Share

Story 6

Tiba di rumah, Clara langsung turun dari mobil tanpa mengatakan apa pun lagi pada Bima. Tidak ada lambaian tangan dan senyum menggoda yang biasa ia berikan pada lelaki itu. Hati sang nona muda terlanjur sakit dengan apa yang diucapkan Bima tadi.

Bima sendiri hanya menatap Clara yang keluar dari mobil dengan marah dan membanting pintu. Ia memaklumi kelakukan gadis tersebut. Mau bagaimana lagi. Wajar saja Clara merasa marah padanya.

Pria itu menghembuskan napas kasar karena rasa frustasi yang menyerangnya.

Bima tahu bahwa ucapannya pada Clara tadi keterlaluan. Namun, ia tidak mampu menahan diri. Ia marah. Sangat marah. Bukan hanya pada Clara yang menciumnya tanpa aba-aba, namun juga pada dirinya sendiri yang malah membalas ciuman itu dengan lebih menggebu dan hampir hilang kontrol.

Jika saja mereka berada di tempat tertutup dan bukan di dalam mobil yang hanya berhenti sejenak di lampu merah, mungkin Clara tidak akan lepas dari cengkraman hasrat Bima yang disulut gadis itu sendiri.

Lihatlah, Bima bahkan menahan tubuh Clara saat gadis itu hendak menarik diri. Dan merapatkan tubuhnya yang langsing namun berisi itu merapat pada tubuh Bima dengan semakin erat. Tidak mau munafik, Bima memang menikmati kekenyalan tubuh Friska yang menempel erat di tubuhnya yang kekar, bidang. dan berotot itu.

"Shit!" Bima memaki sambil memukul keras stir mobil di hadapannya. Lalu mengacak rambutnya frustasi.

Masih bisa dirasakan rasa nikmat yang menyelimuti dirinya saat tangannya yang besar menyentuh area pribadi dan sensitif Clara. Dadanya. Sepasang benda bulat itu benar-benar memenuhi telapak tangannya dengan begitu pas. Seakan memang tercipta untuknya.

Sial. Bima bahkan sudah kembali bergairah hanya dengan mengingatnya saja. Bisa-bisanya gadis itu menyerangnya dengan begitu menggoda seperti tadi. Dirasakannya bagian tubuh paling pribadi di bawah sana mulai menggeliat mengeras.

Bagaimana kalau dirinya khilaf?

Untuk menenangkan dirinya, akhirnya Bima memutuskan untuk off siang itu. Ia menelpon dan meminta salah satu pengawal keluarga Abhimana untuk menggantikannya menjaga gadis nakal itu.

Setelah memarkirkan mobil di garasi. Bima keluar dari rumah megah terebut sambil melepaskan kancing jas dan dasi serba hitam yang ia gunakan sebagai seragam. Seluruh pengawal di rumah ini memang menggunakan setelan yang disediakan sebagai seragam.

Demikian juga dengan kemeja putihnya. Ia melepaskan dua anak kancing di bagian leher, agar lebih lega dan leluasa. Kemudian melipat lengan kemejanya hingga siku. Membuat tangan kekar lelaki itu terlihat jelas.

Bima menunggu mobil jemputan yang ia pesan melalui aplikasi online di depan rumah keluarga Abhimana. Dan tidak lama kemudian, jemputan itu pun tiba.

Bima masuk ke kursi penumpang dan menyebutkan sebuah alamat. Alamat salah satu sahabatnya sejak sekolah menengah. Arini Arashi. Sosok yang selama ini terus membantunya bahkan di saat hidupnya berada di roda kehidupan paling bawah.

Rini, panggilannya pada Arini, mengetahui semua perjalanan hidup Bima. Dan dengan setia tetap berada di sisi lelaki itu. Jika saja tidak dengan permintaan Bima, mungkin Rini masih menunggu pria itu hingga saat ini.

Ya. Rini memang pernah mencintai Bima. Namun, kehidupan lelaki itu yang begitu kacau membuat Bima meminta Rini menyerah pada perasaannya pada lelaki itu. Karena menurut lelaki itu, dirinya hanya akan memberikan kepedihan dalam hidup Rini.

Namun, wanita itu meminta hubungan mereka tetap bertahan sebagai sahabat. Dan seperti itu lah hubungan mereka saat ini. Bahkan setelah Rini menikah dan memiliki anak. Bima masih berhubungan baik dengan wanita itu, juga dengan suami dan anak-anaknya.

Tiba di depan rumah Rini yang berada di sebuah komplek perumahaan kelas menengah, Bina segera turun setelah membayar ongkos mobil. Dan seperti sudah menunggu kedatangan lelaki itu. Rini langsung muncul dan melambai padanya dari serambi rumah.

Di saat yang sama, Renata yang sedang berada di daerah itu untuk mengambil orderan kue pesanan ibunya. sangat terkejut dengan pemandangan yang dilihatnya.

"Pak, berhenti, Pak!" perintah Renata pada supirnya. Ia segera menurunkan kaca jendela untuk melihat sosok lelaki yang dicintai sahabatnya itu.

Bima terlihat sedang tersenyum lebar dan memeluk sosok seorang wanita. Matanya terbelalak dengan rasa terkejut. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan untuk menahan pekikan keluar dari sana.

Gadis itu segera meraih ponsel, dan memotret momen tersebut, dengan cepat. Mungkin Clara harus tahu tentang ini. Begitu batinnya berkata.

"Kasihan, Clara." Lirih Renata sedih sambil menggigit bibit bawahnya. "Clara bakal patah hati banget." gumam gadis itu lagi sambil menutup kembali kaca mobil, dan meminta sang sopir kembali melajukan mobil.

***

Clara masih terlelap saat suara dering ponsel mengejutkannya.

Setelah masuk kamar saat pulang dari sekolah tadi, ia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Lalu menangis kesal sambil berteriak di bawah tekanan bantal tidur.

Tidak terasa dirinya tertidur karena kelelahan.

Sambil menggerutu kesal karena suara ponsel yang terus mengganggunya. Clara mengulurkan tangan dan mencari-cari ponselnya di atas nakas.

Ia mendengus lega saat menemukannya.

Dijawabnya panggilan itu setelah melihat nama penelpon di layar ponsel yang menyala itu.

Renata.

"Ya, Ren?" jawab gadis itu dengan suara serak.

["Lho? Lo kenapa? Bangun tidur?] diujung sana Renata malah bertanya macam-macam, bukannya langsung mengatakan tujuannya menelpon.

"Hmm..." jawab Clara malas.

Sebenarnya gadis itu ingin menceritakan apa yang dialaminya tadi pada sahabatnya, namun saat ini Clara benar-benar kehabisan tenaga setelah menangis habis-habisan tadi.

Matanya sampai terasa berat dan bengkak.

["Lo asik tidur mulu. Katanya mau barengan sama ayank terus? Nih, ayank lu diambil orang baru tahu."]

"Apaan sih, Ren. Brisik banget sih. Sakit kepala nih gue. Sinting lo, nelpon cuma buat ngomel-ngomol. Udah ah. Gue tutup lagi." dengus Clara kesal.

Sialan memang sahabatnya itu. Bukannya membuat mood nya menjadi baik, eh ini malah menyerocos panjang lebar.

["Tunggu... Tunggu... Tunggu... Lo nggak bakal putusin sambungan telepon gue kalau tau apa yang mau bicarakan."]

"Apaan sih. Ren? Bukannya to the poin! Malah mutar-mutar kaya gasing!"

["Bima mana?"]

Nah sekarang, Clara makin bingung, kenapa pula Renata bertanya-tanya tentang Bima?

"Tauk. Di luar kali." gerutu Clara kesal. Ia kembali teringat momen di dalam mobil tadi. Kemudian langsung menghantam wajahnya ke atas bantal, dan sebelah tangannya yang bebas memukul permukaan kasur dengan keras.

Wajahnya langsung terasa panas saat mengingatnya.

["Bima sedang off ya? Soalnya gue ngeliat dia di sini. Nyamperin seorang perempuan."] lapor Renata.

DEG!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status