksikan itu langsung memalingkan wajah ke arah lain.

“Kalau begitu hati-hati di jalan, dan cepat kembali. Aku tidak akan bisa menahan rasa rindu kalau terlalu lama jauh darimu.” Alvin tersenyum sambil menampakkan wajah polosnya.

Saat ini…

Sial! Aku lengah. Bisa-bisanya aku tidak sadar kalau dia tidak akan mungkin hanya ingin sebuah kecupan! Seharusnya sejak awal aku sadar bahwa lelaki mesum seperti dia pasti akan meminta lebih dari sekedar itu. Aku benar-benar bodoh. Elina merutuki perbuatannya. Dia sungguh tidak menyangka kalau Alvin akan menciumnya di depan orang lain seperti itu.

“Barbara!”

 Perhatian Elina mendadak berubah ketika dia mendengar seseorang menyebut nama itu. Dia menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati Barbara yang telah membantunya berdiri di depan ruang rawat yang letaknya tepat bersebelahan dengan tempat Alvin.

Elina terdiam sambil memperhatikan Barbara yang kini mengobrol dengan dua orang lelaki. Dia tampak sangat akrab dengan salah satunya.

Barbara? Apakah dia datang untuk mengunjungi temannya yang sakit di tempat ini juga? Kebetulan macam apa ini? Bagaimana bisa ruang rawat temannya bersebelahan dengan ruang rawat Alvin? Elina sungguh tidak menyangka teman Barbara yang di rawat di rumah sakit itu ternyata menempati ruangan lain yang posisinya bersebelahan dengan ruang rawat Alvin.

Elina tanpa sadar sejak tadi terus memperhatikan mereka, sampai akhirnya Barbara berpamitan dan dia berlalu meninggalkan kedua teman lelakinya. Tapi begitu Barbara pergi, Elina mendadak diam dengan wajah melongo. Dia baru menyadari sesuatu.

Apa itu? Aku sudah cukup dibuat bingung dan kesulitan mengartikan benang takdir milik Barbara karena warnanya berbeda. Sekarang kenapa aku harus melihat hal lain yang semakin membuatku bingung? Benang takdir milik Barbara terikat dengan lelaki itu, dan yang membuatku sama sekali tidak mengerti adalah, kenapa bisa di bagian benang yang saling terhubung itu kusut? Selain itu, warna benang takdir milik lelaki itu juga tidak sama dengan milik Barbara. Apa arti dari semua itu?

*

“Ok, aku sudah masuk ke dalam kamarmu,” ujar Elina pada Alvin begitu akhirnya dia masuk ke dalam kamar di apartemen lelaki itu. Dia hendak mengambilkan pakaian untuk Alvin. Sambil terus berjalan menghampiri lemari yang ada, Elina terus mendengarkan ucapan Alvin yang memberitahukan dimana letak pakaian yang disimpannya. Elina hanya perlu mengikuti apa yang dia katakan.

Jauh dari perkiraan, aku kira karena dia lelaki, seisi rumahnya akan tampak kotor, dan berantakan. Tapi ternyata dia lelaki yang cukup bersih dan rapi, ya. Bahkan semua sudut ruangannya juga tampak begitu tersusun dengan sempurna… pikir Elina. Dia sungguh tidak menyangka kalau ternyata sosok Alvin yang dikenalnya adalah sosok yang rapi.

Elina kini sibuk mengambil tas lalu memasukkan pakaian bersih ke dalam sana. Tapi begitu Alvin mengingatkannya untuk tidak lupa membawa celana dalam, Elina mendadak diam. Dia ragu untuk mengambilnya, dan yang dilakukannya hanya diam di depan laci lemari berisi pakaian dalam yang dikatakan Alvin. “Elina, kau mendengarkanku, kan?”

Suara Alvin kembali membuatnya tersadar. Setelah dipikir-pikir lagi Elina sungguh tidak memiliki pilihan, dia tidak boleh ragu karena tugasnya kemari adalah untuk mengambilkan pakaian bersih untuk Alvin. “Aku mendengarkanmu. Aku tidak akan lupa, sekarang ini aku sedang mengambilnya.”

Elina menarik laci itu. Dan begitu bagian lemari itu ditarik, dia bisa langsung melihat isi di dalamnya dengan begitu jelas. Karena tidak ingin memperhatikan benda itu, Elina jadi bergegas mengambilnya secara sembarangan hingga membuat bagian dalamnya berantakan dan beberapa keluar dari dalam lacinya.

“Sial, kenapa benda ini harus keluar segala!” Elina menggerutu pelan sambil meraih celana boxer yang baru saja terjatuh. Dia memungut benda itu, dan melipatnya. Namun saat sedang melipatnya, pikiran Elina tiba-tiba saja teringat akan sosok Alvin tadi pagi ketika lelaki itu berdiri telanjang dihadapannya. Sial! Elina sekarang malah jadi membayangkan bagaimana seksinya Alvin mengenakan celana boxer itu dengan tubuh atletisnya. Wajah Elina langsung merah merona.

Aku pasti sudah benar-benar gila! Elina menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia tidak ingin membayangkan hal seperti itu.

“Elina, kau sudah selesai? Kenapa kau lama sekali? Jangan bilang kalau kau sedang membayangkan hal kotor tentangku sambil memandangi celana dalamku? Dasar wanita mesum…” Suara Alvin kembali terdengar. Elina baru sadar bahwa dia masih bicara dengan Alvin lewat telepon.

“A-apa? Enak saja, aku tidak mesum sepertimu! Aku tidak mungkin melakukan hal seperti itu.” Elina mengelak. Wajahnya jadi semakin memerah saat Alvin justru malah menggodanya dengan berkata demikian.

“Sungguh? Aku tidak percaya.”

“T-TERSERAH KAU SAJA!” Elina memutus sambungan telepon mereka. Wajahnya terasa panas saking malunya.

“Sial. Bagaimana dia bisa bicara seperti itu? Tebakannya benar pula. Dan bisa-bisanya aku malah ingat Alvin yang tadi pagi telanjang di depanku saat melihat benda ini!”

*

“Kau akan pergi malam ini? Bukankah malam ini kau tidak bertugas?” Pria paruh baya itu menatapnya dari atas sampai bawah.

“Malam ini Lewis yang bertugas, dan karena dia tidak bisa ke rumah sakit, dia memintaku untuk menemani Lila,” jelas Dariel.

“Begitu rupanya. Jadi malam ini kau akan menemaninya? Apakah kau akan menginap di rumah sakit?”

“Aku tidak tahu. Tapi kalau nanti aku tidak pulang, ayah tidur duluan saja. Tidak perlu menungguku.”

“Baiklah.”

“Aku pergi.” Dariel beranjak pergi begitu selesai mengenakan sepatunya. Malam ini karena dia tidak bertugas, jadi dia berniat untuk kembali ke rumah sakit dan menemani Lila, seperti yang Lewis minta. Begitu tiba di luar, Dariel segera menghampiri mobil yang sudah dia persiapkan. Dariel langsung masuk ke dalam mobil, duduk di jok pengemudi, dan bergegas menjalankan mobilnya menuju arah rumah sakit.

*

Elina berjalan menyusuri koridor menuju arah ruang rawat Alvin. Di sebelah tangannya, dia menggenggam tas berisi pakaian dan makanan yang dia buatkan untuk Alvin, sementara tangan lainnya sibuk menggulir layar ponselnya. Karena tidak masuk kerja hari ini, Elina jadi harus bertanya apa yang terjadi selama dia tidak ada, dan setelah mengecek ruang obrolan berisi grup di timnya, dia baru tahu bahwa ada kekacauan di kantor yang baru saja dia lewatkan.

Dalam grup obrolan berisi Elina dan teman satu timnya, mereka membahas mengenai masalah plagiarisme salah satu konsep promosi yang ditangani tim lain. Hal ini tentunya mencoreng nama baik departemen mereka yang selama ini dikenal dengan reputasinya yang baik, dan tidak pernah sekalipun meniru konsep promosi dari departemen perusahaan lain. Untungnya semua masalah yang terjadi segera diatasi, dan dari berita yang Elina dapat, beberapa teman satu departemennya bahkan sampai mendapatkan peringatan atas tindakan mereka.

“Satu hari tidak masuk ke kantor saja, aku sudah ketinggalan banyak hal,” gumam Elina yang kemudian memasukkan ponselnya ke dalam mantel yang dikenakannya. Saat sedang sibuk berjalan sambil memasukkan ponselnya, Elina tidak sengaja di tabrak oleh seorang lelaki dari arah belakang.

“Maaf!” ucap lelaki itu. Dia hanya menoleh sekilas dan kembali berjalan dengan tergesa-gesa. Elina membatu di tempatnya sambil memperhatikan sosok lelaki yang baru saja menabraknya itu. Entah kenapa tapi Elina merasa tidak asing dengan postur tubuhnya, dan lagi, dia sempat melihat wajahnya sekilas.

“Aneh, kenapa aku merasa tidak asing begitu melihatnya, ya?” Elina bergumam pelan. Dia masih berdiri sambil memperhatikan sosoknya, sampai kemudian teriakan seseorang membuyarkan lamunannya.

“KIM! KIMMY?”

“DOKTER!”

Elina kembali terdiam saat dia mendengar suara teriakan seorang Ibu yang mencari anaknya, dan suster yang sedang mencoba mengejar dokter yang baru saja bertabrakkan dengannya. Entah kenapa tubuhnya tiba-tiba saja gemetar, jantungnya mulai berdebar, dan otaknya tiba-tiba saja mengulang teriakan mereka dalam kepalanya.

“KIM! KIMMY?”

“DOKTER!”

 “KIM!”

“DOKTER!”

“KIM!”

“DOKTER KIM?!”

“Arghh…” Elina mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya yang mendadak terasa begitu sakit. Suara-suara yang didengarnya kembali bergema dalam pikirannya, terus berputar bagaikan sebuah rekaman yang dimainkan dalam mode pemutaran ulang. Pandangan Elina mulai mengabur dan tubuhnya mulai terasa lemas. Bersamaan dengan itu, berbagai adegan mulai bermunculan di dalam benaknya, membuat kepalanya kian terasa sakit.

“Ma, dimana dokter Kim? Aku ingin bertemu dengannya…”

Sepasang orang dewasa itu hanya diam begitu mendengar kalimatnya barusan, seolah kebingungan harus menjelaskan bagaimana. Tapi sosok lelaki di depannya berusaha tetap tenang, dia berjongkok guna mensejajarkan pandangannya dengan anak perempuan itu.

“Hey, dengar. Begini sayang, dokter Kim sedang memiliki pekerjaan diluar kota, jadi dia tidak akan bisa bertemu denganmu selama beberapa bulan. Dan selama dokter Kim tidak ada, aku yang akan menggantikannya. Lagipula dokter Kim adalah temanku, jadi dia mempercayakan semua pekerjaannya di sini padaku, termasuk untuk menjaga dan membantumu pulih.” Pria itu menggenggam tangan anak perempuan itu, menjelaskan semuanya secara lembut.

“ARGHH!!” Kepala Elina semakin terasa begitu sakit saat adegan itu tiba-tiba saja muncul dalam benaknya.

Brukk!

Tubuh Elina terjatuh. Beruntung seorang lelaki muncul dan dengan sigapnya menangkap tubuh Elina sebelum dia tersungkur di lantai. Elina sempat melihat wajah lelaki itu secara samar, dia juga sempat mendengar suaranya yang panik. Pria itu mencoba memastikan kondisinya sambil mengguncang tubuh Elina pelan. Tapi selanjutnya, Elina sama sekali tidak bisa mendengar dan melihat apa-apa selain kegelapan. Dia tidak sadarkan diri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status