แชร์

Chapter 4 - Magnet

ผู้เขียน: Jnxdoe
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-07-07 11:31:06

"Aditya? Ada keperluan apa di lantai ini?"

Pria yang menjabat sebagai Direktur Operasional itu memandang bertanya pada Adit yang terlihat gugup.

"Se- Selamat siang pak Ilyas. Sa- Saya... Kebetulan kami bertemu di lift pak."

Bola mata Ilyas bergantian menatap Ema dan Adit. Salah satu jarinya menunjuk kedua orang di depannya.

"Kalian berdua saling mengenal?"

Tersenyum kikuk, Adit keluar dari lift dan menatap Ema yang mengikuti di sampingnya.

"Eh, ya. Kebetulan saya sudah mengenal Andie cukup lama pak. Tapi sudah lama kami tidak bertemu."

Alis Ilyas yang tebal terangkat tinggi dan pria itu meletakkan satu tangan di dagunya. "Oh?"

Senyuman Ema terasa kaku di bibirnya. "Kami saling mengenal saat jaman kuliah dulu pak Ilyas."

Memasukkan kembali kedua tangannya ke saku celana, kepala Ilyas mengangguk kecil. Ia kembali menatap Adit masih sambil tersenyum simpul.

"Kalau begitu, semoga Andromeda bisa membantumu cepat adaptasi di perusahaan ini, Aditya."

Senyuman Adit tampak gembira. "Ya, pak Ilyas. Saya yakin Andie dapat membantu saya."

Mata kelabu Ilyas sedikit berkilat, tapi bibirnya masih menampilkan senyuman.

"Saya harap kau lebih mengandalkan kemampuan dirimu sendiri, Aditya. Karena masa probation-mu sebagai Manager Marketing hanya 6 bulan saja. Dan itu dimulai dari hari ini."

Suasana yang tadinya akrab, tiba-tiba saja mendingin. Suasana mulai terasa canggung dan tidak enak.

Tubuh Ilyas menegak dan ia menatap Adit lebih tajam. Kali ini, ekspresinya kaku.

"Ada lagi? Karena saya harus membicarakan sesuatu dengan Andromeda sekarang."

"O- Oh! Ma- Maafkan saya. Saya permisi kalau begitu. Selamat siang pak Ilyas."

Pria itu menatap Adit yang dengan kikuk memasuki lift kembali. Kepalanya mengangguk. "Selamat siang."

Menoleh ke arah Ema, Ilyas melihat wanita itu masih menatap pintu lift yang tertutup dalam diam.

"Dia mengganggumu tadi?"

"Eh?"

"Anak baru itu. Dia mengganggumu?"

Gelengan segera diberikan Ema dan wanita itu tersenyum. "Oh. Tidak. Sama sekali tidak."

"Hm."

"Apa yang ingin bapak bicarakan sampai memanggil saya ke sini?"

Kedua mata kelabu Ilyas mengedip dan masih mengamati wanita di depannya. Pria itu baru akan membuka mulutnya saat seseorang menginterupsi keduanya.

"Pak Ilyas."

Kepala pria itu menoleh dan tersenyum ramah. "Tantri."

Wanita yang dipanggil Tantri itu tersenyum cantik. "Saya membawa dokumen yang bapak minta."

Menerima dokumen itu, Ilyas masih memberikan senyumannya.

"Terima kasih. Ada pertanyaan dari Stanley?"

Stanley adalah Direktur Marketing. "Tidak ada pak. Beliau tidak mengatakan apa pun."

"Baguslah. Beritahu saya kalau dia menginginkan berkas ini lagi."

"Baik pak."

Wanita itu tampak ingin tahu saat melihat kehadiran Ema yang berdiri di belakang Ilyas.

"Ada lagi?"

Sadar dengan intonasi bicara Ilyas yang sedikit berubah, tubuh Tantri menegak dan ia menggeleng.

"Tidak ada pak. Saya permisi dulu."

Setelah wanita itu menghilang dari pandangan, tangan Ilyas menyentuh punggung Ema ringan. Telapak pria itu terasa menyebarkan hawa panas di bagian yang disentuhnya.

"Ayo, kita ke ruanganku dulu."

Menurut, Ema berjalan beriringan dengan Ilyas dan memasuki ruangan kantor yang cukup besar.

"Duduklah di sofa."

Duduk di sofa, Ema memperhatikan kalau ternyata sudah ada beberapa makanan di atas meja.

Tidak lama, Ilyas menyusul dan duduk di sampingnya. Pria itu menyerahkan berkas yang diterimanya tadi pada Ema. Posisi mereka cukup dekat, dengan bahu hampir bersentuhan.

"Aku baru tahu kalau dia dari eks distributor kita. Kenapa dia sampai bisa diterima di sini, Em?"

Dalam hati, Ema sudah mengantisipasi pembicaraan ini. Tapi tidak menyangka, kalau Ilyas akan membuka diskusi dengan cara yang ringan. Pria ini biasanya akan langsung bersikap judgemental saat dalam forum.

"Bukan saya yang merekrutnya pak. Saya hanya menjalankan perintah."

"Kenapa bahasa kamu formal begitu? Aku kira kita sudah lebih akrab sejak minggu kemarin."

Tersenyum canggung, Ema berusaha menjaga ekspresinya tetap ramah.

"Bukan begitu pak. Tapi saya tetap bawahan Anda dan-"

"Dan aku minta kamu untuk tidak kaku saat kita berdua saja. Kamu paham?"

Perintah itu membuat postur Ema membeku. Dua orang itu berpandangan dan tiba-tiba saja Ilyas terkekeh.

"Aku bercanda. Senyamannya kamu saja, Em. Jangan dipaksakan. Tapi sejujurnya, aku memang merasa lebih dekat sejak kita nonton bareng kemarin."

Wanita itu tertegun dan pikirannya belum jernih, sampai pria itu menyerahkan piring berisi makanan.

"Oh! Pak Ilyas. Ini-"

"Aku lebih suka ngobrol santai saat kita diskusi. Kamu ga keberatan nemenin aku makan siang kan?"

"Tapi ini-"

"Aku lapar Em. Please, jangan membantah lagi."

Tanpa terganggu sama sekali, Ilyas mulai menyuapkan makanan dari piringnya sendiri. Mulutnya mulai sibuk mengunyah saat ia menatap Ema yang masih mematung.

"Dimakan Em. Dagingnya enak."

Wanita itu hanya bisa tersenyum kikuk. "Eh, iya pak."

"Mengenai Aditya tadi. Kamu bilang, bukan kamu yang rekrut dia?"

Mengambil sesuap makanan, Ema mengangguk pelan. "Benar pak. Bukan saya. Saya hanya bertugas untuk menghubunginya dan langsung memprosesnya tanpa tes."

"Siapa yang menyuruh?"

"Pak Stanley dan pak Herman." Herman adalah Direktur Personalia, merangkap Keuangan. Atasan Ema.

Pria itu mengangguk-angguk. "Apa alasannya? Apa benar dia anak pejabat?"

Meletakkan piringnya di atas meja, pandangan Ema tertunduk. Wanita itu tampak ragu-ragu.

"Em?"

Menatap Ilyas tepat di matanya, Ema menarik nafas dalam. "Boleh saya bicara jujur?"

Sadar pembicaraan ini cukup serius, Ilyas me-lap mulutnya dan mengangguk. Tubuhnya lebih tegak.

"Ya. Aku justru ingin kamu jujur. Katakan saja semua yang kamu tahu."

Wanita itu menggigiti bibirnya sebentar. "Sejujurnya, pak Herman atau pun pak Stanley tidak menjelaskan apapun pada saya. Tapi saya sempat melakukan background check untuk Aditya di beberapa perusahaan sebelumnya. Performance-nya tidak bisa dibilang bagus, tapi tidak juga jelek. Biasa saja."

"Terus?"

"Durasi kerjanya di tiap tempat tidak lama. Biasanya sekitar 1-2 tahun. Dia justru lebih lama bekerja sebagai agen asuransi lepas, atau mengurus bisnis-nya."

"Oh? Dia punya bisnis?"

"Dia punya hobi modifikasi mobil-mobil lama dan menjual sparepart-nya pada para kolektor. Sepertinya itu berkembang jadi bisnis yang menguntungkan."

Ekspresi Ilyas lebih intens. "Aku yakin penjelasan itu tidak ada di CV. Kamu kenal dekat Aditya, Em?"

Pertanyaan itu seperti menampar Ema. Ia baru sadar telah keceplosan.

"Ti- Tidak. Sa- saya kebetulan tahu hobinya saat kuliah dulu."

Ema memperhatikan alis Ilyas perlahan berkerut. Tatapan mereka terkunci dan udara mulai terasa berat. Bola mata pria itu yang kelabu seolah menghipnotisnya dan membuatnya tidak bisa berpaling.

Seperti tertarik magnet, mata Ema turun ke arah bibir Ilyas yang merah muda.

Suara pria itu terdengar lebih serak dan berat saat ia bicara, "Ema... Aku-"

Pintu ruangan tiba-tiba terbuka lebar dan terdengar suara melengking. "Ilyas!"

Tampak seorang wanita muda mengenakan gaun selutut yang dengan cepat menerjang dan memeluk pria yang masih duduk itu. Bibirnya yang berlipstik merah pun mendarat di pipi lelaki itu yang sedikit gelap.

"Ilyas! Aku rindu banget!"

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • I Love You, Pak! Tapi Aku Takut...   EPILOG 3 - Red Thread of Fate

    = Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu

  • I Love You, Pak! Tapi Aku Takut...   EPILOG 2 - Redemption

    "Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang

  • I Love You, Pak! Tapi Aku Takut...   EPILOG 1 - Scattered Dreams

    = Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa

  • I Love You, Pak! Tapi Aku Takut...   Chapter 62 - Kenangan & Nostalgia

    "Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.

  • I Love You, Pak! Tapi Aku Takut...   Chapter 61 - Prioritas dalam Hidup

    Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"

  • I Love You, Pak! Tapi Aku Takut...   Chapter 60 - Permainan Antar Suami-Isteri

    Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status