“Terima kasih atas kerja samanya,” ucap Mikael menyunggingkan senyumnya perlahan.
Kolega bisnisnya sudah berlalu meninggalkan ruangan rapat. Mikael dapat bernapas lega atas kerja kerasnya selama beberapa hari ini untuk mengurus perusahaan yang kacau hingga mengorbankan waktunya untuk berada di rumah.
Lelaki berbadan tegap itu tersenyum kecil, tidak sabar ingin pulang dan bertemu istrinya yang sangat ia rindukan. Malam ini, ia akan mempersiapkan sebuah kejutan kecil untuk Eleana.
Tanpa pikir panjang, Mikael melangkahkan kakinya menuju area parkir di mana mobilnya berada. Jemarinya beradu di atas ponsel, mengetikkan pesan singkat untuk istrinya.
“Apakah Tuan ada urusan di luar?” tanya sang sopir.
“Antar aku pulang sekarang,” ucap Mikael tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel.
***
Pukul delapan malam.
Eleana mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan cahaya yang terlihat sangat terang sampai ia harus menyipitkan mata. Wanita itu beringsut duduk, mengedarkan pandangan pada ruangan asing yang belum pernah ia lihat.
“Kau sudah bangun?”
Eleana menoleh. “Di mana aku?”
“Kau di apartemenku Lea, aku menemukanmu pingsan di jalan,” ucap Leo.
Wanita itu mencoba mengingat potongan kejadian beberapa jam yang lalu. Semakin ia mencoba berpikir, denyutan itu seperti menusuk-nusuk kepalanya.
“Apakah kau baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, Leo. Jam berapa sekarang?”
“Delapan malam.”
Eleana terkejut. “Benarkah? Mikael pasti mencariku sekarang, aku harus pulang.”
Leo menangkap tubuh mungil Eleana yang terhuyung karena wanita itu yang memaksakan diri untuk berdiri.
“Kau masih sangat lemah, Lea. Suhu tubuhmu juga belum turun, aku akan mengantarmu.”
“Aku bisa pulang sendiri, Leo,” tolak Eleana halus.
Leo menghela napas, Eleana memang sosok yang keras kepala. “Aku hanya ingin memastikan kau sampai dengan selamat, jika suamimu marah, aku akan menjelaskan.”
Eleana memainkan jemarinya, kebiasaan saat ia sedang gugup.
“Bagaimana? Kau tidak perlu takut Lea, aku hanya akan mengantarmu.”
Eleana akhirnya menurut, wanita itu merasakan jika tubuhnya memang sangat lemas kali ini. Bagaimana pun niat Leo itu baik, ia tidak bisa menolaknya untuk kedua kali.
***
Mikael : Aku ingin mengajakmu pergi baby, persiapkan dirimu, setengah jam lagi aku sampai.
Eleana menggigit bibir bawahnya, wanita itu tidak tahu harus berbuat apa, sudah pukul sembilan malam saat ia membaca pesan singkat Mikael beberapa jam yang lalu. Lelaki itu pasti sudah menunggunya, Eleana semakin tak enak hati dan tidak tenang memikirkan bagaimana Mikael sekarang.
Sibuk dengan lamunan, Eleana tidak menyadari jika mobil yang dikendarai Leo sudah memelan dan berhenti di depan gerbang mansion milik Mikael. Leo yang menyadari bahwa Eleana sedang melamun, menepuk singkat bahu wanita itu.
“Sudah sampai, Lea.”
Eleana mengerjap. “Oh iya, kau benar.”
Wanita itu turun dan Leo juga ikut turun. Lelaki berambut sedikit ikal itu menghampiri Eleana yang tampak bingung. “Cepat sembuh, Lea,” katanya.
Eleana mengangguk sambil tersenyum hangat, “Terima kasih untuk hari ini.”
Setelah berbincang sebentar, akhirnya Leo berpamitan dan masuk ke dalam mobil. Setelah membunyikan klakson, mobil berjalan menjauh dengan Eleana yang masih berdiri menatap kepergian mobil Leo.
Wanita itu menghela napas, lelah. Sambil memijat kepalanya Eleana berjalan pelan menuju pelataran mansion Mikael.
“Pantas saja kau menolak seluruh panggilan dariku, rupanya kau sedang bersama selingkuhanmu.”
Eleana berjengit terkejut, aura mencekam bersama angin malam yang berembus sampai ke dalam tulang. Mikael berdiri tidak jauh darinya, sedang menyilangkan tangan di depan dada dan menatap Eleana dengan tatapan tajam.
“Sejak kapan kau ada di sini, El?” Eleana menghampiri Mikael.
“Sejak kau bermesraan dengan lelaki itu,” ucap Mikael datar.
Eleana berniat menarik tangan Mikael untuk ia genggam, tapi Mikael menghempaskan tangan Eleana dengan kasar.
“El, semuanya tidak seperti yang kau pikirkan.”
Mikael menatap kesal wanitanya yang selalu saja menyulut emosi ketika dia sedang dalam keadaan tenang. Sudah cukup, ia sudah bosan dengan apa yang dilakukan Eleana padanya.
“Terserah kau saja, pelacur!” sentak Mikael.
Setetes air mata jatuh meluruh membasahi pipi Eleana, perkataan Mikael memang selalu membuat hatinya hancur setelah perlakuan manis lelaki itu.
“Berhenti menangis, aku muak melihat wajah sok polosmu itu, pelacur.”
“Berhenti mengatakan aku pelacur!” teriak Eleana, tak kalah emosi dengan Mikael.
“Jalang!”
Sakit sekali, Eleana sampai menampar pipi Mikael sebagai bentuk kekesalannya. Kenapa lelaki ini tidak mau mendengar penjelasannya dulu.
“Aku membencimu!”
Mikael menarik paksa pergelangan tangan Eleana saat wanita itu ingin pergi dari hadapannya, “Kau pikir kau bisa seenaknya di rumah ini?” ucapnya dingin.
Lelaki itu menyeret paksa Eleana ke lantai atas. Mendorong tubuh wanitanya sampai terhempas di atas ranjang. Eleana menangis tersedu, ia memukul-mukul dada bidang Mikael yang ada di hadapannya sekarang.
“Berhenti membuatku muak Ana!" Mikael menangkup kedua tangan Eleana.
Lelaki itu mengambil dasi yang ia simpan di laci samping tempat tidur, menarik kedua tangan Eleana ke atas kepala lalu mengikatkan dasi itu dan mengaitnya ke tiang ranjang.
“Lepaskan aku, El.”
Eleana menggerakkan kakinya secara brutal, mencoba melepaskan diri dari ikatan Mikael. Sayang, tenaganya tak cukup kuat, ditambah dengan kepalanya yang berdenyut. Eleana hanya bisa menangis pasrah dengan apa yang akan dilakukan Mikael malam ini.
“El, kumohon,” pinta Eleana dengan air mata yang sudah deras mengalir.
“Aku suamimu dan apa pun yang ada di tubuhmu adalah milikku, Baby.”
Mikael mulai mengecup pipi Eleana.
“Kau—kau berjanji untuk tidak melakukannya dengan amarah seperti ini, El. Kau sudah berjanji.” bibir Eleana bergetar.
“Aku tidak peduli, Baby. Kau melukai hatiku dan aku sangat terluka.”
Mikael memulainya, ia menjamah setiap inci tubuh Eleana dan menyatukan dirinya dengan Eleana bersama amarah yang mulai melebur menjadi nafsu. Keringat mereka beradu dengan angin malam yang berembus melewati korden yang masih terbuka. Mikael terus melakukan keinginannya.
Ia mulai bergerak, dengan tempo yang cepat bersamaan dengan air mata Eleana yang terus keluar dari mata. Eleana merasa pusat tubuhnya sangat sakit dan perih, seperti terkoyak. Ia tidak bisa melakukan apa pun di bawah tekanan kenikmatan bercampur rasa kecewa, wanita itu menyalurkan perasaannya yang hancur dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti dari kedua mata birunya.
Malam ini dunia Eleana benar-benar hancur, mahkota miliknya direnggut paksa oleh sang suami dengan cara yang sangat keji.
“Say my name,” bisik Mikael.
Eleana menggeleng dengan bibir yang bergetar, bahkan ia tidak berani untuk membuka mata. Sementara Mikael masih menghentakkan miliknya lebih dalam di bawah sana.
“SAY MY NAME, Baby!”
“Mikael.”
***
Darah mengalir dari telapak tangan Mikael, vas bunga yang ia hantamkan ke dinding menjadi hancur lebur karena ulahnya dan pecahannya menusuk telapak tangan. Perih, bercampur bau anyir dari luka itu, tapi tak dapat meredakan emosinya dari semalam, dan tidak akan bisa mengurangi rasa bersalahnya atas apa yang baru saja ia lakukan pada Eleana—istrinya.
Seharusnya ia tidak melakukannya, seharusnya ia mempertimbangkan itu terlebih dahulu. Mikael sudah berjanji, ia tidak akan memaksa dan melakukannya atas dasar emosi, ia sudah mengatakan itu dengan tulus di hadapan Eleana. Rasa cemburu membakarnya menjadi manusia kejam, hingga ia tidak dapat berpikir jernih atas apa yang ia lakukan.
Jam menunjukkan pukul lima pagi, setelah Mikael membebat luka itu dan kembali masuk ke dalam kamar yang sengaja dibuat temaram—kamar penyatuan mereka beberapa jam yang lalu.
Mikael tahu, Eleana sama sekali tidak tidur sampai saat ini. Terlihat dari bahunya yang bergerak naik turun, ia masih menangis, membuat dada Mikael terasa sesak karena kesalahannya.
Mikael beringsut naik ke atas kasur, sekilas bahu itu tampak menegang saat Mikael membenarkan selimut yang turun memperlihatkan bahu telanjang Eleana. “Maafkan aku,” cicit Mikael.
Tangan besarnya memeluk pinggang ramping Eleana, dan isak kecil berhasil lolos dari bibir Eleana saat Mikael menarik tubuh Eleana untuk mendekat ke arahnya. Sampai Mikael membalik pelan tubuh mungil itu, ia baru menyadari jika suhu tubuh Eleana menghangat.
Wanita itu menggigil.
“Baby, kau demam lagi.”
Eleana memejamkan mata tanpa berniat menjawab pertanyaan Mikael. Perasaannya begitu sakit jika mengingat kejadian semalam, di mana Mikael memperlakukannya seperti bukan manusia. Hingga beberapa bagian tubuh Eleana terasa memar dan sakit, tubuhnya terasa remuk, kali ini lebih sakit dari sebelumnya.
Pagi itu, Mikael menarik Eleana yang masih terguncang ke dalam dekapannya, menenangkan wanita itu dengan mengusap bahunya. Eleana tidak menghindar karena tenaganya sudah terkuras habis dengan terlalu banyak menangis.
Ia membiarkan tubuhnya menemukan kehangatan pada tubuh Mikael, berusaha terpejam dan mengusir rasa sakit pada hati dan fisiknya.
"Om, Vin ingin es krim." Izrael yang sedang membaca buku di ruang tengah menatap sang keponakan setelah menaruh majalah di tangannya. "Apa, Vin?" "Es krim." Kevin dengan malu-malu menunjuk kulkas yang ada di dapur. Senyum manisnya mengembang, membuat Izrael juga tertular. "Kata Daddy, kau tidak boleh makan yang manis-manis." Seketika Kevin menunduk. "Aku mau." Melihat wajah Kevin yang berubah sedih, Izrael tak sampai hati untuk menolak permintaan keponakan kecilnya. Maka dari itu, Izrael langsung saja menggandeng Kevin dan ia dudukkan di kursi makan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, selain dirinya dan Kevin. Mom dan Dad sedang pergi ke sebuah pesta, sementara Mikael dan Eleana yang sejak tadi memberitahu akan menjemput Kevin, belum juga sampai. "Kau jangan bilang Daddymu, ya. Bisa-bisa aku dipenggal." "Dipenggal itu apa, Om?" Pertanyaan polos Kevin membuat Izrael merutuki mulutnya sendiri yang tidak difil
Seperti menemukan keluarga baru, Kevin begitu lengket dengan Izrael. Bahkan ia sering ikut Omnya pergi ke beberapa tempat makan dan bertemu teman-teman Izrael. Mungkin karena saat masih dalam kandungan, Izrael merawat Kevin jadi dia tidak perlu waktu lama untuk dekat.Mengenai Mikael, dia sering cemburu. Tentu saja. Bahkan saat belajar menghitung, Kevin lebih memilih diajari Izrael daripada dirinya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi Mikael merasa sudah di ayah tirikan oleh putra kecilnya.Tapi, pagi ini, Mikael benar-benar menitipkan Kevin sepenuhnya pada Izrael karena tiba-tiba Eleana demam lagi. Padahal kemarin masih baik-baik saja, tapi malam tadi demamnya begitu tinggi. Susahnya, Eleana selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan masih trauma saat dirawat pasca melahirkan dulu."Aku titip, besok kuambil lagi," ucap Mikael, mencium pipi Kevin sebelum putranya masuk ke dalam rumah besar Mom Isabelle."Sudah seperti barang saja, dioper sana
Mikael memijat pangkal hidungnya. Jika dihadapkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih memilih meeting dan membuat laporan daripada harus mengajari Kevin berhitung.Bukannya tidak mau, hanya saja putra kecilnya ini lebih banyak bicara menanyakan gambar sebagai objek belajarnya, bukan menghitung. Lalu, jika Mikael mengatakan hitungannya salah. Dia akan marah dan kesal."Vin, diamlah. Dad pusing sekarang." Mikael menyandarkan punggungnya, saat Kevin mulai bertanya sebaiknya kelinci di buku menghitung diwarnai apa."Daddy, aku bertanya.""Terserahmu saja, pilih yang kau suka."Kevin mendengkus, kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Mikael tidak suka. "Aku mau belajar dengan Mom saja.""Jangan...!"Mikael mengangkat Kevin ke pangkuannya, memeluk tubuh mungil itu dan membuatnya nyaman dalam kungkungan Mikael. "Mom sedang sakit Vin."Dua hari ini Eleana batuk dan demam, tadi pagi ia baru saja pergi ke dokter d
"Pagi, Daddy.""Pagi, Vin."Mikael mencium pipi putra kecilnya, ia ikut duduk di sebelah Kevin yang sedang sarapan roti selai buatan Oma. Pukul delapan pagi, ketika Mikael turun dari lantai atas."Mom di mana?" tanya Kevin, menatap Mikael dengan mata bulatnya."Mom masih tidur."Kevin mengerutkan kening, tidak biasanya Mommy masih tertidur saat matahari sudah menyengat seperti ini. Bocah kecil itu sampai memiringkan kepalanya bingung."Mom kecapekan, sayang.""Hm?""Mom sakit?" tanya Kevin, kaki gembulnya berusaha turun dari kursi setelah menanyakan itu pada Mikael."Vin, mau ke mana?" tanya Mikael setelah menurunkan bocah itu.Kevin tidak menjawab, ia mengambil piring berisi roti selainya yang tinggal setengah, lalu menaiki tangga dengan hati-hati."Kevin, mau ke mana, Nak?" Mom Isabelle yang melewati bawah tangga meringis, melihat bagaimana cucu pertamanya dengan susah payah menaiki tangga."Oma, V
Brankar pesakitan itu didorong oleh dua perawat sekaligus, melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan masuk ke dalam UGD.Sebuah tangan yang menghantam tembok, seperti saksi bahwa sebenarnya seseorang tidak ingin kejadian tiba-tiba ini terjadi.Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk dari seorang bodyguard yang ia tugaskan untuk mengejar seseorang berpakaian serba hitam di bandara tadi."Bagaimana?""Kami menangkapnya, Tuan.""Jaga dia, usahakan jangan sampai kabur.""Baik, Tuan."Darah yang mengalir di buku-buku jari, tidak ia hiraukan. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, menunggu kabar dan berharap itu bukan kabar buruk."Tuan Mikael, Nyonya Isabelle menelepon."Mikael menoleh, pada seorang bodyguard yang tadi menemaninya untuk pergi ke rumah sakit. Ia mengambil ponsel di tangan bodyguardnya dengan ragu."Kau di mana? Eleana menangis sejak tadi," cerita Isabelle."Mom, katakan p
"Mom, Vin ingin bertemu Dad." Eleana seperti diserang ribuan lebah berbentuk gumpalan menggemaskan dalam satu tubuh, Kevin. Putra kecilnya yang bicara tanpa henti, menanyakan sosok Daddy-nya yang sedang pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Rasanya Eleana sudah tidak punya alasan untuk membujuk Kevin. Karena semua bujukan yang ia buat, tidak berhasil membuat Kevin tenang. Adonan kue yang sedang ia buat sampai kebanyakan tepung terigu. "Vin, Mom sedang memasak." "Vin ingin bertemu Daddy," rengeknya, menarik-narik kaus Eleana. Seperti dengan begitu Mommy-nya akan luluh dan mempertemukannya dengan Mikael. "Mommy." Tangisan Kevin yang menggelegar membuat Eleana menaruh adonan kuenya dan langsung menggendong bocah itu. Mungkin, Kevin sudah kesal terlalu lama diabaikan oleh Eleana. "Berhenti menangis," ucap Eleana, mendudukkan Kevin di atas meja. Kevin justru memperkeras tangisannya. Membuat Eleana mendengus,
Ada banyak hal yang perlu diurus di kantor. Mikael sampai melupakan sarapan yang sudah disiapkan Eleana, ketika menerima telepon dari Lucas. Ia juga melupakan rutinitas paginya membangunkan Kevin. Pagi ini, begitu sangat kacau. "Aku berangkat, ya." Mikael mencium kening Eleana begitu lama, lalu masuk ke mobil. Eleana menunggu mobil Mikael sampai keluar dari gerbang, lalu masuk ke rumah. Sampai ia mendengar tangisan Kevin dari lantai dua. "Daddy," panggil Kevin, menatap mobil Mikael yang sudah berjalan menjauh. "Vin." "Mom, Daddy tidak membangunkanku." Kevin merengek. "Dad sedang buru-buru, kan, sudah ada Mommy." Kevin merengut, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memeluk Mom Eleana dan dibawa ke kamar mandi, untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melupakan Daddy yang pergi begitu saja tanpa menyapanya dulu. Kesal sekali sebenarnya, tapi ya sudahlah. *** Mikael menutup berkas di tanga
Lima tahun kemudian .... "Mom, Vin mau beli roti itu." Eleana menolehkan kepalanya pada sesuatu yang membuat putranya tertarik. Ia kemudian menghela napas. "Nanti Mom buatkan roti bolu di rumah, ya." "Aku tidak mau Mom, nanti dimakan Dad lagi." Kemarin, Kevin meminta kue ulang tahun sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke lima tahun. Eleana secara spesial membuatkan kue itu untuk Kevin dan dia simpan di lemari pendingin. Namun, ketika Eleana pulang setelah menjemput Kevin ke sekolah, kue itu sudah hilang dari lemari pendingin. Dan, Mikael adalah pelakunya. Kevin menangis dan tidak bicara semalaman pada Eleana, menuduh Eleana jika dirinya sudah tidak menyayangi Kevin lagi. "Nanti Mom beritahu Dad, kau mengerti." Kevin menghela napas, ia menurut saja ketika Mom menggandeng tangannya meninggalkan taman yang ia lewati sebelum ke teman parkir. Padahal, roti bolu di kedai kecil dekat sekolahnya terlihat menggiurkan untuk dicicipi
Abraham menutup berkas di tangannya dengan kasar. Ia menatap Mikael yang sekarang duduk dengan gelisah di hadapannya. Abraham mencoba menebak apa isi kepala putra keduanya ini. “Kenapa kau ingin menangguhkan Izrael?” Mikael menghela napas. “Aku merasa bersalah padanya, Dad.” “Aku tidak setuju.” Menurut Abraham, Izrael pantas mendapatkan hukuman atas perbuatan yang ia lakukan. Biarkan saja merugikan dirinya sendiri, itu sudah konsekuensi. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. “Dad, Izrael depresi di penjara.” Abraham berdecak. “Biarkan saja,” ucap Abraham tegas. “Dia juga anakmu, Dad.” “Dia sudah mencoreng nama baikku!” tandas Abraham. Mikael mengusap kasar wajahnya. “Kau hanya memikirkan nama baikmu?” “Sudahlah, El. Lebih baik kau urus keluargamu dengan baik. Biarkan saja Izrael menjalani masa hukuman atas kejahatan yang dia perbuat.” “Izrael melakukan percobaan bunuh diri,” ungkap Mikae