Semua orang mengenalnya, Ayunda Anindya Kusuma. Gadis peraih beasiswa penuh yang tak hanya memikat lewat prestasi, tapi juga parasnya yang tenang sekaligus teduh. Sejak awal semester, namanya melambung di antara para mahasiswa baru di kampus bergengsi itu.
Tidak terhitung berapa banyak laki-laki yang berusaha menarik perhatiannya. Mulai dari cara yang paling sederhana hingga paling mencolok. Geral termasuk salah satunya. Seorang lelaki tinggi yang lumayan tampan—setidaknya, itu kesan pertama Yunda padanya.
Hari itu, langit sedang tidak bersahabat. Awan kelabu menggantung sejak siang dan akhirnya menumpahkan hujan deras menjelang sore. Lorong-lorong gedung fakultas dipenuhi mahasiswa yang berteduh meski sebagian akhirnya nekat menerobos hujan.
Yunda berdiri memeluk buku-bukunya, menyesal telah mengabaikan nasihat teman sekamarnya untuk membawa payung. Kini, ia hanya bisa menunggu dengan gelisah karena sejam lagi ia harus masuk kerja paruh waktu.
“Sedang menunggu langit berubah pikiran?” Suara itu muncul samar di antara gemericik hujan.
Yunda menoleh. Seorang lelaki berdiri di sampingnya, mengenakan jaket biru tua dan celana jin hitam. Rambutnya basah sebagian, tapi justru membuatnya tampak lebih maskulin. Ini bukan kali pertama Yunda melihatnya—mereka pernah sekelas di mata kuliah umum. Tapi ini kali pertama mereka benar-benar saling menyapa.
Yunda menengadah ke langit. “Langit tidak akan berubah pikiran,” ujarnya datar, tidak terlalu tertarik meladeni.
“Bagaimana kalau kau saja yang berubah pikiran?”
Kening Yunda berkerut. Lelaki itu dengan sigap melepas jaketnya dan mengangkatnya ke atas kepala mereka. Yunda sontak terkejut. Namun, sorot mata lelaki itu seolah menyihirnya.
“Aku bisa mengantarmu pulang, tapi mungkin kita harus sedikit basah-basahan karena parkiran agak jauh.”
Yunda bergeming. Suara lelaki itu makin terdengar jauh. Bukan karena hujan yang kian deras, melainkan terhalang oleh suara detak jantungnya sendiri. Rupanya, lelaki itu jauh lebih tampan dari yang Yunda kira, dengan sepasang alis tebal, hidung mancung, dan bibir yang… menggoda.
“Namaku Geral, mahasiswa Jurusan Manajemen.”
****
Yunda menatap lelaki yang terlelap di sisinya, lama sekaligus lekat. Lelaki yang berhasil merebut hatinya dari sekian banyak pria yang dulu mengincarnya di bangku kuliah. Tak pernah terbayang olehnya bahwa cintanya pada Geral bisa sedalam ini.
Dulu, ia mengira mereka hanyalah sepasang muda-mudi yang dimabuk cinta. Bahwa Geral, cepat atau lambat, hanya akan menjadi salah satu nama yang pernah singgah dalam hidupnya. Namun, ketulusan lelaki itu terbukti tak main-main. Bukan sekadar singgah, apalagi mengisi masa muda, tapi menetap selamanya di hati Yunda.
Ponsel di atas nakas berdering sebentar. Geral sama sekali tidak terjaga. Lelaki itu pasti lelah setelah perjalanan panjang dan permainan hebatnya saat baru selangkah tiba di sebuah resor mewah. Pelan-pelan, Yunda meraih benda itu.
Beberapa panggilan tak terjawab terpampang di layar. Namun, perhatiannya tertuju pada satu pesan dari pengirim bernama Rosa.
Aku tahu ini hanya pernikahan kontrak. Tapi kau cukup kurang ajar meninggalkanku sendirian di hotel. Telpon aku setelah kau baca ini, Brengsek!
Yunda menelan ludah. Pahitnya terasa menggores tenggorokan. Dia memang satu-satunya wanita di hati Geral. Namun kini, lelaki itu memiliki dua wanita dalam hidupnya: wanita yang ia nikahi dan wanita yang ia cintai.
Jari Yunda berhenti sejenak di atas layar. Napasnya mengendap, lalu tanpa ragu ia menghapus pesan itu. Entah dari mana datangnya kecemburuan itu, tapi ia ingin menegaskan bahwa Geral adalah miliknya. Dan, wanita bernama Rosa itu cukup memainkan perannya sebagai istri saat diperlukan saja. Tidak lebih.
Dengan hati yang masih setengah panas, Yunda perlahan turun dari ranjang. Berhati-hati agar tidak membangunkan Geral. Dia mengenakan kimono satin berwarna hitam yang tergeletak di sandaran sofa, lalu melangkah ringan menuju meja kecil di sudut kamar. Tempat sebotol wine yang sudah terbuka bersama dua gelas lebar berada.
Dia menuang wine ke dalam gelas, menghirup aromanya yang telah redup sebelum menyesap perlahan. Lalu, ia berjalan ke arah beranda dan menggeser pintu kaca setenang mungkin.
Aroma laut segera menyambutnya, berteman angin sepoi-sepoi yang membelai lembut. Hamparan ombak berkilau diterpa matahari sore, membentang jauh hingga garis cakrawala. Langit bersih tanpa awan. Sungguh, pemandangan sempurna dari surga kecil yang dimaksud Geral.
Yunda kembali menyesap minumannya. Tatapannya jauh, menembus birunya laut yang perlahan menarik ingatannya kembali kedelapan tahun silam. Kala segalanya bermula.
Senja jatuh perlahan saat itu, membungkus langit kampus dengan warna oranye pucat. Perkuliahan baru saja usai. Satu per satu mahasiswa meninggalkan kelas, termasuk Yunda. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Geral berdiri di depan pintu dengan wajah masam seolah telah menunggunya cukup lama.
Tanpa sepatah kata, lelaki itu menarik tangan Yunda. Cengkeramannya cukup kuat membuat Yunda tidak bisa melawan. Baru ketika mereka tiba di salah satu sudut taman belakang kampus yang sepi, Geral melepaskan genggamannya.
“Aku baru tahu kau bisa sekejam ini,” ucap Geral, suaranya dipenuhi kekecewaan. “Apa aku hanya permainan bagimu? Aku tahu kau cantik, pintar, jadi rebutan banyak laki-laki. Tapi kau tak seharusnya memberiku harapan kalau ternyata kau menyukai orang lain.”
Kening Yunda sontak mengerut meski ia tak bisa menepis sekelebat kupu-kupu yang menggelitik perutnya saat mendengar Geral menyebutnya cantik.
“Aku tidak mengerti maksudmu, Geral.”
“Kau menerima Wira jadi kekasihmu, padahal selama ini kau jalan denganku.”
Yunda tertegun. Pertama, Wira bukan kekasihnya. Kedua, apakah Geral mencoba mengatakan bahwa ia cemburu?
Selama beberapa bulan kedekatan mereka, Yunda tak pernah benar-benar yakin akan perasaan Geral. Lelaki itu terlalu pandai menyembunyikan isi hatinya. Bahkan, Yunda sampai frustrasi karena Geral tak kunjung menyatakan apa pun, membuatnya berpikir kalau lelaki itu memang tak berniat menjadikannya lebih dari sekadar teman.
“Wira… kekasihku?” tanyanya pelan.
Geral memutar tubuhnya, mengusap wajahnya yang tampak kesal. “Jangan bercanda denganku, Yunda.”
“Aku tidak tahu kau dengar dari mana, tapi Wira bukan pacarku,” tegas Yunda. Tatapannya kemudian melekat pada Geral, “Aku… menyukai orang lain.”
Hening.
Geral mematung dengan ekspresi seolah baru saja tersambar petir. Namun, sinar matanya lambat laun meneduh. Tak ada lagi amarah yang memancar dari sana, berganti tunas-tunas harapan yang mulai tumbuh di sela napasnya.
“Bolehkah aku… menjadi orang itu?”
Jantung Yunda serasa tanggal dari tempatnya. Darahnya berdesir kencang. Perlahan, ia menunduk, terlalu malu menunjukkan wajah.
“Memang kau orangnya,” ucapnya nyaris tak terdengar.
Senyum baru saja terbit di bibirnya ketika pelukan hangat dari belakang menyadarkan Yunda dari lamunan. Dia menoleh sekilas dan mendapat ciuman lembut di pipi.
“Kenapa tidak membangunkanku?” Geral berbisik pelan di telinganya. “Wanita cantik tak seharusnya menikmati sore seindah ini sendirian.”
Yunda terkikik. Dia merapat ke pelukan Geral, melingkarkan tangannya di lengan lelaki itu yang memeluk pinggangnya hangat. Rasanya seperti masa lalu kembali bersemi di tempat yang baru.
Pita emas digunting serempak, disambut tepuk tangan meriah dan kilau confetti yang berhamburan di udara. Siang itu, gerai MAISON resmi berdiri di tengah-tengah kemewahan Grand Aurora.Lampu kristal berkilau dari langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke interior butik yang dirancang dengan nuansa putih gading dan emas yang elegan. Barisan kamera berjejer rapi, menyorot setiap momen. Para tamu undangan memenuhi ruangan dengan percakapan hangat dan gelas sampanye yang beradu ringan.Para petinggi Grand Aurora, perwakilan MAISON dari Paris, hingga artis-artis papan atas tampil memukau dalam balutan busana terbaik mereka. Namun, sorotan sesungguhnya jatuh pada Rosa.Kehadirannya bagai pusat gravitasi. Dia tampil anggun dalam balutan koleksi terbaru MAISON: gaun satin berwarna midnight blue dengan potongan berbentuk hati di bagian dada, dihiasi detail kristal halus yang berkilauan setiap kali ia bergerak. Potongan gaunnya jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya hingga ke lantai, memberi
“Apa karena sekarang kau sudah diakui Geral, kau jadi berani memintaku menemuimu?” Rosa menyunggingkan senyum sinis, sorot matanya menancap tajam pada Yunda.“Saya tidak akan minta bertemu kalau Anda tidak lebih dulu mendatangi keluarga saya,” jawab Yunda, berusaha terdengar tegas.Rosa menyeringai, bersedekap dengan angkuh.“Ah… jadi aku bisa ketahuan secepat itu, ya?”“Mau apa Anda menemui Ibu saya?”“Aku hanya penasaran,” suara Rosa terdengar pelan, tapi beracun. “Ingin tahu wanita seperti apa yang berani mengikat Geral diam-diam.”Matanya menelusuri Yunda dari ujung kepala hingga kaki dengan senyum yang kian sinis, “Sepertinya aku bisa sedikit mengerti kenapa Geral sama sekali tidak punya nyali memperkenalkanmu pada keluarganya.”Yunda menelan ludah, berusaha menahan gejolak di dadanya. Tiba-tiba ia merasa terlalu kecil di hadapan Rosa.“Itu urusan kami berdua. Tidak perlu Anda campuri.”Rosa terkekeh, sama sekali tidak terlihat tersinggung.“Kalau aku jadi dirimu, lebih baik aku
Lantai khusus luxury brands di Grand Aurora sudah lengang malam itu. Semua butik telah tertutup rapat. Hanya deretan papan penutup sementara di depan gerai baru yang menjadi pusat keramaian.Dari celah terbuka, cahaya lampu kerja memancar terang. Suara bor listrik, dentuman palu, dan instruksi singkat saling bersahutan. Beberapa teknisi terlihat merapikan kabel lampu sorot yang digantungkan di plafon tinggi, sementara yang lain lalu-lalang mengangkut boks-boks besar berisi koleksi MAISON.Geral berdiri dengan jas masih melekat di tubuhnya meski dasinya sudah longgar. Sebelah tangannya terselip di saku, sorot matanya tajam menelusuri setiap sudut yang sedang dikerjakan. Di sampingnya, Yunda mencatat cepat di tablet, berusaha menangkap setiap detail yang ia sebutkan.“Pak Direktur, signage utama sudah tiba di gudang siang tadi,” lapor seorang supervisor. “Masih sementara perakitan. Kemungkinan baru bisa dipasang besok “Geral mengangguk singkat, “Pastikan selesai paling lambat besok pag
Jeffrey menyambut dengan senyum lebar ketika Rosa menjejakkan kaki ke kantornya.“Aku sebenarnya ada rapat dengan tim produksi, tapi demi dirimu, aku menundanya,” ujar lelaki itu bangga.Rosa tidak peduli pada rayuan itu. Dia mengeluarkan sebuah map dari tas dan meletakkannya di atas meja. Di halaman depan terpampang beberapa foto seorang gadis cantik.“Aku ingin kau mendekatinya,” ucapnya lugas. “Dia seorang konten kreator rendahan. Kalau kau memberinya iming-iming ketenaran, aku yakin dia akan tergiur.”Jeffrey menyipitkan mata, lalu mulai membolak-balik lembar demi lembar data perempuan itu. Dari raut wajahnya, Rosa tahu ia tertarik.Meski belum pernah bertemu secara langsung, Rosa akui Winda memang cantik. Visualnya memenuhi standar para pemburu bintang seperti Jeffrey.“Kau ini aneh, Sayang,” goda Jeffry sambil menutup map sebentar. “Kau paling benci kalau aku main-main dengan perempuan lain. Tapi sekarang kau malah menyodorkan mangsa padaku.”Rosa menyeringai dingin, “Lucu sekal
Geral meletakkan cangkir kopinya kembali ke meja, lalu menyalakan layar ponsel untuk mengecek jadwal hari ini sebelum meninggalkan ruang makan.“Permisi, Tuan.” Seorang pelayan menghampiri dengan sopan. “Apakah sarapan untuk Nyonya mau diantarkan ke kamar seperti kemarin, atau disiapkan di sini saja, Tuan?”Kening Geral sedikit berkerut. Sejak kejadian malam itu, ia jarang pulang ke rumah dan memilih tidak peduli dengan apa pun yang dilakukan Rosa. Namun, dari penjelasan pelayan, ia baru tahu kalau Rosa sudah dua hari tidak keluar kamar. Makanannya selalu diantar ke sana, bahkan sempat meminta obat pereda nyeri.Geral sebenarnya enggan ambil pusing, tapi sebagai tuan rumah ia juga tidak bisa sepenuhnya mengabaikan.“Biar saya saja yang antar ke kamar,” ucapnya.Bersama senampan makanan, ia pun menaiki tangga menuju kamar dengan niat sekadar menengok keadaan wanita itu sebelum berangkat ke kantor.Geral mengetuk pintu kamar penghubung. Tak lama, suara Rosa terdengar dari dalam.“Letakk
Dengan langkah berat, Rosa memasuki ruang kerja ayahnya. Aroma kayu tua bercampur asap cerutu langsung menyergap inderanya, menambah beban yang sudah menyesakkan dada. Lelaki berpostur besar itu duduk tegak di balik meja kayu jati ukir. Sorot matanya dingin tanpa sedikit pun senyum.“Duduk,” ucapnya singkat. Dia bangkit untuk berpindah duduk ke sofa.Rosa menuruti meski setiap serat tubuhnya berteriak ingin kabur. Dia tidak pernah suka terjebak dalam ruang dan waktu yang sama dengan ayahnya. Karena sosoknya yang seharusnya melindungi justru hadir dalam memori Rosa sebagai sumber luka dan lara.Sejenak, pandangan Rosa berkunang. Ingatannya menyeret kembali ke suatu malam kelam ketika tubuhnya dipenuhi lebam. Saat itu, gosip murahan tentang dirinya tersebar di media. Dia dirumorkan menjadi wanita simpanan seorang sutradara ternama. Tidak ada bukti, tidak ada kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan, tapi ayahnya sama sekali tidak peduli.Ayahnya bahkan tidak memberinya kesempatan menje