Nadia POV
Empat bulan berlalu.
Di umur yang baru 20 tahun, 3 bulan, dan 45 hari, gue udah jadi ibu rumah tangga sejak dinikahin sama Mas Rendra empat bulan yang lalu. Gue nggak pernah nyangka bakal nikah di umur yang masih terbilang muda kayak sekarang. Apalagi nikah sama laki-laki yang umurnya beda lima belas tahun sama gue.
Hubungan gue sama Mas Rendra itu kayak kereta super cepat yang ada di Jepang tau, nggak?
Bayangin aja. Kenal di kantor baru seminggu dia udah nembak gue dan kita pun jadian. Dan baru pacaran dua minggu, Mas Rendra udah ngajak gue nikah. Dan satu setengah bulan setelahnya, kita pun resmi jadi suami istri. Gue pribadi sih sebenernya sah-sah aja ya ngejalanin hubungan ekspres kayak gini. Ya gue juga mikirnya, kalau cinta ngapain lama-lama 'kan? Apalagi gue bisa liat Mas Rendra itu udah mapan ekonominya. Plus, Mas Rendra juga udah dewasa yang bisa gue liat dari segi u
"Mas temenin ya, Nadia?" Nadia menggeleng. Suaminya ini terkadang keras kepala sekali. Sudah berapa kali Nadia menggeleng, menolak permintaannya sejak tadi. Tapi ia masih saja memaksa. "Temenin gimana? Jadi Mas batal pergi ke Bogor, terus dimarahin Pak Jerry cuma gara-gara mau temenin aku cari bahan buat usaha? Mas udah bosen kerja disana? Mas mau di pecat? Terus kita makan apa, kakanda?" Nadia itu memang jarang ngomong, tapi sekalinya dia ngomong, bisa sepanjang rel kereta api jurusan Cikampek-Tokyo. Panjang sekali. "Lagian itu Pak Jerry demen banget sih nyuruh Mas masuk weekend begini." "Lah 'kan biasanya juga begitu Mas?? Kenapa sekarang Mas ngeluh?" "Ya 'kan dulu sebelum Mas nikah, bebas mau pergi kapan aja, Mama pun jarang di rumah, jadinya Mas nggak khawatir mau ninggalin. Ini sekarang Mas udah ada tanggung jawab, kamu. Mana kamu lagi hamil."
Rendra terdiam di atas tempat tidurnya. Masih dalam keadaan belum mengganti pakaiannya sama sekali. Hatinya gusar. Sebuah kebohongan yang ia katakan pada istrinya sebelum mereka menikah dulu, terbayang kembali. "Mas belum pernah nikah sama sekali?" Nadia melontarkan pertanyaan itu yang langsung membuat Rendra terdiam seribu bahasa. Jika ia jujur, pasti Nadia akan langsung membatalkan pernikahan mereka. Siapa sih, seorang gadis berusia 20 tahun yang mau dinikahi dengan pria berumur 35 tahun yang sudah pernah menikah sebelumnya? Lain kalau gadis itu tipe perempuan matrealistis dan Rendra yakin, Nadia bukan tipe perempuan seperti itu. Dan saat itu, Rendra memil
Author POV Bila hakim telah mengetuk palu, maka keputusan sudah mutlak, tak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Sama halnya dengan keputusan Jerry Andrean yang memutuskan untuk Family Gathering di Malaysia. Keputusan yang tak akan bisa dibantah dan ditolak oleh siapapun di perusahaannya. Apalagi Rendra yang jabatannya jauh dibawah Jerry. Keputusan itu Jerry umumkan berdasarkan hasil voting seluruh karyawan kantor yang kebanyakan memilih Malaysia sebagai destinasi dibanding Bali. Dari 100% hasil suara, hanya 19,5% yang memilih Bali. Apalagi perjalanan wisata ini mutlak semua biaya yang menanggung adalah perusahaan, kecuali budget oleh-oleh, paspor, visa, dan uang saku. Tentu saja mereka semua rata-rata memilih negara yang memiliki Menara Kembar tersebut. Hari Jum'at pekan ini mereka berangkat. Dan diantara semua wajah bahagia itu, hanya Rendra yang bermuram durja dengan keputusa
❤❤❤ "Mas? Ada yang mau dimasukin lagi nggak ke koper?" Rendra menggeleng pelan. Sejak tadi, Nadia yang sibuk memasukkan barang-barang ke koper sementara dia asyik rebahan di kasur. Bukan bermaksud menjadi suami pemalas, namun, Rendra benar-benar kehilangan semangat untuk pergi ke Malaysia besok. "Udah masuk semua, Nadia. Besok tinggal berangkat. Kamu daritadi sibuk ngurusin itu sampe lupa sama suami." Nadia berdecak sembari bertolak pinggang. "Nanti kalo ada yang ketinggalan 'kan repot, Mas." Nadia tak ingin protes k
Rendra POV Hari ketiga sekaligus hari terakhir kita ada di Kuala Lumpur setelah dua hari sebelumnya abisin waktu buat explore Malaysia. Wisatanya sih nggak pergi ke banyak tempat. Cuma ke Genting Highland, Penang, sama Gua Batu. Baru tadi siang terakhir ke Menara Kembar baru wisata belanja ke daerah Selangor. Abis itu kita semua termasuk Pak Jerry dan istrinya dibiarin istirahat di hotel. Baru besok siang balik ke Jakarta. Tempat yang nggak kesampaian buat kita datengin itu cuman Studio Animasinya Upin-Ipin. Padahal Nadia pengen banget katanya kesitu. Pengen ngeliat Gopal katanya. Dan disaat yang lain pada istirahat, gue sama Nadia masih harus pergi ke satu tempat lagi. Kemana lagi kalo bukan acara pertunangannya Agung sama calonnya itu. Untungnya, rumah Agung yang ada disini nggak jauh dari hotel tempat kita nginep. Dan sekarang, gue lagi nungguin Nadia dandan. Sambil nunggui
"Eh, Syifa?" Nadia kaget saat mendapati Syifa memandangi Rendra dengan tatapan sendu dan hampir meneteskan air mata. Saat ditanya berulang kali, perempuan itu tak mengeluarkan suaranya dan masih terus memandangi Rendra. Membuat Nadia bingung sendiri. Ada apa Syifa dengan suaminya? "Mas? Mas kenal Syifa?" Rendra menelan salivanya. Ia langsung menggeleng gugup. "Enggak. Kenal darimana? Mas juga bingung ini kenapa dia daritadi ngeliatin Mas sampe kayak gitu. Ditanya, diem aja. Udah gila kali ya?" Nadia sontak menyentil kening suaminya, takut Syifa tersinggung. Pandangan Nadia kembali fokus ke arah Syifa yang kini tertunduk lesu. "Syifa? Kenapa?" Syifa lagi-lagi diam. Ia tak tahu lagi harus berkata apa saat mengingat Rendra baru saja menyebutnya perempuan gila. Rendra pura-pura tak mengenalnya. "Kamu kenal dia, Nadia?" Sekali lagi, akt
Tiga bulan kemudian... Rendra POV Alhamdulillah, udah tiga bulan berlalu sejak kejadian itu. Nggak ada tanda-tanda, si Syifa bakalan mencoba masuk ke hidup gue lagi, maupun ke hidup istri dan keluarga besar gue. Syukur, mungkin dia juga udah sama kayak gue, mau ngubur masa lalu itu pelan-pelan seolah nggak ada terjadi apa-apa diantara kita dulu. Dan Alhamdulillahnya lagi, pernikahan gue sama Nadia udah masuk sembilan bulan dan usia kandungan Nadia udah lima bulan, time flies so fast. Rasa-rasanya baru kemarin gue nembak Nadia. Gue nggak sabar nunggu anak gue lahir. Semoga aja terus begini kedepannya. Gue sama Nadia bisa hidup tenang tanpa takut lagi sama bayang-bayang masa lalu. Demi Allah, gue beneran mau bangun rumah tangga yang sakinah sama Nadia. Nggak ada yang lebih gue pengen di dunia ini daripada keba
Tiga bulan kemudian. Nadia sejak tengah malam tadi, mulutnya manyun tanpa henti. Ia kesal setengah mati. Padahal hari ini ulang tahunnya, tapi Rendra hanya bersikap biasa saja. Seolah hari ini hari biasa. Jangankan kejutan, ucapan pun tak ada. Membuat Nadia bertanya dalam hati. "Masa sih Mas Rendra nggak inget? Sepikun itukah dia??" Nadia rasa belum waktu nya suaminya untuk punya penyakit pikun kecuali Rendra akhir-akhir ini kepalanya terbentur sesuatu. Tapi,