Satu bulan berlalu, aku sudah diperkenankan pulang dan bahkan aku memaksa diri pergi ke kampus yakni untuk beraktivitas berat kembali. Bukan apa-apa, aku ini anak semester akhir yang harus menyusul ini dan itu. Satu hari tertinggal, sepertinya aku harus mengganti dengan sejuta hari. Dan bayangkan saja aku loyo-loyo selama satu bulan di rumah sakit, segalanya aku tertinggal jauh. Satu bulan penuh itu jua sebelum aku keluar dari rumah sakit, tak pernah luput dari kunjungan insentif Orick. Pria itu yang datang hanya sekadar memohon agar aku kembali menerimanya. Pria itu yang datang hanya untuk mengadu karena mata kuliah di kampus begitu sulit. Pria itu yang datang untuk mengadu karena dijahili rekan sebayanya. Dan segalanya hal-hal random yang Orick curahkan.Sengaja aku biarkan permintaan kembalinya selama 3 minggu. Belakangan ini hobi baruku melihat wajah murung Orick yang seperti anak anjing kehujanan. Mulutnya selalu mengerucut, matanya mengerut jadi lebih kecil, lalu tingkahnya yang
Ini bukan hari pertama aku berada di desa terpencil dan melakukan pekerjaan sungguhan yang mungkin akan menjadi patokan bagaimana nanti aku keluar universitas. Kuliah kerja nyata yang aku ambil hanya berkisar 2 bulan, dan sudah satu bulan aku menekuni diri berada jauh dari kota Jakarta yang riuh.Hari-hari yang biasa disiapkan sarapan oleh Ibu, diberi bekal oleh Bapak, atau bersapaan dengan Erin, tidak lagi terasa manja. Aku yang entah mengapa lagi-lagi diperlakukan seperti babu, alias segalanya ku-urusi layaknya seorang Ibu di sini. Aku memang terbiasa bangun pagi, dan karena hal itu aku menjadi alarm konsisten sampai pernah beberapa kali aku harus mengamuk karena mereka sulit bangun. Serta walaupun dua teman dekatku bisa membantu, tetap saja kawanan yang lain hanya turut mengandalkanku dalam urusan dapur.Bukan aku tidak mau diandalkan, tetapi masalahnya---berada di samping Sadan dan Fattah seperti ini---aku sering merasa lebih buruk daripada Orick. Ada batasan-batasan diriku yang me
Satu kali, dua kali, mungkin aku merasakan khilaf yang harus semua orang sebut itu hal wajar. Ya, tentu saja aku ingin dipahami balik. Bukankah hal semacam lupa-melupa terjadi karena runtunan ingatan dalam benak kita terlalu banyak? Oleh sebab itu, saking bertumpuknya apa yang sedang kita pikirkan, membuat hal-hal yang semula tersemat terjuntai begitu saja.Ini masih tentang lupanya aku untuk bertukar informasi pada kekasihku di seberang. Ini masih tentang kami, yang mungkin sebagian orang bisa menyebutnya hal lumrah. Namun aku, tidak ingin hal lumrah itu kembali berlanjut yang bisa memicu perseteruan di antara kami muncul. Tenang, aku tidak lupa bagaimana kesepakatan kami di awal. Untuk menjaga hubungan, memang keduanya harus saling berkorban. Hingga, mau sesibuk apapun yang ku-lalui, alur komunikasi dengan Orick tidak boleh lepas.Kemarin, hal pertama ketika aku bangun tidur, yang ku-ingat adalah mengirim pesan singkat barang hanya mengucapkan selamat pagi dan menyemangatinya. Setela
Hari terakhir di masa kerja nyata ini, kami sepakat mengadakan acara puncak sekaligus hiburan untuk para warga sekitar. Dengan jaringan dana dan kompensasi dari Sadan Si manusia royal yang sudah ku-peringatkan bahwa dana ini tidak boleh dicampur adukan oleh pribadi, tapi dia tetap mengotot.Riasan panggung yang telah kami laksanakan dengan tim lain, membuat tenagaku nyaris tumbang sebab seharian tanpa makan dan minum kami disibukan ini dan itu. Dari pagi hingga malam, sampai untuk bernapas saja rasanya aku sulit. Untung-untungan aku meminta 5 menit diberi izin. Dan bukan apa-apa, selama 5 menit itu ku-manfaatkan untuk membombardir ruang pesan Orick.Berlanjut keesokan harinya, aku merasa tubuhku berada di daya baterai 50%. Sedari pagi sudah kusumpel bubur dan vitamin, namun panas matahari hingga sore mendatang tetap saja membuat disko kepala. Bahkan ketika acara pembuka diselenggarakan setelah isya yang berarti masih ku-punya luangnya waktu untuk istirahat, aku masih merasa kurang."Ri
Girl your heart, girl your face is so, different from them others,I'll say, you're the only one that I'll adore,Cause every time you're by my side,My blood rushes from my veins,And my geeky face, blushed so silly...Dentingan musik dari radio yang sengaja kuhidupkan demi menghapus sunyi di antara jalanan sore Jakarta yang padat. Pemilik suara dari Petra Sihombing membuatku terombang-ambing dengan tenangnya. Bersama dua netra yang selaras fokus pada langit di depan, pangkal-pangkal mulutku terangkat simpul. Sebentar lagi, setelah 2 bulan lamanya aku tak membaui aroma jalan yang berkabut ini.Sengaja tak ku-balas beberapa pesannya sejak pagi. Aku sengaja memupuk amarah pria itu, bagus-bagus jika meledak dan berakhir aku ledek balik sembari tertawa. Semua naskah dan skenario yang telah kurangkai sekaligus prediksi begitu mulus. Lagu mine ini, lagu yang seharusnya tak ku-putar karena berujung gregetan sendiri.Butuh sekitar 20 menit dari rumahku untuk menuju rumah pemuda itu. Melewati
"Pulang kkn kok cemberut sih kak. Kenapa? Tugasnya susah?" Ibu bertanya yang membuatku tersadarkan dari lamunan. Dengan mulut masih menguyah lauk, tak urung tangan mengaduk-ngaduk nasi sedari 5 menit yang lalu, aku menggeleng dengan senyum tipis."Bukan karena kkn Bu, Si kakak ribut lagi ini sama Kak Orick." mulutku yang semula tersenyum berubah menjadi garis tajam yang menukik ke atas. Leherku refleks berputar ke arah Erin. Dan tidak takutnya, adikku itu justru mengangkat dua alisnya seolah berkata--emang gue salah?"Ribut kenapa lagi kak?""Nggak, dia sok tahu." Aku kekeuh menggeleng dengan tampang datar. Kembali menyuap makan tapi mataku mengintai Erin agar tidak macam-macam."Aku tahu lah, orang Kak Orick sendiri yang ngechat nanyain keadaan kakak. Aku jawab aja lagi uring-uringan di kamar."MasyaAllah...Berubah lagi senyumku menjadi lebih manis, lebih lebar, dan lebih terpaksa. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi kelakuan Erin. Jika hubungan ini tak ku-perbaiki dan tak
Tapi detik itu, saat aku mencoba untuk membenarkan posisi napas, tawa Orick malah membuncah dengan suara menyebalkan. Akhirnya, aku menelan bulat-bulat kesabaranku."Ngapain ketawa? Ada yang lucu?" dua mataku meruncing dengan sendirinya."Kamu.""Aku nggak ngelucu." Aku masih menjaga gestur tubuhku. Tegap dengan dua tangan terlipat di dada. Menunggu dia menyelesaikan tawanya, dan saat tangannya tergerakan ke atas kepalaku, lebih dulu ku-tepis sebelum rambutku diacak-acak."Kamu kalau lagi marah-marah lucu banget sih Nar." ada ya orang yang senang dimarahi. Lucu darimananya coba? Padahal wajahku sudah mirip singa begini.Dan isengnya Orick, dia kerap kali menertawakanku jika sedang marah-marah begini. Tidak seperti orang-orang yang jika marah itu dipeluk, dicium, boro-boro pret. Dia justru mengejekku dengan sifat watadosnya. Contohnya kala ini, dia berhasil menggoyang-goyangkan pipiku."Ya aku datang kesini tuh ingin menegaskan kalau aku dan Clara itu cuman temen. Dia ke rumahku tuh kar
Aku melihat bagaimana rembulan bersinar disaat langit menggumpal hitam. Seandainya ku-umpamakan adalah malam, Orick bukanlah bintang ataupun hamparan gelap itu.Jika aku pagi, maka dia adalah senja. Jika aku dingin, maka dia adalah panas. Jika aku angin, maka dia adalah cahaya. Jika aku musim, maka dia adalah waktu. Yakni jika aku malam, dia adalah siang. Kami tidak berjalan dalam detik yang serupa. Namun kami berjalan dalam arah yang saling berhubungan. Jika tanpa malam siang takkan hadir, begitu pula sebaliknya. Jika bukan aku yang bersamanya, maka aku tidak akan berdiri di tanah ini. Tidak akan ada skenario yang bahagia layaknya kehidupan yang abadi.Kalau bukan dia, mungkin aku takkan memiliki alasan untuk bertahan. Kalau bukan dia, mungkin takkan ku-lakukan sekelumit naskah memilukan ini. Kalau bukan Orick, mungkin tak kubangun afirmasi serta afeksi yang saling menyokong untuk aku hidup. Apa yang salah dari mencintai terlalu dalam? Siapa yang merasakan ini? Hanya aku, bukan orang