Share

4. Misi Menangkap Perempuan?

Kesempatan jarang datang dua kali. Itulah yang Dev yakini. Maka dengan penuh kepercayaan diri, Dev pun menyetujui penawaran itu tanpa berpikir dua kali.

Lewat jalur talenta, Dev lebih cenderung mendapat sorotan. Karena tidak banyak yang bisa ditarik melalui jalur itu. Namun bukan berarti jalur talenta bakal menjamin masuk. Tetap saja ada tes tersendiri di jalur talenta. Dan yang pastinya cukup selektif.

Tidak hanya kemampuan intelegensi, fisik dan stamina juga menjadi pertimbangan. Bersyukur Dev membawa gen baik dari Ayahnya yang memiliki tinggi badan yang memenuhi standar. Tapi tidak dengan berat badannya yang terlalu kurus. Postur tubuh juga kurang menarik.

Dan tubuh yang kurang ideal itu nyatanya cukup berpengaruh bagi kelancaran latihan fisik yang Dev jalani sekarang.

"Cengkraman tanganmu kurang kuat, Dev! Cobalah untuk memaksimalkan tenagamu!"

Itu teriakan dari Pak Marco. Sudah lebih dari belasan kali Dev mendengar suara teriakan itu dari bawah sana.

Sambil berusaha meraih satu batu di tebing batu, Dev mencoba menaikkan kakinya agar tubuhnya tetap seimbang. Lalu mempererat cengkraman sesuai perintah Pak Marco.

"Argh siaaal!!"

Alih-alih ingin menahan kekuatan cengkraman, telapak tangan Dev selip karena licin oleh keringat. Tak ayal, keseimbangan Dev terganggu dan ia pun jatuh. Kalau tidak ada tali penahan yang menahan perutnya, mungkin tubuh Dev benar-benar terhempas kebawah.

Pak Marco lantas menghampiri Dev yang kini menggantung lemas.

"Lumayan. Kau sudah memanjat setengah meter lebih tinggi dari kemarin. Tapi itu masih jauh dari standar kita. Jadi kau harus berusaha lebih keras lagi, Dev."

Kepala Dev mendongak malas menatap Pak Marco. Dan sekilas bibirnya mendecak. Menunjukkan ekspresi kesal.

"Lagipula kenapa sih Bapak melatihku memanjat tebing batu kemiringan hampir 90 derajat? Tesnya kan hanya pakai papan panjat biasa!" omel Dev memasang wajah cemberut.

TUK!

Satu ketukan keras dari penggaris plastik yang digenggam Pak Marco itu seketika mendarat di kening Dev.

"Nggak usah protes kalau kamu pengen lolos dan unggul dari yang lain! Kamu harusnya bersyukur karena dapat pelatihan langsung anggota intel legend seperti aku!" ujar Bapak kepala empat puluh itu jumawa.

Sebelum Dev hendak menapakkan satu kakinya untuk mendarat ke bawah, Pak Marco lebih dulu melesatkan pisau keatas hingga tali tambang itu putus. Tubuh Dev pun melesat kebawah dengan cepat.

SEETT!

"Pak!!" Dev berteriak panik.

Tepat saat pisau itu tertancap di dinding tebing, Dev refleks mendaratkan kaki dengan gerakan yang tepat. Mencondongkan tubuhnya kedepan dan mendarat dengan satu kaki tertekuk, dengan dua tangannya yang menahan kebawah demi menghindari cidera.

"Hahaha! Refleks yang bagus! Kau sudah lumayan bisa menerapkan teknik mendarat yang benar!" kelekar Pak Marco seraya membantu Dev bangkit.

Dev yang masih shock itu tentu saja masih bergetar ketakutan. Kakinya seperti mati rasa. Siapa yang tidak jantungan saat tiba-tiba terjun bebas dari ketinggian hampir dua meter seperti itu?

Untuk memulihkan tenaga, Dev menyambar satu botol air mineral dari dalam ransel yang ia gantung di satu dahan pohon. Lalu duduk bersandar di satu batu sambil meneguk air itu cepat hingga tandas.

"Makan ini, Dev." Pak Marco lagi-lagi mengagetkan Dev ketika beliau menyodorkan satu bongkah daging kelinci hasil panggangannya di api unggun.

Dev menatap aneh seenggok daging di tangannya. Yang mana itu mengundang satu pertanyaan lagi dari Pak Marco.

"Kamu nggak alergi daging kelinci, kan?" gurau Pak Marco sembari terkekeh.

Candaan itu lantas menarik satu senyuman di wajah Dev. Juga gelengan di kepalanya. "Nggak kok, Pak. Makasih."

"Kamu perlu lebih banyak mengkonsumsi protein untuk menaikkan massa otot. Supaya tubuh kamu nggak tipis lagi. Hahaha!"

Dev ikut tertawa menanggapi beliau. Lalu mulai mencomot daging itu dengan penuh semangat.

Memiliki berat badan ideal dan postur tubuh yang baik tentu tidak bisa dilakukan secara instan. Dev tahu itu.

Dan Dev juga sangat paham bahwa semua latihan keras yang Dev dapatkan dari Pak Marco ini semata-mata demi mendapatkan kriteria tubuh dan stamina sesuai standar.

Yah, walaupun latihan Pak Marco lebih ekstrim dan super melelahkan dibandingkan dengan anggota senior lainnya yang mempersiapkan calon peserta didik di tempat latihan gym, bagi Dev tidak masalah. Justru Dev makin tertantang.

Seperti yang disampaikan Pak Marco. Berlatih di alam bebas seperti ini juga tentunya menantang adrenalin dan mampu membentuk tubuh serta stamina seseorang secara lebih alami.

Dan benar saja. Ucapan Pak Marco terbukti nyata setelah Dev masuk di sekolah intelijen itu. Berkat latihan keras bersama beliau, kemampuan dan daya tahan tubuh Dev jauh lebih tahan banting dibanding calon agen lain.

Apalagi sekarang, semejak Dev lulus dari sekolah itu dan ditarik untuk bekerja langsung di Badan Intelijen, Dev jadi semakin terlatih melakukan latihan fisik. Tidak heran kalau bentuk tubuhnya yang sekarang menjadi semakin baik.

Tak hanya berat ideal, lekuk tubuhnya juga kian terbentuk sempurna. Otot abdomen yang tercetak genap, tonjolan bisep dan trisep yang sangat maskulin. Kulit tubuhnya pun eksotis coklat mengkilap. Nyaris seperti pahatan Dewa Yunani. Benar-benar tubuh idaman.

Yang pasti perubahan fisik Dev otomatis juga diimbangi dengan tuntutan perawatan tubuh dan wajah yang lebih juga. Dev yang sejatinya memiliki garis wajah yang tegas dari sang Ayah dan proposi bentuk mata yang tajam, hidung mancung, dan bibir tipis mengkilap dari gen sang Ibu, membuatnya tidak cukup sulit melakukan treatment sederhana untuk mendapatkan wajah yang tampan sempurna dari sebelumnya. Ditunjang dengan perbaikan penampilan yang lebih stylish, maka sempurnalah penampilan Dev.

Dan tentu figur dewasa Dev yang sekarang sangat jauh dari penampakan anak culun dan kerempeng saat Dev masih SMA lima tahun yang lalu.

**

"Mau sampai kapan kamu ngaca terus, Dev? Heran, tiap hari kacaaa terus yang ditonton!"

Teguran itu datangnya dari rekan kerja sesama agen intel, Budiman. Pria sebaya asal kota M itu menghampiri Devlin yang kini berdiri di depan kaca tempat gym.

Terlihat respon Devlin tampak acuh dengan teguran itu. Malah memilih mengusapi dada telanjangnya yang banjir keringat itu dengan handuk kecil. Dan Dev hanya menyunggingkan seringaian kecil sebagai jawaban.

Sedetik kemudian, satu tangannya terangkat cepat. Menangkap botol mineral yang dilempar oleh Budiman tanpa melihat kebelakang. Seolah tahu kemana arah botol itu mendarat. Insting Dev sudah terlatih dengan sangat baik. Budiman tidak heran dengan itu.

"Thanks." Dev sempat mengucapkan terimakasih pada Budiman sebelum air mineral di botol itu meluncur ke tenggorokannya.

Jeda hening sesaat, Budiman memanfaatkan jeda itu untuk duduk disebelah Dev.

"Kamu sadar kan, kalau kamu dilihatin mereka?" Manik mata Budiman bergeser ke sudut dimana ada tiga perempuan yang berdiri diluar jendela gym.

Tanpa menaruh minat untuk ikut melirik kearah yang sama, Dev hanya menjawab dengan anggukan samar, sambil melanjutkan menegak minumnya.

Mata Budiman sontak memicing. "Terus? Kamu biarin mereka ngelihatin badan setengah telanjang kamu?"

Masih dalam keadaan minum, Dev hanya memberi jawaban seringaian tipis yang Dev di bibirnya.

Hingga beberapa detik, sesaat Budiman menyadari satu dugaan di kepalanya tentang Dev, refleks ia mengerjapkan kelopak matanya.

"Tunggu! Jangan bilang ... sekarang kamu lagi tebar pesona sama mereka, karena kamu naksir sama salah satu dari mereka?"

Dev melotot saat tenggorokannya mendadak tercekat gegara hipotesa ngawur yang dilontarkan Budiman barusan.

BRUUUFFF!

Sontak semburan air minum yang sempat tertelan di mulut Dev pun muncrat. Sementara bola matanya pun melotot horor kepada Budiman.

Respon Dev tentu membuat Budiman terbahak. "Hahaha! Kenapa? Jangan-jangan bener, ya? Kamu suka sama salah satu agen cewek itu?"

Sambil mengelap mulutnya, Dev menggelengkan kepala dengan tegas.

"Sorry ya! Tebar pesona kayak gitu sama sekali bukan gayaku. Mereka aja yang emang suka ngintilin aku!"

Jeda membuang napas, Dev kembali melanjutkan. "Lagian, mereka juga bukan tipeku banget," tandasnya dingin.

Tiga perempuan yang mereka bicarakan adalah adik-adik angkatan yang baru saja ditarik ke badan intel beberapa waktu lalu.

Sambil menyeka air mata bekas tawa dengan ibu jarinya, Budiman pun membalas, "Seriously? Padahal menurutku mereka lumayan manis dan imut loh! Aku pernah liat mereka dandan cantik pas lagi ngejalani misi keluar!"

Dev memutar bola matanya. "Iya deh iya mereka cantik! Kalau ganteng ya cowok!" Lalu Dev sedikit membusungkan dada. "Kayak aku nih, ganteng!!" ucapnya jumawa.

Kepercayaan diri Dev tentunya berpengaruh terhadap perubahan ekspresi wajah Budiman yang mendadak seperti ingin muntah. Seiring dengan picingan mata Budiman yang menatap Dev agak ngeri.

"Tapi kalau dilihat-lihat ... Kamu emang nggak pernah kelihatan berteman sama cewek. Tiap ada misi, kamu juga nggak pernah mau di pairing sama cewek." Lalu Budiman sedikit menjauhkan diri. "Kamu ... normal kan, Dev?"

Makin melebarlah kelopak mata Dev. "Ya normal lah!!"

Budiman terkekeh miris. "Ya terus kenapa kamu kayak alergi cewek gitu hayo? Kita nih para cowok, biasanya suka demen kalau ngelakuin misi bareng cewek. Mayan lah dapet pemandangan mulus. Nah kamu malah minta jalanin misi bareng cowok terus? Jangan bilang kamu homo--"

"Sembarangan! Aku normal lah!!" Dev refleks melempar botol mineral kosong itu, yang langsung ditangkap cepat oleh Budiman.

"Hahahaha!" Tawa Budiman pun pecah melihat ekspresi tegang Dev. "Canda canda! Tegang amat kayak anak SMA yang lagi disetrap di lapangan! Hahaha!"

Sesaat setelah tawa itu mereda sedikit, Budiman kembali membuka suara agar Dev tidak berlanjut marah. "Nah terus kenapa? Kamu pasti punya alasan dong?"

Tegang di wajah Dev perlahan mengendur, tergantikan oleh satu garis senyuman remeh.

"Buat apa kerja sama cewek kalau kita bisa kerja cepet bareng cowok? Aku nggak mau misiku sampai berjalan nggak sempurna gara-gara cewek yang nggak begitu punya stamina dan keahlian yang sepadan sama kita para cowok!"

Jawaban itu sukses membuat seorang Budiman membeku sesaat. Dan Budiman yang kehabisan kata-kata pembelaan itu pun hanya bisa mengembuskan napas besar.

"Hmmm ... Iya juga sih. Apalagi kamu kan sering diarahkan ke misi yang riskan dan berbahaya."

Jeda menarik napas, Dev pun melanjutkan ucapannya. "Lagian ya, cewek itu gampang baper! Bukannya fokus ngelakuin misi, malah ngajak kencan! Gila nggak?"

Curhatan itu sontak menarik Budiman kembali berkelekar lebih kencang. Diikuti Dev yang juga ikut terpingkal-pingkal.

"Hahaha! Kapan? Siapa emang? Tiga cewek itu?"

"Iya--"

Canda tawa mereka sontak terputus saat Budiman tiba-tiba merentangkan tangannya. Itu karena ia mendengar suara pengumuman dari headset bluetooth yang terpasang di telinga Budiman.

"Eh! Kita disuruh ngambil misi buat besok ke Pak Marco," cicit Budiman memberitahu pesan itu.

"Misi baru ya ..." gumam Dev seraya mengelap bulir keringat di jidatnya.

"Yup." Budiman mengangguk. "Misi penyelidikan teror bom."

Dev manggut-manggut. Wajahnya terlihat santai. Seperti sudah menduga kalau dia akan mendapat misi itu.

"Tapi ... kita juga disuruh nangkep cewek ..."

Raut wajah Devlin sontak berubah kaget luar biasa. "Hah?? Cewek??"

**

To be continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status