Sepuluh menit, Dev dan Budiman sudah berada di ruang simulasi. Mengambil misi baru mereka dalam bentuk chip seukuran kuku kelingking. Lalu memasangnya di headset di telinga masing-masing untuk memunculkan layar hologram melayang berisi instruksi video untuk mereka.
"Kalian harus menyamar sebagai anggota reporter untuk menyelidiki lokasi bom di lahan pembangunan mall, kota P. Sekaligus mencari dan menangkap Yongkie, oknum mentor perakit bom."
DEG!
Dev terhenyak saat tahu lokasi misi itu berada cukup dekat dengan wilayah rusun tempat tinggalnya dulu. Seketika Dev jadi teringat pada Ayahnya.
'Bagaimana kabar Ayah sekarang ya? Beliau bahkan hanya menghubungiku satu kali sejak aku pergi dari rumah. Sepertinya beliau sudah tidak peduli padaku karena aku menentang keinginannya dan kabur dari rumah,' batin Dev sedih.
Menyadari kalau pikirannya mulai kacau oleh perasaan sedih itu, Dev buru-buru menggelengkan kepala. Mengenyahkan rasa sedih itu karena dia harus fokus dengan instruksi selanjutnya. Kembali menatap layar itu.
Munculah sebuah video yang menampilkan koordinat keberadaan oknum itu. Lengkap dengan data wajah detail dan informasi pribadi terkait nama dan asal usulnya.
"Yongkie, nama julukan oknum itu. Bukan nama sebenarnya. Sudah hampir satu tahun menjadi incaran Polisi karena telah berhasil meledakkan beberapa bom rakitan di beberapa tempat. Anehnya sasaran ledaknya bukan fasilitas pemerintah dan tempat ibadah, melainkan di tempat-tempat kerusuhan seperti lahan sengketa pembangunan. Diduga murid dan pengikutnya sudah tersebar di beberapa kota sekitar kota P."
Yongkie kini berusia usia 26 tahun, sepantaran dengan Dev. Wajahnya cukup tampan, sama sekali bukan tipe wajah seorang penjahat. Dan herannya, orang itu mengambil pekerjaan samarannya sebagai seorang pengamen. Dan yang menjadi sorotan disini, ternyata orang itu punya tanda berupa goresan di pelipisnya. Walau samar, tapi Dev yakin kalau itu goresan luka lama.
"Hmmm ... Masih muda tapi sudah jadi guru perakit bom. Orang ini benar-benar gila!" cicit Budiman dengan nada miris.
Lalu suara instruksi kembali terdengar. "Satu jam yang lalu, oknum itu terlihat bersama seorang wanita ini."
Munculah satu gambar perempuan berambut pirang mirip bule berpakaian warna putih serba tertutup. Kulit perempuan itu putih sekali, hampir mirip dengan warna pakaiannya.
Gadis pirang itu tampak melambaikan tangan perpisahan kepada Yongkie yang sudah naik bus keluar kota. Lokasi foto itu berada di depan halte. Dev kenal tempat itu.
Dan bisa dilihat, resolusi foto itu cukup buruk, sehingga menghasilkan gambar yang sangat tidak jelas. Ditambah lagi, foto hanya diambil dari samping.
Astaga. Kalau gambarnya seperti ini, mana bisa dideteksi dengan pemindai wajah?
"Widiiih! Mainnya ama bule!" Budiman refleks membeo takjub.
"Sayangnya hingga kini idenditas wanita itu belum diketahui. Orang disekitar halte tidak ada yang mengenalnya. Apalagi saat itu dia memakai masker juga. Kemungkinan besar, perempuan itu teman atau kekasihnya. Jadi kalau kalian membawa perempuan itu, bisa jadi dia menjadi kunci bagi kalian untuk memancing oknum itu keluar dari persembunyiannya," lanjut Pak Marco.
Dahi Budiman dan Dev serempak mengkerut. Berpikir bagaimana caranya mencari orang hanya berdasarkan foto buram. Tanpa idenditas pula!
"Astaga!! Agen siapa sih yang ngambil gambar gini? Pecah banget gambarnya!" geram Budiman kesal.
"Itu warga yang mengambil gambar lewat kamera ponsel amatir. Bukan agen kita." Pak Marco menjawab pertanyaan Budiman.
"Apa nggak ada gambar lain yang lebih jelas, Pak? Kualitas gambar perempuan ini betul-betul jelek!" keluh Budiman dengan raut wajah tak percaya.
Terdengar helaan napas dari Pak Marco. "Kalau memang ada gambar lain, ya saya nggak akan sepanik ini minta bantuan kalian!! Dasar!!"
Budiman meringis. "Hehe. Iya sih. Tapi--"
"Tidak masalah, Pak." Devlin memotong sembari mengeluarkan seringaian. "Kami akan temukan dia secepat mungkin."
**
"Hampir 3 x 24 jam, dan kita masih belum dapat tanda-tanda kemunculan cewek itu!"
Geraman kekesalan itu meluncur begitu saja dari mulut Budiman. Terlihat wajahnya mulai malas mengamati ratusan layar cctv yang terpampang di hadapannya.
Sejenak Budiman menelengkan kepalanya kearah Dev yang baru saja datang dan melepas aksesoris penyamarannya.
"Gimana? Udah nemu petunjuk di lokasi peledakan?" tanya Budiman penasaran.
Dev menggeleng. Lalu terdengar hembusan napas gusar dari hidungnya.
"Kalau kamu gimana? Udah nemu cewek pirang itu?"
Budiman mengendikkan bahu seraya mengarahkan pandangannya kembali ke layar.
"Belum ada tanda kemunculan cewek itu yang terdeteksi di layar ini. Anak buah agen kita yang kita sebar buat stand by di tiap sudut kota dan perbatasan kota juga belum ngasih info apa-apa."
Kelopak mata Dev menyipit, sedang tangannya mengotak-atik beberapa tombol kendali layar itu. Memastikan kalau kinerja layar cctv pendeteksi wajah manusia yang terhubung ke seluruh cctv gedung, fasilitas umum, dan jalanan di kota P itu sudah berfungsi maksimal.
"Aneh. Paling lama seorang manusia normal bertahan tidak keluar rumah setelah dua hari berlalu. Mustahil dalam waktu hampir tiga hari dia tidak keluar rumah, kan?" gumam Budiman penasaran.
Kepala Dev lantas menggeleng, lalu berjalan menuju pintu. "Entahlah. Bisa jadi karena dia jatuh sakit, jadi perempuan itu tidak bisa keluar. Banyak kemungkinan."
Budiman manggut-manggut. "Hmmm, iya sih."
Saat Budiman melihat Dev hendak meraih kenop pintu, barulah dia bertanya. "Kau mau kemana?"
Sambil melirik penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangannya, Dev menjawab. "Keluar bentar cari angin segar. Lima belas menit lagi aku balik. Janji."
**
Hubungan Dev dan Ayahnya memang dari dulu tidak baik. Dan ketidakharmonisan hubungan Ayah-anak itu menjadi bertambah buruk semenjak Ibu Dev meninggal saat dia masih balita. Entah apa alasannya, Dev yang pandai menganalisa pun masih belum mengerti. Memilih untuk tidak peduli.Dev memang kesal pada Ayahnya. Tapi ada saat dimana Dev berada dititik penyesalan karena meninggalkan Ayahnya begitu saja. Kali ini, rasa sesal itu semakin membengkak karena misi ini mengharuskan Dev pergi ke kampung halamannya sendiri. Dan itu cukup mempengaruhi perasaan Dev.
Bermaksud mengenyahkan perasaan itu, Dev memutuskan untuk keluar sebentar. Awalnya Dev memang ingin mencari udara segar. Tapi seketika muncul satu niatan yang mendorong nurani Dev untuk mengunjungi ke tempat tinggal Ayahnya di rusun.
Dev keluar melalui pintu rooftop gedung. Kemudian berlari lincah untuk terjun ke belahan gedung lain.
Melalui jalur lain, Dev berjalan di atas tali gantung yang terhubung langsung dengan lantai tempat rusunnya berada. Dev tidak ingin ada penghuni rusun siapapun yang tahu keberadaannya disini, jadi dia pilih lewat jalur yang agak ekstrim.
Sampai di depan pintu, Dev agak terkejut karena suasana depan rumah sangat berantakan. Seperti sudah lama tidak ditinggali.
Mencoba membuka pintu, ternyata dikunci. Tapi anehnya jendela terbuka. Semakin penasaran, Dev memilih masuk melalui jendela.
Dan benar saja. Rumah itu kosong. Semua perabotan masih ada, hanya tertutupi oleh kain-kain putih. Melihat debunya setebal itu, pasti rumah ini sudah lama tidak ditinggali.
Perkiraan Dev, mungkin rumah ini kosong sekitar dua atau tiga tahun. Karena kalender yang terpampang disana adalah 2019 di bulan Desember.
Sambil terus menyusuri setiap ruangan minimalis yang sudah usang ini, Dev sebisa mungkin mencari petunjuk-petunjuk penting. Barangkali dari situ Dev menemukan satu dua clue tentang keberadaan sang Ayah.
Kalau pun dia meninggal, jelas tidak mungkin. Mana ada orang meninggal berencana menutupi barang-barangnya dengan kain? Pasti Ayah Dev sengaja pergi. Tapi kemana?
Selama ini Ayah Dev bekerja sebagai sales produk rumah tangga yang sering mendapat tugas berkeliling keluar kota. Apa mungkin beliau sekarang menetap di kota lain dan mendapatkan pekerjaan baru? Bisa jadi.
"Eh?"
Tiba-tiba Dev merasa aneh saat melihat cermin rias yang tertempel di kamar, Ayahnya. Entah bagaimana tiba-tiba Dev ingin mengamati cermin itu. Mungkin karena dorongan alamiah Dev yang gemar berkaca untuk melihat ketampanan wajahnya, atau mungkin insting Dev menuntunnya mengecek cermin itu. Bisa jadi keduanya.
Iseng mengangkat sedikit cermin itu, ternyata Dev menemukan satu lembar foto tertempel dibalik cermin.
Foto hitam putih seorang perempuan asing berambut abu bergelombang. Manik matanya terlihat cukup terang. Warna iris yang menurut Dev cukup langka ada di Indonesia.
"Aneh. Siapa perempuan ini? Kenapa Ayah menyimpan foto perempuan lain selain Ibu? Apa hubungan Ayah dengan Ibu ini?" gumam Dev bertanya-tanya.
Dev kembali menekuri foto itu. Mengamati dari perawakan perempuan itu, Dev menebak kalau mungkin beliau berusia tiga puluh tahunan.
Tapi mengingat foto itu sudah terlihat sangat usang, ada kemungkinan foto itu sudah sangat lama. Kalau Dev bisa prediksi dengan melihat bentuk kertas dan busana yang dikenakan perempuan di foto itu, mungkin foto ini diambil sudah terlewat lebih dari belasan tahun.
Di foto usang itu, tampak beliau sedang menggendong anak kecil. Tapi sayang, wajah anak itu tidak tampak karena foto itu sobek. Entah dimana sobekan wajah anak itu.
Buru-buru Dev mengambil gambar di foto itu dengan smartphonenya. Lalu mengirimkan foto itu bersamaan dengan satu jari telunjuknya yang menekan tombol headset yang terpasang di telinga kanannya. Menghubungi salah satu anggota agen kenalannya yang bekerja di bagian statistik.
"Aku butuh bantuanmu untuk mencari info tentang perempuan di foto itu."
"Baiklah. Bisa diatur. Kau butuh info itu untuk kapan?"
Dev menimbang-nimbang. "Secepat yang kau bisa."
"Baiklah."
Setelah panggilan itu berakhir, Dev beringsut mencari petunjuk lain.
Namun tak lama setelahnya, ponsel Dev tiba-tiba berdering. Itu panggilan dari Budiman.
"Ada apa, Bud?" sapa Dev cepat.
"Kamu dimana, Dev? Tolong cepat kembali! Ada masalah gawat!" Suara Budiman terdengar sangat panik.
Tubuh Dev seketika menegang. "Baiklah! Aku segera kembali!"
Dev segera memutus panggilan singkat itu. Bersiap kembali. Lalu memasukkan foto perempuan itu ke saku jaketnya.
'Baiklah. Setelah misiku selesai, aku harus segera mencari tahu keberadaan Ayah! Tunggu aku, Yah!' janji Dev dalam batin.
**
Pas sekali. Lima belas menit setelah Dev pamit pergi, Dev sudah kembali lagi ke basecamp. Menjeblak pintu ruang pemantau dengan tidak santai.Dev sangat terkejut bukan main, saat sepasang bola matanya mendapati Budiman yang sedang mengobati salah seorang agen anak buah mereka dalam keadaan kesakitan. Memegangi kaki bagian betis kanannya yang telah membiru.
"Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu??" tanya Dev seraya menggamit kaos yang dikenakan agennya itu.
Agen pria yang bernama Max itu menoleh lemah kepada Dev. Sesekali pria itu meringis saat Budiman menarik perban untuk meluruskan kakinya.
"Perempuan itu ... Perempuan berambut putih ..."
Kontan bola mata Dev membelak terkejut. "Apa??"
Untuk seorang perempuan yang mampu melumpuhkan satu orang agen pria yang terlatih seperti Max, jelas perempuan pirang itu bukan perempuan sembarangan.
**
To be continued.Dev menatap lekat-lekat ke manik mata Max. "Perempuan berambut putih? Atau berambut pirang? Kedua hal itu jelas berbeda. Kau yakin kalau dia berambut putih?" Max mengangguk. "Dia berambut putih. Kulitnya juga sangat putih. Dia seperti bukan manusia. Bukan seperti bule yang berambut pirang." Kerutan di dahi Dev pun makin bertambah. Seiring dengan bola matanya yang melotot antusias. "Kau melihat wajahnya? Atau sempat mengambil gambarnya?" Max menggeleng. "Aku tak sempat melihat wajahnya. Dan dia menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya." Mendengar penjelasan itu membuat helaan napas keluar dari Budiman. "Lalu bagaimana kau bisa sampai dihajar begini?" "Aku ..." Max menelan ludah. "Dia menyerang kakiku dari belakang dan--" "Oh come on, Max." Devlin mendesah. "Dia perempuan kan? Bagaimana bisa kau kalah? Kau ini seorang agen laki-laki yang terlatih! Masa kau kalah dengan seorang perempuan warga sipil biasa? Buat malu saja!"
Setelah memastikan perempuan itu aman dan sudah kabur, anak-anak itu bergegas melarikan diri dengan cepat. Lari ke segala arah. Dan sebelum Dev sempat mengejar dan menangkap salah satu diantara mereka, tiba-tiba muncul beberapa warga dan petugas keamanan sekitar. Datang dari pintu utara dan berbondong-bondong membawa alat dapur seadanya. "Dasar anak-anak berandal! Pergi! Jangan membuat keributan disini!" Itu suara sahutan keributan dari warga saat menghardik anak-anak remaja itu. Dev yang menyadari kedatangan warga itu pun tak urung juga ikut kabur. Tentunya sebagai agen rahasia yang sedang bertugas, idenditas dan keberadaaannya jangan sampai diketahui warga sipil manapun. Dengan susah payah, Dev berusaha menyeret kakinya dan melompati pagar selatan. Dan tak lupa pula Dev juga menyempatkan waktu memanggil agen anak buahnya yang bertugas di dekat lokasi itu untuk segera menjemputnya. Hanya dalam hitungan menit, Anton--anak buah Dev itu datang d
Sedikit berjalan pincang sambil memegangi punggungnya, perempuan itu memaksakan diri untuk berjalan keluar ruangan. Dia tidak menjawab pertanyaan Dev, namun hanya memberikan gerakan isyarat melalui telunjuknya agar Dev tetap di tempat. Juga seolah memberitahu kalau dia akan segera kembali. Dan entah bagaimana, sikap perempuan misterius itu membuat Dev termangu. Hingga tak lama setelahnya, perempuan itu pun kembali dengan penampilan yang membuat bola mata Dev membulat kaget. Tubuh perempuan itu kini hanya berbalut dress putih selutut. Tidak lagi memakai jaket dan celana putih tadi. Rambut putih bergelombangnya tetap diikat tinggi. Tidak. Tentu bukan itu semua yang membuat Dev kaget. Tapi saat Dev menyadari kalau perempuan ini ... ternyata tidak pakai bra. Siapapun bisa melihat itu karena dress itu bahannya tipis. Astaga! Oke. Dev memang sudah sering melihat perempuan tidak tahu malu di dunia ini. Tapi bukannya tergiur, justru Dev merasa
Perubahan aura perempuan itu seketika dirasakan Dev. Hawa kemarahan yang kuat, bercampur dengan rasa takut. Dev bisa merasakan itu melalui raut ekspresi dari Eve. "Mengapa cecunguk-cecunguk itu ingin mengincar tempat tinggal kalian? Dan bagaimana mungkin kalian tidak melapor pada pihak berwajib?" tanya Dev to the point dan tegas. Eve terlihat mengembuskan napasnya dengan sangat gusar. Seolah ada beban besar mengganjal dadanya yang sulit dikeluarkan begitu saja. "Entahlah." Eve mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. Jeda menarik napas, Eve lantas memalingkan wajah kearah Dev dan melanjutkan ucapannya. "Lagipula itu tidak penting buatmu untuk tahu, kan? Orang luar sepertimu seharusnya tidak perlu terlibat jauh dengan masalah kami," tandas Eve dingin. Ucapan dingin itu tanpa sadar menarik satu simpulan senyum di bibir Dev. Karena ini pertama kalinya ada perempuan yang bersikap dingin kepada Dev. "Aku hanya memberikanmu saran ya
"Jadi bagaimana, hum? Kalau kau setuju, besok kita bisa berangkat." Dev sedikit mendekat, lalu mencondongkan tubuh kepada Eve yang duduk di hadapannya. Memasang senyum ramah yang Eve yakin kalau itu adalah senyum pencitraan Dev. Sungguh, rasanya Eve ingin melempar gelas minum yang ia genggam ke wajah Dev--kalau seandainya tidak ada Neneknya disitu. "Aku--" "Nenek, kuenya sudah jadi!" Tiba-tiba muncul satu anak perempuan remaja membawa baki berisi beberapa kue kering yang sepertinya baru diangkat dari pemanggangan di ruang dapur. Nenek lantas terkekeh sekilas, lalu hendak bangkit dari duduknya. Lalu meraih baki itu untuk disuguhkan kepada Dev. "Ini kue buatan nenek. Baru matang. Silahkan dinikmati selagi kalian mengobrol--" "Sepertinya tidak perlu, Nek." potong Eve cepat. "Alangkah baiknya Pak Fotografer harus cepat pulang sebelum larut malam. Akan sangat bahaya diluar saat malam." Lalu Eve menoleh kepada Dev. "Benar begitu kan, Pak Fot
Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev. Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve. Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev. Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya. "Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar." Usai Dev mengatakan itu, kepala
Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama. Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari. Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja. Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam. Mimpi itu cuku
Ternyata memang benar yang dikatakan mereka. Penjagaan di gedung itu sedang diperlemah. Eve merasakan kalau CCTV di sepanjang lorong di lantai tempat ruangan Eve berada itu tidak aktif. Karena kalau memang aktif, sudah dari tadi para penjaga memergoki Eve. Atau mungkin bisa saja para penjaga CCTV juga bersekongkol dengan para agen untuk mengabaikan penjagaan. Eve masih belum bisa memastikan itu, dan memilih untuk tidak peduli. Dari pada memikirkan semua itu, Eve lebih baik mencari cara agar bisa keluar dari sini. Sambil menunggu dua pria itu keluar dari toilet. "Eh bentar deh. Kayaknya tadi pintu ini nggak nutup deh! Apa ada orang? Tapi kok aku nggak denger langkah orang masuk, ya?" heran salah seorang pria itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bilik yang ditempati Eve bersembunyi. "Hallo???" 'Cklek cklek!' Satu pria lainnya kemudian mencoba membuka pintu bilik itu. "Dikunci dari dalam. Berarti memang ada orang. Tapi kok sepi ya?" Merasa curiga, du