Kesempatan jarang datang dua kali. Itulah yang Dev yakini. Maka dengan penuh kepercayaan diri, Dev pun menyetujui penawaran itu tanpa berpikir dua kali.
Lewat jalur talenta, Dev lebih cenderung mendapat sorotan. Karena tidak banyak yang bisa ditarik melalui jalur itu. Namun bukan berarti jalur talenta bakal menjamin masuk. Tetap saja ada tes tersendiri di jalur talenta. Dan yang pastinya cukup selektif.
Tidak hanya kemampuan intelegensi, fisik dan stamina juga menjadi pertimbangan. Bersyukur Dev membawa gen baik dari Ayahnya yang memiliki tinggi badan yang memenuhi standar. Tapi tidak dengan berat badannya yang terlalu kurus. Postur tubuh juga kurang menarik.
Dan tubuh yang kurang ideal itu nyatanya cukup berpengaruh bagi kelancaran latihan fisik yang Dev jalani sekarang.
"Cengkraman tanganmu kurang kuat, Dev! Cobalah untuk memaksimalkan tenagamu!"
Itu teriakan dari Pak Marco. Sudah lebih dari belasan kali Dev mendengar suara teriakan itu dari bawah sana.
Sambil berusaha meraih satu batu di tebing batu, Dev mencoba menaikkan kakinya agar tubuhnya tetap seimbang. Lalu mempererat cengkraman sesuai perintah Pak Marco.
"Argh siaaal!!"
Alih-alih ingin menahan kekuatan cengkraman, telapak tangan Dev selip karena licin oleh keringat. Tak ayal, keseimbangan Dev terganggu dan ia pun jatuh. Kalau tidak ada tali penahan yang menahan perutnya, mungkin tubuh Dev benar-benar terhempas kebawah.
Pak Marco lantas menghampiri Dev yang kini menggantung lemas.
"Lumayan. Kau sudah memanjat setengah meter lebih tinggi dari kemarin. Tapi itu masih jauh dari standar kita. Jadi kau harus berusaha lebih keras lagi, Dev."
Kepala Dev mendongak malas menatap Pak Marco. Dan sekilas bibirnya mendecak. Menunjukkan ekspresi kesal.
"Lagipula kenapa sih Bapak melatihku memanjat tebing batu kemiringan hampir 90 derajat? Tesnya kan hanya pakai papan panjat biasa!" omel Dev memasang wajah cemberut.
TUK!
Satu ketukan keras dari penggaris plastik yang digenggam Pak Marco itu seketika mendarat di kening Dev.
"Nggak usah protes kalau kamu pengen lolos dan unggul dari yang lain! Kamu harusnya bersyukur karena dapat pelatihan langsung anggota intel legend seperti aku!" ujar Bapak kepala empat puluh itu jumawa.
Sebelum Dev hendak menapakkan satu kakinya untuk mendarat ke bawah, Pak Marco lebih dulu melesatkan pisau keatas hingga tali tambang itu putus. Tubuh Dev pun melesat kebawah dengan cepat.
SEETT!
"Pak!!" Dev berteriak panik.
Tepat saat pisau itu tertancap di dinding tebing, Dev refleks mendaratkan kaki dengan gerakan yang tepat. Mencondongkan tubuhnya kedepan dan mendarat dengan satu kaki tertekuk, dengan dua tangannya yang menahan kebawah demi menghindari cidera.
"Hahaha! Refleks yang bagus! Kau sudah lumayan bisa menerapkan teknik mendarat yang benar!" kelekar Pak Marco seraya membantu Dev bangkit.
Dev yang masih shock itu tentu saja masih bergetar ketakutan. Kakinya seperti mati rasa. Siapa yang tidak jantungan saat tiba-tiba terjun bebas dari ketinggian hampir dua meter seperti itu?
Untuk memulihkan tenaga, Dev menyambar satu botol air mineral dari dalam ransel yang ia gantung di satu dahan pohon. Lalu duduk bersandar di satu batu sambil meneguk air itu cepat hingga tandas.
"Makan ini, Dev." Pak Marco lagi-lagi mengagetkan Dev ketika beliau menyodorkan satu bongkah daging kelinci hasil panggangannya di api unggun.
Dev menatap aneh seenggok daging di tangannya. Yang mana itu mengundang satu pertanyaan lagi dari Pak Marco.
"Kamu nggak alergi daging kelinci, kan?" gurau Pak Marco sembari terkekeh.
Candaan itu lantas menarik satu senyuman di wajah Dev. Juga gelengan di kepalanya. "Nggak kok, Pak. Makasih."
"Kamu perlu lebih banyak mengkonsumsi protein untuk menaikkan massa otot. Supaya tubuh kamu nggak tipis lagi. Hahaha!"
Dev ikut tertawa menanggapi beliau. Lalu mulai mencomot daging itu dengan penuh semangat.
Memiliki berat badan ideal dan postur tubuh yang baik tentu tidak bisa dilakukan secara instan. Dev tahu itu.
Dan Dev juga sangat paham bahwa semua latihan keras yang Dev dapatkan dari Pak Marco ini semata-mata demi mendapatkan kriteria tubuh dan stamina sesuai standar.
Yah, walaupun latihan Pak Marco lebih ekstrim dan super melelahkan dibandingkan dengan anggota senior lainnya yang mempersiapkan calon peserta didik di tempat latihan gym, bagi Dev tidak masalah. Justru Dev makin tertantang.
Seperti yang disampaikan Pak Marco. Berlatih di alam bebas seperti ini juga tentunya menantang adrenalin dan mampu membentuk tubuh serta stamina seseorang secara lebih alami.
Dan benar saja. Ucapan Pak Marco terbukti nyata setelah Dev masuk di sekolah intelijen itu. Berkat latihan keras bersama beliau, kemampuan dan daya tahan tubuh Dev jauh lebih tahan banting dibanding calon agen lain.
Apalagi sekarang, semejak Dev lulus dari sekolah itu dan ditarik untuk bekerja langsung di Badan Intelijen, Dev jadi semakin terlatih melakukan latihan fisik. Tidak heran kalau bentuk tubuhnya yang sekarang menjadi semakin baik.
Tak hanya berat ideal, lekuk tubuhnya juga kian terbentuk sempurna. Otot abdomen yang tercetak genap, tonjolan bisep dan trisep yang sangat maskulin. Kulit tubuhnya pun eksotis coklat mengkilap. Nyaris seperti pahatan Dewa Yunani. Benar-benar tubuh idaman.
Yang pasti perubahan fisik Dev otomatis juga diimbangi dengan tuntutan perawatan tubuh dan wajah yang lebih juga. Dev yang sejatinya memiliki garis wajah yang tegas dari sang Ayah dan proposi bentuk mata yang tajam, hidung mancung, dan bibir tipis mengkilap dari gen sang Ibu, membuatnya tidak cukup sulit melakukan treatment sederhana untuk mendapatkan wajah yang tampan sempurna dari sebelumnya. Ditunjang dengan perbaikan penampilan yang lebih stylish, maka sempurnalah penampilan Dev.
Dan tentu figur dewasa Dev yang sekarang sangat jauh dari penampakan anak culun dan kerempeng saat Dev masih SMA lima tahun yang lalu.
**
"Mau sampai kapan kamu ngaca terus, Dev? Heran, tiap hari kacaaa terus yang ditonton!"Teguran itu datangnya dari rekan kerja sesama agen intel, Budiman. Pria sebaya asal kota M itu menghampiri Devlin yang kini berdiri di depan kaca tempat gym.
Terlihat respon Devlin tampak acuh dengan teguran itu. Malah memilih mengusapi dada telanjangnya yang banjir keringat itu dengan handuk kecil. Dan Dev hanya menyunggingkan seringaian kecil sebagai jawaban.
Sedetik kemudian, satu tangannya terangkat cepat. Menangkap botol mineral yang dilempar oleh Budiman tanpa melihat kebelakang. Seolah tahu kemana arah botol itu mendarat. Insting Dev sudah terlatih dengan sangat baik. Budiman tidak heran dengan itu.
"Thanks." Dev sempat mengucapkan terimakasih pada Budiman sebelum air mineral di botol itu meluncur ke tenggorokannya.
Jeda hening sesaat, Budiman memanfaatkan jeda itu untuk duduk disebelah Dev.
"Kamu sadar kan, kalau kamu dilihatin mereka?" Manik mata Budiman bergeser ke sudut dimana ada tiga perempuan yang berdiri diluar jendela gym.
Tanpa menaruh minat untuk ikut melirik kearah yang sama, Dev hanya menjawab dengan anggukan samar, sambil melanjutkan menegak minumnya.
Mata Budiman sontak memicing. "Terus? Kamu biarin mereka ngelihatin badan setengah telanjang kamu?"
Masih dalam keadaan minum, Dev hanya memberi jawaban seringaian tipis yang Dev di bibirnya.
Hingga beberapa detik, sesaat Budiman menyadari satu dugaan di kepalanya tentang Dev, refleks ia mengerjapkan kelopak matanya.
"Tunggu! Jangan bilang ... sekarang kamu lagi tebar pesona sama mereka, karena kamu naksir sama salah satu dari mereka?"
Dev melotot saat tenggorokannya mendadak tercekat gegara hipotesa ngawur yang dilontarkan Budiman barusan.
BRUUUFFF!
Sontak semburan air minum yang sempat tertelan di mulut Dev pun muncrat. Sementara bola matanya pun melotot horor kepada Budiman.
Respon Dev tentu membuat Budiman terbahak. "Hahaha! Kenapa? Jangan-jangan bener, ya? Kamu suka sama salah satu agen cewek itu?"
Sambil mengelap mulutnya, Dev menggelengkan kepala dengan tegas.
"Sorry ya! Tebar pesona kayak gitu sama sekali bukan gayaku. Mereka aja yang emang suka ngintilin aku!"
Jeda membuang napas, Dev kembali melanjutkan. "Lagian, mereka juga bukan tipeku banget," tandasnya dingin.
Tiga perempuan yang mereka bicarakan adalah adik-adik angkatan yang baru saja ditarik ke badan intel beberapa waktu lalu.
Sambil menyeka air mata bekas tawa dengan ibu jarinya, Budiman pun membalas, "Seriously? Padahal menurutku mereka lumayan manis dan imut loh! Aku pernah liat mereka dandan cantik pas lagi ngejalani misi keluar!"
Dev memutar bola matanya. "Iya deh iya mereka cantik! Kalau ganteng ya cowok!" Lalu Dev sedikit membusungkan dada. "Kayak aku nih, ganteng!!" ucapnya jumawa.
Kepercayaan diri Dev tentunya berpengaruh terhadap perubahan ekspresi wajah Budiman yang mendadak seperti ingin muntah. Seiring dengan picingan mata Budiman yang menatap Dev agak ngeri.
"Tapi kalau dilihat-lihat ... Kamu emang nggak pernah kelihatan berteman sama cewek. Tiap ada misi, kamu juga nggak pernah mau di pairing sama cewek." Lalu Budiman sedikit menjauhkan diri. "Kamu ... normal kan, Dev?"
Makin melebarlah kelopak mata Dev. "Ya normal lah!!"
Budiman terkekeh miris. "Ya terus kenapa kamu kayak alergi cewek gitu hayo? Kita nih para cowok, biasanya suka demen kalau ngelakuin misi bareng cewek. Mayan lah dapet pemandangan mulus. Nah kamu malah minta jalanin misi bareng cowok terus? Jangan bilang kamu homo--"
"Sembarangan! Aku normal lah!!" Dev refleks melempar botol mineral kosong itu, yang langsung ditangkap cepat oleh Budiman.
"Hahahaha!" Tawa Budiman pun pecah melihat ekspresi tegang Dev. "Canda canda! Tegang amat kayak anak SMA yang lagi disetrap di lapangan! Hahaha!"
Sesaat setelah tawa itu mereda sedikit, Budiman kembali membuka suara agar Dev tidak berlanjut marah. "Nah terus kenapa? Kamu pasti punya alasan dong?"
Tegang di wajah Dev perlahan mengendur, tergantikan oleh satu garis senyuman remeh.
"Buat apa kerja sama cewek kalau kita bisa kerja cepet bareng cowok? Aku nggak mau misiku sampai berjalan nggak sempurna gara-gara cewek yang nggak begitu punya stamina dan keahlian yang sepadan sama kita para cowok!"
Jawaban itu sukses membuat seorang Budiman membeku sesaat. Dan Budiman yang kehabisan kata-kata pembelaan itu pun hanya bisa mengembuskan napas besar.
"Hmmm ... Iya juga sih. Apalagi kamu kan sering diarahkan ke misi yang riskan dan berbahaya."
Jeda menarik napas, Dev pun melanjutkan ucapannya. "Lagian ya, cewek itu gampang baper! Bukannya fokus ngelakuin misi, malah ngajak kencan! Gila nggak?"
Curhatan itu sontak menarik Budiman kembali berkelekar lebih kencang. Diikuti Dev yang juga ikut terpingkal-pingkal.
"Hahaha! Kapan? Siapa emang? Tiga cewek itu?"
"Iya--"
Canda tawa mereka sontak terputus saat Budiman tiba-tiba merentangkan tangannya. Itu karena ia mendengar suara pengumuman dari headset bluetooth yang terpasang di telinga Budiman.
"Eh! Kita disuruh ngambil misi buat besok ke Pak Marco," cicit Budiman memberitahu pesan itu.
"Misi baru ya ..." gumam Dev seraya mengelap bulir keringat di jidatnya.
"Yup." Budiman mengangguk. "Misi penyelidikan teror bom."
Dev manggut-manggut. Wajahnya terlihat santai. Seperti sudah menduga kalau dia akan mendapat misi itu.
"Tapi ... kita juga disuruh nangkep cewek ..."
Raut wajah Devlin sontak berubah kaget luar biasa. "Hah?? Cewek??"
**
To be continued.Sepuluh menit, Dev dan Budiman sudah berada di ruang simulasi. Mengambil misi baru mereka dalam bentuk chip seukuran kuku kelingking. Lalu memasangnya di headset di telinga masing-masing untuk memunculkan layar hologram melayang berisi instruksi video untuk mereka. "Kalian harus menyamar sebagai anggota reporter untuk menyelidiki lokasi bom di lahan pembangunan mall, kota P. Sekaligus mencari dan menangkap Yongkie, oknum mentor perakit bom." DEG! Dev terhenyak saat tahu lokasi misi itu berada cukup dekat dengan wilayah rusun tempat tinggalnya dulu. Seketika Dev jadi teringat pada Ayahnya. 'Bagaimana kabar Ayah sekarang ya? Beliau bahkan hanya menghubungiku satu kali sejak aku pergi dari rumah. Sepertinya beliau sudah tidak peduli padaku karena aku menentang keinginannya dan kabur dari rumah,' batin Dev sedih. Menyadari kalau pikirannya mulai kacau oleh perasaan sedih itu, Dev buru-buru menggelengkan kepala. Mengenyahkan rasa sedih itu karena d
Dev menatap lekat-lekat ke manik mata Max. "Perempuan berambut putih? Atau berambut pirang? Kedua hal itu jelas berbeda. Kau yakin kalau dia berambut putih?" Max mengangguk. "Dia berambut putih. Kulitnya juga sangat putih. Dia seperti bukan manusia. Bukan seperti bule yang berambut pirang." Kerutan di dahi Dev pun makin bertambah. Seiring dengan bola matanya yang melotot antusias. "Kau melihat wajahnya? Atau sempat mengambil gambarnya?" Max menggeleng. "Aku tak sempat melihat wajahnya. Dan dia menggunakan masker yang menutupi separuh wajahnya." Mendengar penjelasan itu membuat helaan napas keluar dari Budiman. "Lalu bagaimana kau bisa sampai dihajar begini?" "Aku ..." Max menelan ludah. "Dia menyerang kakiku dari belakang dan--" "Oh come on, Max." Devlin mendesah. "Dia perempuan kan? Bagaimana bisa kau kalah? Kau ini seorang agen laki-laki yang terlatih! Masa kau kalah dengan seorang perempuan warga sipil biasa? Buat malu saja!"
Setelah memastikan perempuan itu aman dan sudah kabur, anak-anak itu bergegas melarikan diri dengan cepat. Lari ke segala arah. Dan sebelum Dev sempat mengejar dan menangkap salah satu diantara mereka, tiba-tiba muncul beberapa warga dan petugas keamanan sekitar. Datang dari pintu utara dan berbondong-bondong membawa alat dapur seadanya. "Dasar anak-anak berandal! Pergi! Jangan membuat keributan disini!" Itu suara sahutan keributan dari warga saat menghardik anak-anak remaja itu. Dev yang menyadari kedatangan warga itu pun tak urung juga ikut kabur. Tentunya sebagai agen rahasia yang sedang bertugas, idenditas dan keberadaaannya jangan sampai diketahui warga sipil manapun. Dengan susah payah, Dev berusaha menyeret kakinya dan melompati pagar selatan. Dan tak lupa pula Dev juga menyempatkan waktu memanggil agen anak buahnya yang bertugas di dekat lokasi itu untuk segera menjemputnya. Hanya dalam hitungan menit, Anton--anak buah Dev itu datang d
Sedikit berjalan pincang sambil memegangi punggungnya, perempuan itu memaksakan diri untuk berjalan keluar ruangan. Dia tidak menjawab pertanyaan Dev, namun hanya memberikan gerakan isyarat melalui telunjuknya agar Dev tetap di tempat. Juga seolah memberitahu kalau dia akan segera kembali. Dan entah bagaimana, sikap perempuan misterius itu membuat Dev termangu. Hingga tak lama setelahnya, perempuan itu pun kembali dengan penampilan yang membuat bola mata Dev membulat kaget. Tubuh perempuan itu kini hanya berbalut dress putih selutut. Tidak lagi memakai jaket dan celana putih tadi. Rambut putih bergelombangnya tetap diikat tinggi. Tidak. Tentu bukan itu semua yang membuat Dev kaget. Tapi saat Dev menyadari kalau perempuan ini ... ternyata tidak pakai bra. Siapapun bisa melihat itu karena dress itu bahannya tipis. Astaga! Oke. Dev memang sudah sering melihat perempuan tidak tahu malu di dunia ini. Tapi bukannya tergiur, justru Dev merasa
Perubahan aura perempuan itu seketika dirasakan Dev. Hawa kemarahan yang kuat, bercampur dengan rasa takut. Dev bisa merasakan itu melalui raut ekspresi dari Eve. "Mengapa cecunguk-cecunguk itu ingin mengincar tempat tinggal kalian? Dan bagaimana mungkin kalian tidak melapor pada pihak berwajib?" tanya Dev to the point dan tegas. Eve terlihat mengembuskan napasnya dengan sangat gusar. Seolah ada beban besar mengganjal dadanya yang sulit dikeluarkan begitu saja. "Entahlah." Eve mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. Jeda menarik napas, Eve lantas memalingkan wajah kearah Dev dan melanjutkan ucapannya. "Lagipula itu tidak penting buatmu untuk tahu, kan? Orang luar sepertimu seharusnya tidak perlu terlibat jauh dengan masalah kami," tandas Eve dingin. Ucapan dingin itu tanpa sadar menarik satu simpulan senyum di bibir Dev. Karena ini pertama kalinya ada perempuan yang bersikap dingin kepada Dev. "Aku hanya memberikanmu saran ya
"Jadi bagaimana, hum? Kalau kau setuju, besok kita bisa berangkat." Dev sedikit mendekat, lalu mencondongkan tubuh kepada Eve yang duduk di hadapannya. Memasang senyum ramah yang Eve yakin kalau itu adalah senyum pencitraan Dev. Sungguh, rasanya Eve ingin melempar gelas minum yang ia genggam ke wajah Dev--kalau seandainya tidak ada Neneknya disitu. "Aku--" "Nenek, kuenya sudah jadi!" Tiba-tiba muncul satu anak perempuan remaja membawa baki berisi beberapa kue kering yang sepertinya baru diangkat dari pemanggangan di ruang dapur. Nenek lantas terkekeh sekilas, lalu hendak bangkit dari duduknya. Lalu meraih baki itu untuk disuguhkan kepada Dev. "Ini kue buatan nenek. Baru matang. Silahkan dinikmati selagi kalian mengobrol--" "Sepertinya tidak perlu, Nek." potong Eve cepat. "Alangkah baiknya Pak Fotografer harus cepat pulang sebelum larut malam. Akan sangat bahaya diluar saat malam." Lalu Eve menoleh kepada Dev. "Benar begitu kan, Pak Fot
Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev. Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve. Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev. Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya. "Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar." Usai Dev mengatakan itu, kepala
Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama. Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari. Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja. Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam. Mimpi itu cuku