Hana terkekeh melihat Naufal yang mati kutu. Berani memulai permainan, harus berani mengakhiri. Enak saja, mau merugikan dirinya. Toh, cukup besar pengorbanan yang dilakukannya. Mempertaruhkan masa depan dengan menikah. Ulat bulu yang sudah mulai terlihat gelagatnya hendak menempel harus segera dihempaskan. Sedikit sadis bolehlah."Jadi cowok jangan serakah Naufal, mending kamu pikir-pikir deh. Ngapain ngejalanin pernikahan sama aku begini, mending lanjutin sama Yeza. Urusan restu mah derita kamu, palingan aku bantu ketawa aja. Hahaha," ledek Hanan."Kamu kira gampang? Seenak jidatnya aja kalau ngomong.""Gampang dong, buktinya aku aja mau Nerima perjodohan kita. Kalau dipikir-pikir lucu sih, masa iya udah zaman modern begini masih laku perjodohan. Tapi ya, Aku juga gak punya pacar. Sekali ketemu cowok langsung nikah, jadi gak punya mantan. Gak kayak kamu, hidupnya ribet. Kasihan banget, jagain jodoh orang. Pacaran itu cuma ngabisin uang doang, memangnya gak ngerasa rugi gitu?" ledek
"Sejujurnya aku membenci orang yang masih bersangkutan dengan masa lalunya. Jangan berpikir aku cemburu. Tak ada alasan yang bisa bikin aku menyukaimu. Yang ada alasan aku membenci dan gak menyukaimu. Gak ada celah dari dirimu yang bisa bikin aku mau tersenyum. Hanya kesialan terus yang datang jika bersamamu," sindir Hanan. Siapa pun yang mendengar ucapan Hanan tentu sakit hati, ia memang sangat ceplas-ceplos. Memangnya Hanan peduli jika Naufal sakit hati? Tentu saja jawabannya tidak."Kamu terlalu banyak bicara, sudah kubilang jangan ikut campur antara aku dan Yeza. Diam saja di rumah, akan kunafkahi secara benar kamu. Gak usah banyak protes!" sungut Naufal.Hanan menatap tajam wajah Naufal. Pandai sekali dia membalikkan ucapannya? Enak saja keinginannya ingin dituruti dengan mudah seperti itu."Kalau ngomong dipikir dulu, sebelum otakmu aku keluarkan secara paksa. Karena percuma ada juga, gak berfungsi sama sekali." Kasar, memang. Lebih baik seperti itu, semua uneg-uneg tersampaikan
Hanan mengucir rambutnya sambil berjalan menuju garasi, penampilannya sudah oke. Memakai sepatu kets, dengan celana jeans dan kemeja flanel. Ia terlihat terburu-buru, sesekali melirik jam di pergelangan tangan. Membuka pintu garasi dengan napas tersengal. Sebab ia sudah berlari kecil sejak keluar dari kamar. Semua dilakukan dengan terburu-buru."Bisa menjadi hari apes bersejarah, kalau sampai hari ini aku telat masuk kerja! Tidak, tidak! Aku gak mau hal itu terjadi, sungguh memalukan sekali! Hanan yang disiplin dan tepat waktu, tiba-tiba berubah menjadi seperti itu. Sangat mustahil, sialan kamu Naufal!" gumam Hanan.Hari ini adalah hari pertama masuk kerja, setelah cuti pernikahan nya. Apalagi kebagian sif pagi. Ia meruntuki dirinya sendiri, sebab tadi malam harus tidur hingga larut. Menemani Naufal yang sibuk mengoceh tak jelas. Bagaimana mungkin, hari pertama masuk meninggalkan kesan memalukan? Terlambat datang, tak pernah ada di kamus kehidupan Hanan. Ia selalu telat waktu dan sang
"Na-Naufal?" ucap Hanan gagap."Kamu liat suami sendiri, kayak liat hantu. Gitu amat responnya. Gak bisa romantis dikit gitu? Tersenyum bahagia, terus peluk. Kan romantis, enak dipandang." Naufal malah mengoceh.Hanan menahan malu setengah mati. Ingin sekali melempar wajah Naufal yang sok tampan menggunakan flat shoes yang ia pakai. Meskipun menurut Lyra, Naufal adalah sosok suami sempurna tiasa cela. Padahal tidak ada yang bisa dipuji menurut Hanan. Yang ada menyebalkan dan selalu membuat ia kesal dan marah. Tidak bisa tersenyum sedikit pun saat melihat wajah Naufal yang sangat membosankan, dan kini ia mempermalukan Hanan di depan Lyra."Gak usah malu-malu, gitu amat sama suami sendiri!" goda Lyra. Mencolek lengan kanan Hanan."Kamu tau kalau aku lagi nahan malu? Sialan bener!" Hanan mencebik.Naufal menarik lembut tangan Hanan, agar segera beranjak dari duduknya. Aneh, meskipun keki setengah mati menahan malu di depan Lyra. Hanan tetap menurut, mengikuti langkah Naufal tanpa protes.
"Lumayan enak juga kalau punya suami, bisa disuruh-suruh. Ya, setidaknya ada bodyguard gratis juga. Free seumur hidup, ternyata ada secuil keuntungan nikah sama cowok rese itu!" batin Hanan sembari senyum-senyum tak jelas tanpa sadar."Serem amat dah! Ditinggal ke depan bentar aja, udah begini efeknya. Kamu beneran udah mulai ketergantungan sama aku? Gak bisa jauh-jauh dari aku?" Naufal terheran saat datang melihat Hanan melamun senyum-senyum tak jelas. Menempelkan telapak tangan kanan di dahi Hanan.Hanan menepis. "Apa-apaan sih! Kamu kira aku gila?" Ciri khas seorang Hanan, selalu melotot jika bicara pada Naufal."Semua orang juga akan beranggapan seperti itu. Jika melihat kamu senyum-senyum tanpa sebab, apalagi sambil melamun. Kalau bukan edan, lalu apa namanya? Harusnya kalau mau senyum itu nunggu aku datang, ajak-ajak. Siapa tau aku bisa luluh dan jatuh cinta sama kamu. Terus impianmu menua bersamaku terwujud." Naufal bicara dengan gamblang. Seolah-olah memang benar nyatanya.Han
"Bisa gak, Kamu jangan lebay menanggapi suatu hal?" dengus Hanan kesal."Suami, masalah suami, itu!""Apaan sih? Kalau ngomong yang jelas dikit, bisa gak?""Hah, Aku syok aja. Naufal, dia nelpon aku. Kamu kabur?" selidik Hanan."Biarkan sa-" Ucapan Hanan terhenti ketika mendengar pintu kontrakan Lyra diketuk. Lyra beranjak dari duduknya, bergegas ke depan. Untuk melihat siapa yang datang bertamu di malam seperti ini. Menggangu saja, memangnya tidak ada hari esok?"Siapa?" tanya Lyra sembari menarik handle pintu."Hanan masih di sini?" Seorang pria seumuran Lyra berdiri tepat di muka pintu. Wajahnya tertutup masker sebagian dan ia juga memakai topi. Ia tidak bisa menerka siapa pria yang berdiri di hadapannya."Ha?!" Lyra menampakan raut wajah bingung. Belum pernah ada tamu laki-laki yang datang ke kontrakannya. Apalagi ini malam hari, lalu untuk apa menanyakan keberadaan Hanan?"Tolong panggilkan Hanan, aku ada perlu!""Kamu siapa ya? Ada perlu apa sama sahabatku? Dari mana kamu meng
Tidak ada yang bisa rela dan menerima dengan lapang dada, apalagi dalam waktu dekat menerima sebuah pernikahan karena sebuah perjodohan. Apalagi di zaman yang sudah modern seperti ini. Seorang anak biasanya sudah memiliki pilihan pasangan masing-masing dan tinggal meminta restu dari kedua orang tua. Menjalani mahligai pernikahan dengan orang yang dicintai tentu sangat bahagia. Tetapi bukan berarti pernikahan yang berawal dari perjodohan dan tanpa cinta tidak bisa hidup bahagia.Hanan memang sudah bisa berdamai dengan takdir, menyadari kini dirinya sudah berstatus sebagai seorang istri. Tidak lagi gadis yang masih berstatus sendiri. Ingat dan camkan baik-baik, hanya status saja yang diterima di buku nikah. Namun, sampai kapanpun ia tak akan sudi diatur segala gerak-geriknya, apalagi ada Yeza yang sepertinya sedang berusaha masuk ke dalam kehidupan mereka.Hanan sedang memasukkan keperluan yang biasa dibawa saat bekerja ke dalam tas ransel mini."Mau ke mana?" tanya Naufal.Hanan menole
"Hanan!" bentak Lyra.Hanan menoleh, menatap wajah Lyra yang terlihat kesal pada sikapnya terlihat tidak tegas sama sekali."Mau kamu apa sih?" tanya Lyra."Aku capek Ly, memangnya kamu gak capek? Kita udah kerja delapan jam, kamu gak mau istirahat?" Hanan sepertinya memang enggan membahas hal berat seperti itu dikala tubuhnya butuh istirahat.Lyra menghela napas, merasa tidak tega juga pada Hanan. Akhirnya memilih mengalah dan tidak mau memaksa lagi. Hanan benar, lebih baik pulang dan istirahat. Meskipun hatinya benar-benar kesal."Kamu ke kontrakan aku aja." Lyra memberi saran."Gak usah, Aku pulang ke rumah Papa aja. Kangen berantem sama Amora." Hanan saat ini menolak tawaran Lyra. Padahal biasanya paling betah dan suka jika diajak ke kontrakan Lyra.Bola mata Lyra melotot saat mendengar permintaan Hanan. Akankah Hanan melampiaskan kekesalannya pada Amora, Ibu tirinya? Lyra yakin, meskipun Hanan tidak ada rasa cinta pada Naufal, tetap saja akan terasa sakit jika melihat suami send