"Kerja, Nad. Berduka boleh, tapi nggak terus-terusan juga. Itu sama aja lo nggak nerima takdir Allah yang udah ngambil bokap lo. Dengan kerja 'kan seenggaknya lo nggak terlalu kepikiran almarhum."
Kalimat sakti dari Agung, teman satu sekolahku itulah yang membuatku bangkit dari mati suri. Duniaku baru saja runtuh setelah ditinggal papa selama-lamanya satu bulan yang lalu.
Makan hanya diingatkan. Kegiatanku di rumah hanya diisi dengan menangis dan menangis, teringat Papa setiap hari. Dan sayangnya, Papa itu anak tunggal. Jadi aku tak punya siapapun yang bisa aku panggil om, tante atau siapapun lah itu. Kakek nenek dari pihak papa sudah lama tidak ada dan.dan mamaku, sudah meninggal lima tahun lalu. Sama halnya dengan papa, mamaku pun wanita yang sebatang kara.
Oooh, betapa mengerikannya hidupku. Sepertinya tertakdir sendirian.
Aku yang terbiasa hidup sama papa tiba-tiba duniaku menggelap saat mendengar kabar bahwa papa meninggal karena kecelakaan tunggal.
Tapi, biarlah. Mungkin ini sudah takdir dari yang Maha Kuasa. Sekarang, aku akan mencoba bangkit.
Dan disinilah aku sekarang, di depan sebuah perusahaan properti yang sedang berkembang. Tiga hari lalu aku mengantar lamaran kerja dengan posisi sebagai Admin di kantor ini. Dan alhamdulillah, hari ini aku dipanggil. Semoga saja lolos seleksi.
Thanks to Agung yang sudah memberi informasi lowongan ini padaku.
Aku pun masuk. Sampai di depan salah satu ruangan khusus rekrutmen pegawai sepertinya, aku melihat sudah banyak para pelamar yang duduk menunggu. Lebih kurang sepuluh orang sepertinya. Tiga laki-laki dan tujuh perempuan termasuk aku. Semuanya sama, berpakaian formal khas pelamar kerja, hitam dan putih.
Aku merasa insecure saat melihat enam perempuan lain berdandan cantik dan sempurna. Sementara aku, hanya ber-make up ala kadarnya yang penting wajahku tidak pucat.
Keenam perempuan itu juga terlihat banyak pengalaman kerja sepertinya. Dan lagi-lagi, pikiran itu membuatku down. Aku sama sekali tak punya pengalaman kerja karena setelah lulus sekolah tiga tahun yang lalu, aku tak kemana-mana. Hanya di rumah mengurus papa yang seorang pensiunan TNI. Kalau papa sedang ada kerjaan menjaga proyek, aku dirumah saja, tak kemana-mana.
Tapi aku tak boleh menyerah. Teringat pesan papa padaku kalau kita tak boleh kalah sebelum perang.
Satu persatu para pelamar itu pun dipanggil masuk ke kantor HRD. Mungkin aku yang ada di urutan terakhir.
Satu hal yang ingin kubilang kalau proses perekrutan di perusahaan ini dimulai dari interview dulu baru psikotes.
Aneh. Walaupun aku belum pernah mengalami, tapi yang dari aku dengar dari teman-temanku yang sudah bekerja, bukankah psikotes dulu baru interview dengan HRD?
Ya tapi sudahlah. Aku bisa apa? Bukan aku yang punya perusahaan ini.
"Nadia Annisa Wardani?"
Namaku dipanggil. Hatiku berdebar luar biasa. Sumpah, aku belum pernah interview sebelumnya. Kalau kata Agung, saat ditanya HRD itu jangan jawab jujur-jujur amat. Harus berbohong sedikit biar keterima masuk kerja.
Ya, tapi masa aku harus bohong sih? Papa dulu selalu mengingatkanku agar selalu jujur agar hidup tidak hancur. (Sedikit meniru perkataan babe benyamin di film Si Doel Anak Sekolahan, karena papaku suka sekali dengan sinetron legenda itu.)
Ah, masa bodoh. Pokoknya pertanyaan dari HRD nanti akan kujawab sebisaku.
"Selamat Pagi."
Eh benar 'kan ini masih pagi?
"Pagi. Silahkan masuk."
Ruangan mini ini ... serius, suasananya mencekam sekali. Suhu ruangan mendadak dingin padahal tadi sebelum masuk aku kepanasan. Padahal HRD nya ganteng. Tapi aku kok serasa di penjara?
"Silahkan duduk."
Aku meremas-remas tanganku. Berusaha mewajarkan senyumku agar tak terlihat berlebihan di mata HRD ganteng ini.
Si HRD yang kubaca dari name tag nya bernama Rendra ini sudah melancarkan berbagai macam pertanyaannya padaku. Pertanyaan yang kebanyakan menjebak sekali. Ya, kalian tahu sendiri 'kan bagaimana sulitnya pertanyaan dari interviewer ?
Tinggal satu pertanyaan lagi.
"Kenapa kamu ingin bergabung dengan perusahaan ini? "
Ya karena mau punya uang, lah.
Tapi kata Agung, aku harus menjawab pertanyaan jebakan ini dengan sedikit bumbu kebohongan. Tapi serius, aku tidak bisa berbohong, walau sedikit.
"Ya karena mencari uang, Pak."
"Kalo sekedar cari uang mah, nggak harus di perusahaan ini 'kan? Di tempat lain juga bisa."
Mati.
Skak mat. Benar juga apa katanya.
Papa, tolong aku.
"Ya karena saya ingin berkarir juga, Pak. Saya tuh dari dulu pengen kerja kantoran. Dan menurut saya, perusahaan inilah yang ingin saya jadikan tempat untuk mengembangkan karir saya," jawabku dengan cengiran selebar cengiran kuda.
Entah aku yang terlalu polos atau bodoh, jawaban itu meluncur saja dari mulutku.
Masa bodoh diterima atau tidak aku nantinya. Kalaupun tidak lolos seleksi wawancara, aku masih bisa jadi driver ojek online nantinya.
"Kamu tinggal sama siapa? "
"Sendiri, Pak."
"Orang tua kamu? "
Kok pribadi sekali sih ini pertanyaannya?
"Mama sudah meninggal lima tahun lalu pak, dan papa saya baru saja satu bulan yang lalu meninggalkan saya."
Kulihat raut wajah Pak Rendra berubah."Maaf, turut berduka cita."
Aku pun tersenyum "Nggak apa-apa, Pak. Saya yakin papa mama saya sudah ada di tempat yang lebih baik."
Bohong. Padahal sebulan yang lalu kamu seperti mayat hidup, Nadia.
"Ya sudah. Kamu bisa menunggu tes psikotesnya di luar."
Jadi begini saja prosesnya? Apa aku sudah lolos seleksi tahap wawancara?
Tapi pertanyaan itu hanya tertahan di batinku saja tentunya."Baik, Pak. Terima kasih."
Dan untuk pertama kalinya, kami pun berjabat tangan.
♥♥♥
AGadis itu, polos sekali.
Membuat Rendra tak henti-hentinya melamunkan gadis bernama Nadia itu.
Setiap kali ditanya, gadis itu akan menjawab jujur apa adanya tanpa ada dibuat-buat. Dandanannya juga polos sekali. Tidak seperti pelamar wanita lainnya yang ber-make up ala Kim Kardashian. Padahal yang dinilai dari perusahaan ini jika perekrutan karyawan adalah otak, bukan fisiknya. Ya, penampilan memang perlu, tapi tidak berlebihan seperti itu.
"Make up tebal, penampilan mahal. Tapi kalau otaknya kosong buat apa?"
Itulah yang selalu diingatkan Jerry Andrean, pemilik perusahaan ini untuk seluruh bawahannya. Sekaligus, motto dari perusahaan ini.
Gadis itu, sudah berhasil merebut perhatian Rendra. Sedikit, tapi sudah berhasil.
Dan kini Rendra pun melangkahkan kaki nya ke ruangan khusus psikotes calon karyawan. Di tangannya ada setumpuk berkas psikotes yang lumayan tebal untuk setiap calon pelamar.
Seisi ruangan yang tadinya heboh dengan suara cekikian para perempuan menor tadi mendadak senyap saat Rendra masuk. Lagi, para perempuan kembaran Kardashian Family itu mengagumi ketampanan Rendra dari jauh. Kecuali Nadia tentunya. Sebagai perempuan biasa, ia juga kagum pada ketampanan Rendra, tapi Nadia gadis yang pandai bersikap. Tak berlebihan seperti enam wanita itu.
"Waktunya 30 menit ya. Pada bawa pena masing-masing 'kan?" ujar Rendra setelah menyerahkan lembar tes psikotes itu pada kesepuluh orang calon karyawan itu.
Semuanya mengangguk.
"Oke, langsung dikerjakan saja. Dimulai dari sekarang."
Semuanya langsung sibuk dengan lembar tes masing-masing. Rendra memutuskan untuk menunggu sambil berdiri. Ia perhatikan satu-satu ke sepuluh orang itu.
Dan pandangannya terhenti lama pada seorang gadis bernama Nadia.
Nadia kali ini berhasil lagi merebut perhatiannya. Rendra jelas sekali bisa melihat bagaimana bingungnya Nadia dalam mengerjakan soal itu tapi ia tetap berusaha tenang dan tak bertanya kanan kiri.
Rendra asyik memperhatikan Nadia hingga tak sadar tiga puluh menit sudah berlalu.
"Oke waktu habis, ya!"
Semua calon pelamar maju kedepan untuk menyerahkan lembar tes pada Rendra dan kembali duduk.
"Ini saya periksa dulu. Kalau misalnya ada yang lolos, akan kami panggil lagi via telepon. Pastikan nomor anda tetap aktif. Jika dalam waktu tiga hari kedepan ada yang belum dipanggil, artinya anda tidak lolos seleksi. Paham?"
Lagi, semuanya mengangguk. Termasuk Nadia.
"Baik, terima kasih sudah mengikuti proses seleksi ini dan anda semua boleh pulang. Sekali lagi saya ingatkan agar nomor ponselnya tetap aktif selama tiga hari kedepan."
Satu persatu keluar ruangan. Nadia ada di urutan terakhir.
"Terima kasih, Pak."
Dari sepuluh orang, hanya Nadia yang mengucapkan terima kasih pada Rendra sebelum ia keluar ruangan. Membuat Rendra tertegun. Tuhan menyelipkan satu perempuan yang tahu sopan santun diantara sembilan orang lain yang pergi begitu saja saat meninggalkan ruangan.
"Ooh, iya sama-sama. Hati-hati di jalan."
Gadis itu tersenyum dan lagi-lagi, sedikit-sedikit perhatian Rendra seolah tersedot semuanya untuk Nadia.
Gadis itu berbeda.
"Selain otak, perusahaan ini juga perlu pegawai yang tau attitude. Sebab sepintar apa pun seseorang, kalau attitude nya nol besar nggak ada gunanya juga sama sekali."
"Fix! Ini mah karyawan idaman Pak Jerry banget. Tapi gue belum tau hasil psikotesnya dia kayak gimana. Semoga aja bisa sesuai dan dia bisa lolos."
Karena yang Rendra tak tahu, hati kecilnya sudah terpesona pada Nadia.
♥♥♥
"Maap ya, Nad, hari pertama lo kerja gue nggak bisa nganterin." Nadia melihat kalender. Ini bukan lebaran. Kenapa Agung terus mengucap maaf sejak tadi? Padahal Nadia sudah memaafkan. "Sekali lagi minta maap, gue bawa Densus 88 ya kerumah lo, Gung!!" Agung terkekeh di sebrang sana. Ini hari pertama Nadia bekerja setelah sekian tahun menganggur. Nadia super excited. Pasalnya tiga hari ia gelisah tak tahu waktu menanti panggilan telpon dari HRD. Hari ketiga menjelang sore, Nadia mulai pupus harapan. Di pikirannya kala itu, mungkin ia kalah saing. Namun tak disangka, panggilan yang ia nanti itu muncul di ponsel berlambang apel tergigitnya tepat pu
Senyuman Rendra mengembang lagi setelah dua hari belakangan ia bermuram durja. Semangatnya seolah ter-charge lagi saat mendengar sesuatu yang menyenangkan pagi ini. "Bukan, pak. Dia teman saya. Lagi pula dia sudah punya tunangan, kok." Itulah yang dijawab Nadia saat Rendra menanyakan siapa laki-laki yang pulang dengan gadis itu tempo hari. Karena didorong rasa cemburu yang amat sangat, Rendra pun memberanikan diri untuk menanyakannya langsung saat mendapati Nadia diantar laki-laki itu lagi pagi tadi. Untunglah jawabannya membahagiakan, menyenangkan hatinya. Semangat itu bersemi lagi. Semangat untuk mendapatkan perhatian gadis berusia 20 tahun itu. Karena beberapa hari belakangan Rendra berpikir, ia tak mungkin semati-matian itu berusaha untuk memasukkan Nadia untuk bekerja disini kalau tidak punya perasaan lebih pada gadis itu. Dan kini di ruangan kerjanya y
Selepas salat subuh, Nadia yang biasanya tidur lagi tapi kali ini langsung buru-buru mandi. Gadis manis itu rindu papanya. Nadia ingin datang ke makam untuk sekedar menyapa dan menabur bunga kesukaan papanya. Terkadang di saat sunyinya malam mulai datang, Nadia meneteskan air matanya. Rindu ini berat sekali untuk ia tahan. Agung bilang, wajar, baru satu bulan lebih. Sakit atas rasa kehilangannya masih terasa. Tapi Nadia berani bertaruh kalau rindu pada papanya akan menghantuinya selamanya. Selang beberapa menit, ia sampai di pemakaman yang tak jauh dari daerah rumahnya. "Assalamualaikum, Papa." Segera Nadia meletakkan buket bunga melati itu di atas makam. Jemarinya kemudian mengusap batu nisan yang baru saja diganti dua minggu lalu. Dinginnya udara menjelang matahari terbit seperti ini tak Nadia gubris. Perhatiannya kini tertuju seluruhnya pada makam sang papa, cinta pertamanya
Rendra POV Udah satu minggu lebih Nadia ada di kantor itu dan kemajuan gue ngedeketin dia cuma gerak dikit. Itupun cuma sebatas ngirimin sarapan misterius doang sama ngajak makan malem. Itupun modus nganterin dia pulang. Malu gue sebenernya. Umur udah 35 tahun tapi cara ngedeketin cewek aja masih minim. Soalnya gini, gue dari dulu terbiasa ama cewek yang ngedeketin atau ngegoda gue, bukannya dorongan dari gue sendiri. Ya jadi wajar 'kan kalau sekarang gue begini? Ngedeketin cewek umuran Nadia aja gue gemeter. Dan sekarang, ini gue malu banget ngasih tau ke kalian. Percaya nggak kalau sekarang gue lagi minta saran Reza gimana caranya ngedeketin Nadia? Percaya nggak percaya kalian harus percaya. Buktinya ini sekarang gue lagi sama Reza di kamar gue sambil sesekali gue cek obrolan tentang rencana gathering di grup W******p kantor yang isinya gue dan staf petinggi-petinggi kantor. "Heran gue lo
Nadia POV Malem minggu. Hari dimana anak muda keliaran nggak tau arah, ketawa ngakak-ngikik nggak inget mati, pada keluar dari sarangnya. Atau tipe yang kayak gue yang kalo keluar di malem minggu itu karena emang ada yang ngajak dan kebetulan lagi gabut. Contohnya kali ini. Gue itu paling males ama yang namanya malem mingguan. Jaman pacaran sama Agung aja dulu ogah banget gue diajak dia saturday night nggak jelas begitu. Apaan. Kalo mau nge-date 'kan bisa di hari yang lain, nggak cuma malem minggu doang. Mungkin itu juga penyebab kenapa Agung sama gue itu putus dulu. Agung anaknya blingsatan, aktif kayak dede bayi dalem perut. Sementara gue kaku, pendiem, nggak banyak omong. Bagus deh tuh anak sama Ros sekarang. Cocok, sefrekuensi, sepemahaman. Dan malem ini karena gue gabut dan nggak tau mau ngapain, gue iyain ajakan Acha
Nadia POV "Ih, lo makhluk hidup apa bukan sih, Nad?? Masa nggak peka terhadap rangsangan.. eh, maksud gue, nggak peka sama keadaan sekitar. Dari ekspresi Pak Rendra semalem jelas banget tau nggak kalo dia tuh naksir elu." Sumpah demi apa, gue kepikiran ama omongan Acha pas kami mau pulang semalem. Ya Allah, masa sih Pak Rendra naksir gue? Dia ganteng, dewasa gitu masa demen ama gue yang masih bocil belum banyak pengalaman hidup gini??? Ceburin aja Acha ke Bengawan Solo! Dan karena kata-katanya dia itu, gue jadi gemeter mau pergi ke kantor pagi ini. Gila, cepet banget sih udah hari Senin aja. Perasaan baru kemaren malem minggu.Eh tapi, kalo gue nggak ke kantor, alamat bakalan kena SP. Ergghh, Acha sialan! Danu lagi, pake segala ngajak Pak Rendra buat gabung. Kalo nggak gitu 'kan nggak bakalan gini kejadian
"Emang ciri-ciri perempuan kalo udah pengen nikah apaan, Za? " Reza memandang adiknya tak paham. Kuno sekali adiknya ini. Sudah tua, tapi urusan perempuan masih nol besar. Tapi kalau urusan pekerjaan saja, nomor wahid berkuasanya. Tadi, Reza iseng masuk ke kamar Rendra saat anak itu sedang telponan dengan Nadia. Persis remaja labil yang baru mengenal cinta. Reza yang melihat itupun kontan mengejek Rendra dengan sebutan "tua-tua bocil". "Pertama ... " Rendra tersenyum antusias dan langsung melompat ke atas kasur."Apaan? " "Beliin gue mekdi dulu, gih. Komplit." Rendra yang tadinya antusias mendadak berwajah masam. "Udah bengkak masih aja makan pikiran lo! " "Ngasih saran ke lo tuh butuh tenaga, adik kecil! Buru! Gue laper!" Terpaksa Rendra menuruti. Pasalnya, abangnya itu saran percintaannya selalu berhasil. Apa-apa
Nadia POV Empat bulan berlalu. Di umur yang baru 20 tahun, 3 bulan, dan 45 hari, gue udah jadi ibu rumah tangga sejak dinikahin sama Mas Rendra empat bulan yang lalu. Gue nggak pernah nyangka bakal nikah di umur yang masih terbilang muda kayak sekarang. Apalagi nikah sama laki-laki yang umurnya beda lima belas tahun sama gue. Hubungan gue sama Mas Rendra itu kayak kereta super cepat yang ada di Jepang tau, nggak? Bayangin aja. Kenal di kantor baru seminggu dia udah nembak gue dan kita pun jadian. Dan baru pacaran dua minggu, Mas Rendra udah ngajak gue nikah. Dan satu setengah bulan setelahnya, kita pun resmi jadi suami istri. Gue pribadi sih sebenernya sah-sah aja ya ngejalanin hubungan ekspres kayak gini. Ya gue juga mikirnya, kalau cinta ngapain lama-lama 'kan? Apalagi gue bisa liat Mas Rendra itu udah mapan ekonominya. Plus, Mas Rendra juga udah dewasa yang bisa gue liat dari segi u