"Na-Naufal?" ucap Hanan gagap."Kamu liat suami sendiri, kayak liat hantu. Gitu amat responnya. Gak bisa romantis dikit gitu? Tersenyum bahagia, terus peluk. Kan romantis, enak dipandang." Naufal malah mengoceh.Hanan menahan malu setengah mati. Ingin sekali melempar wajah Naufal yang sok tampan menggunakan flat shoes yang ia pakai. Meskipun menurut Lyra, Naufal adalah sosok suami sempurna tiasa cela. Padahal tidak ada yang bisa dipuji menurut Hanan. Yang ada menyebalkan dan selalu membuat ia kesal dan marah. Tidak bisa tersenyum sedikit pun saat melihat wajah Naufal yang sangat membosankan, dan kini ia mempermalukan Hanan di depan Lyra."Gak usah malu-malu, gitu amat sama suami sendiri!" goda Lyra. Mencolek lengan kanan Hanan."Kamu tau kalau aku lagi nahan malu? Sialan bener!" Hanan mencebik.Naufal menarik lembut tangan Hanan, agar segera beranjak dari duduknya. Aneh, meskipun keki setengah mati menahan malu di depan Lyra. Hanan tetap menurut, mengikuti langkah Naufal tanpa protes.
"Lumayan enak juga kalau punya suami, bisa disuruh-suruh. Ya, setidaknya ada bodyguard gratis juga. Free seumur hidup, ternyata ada secuil keuntungan nikah sama cowok rese itu!" batin Hanan sembari senyum-senyum tak jelas tanpa sadar."Serem amat dah! Ditinggal ke depan bentar aja, udah begini efeknya. Kamu beneran udah mulai ketergantungan sama aku? Gak bisa jauh-jauh dari aku?" Naufal terheran saat datang melihat Hanan melamun senyum-senyum tak jelas. Menempelkan telapak tangan kanan di dahi Hanan.Hanan menepis. "Apa-apaan sih! Kamu kira aku gila?" Ciri khas seorang Hanan, selalu melotot jika bicara pada Naufal."Semua orang juga akan beranggapan seperti itu. Jika melihat kamu senyum-senyum tanpa sebab, apalagi sambil melamun. Kalau bukan edan, lalu apa namanya? Harusnya kalau mau senyum itu nunggu aku datang, ajak-ajak. Siapa tau aku bisa luluh dan jatuh cinta sama kamu. Terus impianmu menua bersamaku terwujud." Naufal bicara dengan gamblang. Seolah-olah memang benar nyatanya.Han
"Bisa gak, Kamu jangan lebay menanggapi suatu hal?" dengus Hanan kesal."Suami, masalah suami, itu!""Apaan sih? Kalau ngomong yang jelas dikit, bisa gak?""Hah, Aku syok aja. Naufal, dia nelpon aku. Kamu kabur?" selidik Hanan."Biarkan sa-" Ucapan Hanan terhenti ketika mendengar pintu kontrakan Lyra diketuk. Lyra beranjak dari duduknya, bergegas ke depan. Untuk melihat siapa yang datang bertamu di malam seperti ini. Menggangu saja, memangnya tidak ada hari esok?"Siapa?" tanya Lyra sembari menarik handle pintu."Hanan masih di sini?" Seorang pria seumuran Lyra berdiri tepat di muka pintu. Wajahnya tertutup masker sebagian dan ia juga memakai topi. Ia tidak bisa menerka siapa pria yang berdiri di hadapannya."Ha?!" Lyra menampakan raut wajah bingung. Belum pernah ada tamu laki-laki yang datang ke kontrakannya. Apalagi ini malam hari, lalu untuk apa menanyakan keberadaan Hanan?"Tolong panggilkan Hanan, aku ada perlu!""Kamu siapa ya? Ada perlu apa sama sahabatku? Dari mana kamu meng
Tidak ada yang bisa rela dan menerima dengan lapang dada, apalagi dalam waktu dekat menerima sebuah pernikahan karena sebuah perjodohan. Apalagi di zaman yang sudah modern seperti ini. Seorang anak biasanya sudah memiliki pilihan pasangan masing-masing dan tinggal meminta restu dari kedua orang tua. Menjalani mahligai pernikahan dengan orang yang dicintai tentu sangat bahagia. Tetapi bukan berarti pernikahan yang berawal dari perjodohan dan tanpa cinta tidak bisa hidup bahagia.Hanan memang sudah bisa berdamai dengan takdir, menyadari kini dirinya sudah berstatus sebagai seorang istri. Tidak lagi gadis yang masih berstatus sendiri. Ingat dan camkan baik-baik, hanya status saja yang diterima di buku nikah. Namun, sampai kapanpun ia tak akan sudi diatur segala gerak-geriknya, apalagi ada Yeza yang sepertinya sedang berusaha masuk ke dalam kehidupan mereka.Hanan sedang memasukkan keperluan yang biasa dibawa saat bekerja ke dalam tas ransel mini."Mau ke mana?" tanya Naufal.Hanan menole
"Hanan!" bentak Lyra.Hanan menoleh, menatap wajah Lyra yang terlihat kesal pada sikapnya terlihat tidak tegas sama sekali."Mau kamu apa sih?" tanya Lyra."Aku capek Ly, memangnya kamu gak capek? Kita udah kerja delapan jam, kamu gak mau istirahat?" Hanan sepertinya memang enggan membahas hal berat seperti itu dikala tubuhnya butuh istirahat.Lyra menghela napas, merasa tidak tega juga pada Hanan. Akhirnya memilih mengalah dan tidak mau memaksa lagi. Hanan benar, lebih baik pulang dan istirahat. Meskipun hatinya benar-benar kesal."Kamu ke kontrakan aku aja." Lyra memberi saran."Gak usah, Aku pulang ke rumah Papa aja. Kangen berantem sama Amora." Hanan saat ini menolak tawaran Lyra. Padahal biasanya paling betah dan suka jika diajak ke kontrakan Lyra.Bola mata Lyra melotot saat mendengar permintaan Hanan. Akankah Hanan melampiaskan kekesalannya pada Amora, Ibu tirinya? Lyra yakin, meskipun Hanan tidak ada rasa cinta pada Naufal, tetap saja akan terasa sakit jika melihat suami send
"Ngapain kamu melotot sama suami? Dosa loh," tegur Syahreza saat melihat Hanan membelalakkan matanya melihat Naufal berdiri di sisinya."Hem, anaknya datang ke rumah bukannya di sambut dengan senyum. Dipeluk, terus ngomong kalau kangen. Ini enggak, malah marah. Kayak gak tau gimana sikap Hanan aja!" gerutu Hanan.Syahreza tersenyum geli, saat Hanan sudah menunjukkan sisi kekanakannya. Jujur saja pasti ia juga rindu canda dan tawa dengan putri satu-satunya itu. Hanya saja memang sikap Hanan berubah total padanya, tidak sehangat saat masih satu atap dengan Manda, mantan istri."Sini, biar aku aja yang peluk kamu!" Tiba-tiba saja Naufal yang menawarkan diri. Dih, memangnya dikira Hanan mau? Boro-boro mau dipeluk, duduk dekat Naufal saja risih. Sepertinya hanya Yeza yang butuh pelukan dari Naufal."Hehehe, Iya sayang," ucap Hanan.Berharap Naufal akan melompat kegirangan ketika dipanggil sayang oleh Hanan. Bukan Naufal saja yang bisa berakting di depan sang papa, Hanan juga bisa. Eits, te
"Lupakan saja! Gak usah kaget gitu, mulutmu jangan terlalu besar mangapnya. Kalau masuk lalat gimana?" cibir Hanan."Sekarang makan dulu, Aku mau ngomong empat mata sama kamu. Ini serius, Hanan," ucap Naufal. Menyodorkan piring pada Hanan.Hanan sengaja diam tidak merespon. Masih ada rasa gengsi untuk menerima. Padahal cacing di dalam perut sudah meronta-ronta minta makan. Sedangkan di dalam kamar tidak ada satu helai roti pun. Wajar saja sih, Ia sudah tidak tinggal di rumah Syahreza. Mungkin besok-besok jika punya keinginan, Hanan ingin kembali serumah dengan sang papa. Ingat, bukan manja, Ia hanya tidak rela jika Amora menikmati semua harta Syahreza."Hanan, kenapa melamun? Aku capek loh, megangin piring begini."Hanan mencebik. "Memangnya aku nyuruh kamu megangin itu piring? Kurang kerjaan banget deh, Aku bukan anak manja. Jadi taroh aja di atas nakas lagi. Kalau udah lapar bakal aku makan. Gak usah jadi pahlawan kesiangan buat Amora. Miris banget hidup kamu, mau-maunya ditipu sama
"Nuduh aku selingkuh?" tanya Naufal.Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja membuat Hanan tertawa terbahak-bahak. Entah itu menertawakan kebodohan Naufal dalam berbohong, atau menertawakan dirinya sendiri yang masih mau bersabar."Ngapain kamu ketawa? Memangnya ada yang lucu?" gerutu Naufal."Kamu gak salah nanya kayak gitu sama aku? Udah dewasa, tapi pemikiran dan sikap masih kekanakan. Pantesan aja gak punya pendirian, miris banget, apalagi cowok. Tapi sayang sekali, kesialan itu tertimpa padaku yang harus menikah sama kamu. Bisa gak sih, kalau kita cerai, Aku tetap menyandang status gadis?" Hanan sudah mulai ngawur, sebab hatinya sudah kesal. Amarah sudah ada di ubun-ubun kepala. Ingin segera diluapkan, tetapi masih ditahan."Maksud kamu apa sih? Kalau ngomong itu yang jelas, Aku bukan ahli dalam membaca isi pikiran perempuan. Terserah kamu mau bilang gak peka juga."Hanan mengangkat sebelah alisnya, menatap wajah Naufal yang sok polos itu. Sungguh memuakkan sekali. Jika ada segelas