Jet Mini didatangkan langsung dari markas pusat. Mendarat di titik lokasi tersembunyi di salah satu resort yang ada di pulau itu. Penjagaan sekitar resort dikerahkan, demi menjaga keamanan pendaratan Jet Mini tersebut.
Seluruh resort juga sampai dikosongkan dari pengunjung, dan kini hanya diisi oleh satuan keamanan yang bertugas untuk mengawal pemimpin agen rahasia utama mereka--Pak Marco."Kalian ini terlalu berlebihan deh ... Saya sungguh nggak apa, lho!"Sudah berapa kali Pak Marco bicara begitu. Beliau bilang tidak kenapa-kenapa, tapi sekujur tubuhnya kini tengah mengalami luka-luka dan sedang dalam penanganan berjalan di dalam Jet Mini.Kondisi Pak Marco memang harus segera ditangani, jadi tim ahli medis dikerahkan untuk melakukan penanganan medis langsung, sembari Jet Mini itu terbang memulangkan kembali Pak Marco ke markas pusat di pulau JW.Tidak perlu khawatir dengan kemampuan tenaga medis dan peralatannya, karena memang Jet Mini ituSesuai dugaan Eve. Ada agen pengkhianat yang masih tersebar di beberapa tempat di markas. Ada saja yang ingin menjatuhkan Devlin maupun Pak Marco. "Dari situlah kemudian aku coba mengikuti para pengkhianat itu, Bram. Aku masuk ke mobil mereka. Lalu ketika sampai di kasino, aku benar-benar melihat mereka meletakkan bom koper itu di mobil yang kamu pakai." Dev manggut-manggut mengerti. "Jadi begitu ceritanya kamu pada akhirnya bisa sampai ke kasino ... Kamu benar-benar nekat!" Eve memutar bola matanya. "Bisa tidak kamu hanya bilang 'terimakasih' saja? Bagaimanapun aku sudah menyelamatkan nyawamu dengan mencegahmu masuk ke mobil, lho. Kalau tidak, kamu pasti sudah jadi sapi panggang!" "Cih!" Dev mendecih. "Aku ada niatan untuk tidak ke mobil kok tadi! Kamu saja tadi yang tiba-tiba menghadang saat aku mau menyergap temanmu!" Percuma saja kalau menyuruh Dev minta maaf. Gengsinya selangit nirwana, mana sudi dia mau bilang begitu? Apalagi kali ini yang menolong si Eve. Perempuan. "Nah
Eve memang sering dengar Dev menyinggung soal atasannya, tapi Eve tidak pernah menyangka kalau atasan Dev itu adalah seorang pria tua yang sangat mirip dengan wajah Ayahnya. Dan tidak sampai disitu. Tadi Eve juga sempat mendengar perawat perempuan yang menjaga Bianca di bilik sebelah itu juga memanggil nama 'Pak Marco'. Yang mana nama itu juga nama yang sama dengan nama mendiang ayahnya. Kalau ini adalah kebetulan, jelas ini kebetulan yang keterlaluan. Tidak pernah Eve menemui kasus wajah dan nama orang yang sama persis. Tidak ada. Pun ada yang pernah bilang kalau manusia itu punya tujuh kembaran berbeda dan tersebar di muka bumi, tetap saja ini terlalu mirip! Tidak pernah ada wajah dan nama yang sama. Terkecuali kalau memang dia ... adalah orang yang sama. Tapi ... 'Nggak mungkin nenek bohong sama aku. Jelas-jelas nenek bilang kalau Ayah dan Ibu meninggal setelah kecelakaan itu. Hanya aku yang selamat. Lagipula untuk apa juga nenek menyembunyikan kalau misal ayah masih hidup?' "
Derap langkah cepat dari lima remaja pria berseragam SMA menggema saat mereka melintasi jalanan sepi di distrik rumah susun malam itu. Sudah bukan pemandangan yang asing lagi melihat para remaja nakal berlalu lalang disana. Biasanya mereka memang kerap memalak satu dua orang kurang beruntung yang berpapasan di tempat mereka biasa 'mangkal' selama belasan tahun. Namun kini, tidak seperti kebiasaan mereka yang selalu duduk diam di pojok gang sempit di ujung jalan, sekarang kelima remaja itu menampakkan raut wajah marah sambil berjalan tergesa, dan sesekali menengok beberapa tempat yang berkemungkinan bisa digunakan orang untuk bersembunyi. Jelas, mereka sedang mencari seseorang. Satu diantara mereka, yang mengenakan kaus hitam rangkap dengan kameja seragam, berambut landak dengan cat warna merah, tampak kesakitan sembari memegangi dagunya yang sudah basah oleh darah. Sepertinya dia habis dihajar seseorang. Namun empa
Dua minggu pasca ujian penentuan nasib kelulusan yang menjadi momok paling menakutkan bagi para murid SMA kelas tiga. Ujian Nasional memang sudah berakhir, namun atmosfer ketegangannya masih terasa sangat pekat. Selama nilai ujian belum keluar, mereka masih belum bisa bernapas lega. Bahkan Dev pun juga sepertinya terlihat gelisah. Dev tidak begitu takut nilai UN yang kurang memenuhi ekspektasi Ayahnya, namun ada hal lebih menguras pikirannya. Menahan diri selama dua minggu untuk menanti hasil nilai UN dan Surat Keterangan Lulus itulah, yang membuat seorang Dev menjadi sangat tidak sabaran. Tidak seperti murid-murid lain yang menunggu hasil kelulusan dan nilai ujian di rumah, Dev tetap pergi ke sekolah. Bahkan, sejak jam tujuh pagi Dev sudah stand by. Duduk di bangku taman. Tanpa kawan. Sendirian. Ada satu urusan yang harus Dev selesaikan pagi itu. Dan tentu saja urusan
"Tunggu Pak!" Dev menahan langkahnya ditempat sebelum mencapai ambang pintu keluar. "Apa lagi?" Kepala Dev lantas meleneng ke arah Bapak Kos yang berdiri tidak jauh dari pintu. Menampilkan sorot mata minta belas kasih kepada beliau. "Pak, tolong saya ..." Dahi Pak Kos menyerngit. "Ngapain? Orang kamunya yang salah! Bawa-bawa sabu!" "Tapi itu bukan punya saya Pak! Saya aja nggak tahu kalau barang itu di lemari! Saya kan baru pindah!!" elak Dev. "Hei!" Pak Polisi kembali mendorong Dev. "Kalau kamu terus merengek seperti ini, kamu malah makin kita curigai loh!" "Benar. Kalau kamu memang bukan pemilik sabu itu, mustinya kamu nggak takut dibawa untuk diperiksa lebih lanjut! Kami hanya mau tes urin kamu untuk lebih memastikan!" timpal polisi satunya. Dev tercenung. Satu pikiran menduga sesuatu di benaknya.
Kesempatan jarang datang dua kali. Itulah yang Dev yakini. Maka dengan penuh kepercayaan diri, Dev pun menyetujui penawaran itu tanpa berpikir dua kali. Lewat jalur talenta, Dev lebih cenderung mendapat sorotan. Karena tidak banyak yang bisa ditarik melalui jalur itu. Namun bukan berarti jalur talenta bakal menjamin masuk. Tetap saja ada tes tersendiri di jalur talenta. Dan yang pastinya cukup selektif. Tidak hanya kemampuan intelegensi, fisik dan stamina juga menjadi pertimbangan. Bersyukur Dev membawa gen baik dari Ayahnya yang memiliki tinggi badan yang memenuhi standar. Tapi tidak dengan berat badannya yang terlalu kurus. Postur tubuh juga kurang menarik. Dan tubuh yang kurang ideal itu nyatanya cukup berpengaruh bagi kelancaran latihan fisik yang Dev jalani sekarang. "Cengkraman tanganmu kurang kuat, Dev! Cobalah untuk memaksimalkan tenagamu!" Itu teriakan dari Pak Marco. Sudah lebih dari belasan kali Dev mendengar suara teriakan itu dari
Sepuluh menit, Dev dan Budiman sudah berada di ruang simulasi. Mengambil misi baru mereka dalam bentuk chip seukuran kuku kelingking. Lalu memasangnya di headset di telinga masing-masing untuk memunculkan layar hologram melayang berisi instruksi video untuk mereka. "Kalian harus menyamar sebagai anggota reporter untuk menyelidiki lokasi bom di lahan pembangunan mall, kota P. Sekaligus mencari dan menangkap Yongkie, oknum mentor perakit bom." DEG! Dev terhenyak saat tahu lokasi misi itu berada cukup dekat dengan wilayah rusun tempat tinggalnya dulu. Seketika Dev jadi teringat pada Ayahnya. 'Bagaimana kabar Ayah sekarang ya? Beliau bahkan hanya menghubungiku satu kali sejak aku pergi dari rumah. Sepertinya beliau sudah tidak peduli padaku karena aku menentang keinginannya dan kabur dari rumah,' batin Dev sedih. Menyadari kalau pikirannya mulai kacau oleh perasaan sedih itu, Dev buru-buru menggelengkan kepala. Mengenyahkan rasa sedih itu karena d
Dev menatap lekat-lekat ke manik mata Max. "Perempuan berambut putih? Atau berambut pirang? Kedua hal itu jelas berbeda. Kau yakin kalau dia berambut putih?" Max mengangguk. "Dia berambut putih. Kulitnya juga sangat putih. Dia seperti bukan manusia. Bukan seperti bule yang berambut pirang." Kerutan di dahi Dev pun makin bertambah. Seiring dengan bola matanya yang melotot antusias. "Kau melihat wajahnya? Atau sempat mengambil gambarnya?" Max menggeleng. "Aku tak sempat melihat wajahnya. Dan dia menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya." Mendengar penjelasan itu membuat helaan napas keluar dari Budiman. "Lalu bagaimana kau bisa sampai dihajar begini?" "Aku ..." Max menelan ludah. "Dia menyerang kakiku dari belakang dan--" "Oh come on, Max." Devlin mendesah. "Dia perempuan kan? Bagaimana bisa kau kalah? Kau ini seorang agen laki-laki yang terlatih! Masa kau kalah dengan seorang perempuan warga sipil biasa? Buat malu saja!"