Dev menatap lekat-lekat ke manik mata Max. "Perempuan berambut putih? Atau berambut pirang? Kedua hal itu jelas berbeda. Kau yakin kalau dia berambut putih?"
Max mengangguk. "Dia berambut putih. Kulitnya juga sangat putih. Dia seperti bukan manusia. Bukan seperti bule yang berambut pirang."
Kerutan di dahi Dev pun makin bertambah. Seiring dengan bola matanya yang melotot antusias. "Kau melihat wajahnya? Atau sempat mengambil gambarnya?"
Max menggeleng. "Aku tak sempat melihat wajahnya. Dan dia menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya."
Mendengar penjelasan itu membuat helaan napas keluar dari Budiman. "Lalu bagaimana kau bisa sampai dihajar begini?"
"Aku ..." Max menelan ludah. "Dia menyerang kakiku dari belakang dan--"
"Oh come on, Max." Devlin mendesah. "Dia perempuan kan? Bagaimana bisa kau kalah? Kau ini seorang agen laki-laki yang terlatih! Masa kau kalah dengan seorang perempuan warga sipil biasa? Buat malu saja!"
"Dev ... Sudahlah ..." Budiman berusaha menenangkan Dev.
Kepala Dev menggeleng kuat. Tampak jelas dari raut wajahnya menyiratkan kekecewaan. Sedangkan Max hanya bisa menunduk, merasa bersalah.
"Sekarang ..." Dev menarik lengan Budiman. "Kamu antar Max ke rumah sakit. Setelahnya, kamu bawa Max dan teman-teman tim Max kembali pulang ke markas."
Max terkesiap. "Apa? Tapi aku--"
"Ini perintah!" tandas Dev tanpa ampun. Kemudian ia pun melepaskan jam tangan yang dikenakan Max dengan cepat.
Beberapa detik selanjutnya, Dev mengamati jam tangan itu. Memindai lokasi terakhir dimana Max bertemu dengan perempuan itu. Lalu membalikkan badan dan keluar dari ruangan itu begitu saja tanpa kata.
"Dev ..." lirih Budiman saat menatap punggung Dev menghilang dibalik pintu.
Kalau Dev sudah bersikap seperti itu, Budiman sekalipun tidak akan berani memanggilnya lagi. Jelas, kalau Dev benar-benar sangat marah.
**
Tidak butuh waktu panjang bagi Dev untuk sampai ke lokasi tempat Max bertemu perempuan itu. Dan Dev hanya butuh penyamaran kacamata untuk menutupi idenditasnya.Dev sendiri cukup kaget, karena lokasi yang ditunjukkan di jam tangan Max mengarah kemari. Ke pemakaman umum di perbatasan kota.
Semakin curiga, Dev segera menelusuri tempat pemakaman itu. Tidak peduli hari sudah menjelang petang. Toh, Dev punya penerangan lampu senter dan seperangkat alat canggih lainnya yang tersimpan di jaket yang ia kenakan.
Beberapa menit menelusuri tempat sunyi itu, herannya Dev tidak mendapatkan petunjuk apapun. Tidak ada galian baru yang mencurigakan. Taburan bunga kematian di sekitar situ juga tidak ada yang baru.
Ini aneh. Untuk apa perempuan itu ke pemakaman kalau tidak ada kerabat yang dikunjungi?
Dev menolehkan kepala ke arah lain. Menebar pandangan ke penjuru sisi pagar pembatas area pemakaman yang bagian atasnya tertutupi pagar kawat berduri.
Itu aneh. Tidak seharusnya area pemakaman dibatasi pagar berbahaya seperti itu, kan? Kecuali kalau ... Ada yang dilindungi dari tempat ini. Atau ... ada tempat di sisi seberang area pemakaman yang dilindungi.
Seingat Dev saat dia dalam perjalanan kemari, area pemakaman itu menghadap utara. Di sisi timur dan barat pemakaman itu hanya ada hamparan sawah. Sedangkan di sisi sebelah selatan pemakaman, Dev tidak tahu ada apa di sebelah sana.
Maka tanpa banyak pertimbangan, Dev mengecek sisi seberang area pemakaman sebelah selatan. Dengan menaiki satu dahan pohon yang berdiri di dekat tembok timur itu.
Dari atas pohon, Dev bisa melihat sisi selatan dengan jelas. Ternyata di seberang tembok selatan ada hamparan dataran dan semak belukar. Lalu seratus meter dari sana, terlihat ada satu kebun luas yang ditumbuhi pepohonan yang cukup tinggi.
Dan samar-samar, Dev juga melihat sedikit cahaya gemerlap di ujung kebun sana. Dari situ Dev cukup yakin kalau dibalik kebun itu ada permukiman. Entah permukiman apa, Dev sama sekali tidak tahu. Sepertinya permukiman itu sudah bukan wilayah bagian kota P lagi.
Dan ketika Dev hendak melompat untuk melewati pagar kawat melalui dahan pohon, tiba-tiba penglihatan Dev sedikit terganggu dengan adanya seberkas cahaya silau dari kejauhan. Dev langsung sadar, kalau itu adalah ulah seseorang yang dengan sengaja memberi peringatan pada Dev. Itu pasti ...
"Whoops!"
Sebelum sempat Dev menduga, mendadak sebuah peluru kelereng melesat kearahnya. Serangan itu berasal dari arah yang sama dengan sinyal cahaya peringatan itu. Dari arah kebun yang berada di seberang tembok pembatas itu.
SET!
Dev yang cukup antisipasi pun segera menghindar sambil memantulkan kembali kelereng itu dengan pisau yang ia ambil dari balik kantung jaketnya.
TANG!
Bentrokan suara pisau dan kelereng itu pun menimbulkan suara yang kencang.
"Aduh!" Terdengar rintihan suara menggema dari arah kebun itu. Sepertinya pantulan kelereng Dev itu tepat mengenai orang yang menembakkan kelereng itu.
Tidak mudah menemukan keberadaan seseorang di kebun itu dalam keadaan gelap. Tapi Dev tidak kehilangan akal. Dia segera mengambil kamera termal untuk mendeteksi keberadaan seseorang di kegelapan.
Namun, karena Dev terlalu berfokus pada alatnya, ia tidak mengantisipasi kemunculan seseorang yang tiba-tiba. Tepat di hadapannya.
WUSSHH!
"Astaga!" pekik Dev terkejut bukan main.
Dari balik tembok bawah pagar kawat, muncul perempuan berambut putih itu. Dia melompat dengan bertumpu pada dinding. Sementara satu tangannya bersiap melayangkan senjata berupa pipa besi kepada Dev.
'Tunggu! Apa perempuan ini dari tadi bersembunyi di balik tembok bawah?' batin Dev terhenyak.
Sekilas Dev melihat semak-semak yang cukup tinggi di balik tembok itu. Dev tidak menyangka kalau perempuan itu dari tadi mengintainya dari jarak yang dekat. Memang terkadang, titik persembunyian terdekat bisa menjadi titik buta yang tidak pernah disangka oleh musuh.
Hanya ada satu alasan mengapa perempuan itu bisa tiba-tiba muncul seperti ini. Kemungkinan besar dia pasti sudah tahu kalau Dev bakal datang mencarinya.
"Hiyaaaa!" teriak perempuan itu dengan lantang.
Tidak seperti penyerangan Max sebelumnya, perempuan itu terang-terangan menyerang Dev dari depan. Dalam hati Dev cukup mengapresiasi keberanian perempuan itu.
"Hup!" Menghindari serangan perempuan itu, Dev refleks melompat turun dari pohon.
Masih dalam posisi melayang di udara, perempuan itu masih berusaha menghujamkan senjata pipanya ke kaki Dev.
Nyaris terkena, Dev refleks mengamankan kaki dengan mengarahkan kakinya ke punggung perempuan itu. Agar Dev bisa menendang perempuan itu ke bawah.
DUAGG!
"Arrghh!"
Dev memang berhasil melancarkan tendangan kuat ke punggung sang gadis, hingga perempuan itu tersungkur ke tanah. Tapi disaat yang sama, Dev juga merasakan kesakitan luar biasa di tempurung kakinya.
Dev tidak tahu kalau ternyata dibalik punggung gadis itu tersimpan senjata pipa-pipa besi yang sangat keras. Dan naasnya, kaki Dev menendang tepat pipa-pipa besi itu. Bayangkan sakitnya bagaimana!
"Aahh ..." Dev mendesah sakit.
Tidak kuat dengan rasa sakit di tempurung kakinya, Dev pun kehilangan keseimbangan untuk mendarat dengan benar. Hingga ia pun ikut jatuh tersungkur dan menimpa tubuh gadis itu.
BRUK!
Sejenak dunia seperti berhenti berputar. Itu saat mereka jatuh bersama.
"Sshh ..."
Perempuan itu tampak meringis. Mencoba membuka pelan kelopak matanya. Lalu melotot ketika mendapati Dev menimpa tubuhnya.
"Astaga!! Lepas!! Ugh!!" Gadis itu meronta sembari berusaha mendorong dada Dev agar pria itu bangkit dari tubuhnya.
Dev yang masih belum sepenuhnya sadar itu mendongakkan wajah. Mengerjapkan kelopak matanya yang sedikit mengabur.
Dan ketika penghilatannya mulai normal, bola mata Dev sontak melebar saat mendapati pemandangan buah dada yang terpampang nyata di depannya.
Dari situlah Dev baru sadar kalau ternyata dia baru saja mendaratkan wajahnya tepat di antara belahan dada gadis itu. Hal itulah yang kemudian memunculkan semburat merah di wajah Dev.
"Argh lepaaass!!" Teriakan perempuan itu semakin menjadi-jadi.
Teriakan gadis itu sontak menarik kembali akal waras Dev. Dev seketika ingat akan tugasnya.
Dev pun dengan sigap dan cepat mengunci persendian tangan dan kaki sang gadis, mencegah agar tidak kabur. Tak lupa Dev juga merampas tongkat pipa besi di genggaman gadis itu.
Dan dengan penuh kebencian, Dev menarik kasar masker yang menutup wajah perempuan itu. Sampai talinya terbeletot dan mengenai mata beriris coklat kekuningan itu. Membuat perempuan itu meringis kesakitan.
"Aduh!"
Itulah Dev. Selagi mereka penjahat--tidak peduli perempuan maupun laki-laki, Dev akan tetap memperlakukan mereka sama.
Jeda sedetik kemudian, satu jari Dev lantas menekan tombol di gagang kacamatanya. Mengambil gambar wajah perempuan itu.
Untuk beberapa saat, pandangan mereka bertemu sepersekian detik. Dev mengamati detail wajah perempuan itu. Lalu turun ke bagian tubuh lainnya dari perempuan itu.
Dan dari situlah Dev baru menyadari ada keanehan pada wajah dan fisik perempuan yang ia tindih ini.
Wajah gadis itu putih pucat. Seperti orang sakit. Rambutnya juga sama pucatnya. Dan tidak hanya itu saja. Alis, bulu mata, bahkan sekujur tubuhnya putih. Hanya manik matanya yang sedikit memiliki pigmen kuning pucat.
'Ternyata benar ucapan Max. Dia bukan pirang. Tapi warna rambutnya benar-benar putih! Sebenarnya apa dia?' batin Dev bertanya-tanya.
"Kau ..." kata Dev dengan suara menggeram. "Kau perempuan yang tadi menghajar kaki anak buahku, hum?"
"Argh!" Perempuan itu mengerang saat Dev menghujamkan beban tubuh lebih keras padanya. Lalu matanya terpejam rapat saat Dev mengarahkan senter ke wajahnya.
"Jadi itu kacungmu??" ejek perempuan itu. Namun masih memejamkan mata.
Hidung Dev kembang kempis, menahan amarah. Sungguh, Dev sangat tidak suka cara bicara perempuan itu. Terkesan sangat angkuh.
Apalagi saat perempuan itu memalingkan wajah dan masih memejamkan mata saat berbicara, Dev merasa direndahkan dan tidak dihargai.
Dev menggeram lebih hebat. "Hoi!! Jawab--"
"Kakak!! Kakak!!"
SREK! SREK!
Tiba-tiba Dev menangkap suara sayup-sayup mendekat. Disertai langkah kaki beberapa orang yang menyibak rumput.
Menengok sumber suara, ternyata itu sekelompok anak-anak remaja laki-laki dan perempuan usia belasan tahun. Bahkan beberapa ada yang masih dibawah umur sepuluh. Anak-anak sekecil ini ... mau apa mereka?
Yang mengejutkan, jumlah mereka yang berdatangan itu cukup banyak. Mungkin terhitung dua puluhan. Dan jumlahnya terus bertambah karena mereka terus berdatangan.
Mereka datang dari tembok sebelah timur. Itu cukup mengherankan. Dev pikir mereka datang berbondong-bondong dari arah selatan--tempat kebun itu berada.
Dev lebih penasaran bagaimana mungkin mereka bisa cepat datang dalam jumlah yang sangat banyak dari arah sana?
Padahal Dev sudah sangat yakin kalau di sekitar area pemakaman betul-betul tidak ada orang. Dari kamera termal yang diarahkan ke kebun, Dev hanya menampilkan beberapa siluet orang saja.
Fix, mereka pasti punya semacam jalan tikus rahasia--yang menjadi penghubung ke tempat lain. Dev akan mencari tahu itu nanti.
"Hei! Siapa kamu? Lepaskan kakak kami!!" sahut satu anak remaja pria itu seraya mengacungkan senjata pipa besi yang serupa dengan milik perempuan itu.
Walau samar, Dev bisa melihat penampilan anak-anak itu. Rata-rata dari mereka berpakaian gelap dan berjaket. Bermasker juga. Senjata mereka berbeda-beda. Tapi bukan senjata api. Melainkan senjata ala kadarnya seperti pipa besi, ketapel, kayu panjang. Persis seperti anak gerombolan nakal.
'Apa ini anak-anak didik Yongkie?' Dev membatin, memicing curiga.
Sedikit lengah karena melamunkan dugaan itu, Dev tidak menyadari kalau ada satu anak yang bersiap membidik kepalanya.
Ya. Satu anak yang satu-satunya menggunakan senjata ketapel itu melesatkan peluru kelereng kepada Dev. Oh, rupanya dia yang membidik kelereng ke arah Dev tadi.
Dev berusaha menghindar, tapi gagal karena rasa sakit di tempurung kakinya yang terluka tadi itu kambuh. Rasa sakit itu membatasi gerak Dev.
Dan tak ayal, kepala Dev terkena telak.
DUGG!
"Argh!" erang Dev.
Begitu Dev lengah, perempuan berambut putih itu memanfaatkan kesempatan untuk melepaskan diri dari kungkungan Dev.
"Lari, Kak! Lari!" Salah satu anak gerombolan berlarian menarik perempuan itu untuk ikut kabur.
Sementara anak-anak lainnya langsung bergerak cepat mengeroyok Dev.
"Tahan diaaa!!"
"Yaaa!!"
BRUK!
Mereka mengepung tidak untuk menghajar Dev, tapi hanya mendorong tubuh Dev hingga terjerembab di tanah. Dua puluh anak itu menindih tubuh Dev secara bersamaan.
"Arrgghh!" Dev mengerang saat bobot tubuh mereka semakin menghimpitnya.
Walau tubuh Dev dewasa dan kekar, tapi kalau ditindih anak sebanyak itu juga dia akan sedikit kewalahan untuk bangkit. Dan kalau ditindih seperti itu terus, bisa-bisa tubuh Dev akan jadi gepeng.
Rupanya mereka hanya ingin menahan Dev agar tidak mengejar perempuan yang dipanggil mereka 'kakak' itu. Dan mereka pasti sengaja melakukan itu untuk mengulur waktu sebentar, memberi waktu agar gadis itu bisa kabur.
Tapi, bukan Dev namanya kalau menyerah begitu saja. Meski dalam keadaan terjepit, Dev tetap berusaha meraih perempuan itu.
"Hoi! Jangan kabur!"
Berusaha mengejar, Dev sebisa mungkin merangkak. Meraih kaki perempuan itu. Menyempatkan untuk menyelipkan alat pelacak anti deteksi logam yang berukuran sebiji kacang itu ke kain celana panjang di bagian dalam milik perempuan itu.
**
To be continued.Setelah memastikan perempuan itu aman dan sudah kabur, anak-anak itu bergegas melarikan diri dengan cepat. Lari ke segala arah. Dan sebelum Dev sempat mengejar dan menangkap salah satu diantara mereka, tiba-tiba muncul beberapa warga dan petugas keamanan sekitar. Datang dari pintu utara dan berbondong-bondong membawa alat dapur seadanya. "Dasar anak-anak berandal! Pergi! Jangan membuat keributan disini!" Itu suara sahutan keributan dari warga saat menghardik anak-anak remaja itu. Dev yang menyadari kedatangan warga itu pun tak urung juga ikut kabur. Tentunya sebagai agen rahasia yang sedang bertugas, idenditas dan keberadaaannya jangan sampai diketahui warga sipil manapun. Dengan susah payah, Dev berusaha menyeret kakinya dan melompati pagar selatan. Dan tak lupa pula Dev juga menyempatkan waktu memanggil agen anak buahnya yang bertugas di dekat lokasi itu untuk segera menjemputnya. Hanya dalam hitungan menit, Anton--anak buah Dev itu datang d
Sedikit berjalan pincang sambil memegangi punggungnya, perempuan itu memaksakan diri untuk berjalan keluar ruangan. Dia tidak menjawab pertanyaan Dev, namun hanya memberikan gerakan isyarat melalui telunjuknya agar Dev tetap di tempat. Juga seolah memberitahu kalau dia akan segera kembali. Dan entah bagaimana, sikap perempuan misterius itu membuat Dev termangu. Hingga tak lama setelahnya, perempuan itu pun kembali dengan penampilan yang membuat bola mata Dev membulat kaget. Tubuh perempuan itu kini hanya berbalut dress putih selutut. Tidak lagi memakai jaket dan celana putih tadi. Rambut putih bergelombangnya tetap diikat tinggi. Tidak. Tentu bukan itu semua yang membuat Dev kaget. Tapi saat Dev menyadari kalau perempuan ini ... ternyata tidak pakai bra. Siapapun bisa melihat itu karena dress itu bahannya tipis. Astaga! Oke. Dev memang sudah sering melihat perempuan tidak tahu malu di dunia ini. Tapi bukannya tergiur, justru Dev merasa
Perubahan aura perempuan itu seketika dirasakan Dev. Hawa kemarahan yang kuat, bercampur dengan rasa takut. Dev bisa merasakan itu melalui raut ekspresi dari Eve. "Mengapa cecunguk-cecunguk itu ingin mengincar tempat tinggal kalian? Dan bagaimana mungkin kalian tidak melapor pada pihak berwajib?" tanya Dev to the point dan tegas. Eve terlihat mengembuskan napasnya dengan sangat gusar. Seolah ada beban besar mengganjal dadanya yang sulit dikeluarkan begitu saja. "Entahlah." Eve mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. Jeda menarik napas, Eve lantas memalingkan wajah kearah Dev dan melanjutkan ucapannya. "Lagipula itu tidak penting buatmu untuk tahu, kan? Orang luar sepertimu seharusnya tidak perlu terlibat jauh dengan masalah kami," tandas Eve dingin. Ucapan dingin itu tanpa sadar menarik satu simpulan senyum di bibir Dev. Karena ini pertama kalinya ada perempuan yang bersikap dingin kepada Dev. "Aku hanya memberikanmu saran ya
"Jadi bagaimana, hum? Kalau kau setuju, besok kita bisa berangkat." Dev sedikit mendekat, lalu mencondongkan tubuh kepada Eve yang duduk di hadapannya. Memasang senyum ramah yang Eve yakin kalau itu adalah senyum pencitraan Dev. Sungguh, rasanya Eve ingin melempar gelas minum yang ia genggam ke wajah Dev--kalau seandainya tidak ada Neneknya disitu. "Aku--" "Nenek, kuenya sudah jadi!" Tiba-tiba muncul satu anak perempuan remaja membawa baki berisi beberapa kue kering yang sepertinya baru diangkat dari pemanggangan di ruang dapur. Nenek lantas terkekeh sekilas, lalu hendak bangkit dari duduknya. Lalu meraih baki itu untuk disuguhkan kepada Dev. "Ini kue buatan nenek. Baru matang. Silahkan dinikmati selagi kalian mengobrol--" "Sepertinya tidak perlu, Nek." potong Eve cepat. "Alangkah baiknya Pak Fotografer harus cepat pulang sebelum larut malam. Akan sangat bahaya diluar saat malam." Lalu Eve menoleh kepada Dev. "Benar begitu kan, Pak Fot
Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev. Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve. Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev. Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya. "Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar." Usai Dev mengatakan itu, kepala
Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama. Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari. Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja. Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam. Mimpi itu cuku
Ternyata memang benar yang dikatakan mereka. Penjagaan di gedung itu sedang diperlemah. Eve merasakan kalau CCTV di sepanjang lorong di lantai tempat ruangan Eve berada itu tidak aktif. Karena kalau memang aktif, sudah dari tadi para penjaga memergoki Eve. Atau mungkin bisa saja para penjaga CCTV juga bersekongkol dengan para agen untuk mengabaikan penjagaan. Eve masih belum bisa memastikan itu, dan memilih untuk tidak peduli. Dari pada memikirkan semua itu, Eve lebih baik mencari cara agar bisa keluar dari sini. Sambil menunggu dua pria itu keluar dari toilet. "Eh bentar deh. Kayaknya tadi pintu ini nggak nutup deh! Apa ada orang? Tapi kok aku nggak denger langkah orang masuk, ya?" heran salah seorang pria itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bilik yang ditempati Eve bersembunyi. "Hallo???" 'Cklek cklek!' Satu pria lainnya kemudian mencoba membuka pintu bilik itu. "Dikunci dari dalam. Berarti memang ada orang. Tapi kok sepi ya?" Merasa curiga, du
Mustahil bagi Eve untuk kabur saat ini. Tapi dia pantang menyerah. Sebisa mungkin Eve menyeret satu kakinya yang terluka itu, berjalan lambat dan terseok-seok. Mencoba peruntungannya, Eve mencoba untuk nekat. Berencana kabur dengan menjatuhkan dirinya pada tenda atap yang kebetulan berada di bawah gedung yang dipijaknya. Mungkin agak beresiko, tapi itu adalah cara yang paling cepat untuk menghindar dari Dev saat ini, mengingat kondisi kakinya tidak begitu memungkinkan untuk turun melalui tangga atau melompat. Tapi Eve kalah cepat. Dev sudah lebih dahulu menarik bagian belakang pakaian Eve. Dan menghempaskan kembali tubuh perempuan itu hingga kembali ke posisi semula. "Berhentilah melawan dan menyusahkanku, Eve! Atau aku tidak akan segan lagi padamu!" hardik Dev. Bola mata Eve seketika mengabur. Masih dalam posisi tengkurapnya. Menangis, antara menahan rasa sakit dari kaki, dan marah karena ucapan Dev barusan. "Kalau kamu tidak ingin susah, leb