Share

Diterima atau Ditolak?

"Maafkan Bapak, Kia. Saya sudah punya pasangan dan kami sebentar lagi akan segera menikah," ucap Pak Yuda tersenyum seraya menepuk bahuku. Seiring langkah beliau, tersimpan rasa nyeri di hati ini.

Bagai tertusuk panah tajam yang menghujam jantung mendengar perkataanya itu. Tubuhku lunglai seperti tanpa tulang, kakiku lemas seakan tak berpijak, pertahananku runtuh.

Kumenyandarkan tubuh ini ke dinding sebelum diri ini terjatuh. Kutangkup kedua tangan ke wajah dan kubiarkan telapakku ikut basah oleh lelehan air mata.

"Kia, kamu kenapa?" Terdengar lirih suara Linda bertanya dan dia sudah ada di hadapanku.

Aku langsung memeluk dan menangis sesenggukan di pundak Linda, tanpa menghiraukan pertanyaannya.

"Sudah ... ayo kita masuk ke kelas. Sebentar lagi pelajaran dimulai."

Linda memapahku menuju kelas. Kemudian terdengar langkah yang tergesa-gesa menghampiri. Aku melirik sekilas oleh ujung mata. Sosok tubuh tinggi tegap dengan wajah risau milik Arya, dari tingkahnya ia tampak kebingungan dan juga khawatir.

"Kamu kenapa, Kia?" tanyanya sambil memegang tanganku.

Arya adalah sosok sahabat setia, ia juga menyukaiku. Tapi aku tak meresponnya karena aku menyukai wali kelasku. Hingga saat ini aku nggak bisa memberikan hatiku untuknya. Arya memang baik, ganteng, tapi aku menyukai seseorang yang lebih dewasa. Mungkin karena aku tak punya sosok ayah dan kakak laki-laki.

"Aku nggak apa-apa," ucapku datar.

"Tapi ... kenapa kamu nangis, Kia?"

"Sudah Arya, biarkan dia tenang dulu!" seru Linda sedikit dengan nada tinggi.

"Emang ada apaan?" tanya penasaran Arya.

"Arya!" Linda semakin kesal dibuatnya.

Kemudian Arya pun pergi ke tempat duduknya kembali. Kulihat di matanya ada rasa sedih dan kecewa di sana. Aku pun mengerti pa yang terjadi padanya.

Tak lama kemudian masuklah guru pelajaran yang baru dan kegiatan belajar mengajar kembali dilanjutkan. Sampai ahirnya bel tanda untuk istirahat pun berbunyi.

"Kia, kamu mau ke kantin?" tanya Linda seraya tersenyum. Dia mengajakku, tapi aku tak menghiraukannya.

Serasa tak bertenaga tubuh ini untuk melangkah. Apalagi untuk ke kantin. Selera untuk makan telah hilang. Hatiku hancur berkeping-keping. Sakit sekali.

"Aku di kelas aja, nggak lapar kok," ucapku pelan, lalu Linda pun pergi meninggalkanku sendirian di kelas ini.

"Ya Allah, kuatkan aku," batinku.

Aku harus kuat menerima kenyataan, bahwa Pak Yuda sudah punya pasangan. Aku sadar sepenuhnya, dia tidak memiliki rasa seperti yang aku punya. Kini, aku menyesal telah mengungkapkan perasaan ini pada Pak Yuda.

Kulihat dari kaca jendela Pak Yuda berjalan melewati kelasku. Dia melirik ke arahku, kemudian masuk ke kelas. Aku sedikit heran dengan apa yang dilakukannya, lalu ia duduk di depanku. Aku merapikan rambut yang agak sedikit acak-acakan.

"Kia, maafkan saya, ya," katanya sambil tersenyum menatapku.

"Nggak apa-apa, Pak. Seharusnya Kia yang minta maaf bukan Bapak." Aku menunduk sambil memainkan ujung pakaian.

"Bapak yakin, pasti banyak yang suka sama Kia karena kamu cantik," ucapnya menghiburku.

Kedua sudut bibirku sedikit terangkat ke atas mendengar perkataan Pak Yuda.

"Ya sudah, Bapak tinggal dulu. Bergabunglah sana sama teman-temanmu."

Aku hanya mengangguk seraya tersenyum yang dipaksakan, kemudian Pak Yuda pun pergi meninggalkanku sendirian lagi di kelas ini.

Mengingat kejadian penolakan dari Pak Yuda tadi, hatiku hancur, sakit sekali. Selama ini aku jatuh cinta dalam diam, memendam sendiri tanpa dia mengetahui. Namun, disisi lain, sesuatu yang mengganjal di hati sudah kuungkapkan. Walaupun ahirnya aku yang harus terluka. Bulir bening pun kembali mengalir deras di pipi mewakili semua perasaanku. 

Selang beberapa menit Linda datang ke kelas dan duduk di sampingku, kemudian aku menghapus air mata ini dengan kasar.

"Ayo sekarang ceritakan kejadian tadi yang bikin kamu nangis seperti ini. Apa Pak Yuda menolakmu? Apa dia sudah beristri?" tanya linda penasaran.

"Enggak, dia belum beristri, tapi ... sebentar lagi akan segera menikah," kataku sambil menunduk lesu dan air mata pun tumpah kembali.

Aku harus berusaha untuk menghentikan bulir bening ini, tapi entah mengapa terus menetes seperti ini. 

Mulai sekarang aku harus melupakannya. Menghilangkan semua rasa ini pada Pak Yuda. Apakah aku sanggup?

"Semangat dong, Kia. Jangan sedih gitu. Sebelum janur kuning melengkung kamu masih punya kesempatan," ucap Linda meyakinkanku sambil tersenyum memegang kedua tanganku.

"Apaan sih kamu, Lin."

Ahirnya Linda berhasil membuatku tersenyum kembali. Dia memang best friend, tak mau melihatku terus berlarut dalam kesedihan.

"Kenapa? Benar 'kan ucapanku? Sebelum janur kuning melengkung kamu masih punya kesempatan." Dia mengulangi perkataannya dan kami pun tertawa geli.

Aku mencari sesuatu di dalam tas, ingin berkaca melihat wajah sendiri karena habis menangis tadi. Aku malu kalau dilihat yang lain mataku merah dan bengkak lagi.

"Lin, mataku bengkak, ya?"

"Dikit, nggak kelihatan kok," ungkapnya.

Kemudian bel pun berbunyi tanda masuk pelajaran baru lagi. Dua jam sudah kegiatan belajar pun ahirnya selesai. Bel kembali berbunyi tanda istirahat untuk salat dhuhur. Kemudian kami pun pergi meninggalkan kelas kami menuju masjid.

Setelah selesai salat, aku duduk di teras masjid sendirian. Wajahku mungkin kelihatannya murung. Yalah karena hatiku sedang tidak baik-baik saja. Jelasnya sedang terluka.

Adakah yang mau menghiburku? Suara dalam hatiku. Tatapanku kosong ke depan. Tiba-tiba terdengar suara seseorang.

"Kemanakah senyum ceria yang selalu terpancar indah itu?"

Aku menengadah ke arah suara itu. Ternyata Arya. Dia sudah berada di hadapanku. Aku hanya tersenyum padanya dan aku sama sekali nggak menyadari kehadirannya. Ia pun duduk.

"Kenapa?" tanya Arya.

"Aku nggak apa-apa?"

"Aku punya sesuatu buat kamu." Aku menatap ke arahnya. Dia tersenyum dan mengambil sesuatu di saku celananya. "Ini buat kamu." 

Dia memberikan coklat kesukaanku. Sebuah kertas sudah tertempel di bagian depannya.

Melihatmu murung adalah hal yang sangat menyiksaku. Lepaskanlah siksaan ini dengan menikmatinya.

Begitulah tulisan yang ada di kertas tersebut. Dia selalu bisa membuatku tersenyum.

"Makasih ya, Ar."

"Makan dong ... aku tak tahan melihatmu begini, jadi layu bunga-bunga di hatiku."

Aku tersenyum kembali dibuatnya. Gombalan itu ... membuatmu bahagia. Andai itu Pak Yuda.

"Sudah, Kia. Berhentilah menyiksa dirimu sendiri. Lupakan dia dan berhenti memikirkannya," batinku.

"Kalian lagi ngapain?" Linda datang menghampiri kami berdua dan dia duduk di antara kami.

"Aku lagi nemenin, Kia ... kamu ke mana saja? Temen lagi sedih malah ditinggal," kata Arya sedikit kesal.

"Maaf ya, Kia," kata Linda memelas sambil memeluk pundakku.

Aku mengangguk, kedua sudut bibirku terangkat ke atas. Kemudian terdengar suara bel berbunyi. Kami bertiga pun berjalan ke arah kelas.

Kegiatan belajar mengajar pun kembali dilanjutkan dan hari ini pelajaran terahir di hari ini. Dua jam berlalu pelajaran pun selesai, kemudian bel pun kembali berbunyi dan waktunya untuk pulang.Tepat pukul tiga sore.

"Kia, hari ini Gilang ngajak pulang bareng. Aku nggak enak sama kamu," kata Linda memasang wajah cemberut.

"Nggak apa-apa, Lin. Jadi kamu pas istirahat dhuhur tadi ngobrol sama Gilang, ya?"

Linda mengangguk malu-malu. Kemudian Arya datang menghampiri kami.

"Kia, pulang bareng aku, yuk?" ajak Arya sambil menatapku menunggu jawaban.

"Nggak, Ar. Kebetulan Omku mau jemput ke sini."

Kami bertiga pun segera keluar dari kelas untuk menuju gerbang. Dan yang lain sudah pada pulang dan sekolah pun tampak sepi.

Linda pulang bersama Gilang. Aku nyampe di gerbang sekolah dan mencari mobil omku. Ternyata dia sudah ada di depan.

Arya datang dengan motor gedenya, tepat di depanku ketika aku menyebrang ke mobil Omku.

"Ayo pulang bareng? Udah ada yang jemput belum?" tanya Arya khawatir.

"Udah ada kok, makasih ya," kataku sambil menunjuk ke arah mobil di sebrang jalan.

''Okay kalau gitu ... aku seneng dengernya," kata Arya sambil memakai helm.

Aku pun melanjutkan langkahku ke mobil omku, pintu mobil pun terbuka. Aku tersenyum padanya, lalu duduk.

"Om sudah lama, ya?"

"Nggak, baru juga nyampe. Nanti Om mau cariin supir buat antar jemput kamu," katanya sambil melajukan mobil.

"Kenapa? Om bosan jemput Kia terus?"

"Bukan gitu ... Om kan nggak bisa tiap hari jemput kamu."

"Gimana kalau ajarin Kia nyetir aja biar bis--" Belum selesai bicara Om sudah menjawab.

"Nggak boleh!" serunya.

Aku manyun seketika. Diperjalanan pulang menuju rumah, Omku bertanya karena melihat sikapku yang murung dan sedih, mungkin juga karena melihat mata ini bengkak.

"Kamu habis nangis?"

Aku hanya memalingkan muka ke arah kaca mobil. Aku harus memastikan sesuatu dulu pada Omku.

"Kia boleh nanya nggak, Om?"

"Boleh. Apa?

"Siapa temen Om yang ketemu di Restauran kemarin?" tanyaku.

"Yuda Irawan. Dia temen Om waktu kuliah dulu ... dia mengajar di SMA---" ucapnya terhenti. "Apa dia guru kamu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status