= Menara TJ Corp. Kota J. Hari Senin =
Kejadian minggu kemarin seolah mimpi bagi Ema, saat ia menghadapi kenyataannya di awal minggu. "Selamat pagi, An." Tubuh Ema menegak kaku. Wajahnya kaku. Ekspresinya kaku, tapi tampak senyuman profesional di bibirnya. Salah satu tangannya terulur ke depan dan ia menjabat tegas tangan pria itu. "Selamat pagi, pak Aditya. Selamat bergabung dengan keluarga TJ Corp." Sapaan formal tapi sangat ramah itu tampak membuat Adit sedikit terkejut, dan ia tersenyum canggung. "Ya. Ya. Terima kasih juga telah membantu proses rekrutmen saya hingga lancar semuanya." Melepas genggamannya, kepala Ema sedikit meneleng dan ia kembali tersenyum simpul. "Saya hanya menjalankan instruksi dari manajemen." Sebelum Adit dapat menjawab, tatapan Ema terarah pada bawahannya yang berada di samping pria itu. "Sudah dikenalkan ke departemen lainnya, Ayu? Ke para direksi barangkali?" "Iya bu. Saya baru mau mengajak pak Adit keliling sekarang. Pak Ilyas juga sepertinya baru datang bu." Kepala Ema mengangguk. "Kalau begitu, mungkin ke pak Ilyas saja dulu. Biasanya beliau banyak meeting di pagi hari atau keluar untuk meninjau lapangan." "Baik bu. Mari pak Adit. Kita ke ruangan pak Ilyas dulu." Tanpa menatap pria itu lagi, Ema kembali duduk dan mengambil salah satu berkas di atas mejanya. Wanita itu sadar tatapan Adit yang masih ingin mengobrol dengannya, tapi sengaja tidak mengacuhkannya. Membuka berkas di tangannya, tampak beberapa salinan dokumen terkait dengan karyawan yang baru join hari ini. Terlihat ada tulisan tangan di salah satu sudutnya. 'Harus diproses. Anak pejabat perpajakan. Case khusus.' Meletakkan berkas itu ke meja, salah satu tangan Ema mengusap pelipisnya. Sepertinya, ia kembali harus berhadapan dengan masa lalunya. Apa ia harus mengulangi lagi kejadian dulu seperti kaset rusak? Siangnya, suara telepon di atas meja memutus perhatian Ema yang sedang fokus di laptop-nya. "Halo?" "Em? Bisa ke ruanganku sebentar?" Menatap gagang telepon, kening wanita itu berkerut. Suara serak itu sangat familiar di telinganya. Pak Ilyas? "Em?" "Sekarang pak?" "Kalau bisa sekarang lebih baik. Aku tunggu ya." "Baik pak." Menutup panggilan itu, alis wanita itu masih mengerut. Tidak pernah Ilyas meneleponnya langsung seperti ini. Jabatan pria itu lebih tinggi beberapa tingkat darinya, dan biasanya pria itu akan meminta sekretaris atau bawahannya untuk menyampaikan pesannya. Tidak dengan telepon seperti ini. Menutup laptop-nya, Ema berjalan pelan menelusuri kubikal-kubikal dan sampai di depan lift. Ia baru saja akan menekan tombolnya, saat terdengar sapaan dari arah belakang. "An! Kebetulan!" Menutup matanya erat, wanita itu menghitung dalam hati sebelum ia berbalik dengan senyuman sempurna di wajahnya. Matanya tampak cerah dan bersahabat. "Pak Adit. Selamat siang." Senyuman Adit melebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rata. Jari pria tampan itu menekan tombol yang mengarah ke bawah. "Kamu mau makan siang kan? Makan di mana? Aku masih belum familiar dengan lingkungan sini." Dengan tenang, Ema menekan tombol yang mengarah ke atas. "Saya harus menemui seseorang dulu. Mungkin Anda bisa mengajak karyawan lain pak." Perkataan formal wanita itu membuat alis Adit berkerut. Ekspresi tidak suka mulai muncul di wajahnya. "Andie. Aku tahu kalau kamu mau bersikap profesional tapi ayolah, hanya ada kita berdua di sini. Kita sudah saling mengenal lama. Jangan terlalu kaku begitu." Pintu lift terbuka dan tidak ada orang di dalamnya. Tanda panah menunjukkan ke arah atas. "Saya duluan pak." Pintu hampir saja tertutup saat Adit tiba-tiba saja menahannya dan ikut masuk ke dalam lift. Pria itu menatap tajam Ema dengan ekspresi menantang. "Kamu bohong kan mau ketemu orang dulu? Aku tahu kamu menghindar dari aku, An." Tanpa menatap pria itu, Ema menekan tombol yang menunjukkan lantai tertinggi di gedung itu. "Lantai 56? Ngapain ke sana? Bukannya di sana cuman ada ruangan Ilyas dan beberapa direksi lainnya?" "Saya akan ketemu dengan pak Ilyas." Sejenak, pria itu terdiam dan kemudian menatap tidak suka ke arah Ema. "Jangan bohong, An! Urusan apa Ilyas ketemu kamu? Jabatan dia terlalu tinggi buat ketemu kamu!" Kening Ema berkerut dan akhirnya, ia pun menatap pria di depannya ini. "Apa maksud jabatannya terlalu tinggi? Memangnya pak Adit pikir saya tidak pantas ketemu pak Ilyas?" D*da pria itu tampak kembang kempis saat menatap Ema. Kedua tangannya mengepal. "Andie. Tolong jangan seperti ini. Aku tahu kamu cuman lulusan D3. Tidak mungkin orang seperti Ilyas-" Salah satu telapak tangan Ema terbuka dan terarah ke Adit. "Wow. Tunggu. Stop dulu. Anda pikir, jabatan saya apa?" Helaan nafas yang berat terdengar dari mulut lelaki di depannya. "Bukannya aku merendahkan pendidikanmu, An. Tapi aku yakin kamu hanya supervisor di sini. Kalau tidak, pasti kamu yang akan menginterview atau mengetesku saat itu. Jadi asumsiku tidak salah mengira kamu itu cuman supervisor. Lagipula, jadi supervisor itu tidak buruk kok. Hanya saja-" Tidak tahan lagi, Ema menyergah perkataan pria itu dengan suara kasar. "Stop! Anda sudah keterlaluan pak Adit! Kalau Anda mau tahu, saya yang TIDAK MAU memproses Anda. Saya yang minta BAWAHAN saya melakukannya. Untuk apa saya menginterview Anda, kalau semua hanya FORMALITAS? Anda harus tahu, Anda ini masuk lewat jalur belakang! Seperti saya bilang pagi tadi, saya hanya menjalankan instruksi manajemen tapi bukan berarti, saya tidak punya kapasitas merekrut orang!" Penjelasan itu membuat Adit terpana. Pria itu belum bisa berkata-kata saat bel berdenting, menandakan lift telah sampai di lantai yang dituju. "Jabatan saya mungkin tidak setinggi pak Ilyas atau pun Anda, tapi bukan berarti martabat saya lebih rendah dari kalian berdua! Saya harap, ini terakhir kalinya Anda menghina saya pak Aditya! Dan jangan hubungi saya kalau bukan urusan pekerjaan!" Pintu lift yang terbuka, perlahan memperlihatkan pemandangan di baliknya. Dan tanpa diinginkannya, raut Ema memucat pias saat ia memandang orang di depannya. Sangat tahu, kalau kata-kata kasarnya barusan dapat didengar jelas dari balik pintu. "Pak... Ilyas...?" Sosok pria tinggi itu tampak tegak dan menjulang. Kedua tangan di kantong celananya. "Andromeda." Kepala pria itu sedikit meneleng saat menatap lelaki lain di depannya. Senyuman kecil terukir di bibirnya. "Aditya?"= Sekitar enam tahun kemudian. Kantor TJ Corp. Kota J, Indonesia = "Selamat bergabung, Andie. Saya senang banget kau akhirnya join ke sini." "Terima kasih, bu Anita. Semoga saya bisa berkontribusi di sini." Dua orang itu saling berjabat tangan akrab. Dengan cepat, karyawan baru itu diberikan tugas-tugas yang harus dikuasainya dalam waktu singkat. Dan seperti harapan sang atasan, bawahannya itu ternyata dapat memenuhi ekspektasinya dengan sempurna. Hanya dalam waktu 6 bulan, Ema pun sudah dipercaya untuk memegang beberapa tugas penting dan mendapat promosi sebagai Assistant Manager. Hari ini adalah hari pertama Ema akhirnya dapat bertemu dengan para direksi langsung. Biasanya ia hanya akan meeting dengan para Manager departemen. Tapi hari ini, atasannya membawanya serta dalam rapat terkait dengan rekrutmen MT di tahun itu. Wanita muda itu menelan ludah dan jantungnya berdebar penu
"Akhirnya kau jadi juga pergi, Hag. Kali ini kau mau kemana?" Pria tinggi itu tidak menjawab dan hanya meneruskan membereskan barang-barang di tas ranselnya. Lelaki itu jauh lebih kurus dibanding beberapa bulan lalu. Tampak kedua pria lain yang sedang berdiri itu saling memandang penuh arti. "Hag? Kau yakin akan pergi sekarang? Kau ini baru keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, man." Memasukkan beberapa surat penting dalam dompet khusus, Ilyas menjawab datar, "Aku sudah beli tiket." "Hagen..." Mencantolkan ranselnya ke salah satu bahu, Ilyas menepuk bahu Stanley tanpa menatapnya. "Kunci pintunya waktu kalian pergi. Titip di Oma. Aku akan kembali satu bulan lagi." Tidak mengatakan apapun lagi, pria itu keluar dari apartemen, meninggalkan dua rekannya yang mematung di sana. Tampak kedua lelaki itu saling memandang
= Flashback hampir 13 tahun lalu. Rumah utama keluarga Tjakradiningrat. Kota B. Jerman = "Dasar kau J*LANGGG!!" Tampak tangan berotot itu menjambak rambut panjang seorang wanita dan menyeretnya ke lantai. Pria itu hampir saja mencekik leher yang rapuh itu saat tangan lain mencengkeram dan menahannya. "Kak!! Sadar kak! Jangan!!" "Kau...!" Menggeram, Ilyas memberikan tonjokan mematikan ke wajah sepupunya yang tampan. Tampak Bimo tidak sempat mengelak dan pria itu terjengkang ke belakang. Melihat kesempatan, Yasmin merangkak di lantai dan menyambar sisa pakaiannya. Terburu-buru, wanita itu segera kabur dari kamar tidur itu, meninggalkan hasil perbuatannya dengan tidak bertanggungjawab. Dua bersaudara itu masih saling bergulat di lantai, sampai cukup banyak orang datang ke sana dan berusaha melerai mereka. Butuh sekitar lima orang pria dewasa
"Kenapa Bjorn? Kamu mau pipis?" Kepala mungil itu mengangguk-angguk. Satu tangan yang memegang Ilyas tampak menarik-nariknya. Saat ini, Ilyas dan Ema lebih banyak menggunakan bahasa Jerman ke anak mereka. Nanti perlahan, mereka bersepakat mengajarkan bahasa Indonesia dan juga Inggris agar Bjorn lebih siap saat bersekolah. Memangku anaknya, Ilyas menepuk bahu isterinya yang sedang berdiri di depannya. "Em. Aku mau bawa Bo ke toilet sebentar. Kamu ga apa-apa ngantri sendirian sebentar?" "No problem, pak. Nanti kita ketemuan saja di tempat biasa." "Oke." Keduanya melambai dan Ema kembali konsentrasi melihat layar di depannya. Ia memilih tiga tempat duduk dan tersenyum sendiri. Dirinya bernostalgia ke peristiwa beberapa tahun lalu. "Silahkan kak." Tampak seorang petugas menyerahkan tiket ke tangan wanita itu.
Mengusap ranjang di sampingnya yang terasa dingin, mata Ema perlahan membuka dan ia pun bangkit dari tidurnya dan menatap sekelilingnya. Kamar itu terasa kosong. Merapatkan jubah tidurnya, ia pun turun dari ranjang dan segera ke kamar lain di apartemen itu. Tampak pintu kamar itu tertutup rapat dan dengan hati-hati, Ema membukanya. Pemandangan di depannya membuat wajah wanita itu yang tadinya cemas, perlahan rileks. Ia tersenyum. Di tempat tidur, Ilyas sedang memeluk anaknya. Pria berjubah tidur itu meringkuk di samping Bjorn, dan satu tangannya di perut balita itu. Tampak Bjorn sudah bangun dan menggeliat gemas melihat ibunya di pintu. "Mam-mam!" "Sayang..." Perlahan, Ema mengangkat anaknya dan mengecup dahinya. Jari-jari gemuk Bjorn menunjuk tempat tidur dan anak itu terkekeh gembira. "Pap-pap tidur!"
Bola mata itu masih mengikuti mobil hitam itu sampai menghilang dari pandangan. Barulah setelahnya, kaki pria itu melangkah keluar dari persembunyiannya. Ia berhenti di satu makam yang baru ditinggalkan tadi. Wajah pria itu terlihat shock saat menatap ke bawah. Tampak karangan bunga segar tergeletak di sana. "Ilyas... dengan Andie...?" Ingatan Adit dengan cepat berkelana dari satu kenangan ke kenangan lainnya. Akhirnya pertanyaannya selama ini terjawab. Kenapa ia merasa Ilyas tidak pernah menyukainya. Kenapa pria itu seolah sering mencari masalah dengannya. Dan kenapa, mantan atasannya itu dulu seperti sangat melindungi wanita itu. Ketika semua keheranannya itu terjawab, Adit menengadahkan kepala dan menghembuskan nafas keras. Perasaan di d*danya dipenuhi dengan kemarahan yang amat sangat. "S*alan orang itu! Jadi selama ini, dia cari masalah dan memecatku karena Andie? Hanya kare