Tiga hari kemudian...
Mikael sibuk dengan pekerjaan di kantor yang sedang mengalami masalah cukup serius, sampai lelaki itu tidak sering berada di rumah untuk menemani istrinya. Bahkan, saat Eleana masih merasa tidak enak badan lelaki itu tidak ada di sampingnya.
Eleana masih berkutat pada layar laptop untuk memantau bisnis toko online yang ia bangun bersama teman sekampusnya, ketika ponsel di samping laptop bergetar. Panggilan masuk dari Mikael.
“Kau sedang apa?” tanyanya.
“Mengerjakan pekerjaan kecil.”
“Toko pakaian online-mu itu.”
Eleana mengangguk meski Mikael tidak melihat, ia memasukkan camilan ke dalam mulut sebelum menjawab, “Kapan kau akan pulang?”
“Mungkin larut seperti kemarin, ada apa?”
“Hari ini aku akan keluar sebentar bersama teman kampusku untuk membahas toko online kami.”
Terdengar helaan napas. “Bersama supir?”
“El, aku naik taksi saja. Aku janji tidak akan lama, katamu aku harus segera menyelesaikan pekerjaan ini.”
Mikael memang tidak setuju jika Eleana bekerja, meski l itu pekerjaan online dan bisa dikerjakan di rumah. Cukup dirinya yang bekerja dan Eleana yang duduk manis di rumah, itu lebih baik bagi Mikael.
“Hm, cepat selesaikan pekerjaanmu itu. Atau aku sendiri yang akan bicara dengan teman-temanmu.”
“Baik, kututup dulu, ya,” pamit Eleana.
“Hm, jangan pulang larut malam, Baby.”
***
Setelah mendapat izin dari Mikael, Eleana pergi bertemu dengan teman-temannya. Hampir satu jam, Eleana mengobrol dan meminta maaf karena ia sudah tidak bisa bergabung untuk melanjutkan bisnis toko online lagi, karena satu dan lain hal. Teman-temannya yang baik sangat maklum dengan keputusan Eleana dan menerimanya.
Sekitar pukul 10, Eleana menginjakkan kaki kembali di sebuah taman yang sudah lama tidak ia kunjungi—taman dengan beribu kenangan bersama mantan kekasihnya—Leo.
Memantapkan hati, akhirnya Eleana memutuskan untuk bertemu Leo. Ia pikir sebaiknya menyelesaikan masa lalunya dulu karena ia sudah sepenuhnya menjadi milik Mikael, agar Mikael juga tidak selalu salah sangka nantinya.
“Hai, Lea.”
Eleana berbalik dan melihat sosok Leo yang sedang berjalan perlahan menuju ke arahnya sambil membawa sebuket bunga. Lelaki itu tersenyum, senyum yang masih terlihat sama dengan senyuman satu tahun lalu ketika mereka merayakan hari jadi mereka di taman ini.
Sekarang, lihat. Eleana tak seperti dulu yang langsung membalas senyum manis Leo dengan senyum manisnya juga. Wanita itu hanya menatap dalam diam lelaki yang berselisih umur tiga tahun dengannya itu dengan wajah yang datar. Tidak ada lagi perasaan bahagia dan jantung yang berdegup kencang ketika melihat seorang Leo.
“Aku membawa bunga kesukaanmu,” ucap Leo, menyodorkan buket bunga yang ada di tangannya pada Eleana.
Eleana mengambilnya dan hanya membalas Leo dengan ucapan terima kasih. Kemudian Leo mengajak Eleana untuk duduk di salah satu bangku yang ada di taman itu.
Lama mereka terdiam, menikmati embus angin yang menerpa wajah masing-masing. Leo memberanikan diri untuk menatap Eleana dari samping.
“Apa kau merindukanku?” tanya Leo.
Eleana tertawa. “Pertanyaan bodoh.”
“Maaf, aku melupakan fakta bahwa kau sudah bukan milikku lagi dan tidak akan bisa kuraih,” ucap Leo, terdapat nada penyesalan pada kalimatnya. Lelaki itu bahkan menundukkan kepala, menyesal.
“Kau sudah tahu, jadi untuk apa sebenarnya kau ingin mengajakku bertemu selain meminta maaf?” tanya Eleana to the poin.
Leo menghela napas. “Aku hanya ingin meluruskan kesalahpahaman yang terjadi antara kita.”
Tiba-tiba lelaki itu menggenggam tangan Eleana. Eleana sendiri hanya diam, membiarkan Leo melakukan apa yang dia inginkan karena itu adalah hal yang seterusnya tidak mungkin bisa ia lakukan lagi.
“Aku pikir, kau akan menjadi milikku lagi setelah pertemuan kita di pesta pernikahan Rey, kemarin. Ketika aku tahu kau dibawa pergi oleh lelaki sialan itu dengan kasar, aku ingin mengejar. Tapi, saat aku mencari tahu ternyata dia adalah suamimu.” Leo tersenyum kecut.
Sementara Eleana masih mendengar dengan baik apa yang lelaki itu katakan.
“Aku minta maaf atas semua yang terjadi padamu, dulu. Aku mencintaimu Lea, sangat mencintaimu. Tapi Mom menginginkan aku bersama wanita lain waktu itu,” ucap Leo, merasa sangat bersalah atas apa yang terjadi pada hubungan mereka dulu.
“Mom memberikan wanita yang lebih baik untukmu, daripada aku dia jauh lebih baik, bukan?” balas Eleana santai.
Leo mengalihkan pandangan ke arah lain. “Saat itu aku bimbang Lea, Mom sedang sakit. Aku tidak bisa menolak apa pun permintaannya hingga menyakiti hatimu, maafkan aku Lea.”
“Mom sakit? Di mana dia sekarang?”
Meski Eleana tidak pernah diperlakukan baik oleh mantan mertuanya itu, tapi sebagai seorang wanita yang pernah mencintai putranya, Eleana tetap menyayangi wanita itu layaknya Mommynya sendiri.
Leo tersenyum, tipis. “Dia sudah bahagia, di sana.” Leo mendongak.
“Aku benar-benar tidak tahu, maafkan aku. Aku turut berbela sungkawa atas kepergian Mom.” Eleana mengusap punggung tangan Leo, sebagai tanda bahwa ia juga ikut bersedih dengan kabar duka itu.
“Tidak apa Lea. Aku harap, kau mengerti sekarang. Aku sama sekali tidak punya niat untuk menyakitimu, aku sangat menyayangimu, sekali lagi aku minta maaf.”
Eleana mengangguk. “Kurasa semuanya sudah berlalu, kau bahagia dengan wanita itu dan aku bahagia dengan pilihanku.”
Leo tersenyum. “Kuharap kau bahagia bersamanya.”
Eleana membalas senyuman Leo tak kalah tulus. Wanita itu segera menarik tangannya kembali dari genggaman Leo. Mereka berdua sama-sama diam, menikmati angin yang berembus dengan perasaan lega. Akhirnya mereka sudah bisa merelakan sebuah kisah yang memang tidak bisa untuk dilanjutkan, meski berat sebelah untuk melupakan.
***
Eleana pulang setelah menikmati secangkir kopi bersama Leo di tempat biasa mereka berkencan dulu, tidak ada maksud lain hanya untuk mengenang. Banyak hal yang mereka bicarakan di sana, sampai mereka melupakan waktu yang terus berputar.
Sekarang sudah pukul lima sore dan Eleana merasa kepalanya berdenyut hebat saat dia sedang menunggu taksi. Awalnya, Eleana menolak diantar oleh Leo karena jika Mikael tahu, ia akan salah paham lagi dan berakhir dengan sesuatu yang tidak pernah Eleana bayangkan.
Belajar dari pengalaman, Eleana tidak ingin hubungannya kembali memburuk.
Taksi berhenti ketika pandangan Eleana mulai mengabur, wanita itu menggelengkan kepala untuk mengusir pening yang seakan ingin memecah kepalanya.
“Nona, kau baik-baik saja?” tanya supir taksi yang melihat wajah pucat Eleana.
“Iya, aku baik-baik saja Tuan,” jawab Eleana.
Tepat saat wanita itu membuka pintu, tubuhnya terhuyung ke belakang dan ambruk tepat di dekapan seseorang. Suara di sekitar menjadi berdengung dan tiba-tiba hilang.
Sunyi.
Senyap.
Hanya ada dirinya bersama kegelapan.
Eleana tidak tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh supir taksi. Setelah ia dibawa ke sebuah tempat yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya.
“Terima kasih atas kerja samanya,” ucap Mikael menyunggingkan senyumnya perlahan.Kolega bisnisnya sudah berlalu meninggalkan ruangan rapat. Mikael dapat bernapas lega atas kerja kerasnya selama beberapa hari ini untuk mengurus perusahaan yang kacau hingga mengorbankan waktunya untuk berada di rumah.Lelaki berbadan tegap itu tersenyum kecil, tidak sabar ingin pulang dan bertemu istrinya yang sangat ia rindukan. Malam ini, ia akan mempersiapkan sebuah kejutan kecil untuk Eleana.Tanpa pikir panjang, Mikael melangkahkan kakinya menuju area parkir di mana mobilnya berada. Jemarinya beradu di atas ponsel, mengetikkan pesan singkat untuk istrinya.“Apakah Tuan ada urusan di luar?” tanya sang sopir.“Antar aku pulang sekarang,” ucap Mikael tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel.***Pukul delapan malam.Eleana mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan cahaya yang terlihat sangat te
Siang ini, Mikael harus pergi ke kantor meninggalkan istrinya yang sedang demam di rumah, untungnya Eleana sudah diinfus oleh dokter pagi tadi. Wanita itu masih tidak mau bicara padanya dan Mikael masih terus membujuknya untuk bicara.Kali ini, Mikael harus menyingkirkan egonya untuk pekerjaan yang sedang menunggu.Larut dalam beberapa berkas, Meggie—sekretaris Mikael, masuk ke dalam ruangan dengan napas terengah.“Tuan, aku sudah berusaha mencegahnya, tapi dia tetap berusaha untuk masuk.”Selang beberapa saat, seseorang yang dimaksud oleh Meggie masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang anggun. Sepatunya terdengar beradu dengan lantai, wanita itu mendorong bahu Meggie untuk segera menyingkir, dan di balas Meggie dengan berdecak.“Baby, I miss you.”Wanita berambut pirang gelombang itu bergelayut manja pada lengan kokoh Mikael. Sementara Mikael tetap fokus pada laptopnya yang sedang menampilkan beberapa grafik
Hubungan Eleana dan Mikael semakin dekat. Eleana sudah bisa membuka hatinya dan mulai mencintai seorang Mikael, begitu pula Mikael yang sekarang berubah jadi manis dan menunjukkan perhatian lebih pada Eleana. Mereka saling melengkapi dan mengerti satu sama lain.Pagi hari, Eleana menunggu mobil Mikael berjalan keluar gerbang, lelaki itu harus pergi ke kantor seperti biasa. Setelah mobil itu keluar dari mansion, Eleana kembali ke ruang makan.“Huek....”Eleana menutup mulutnya, wanita itu segera berlari ke kamar mandi. Setelah mencium aroma sup daging yang dibuat Bibi Margareth, entah kenapa perutnya jadi mual. Padahal Eleana sedari dulu menyukai sup daging.“Kenapa aku jadi sensitif dengan aroma yang kuat akhir-akhir ini?” Eleana membersihkan bibirnya dengan air yang mengalir.Ia kemudian masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela di mana berbagai burung sedang terbang bebas di atas awan. Jantung
Eleana turun dari lantai atas, sembari mengikat rambutnya ia berjalan menuju dapur. Belakangan ini ia jadi sering lapar di tengah malam karena hormon kehamilan. Beruntung, Bibi Margareth selalu membantunya jika ia sedang kesulitan, sejauh ini hanya Bibi Margareth yang tahu tentang kehamilannya.Eleana tidak membangunkan Bibi Margareth lagi, ia memilih untuk menggoreng daging ayam dan kentang yang ada di lemari pendingin. Ini sudah sangat larut, ia tidak ingin merepotkan orang lain mengenai kehamilannya.Selepas makanan matang, Eleana kembali ke kamar. Ia sangat bosan, selama dua hari ini tidak tahu harus melakukan apa karena tidak ada Mikael di rumah. Kamar juga menjadi sepi, biasanya ia akan bicara atau hanya sekadar mendengar keluh kesah Mikael tentang pekerjaan.Ia rindu Mikael.Seharian ini Mikael juga tidak memberi kabar, biasanya Mikael akan menelepon setelah selesai meeting, hari ini beda. Karena rasa khawatir dan penasaran, akhirnya Eleana memutus
Mikael terbangun dengan cahaya terang dari matahari yang menerobos jendela kamar. Seingatnya, semalam ia tengah memperhatikan Eleana yang sedang berdiri membelakanginya di depan jendela.“Ana?” panggil Mikael.Mikael mencari Eleana di kamar mandi, walk in closet, dapur, taman belakang, bahkan ia mengelilingi separuh dari mansion megahnya, dan tidak menemukan wanita itu di mana pun.“Tuan, bukankah kau sedang sakit?” tanya Bibi Margareth yang tidak sengaja melihat Mikael sedang duduk di undakan tangga sembari mengusap wajah.“Di mana Ana?”“Nyonya belum terlihat sedari pagi Tuan.”Mikael begitu kebingungan, ia tidak tahu di mana Eleana sekarang. Saat ia tidak sengaja membuka lemari, seluruh pakaian Eleana sudah tidak ada. Dengan kesal Mikael membanting pintu lemari, menumpahkan emosinya pada benda-benda di sekitar.“Wanita itu, sama saja dengan wanita lain!” teriak Mikael.
Berapa hari lagi yang harus Mikael habiskan untuk mencari keberadaan Eleana, berapa orang lagi yang harus ia kerahkan untuk melacak wanita itu. Hasilnya masih tetap sama, Eleana belum ditemukan. Eleana seperti hilang ditelan bumi.Mikael seperti mayat hidup yang menghabiskan sisa waktunya di depan komputer atau hanya menunggu telepon dari orang suruhannya yang ia sebar di beberapa negara. Berharap ada kabar baik dari seorang wanita yang ia cintai.Ia juga sudah berusaha menanyakan keberadaan Eleana pada teman kampusnya, tetapi mereka tidak tahu. Wanita itu juga tidak memberi kejelasan kapan dia akan kembali berkuliah setelah mengambil cuti untuk beberapa bulan.Dan kali ini, sebuah kabar mengejutkan begitu mengguncang Mikael, sampai ia tidak dapat berpikir jernih. Ia tidak nafsu makan sejak mendengar kabar itu dan sekarang ia juga tidak peduli tubuh lelahnya yang ia paksa untuk bepergian.Mikael terbang menuju Hongkong setelah mendengar kabar duka yang sa
Troli berisi beberapa bahan makanan dan camilan, berhenti di depan kasir. Wanita berbadan dua dengan balutan mantel khas musim dingin itu menunggu belanjaannya selesai dihitung sambil sesekali mengusap perut bulatnya.Di luar memang musim dingin, tetapi Eleana merasa gerah sampai terdapat bulir-bulir keringat pada pelipisnya. Matanya tidak berhenti bergerak gelisah, sesekali ia mencuri pandang ke belakang, memperhatikan orang-orang yang sedang berbaris menunggu giliran untuk membayar.Entah kenapa, akhir-akhir ini Eleana merasa jika seseorang sedang mengawasinya. Seseorang yang sama, bertopi hitam dan memakai jaket kulit. Sudah dua hari berturut-turut Eleana merasa dibuntuti oleh orang tersebut. Awalnya saat ia pulang setelah bercerita bersama Izrael, kedua adalah hari ini.Setelah membayar di kasir, Eleana segera keluar dari minimarket sambil membawa barang belanjaan. Ia seperti orang yang tengah dikejar, padahal di belakang sama sekali tidak ada yang mengejar.
Eleana tidak tahu sedang ada di mana sekarang. Saat dirinya membuka mata yang terlihat hanya kegelapan, ia sudah terduduk dengan posisi tangan dan kaki yang terikat. Seingatnya, ia masih ada di dalam taksi dan supir memberinya air mineral. Karena haus, Eleana meminum air itu, lalu setelahnya ia sudah tidak mengingat apa pun.Keadaan ruangan pengap yang minim cahaya ini membuat Eleana merasa sesak. “Siapa di sana, tolong lepaskan aku!” teriaknya, saat ia melihat siluet bayangan.Tiba-tiba lampu menyala, lampu yang tidak cukup terang, tetapi bisa digunakan untuk melihat keadaan sekitar. Eleana yang semula menunduk, mendongak saat mendengar suara sepatu.“Hei, tolong aku!” pintanya, keringat dingin mulai membanjiri tubuh Eleana karena takut, perutnya juga terasa mengencang.Sosok itu perlahan berjalan mendekati Eleana, seorang wanita dengan gaun hitam yang memiliki belahan memanjang sampai paha. Sungguh elegan dan terlihat seksi.