Julea masih mengerjapkan matanya untuk kembali fokus dengan apa yang dia dengar barusan. Perempuan tadi mengatakan bahwa dia telah merebut Andrew, sedangkan kabar yang santer terdengar dari pria itu adalah dia merupakan pria lajang.
"Saya tidak tahu apa yang anda katakan, tapi yang jelas saya tidak bersalah jadi berhenti memanggil saya dengan sebutan perempuan murahan!" Julea memandang perempuan itu sama sengitnya.
Julea membenarkan posisi jas kerja yang dia kenakan dan mengalihkan berkas proposal yang di bawa dari tangan kiri ke tangan kanannya.
"Hah! Perempuan seperti kamu memang pantas di sebut seperti itu. Memangnya sebutan apa lagui yang pantas untuk perempuan perusak hubungan orang?" Perempuan itu menunjuk wajah Julea dengan jarinya yang lentik lengkap dengan kukunya yang berkuteks.
Dari penilaian Julea dia bisa tahu kalau lawan bicaranya bukan orang sembarangan. Perempuan itu bukanlah karyawan biasa seperti dirinya, dilihat dari cara berpakaiannya dan juga barang-barang yang dia pakai, semuanya adalah barang branded.
Akibat sikap arogan dari perempuan itu juga banyak karyawan lain yang tengah berada di lobi perusahan memperhatikan mereka. Julea merasa malu karena itu, seumur hidupnya dia tidak pernah beraa di posisi sekarang. Berada di keramaian, ditampar dan juga dituduh sebagai perusak hubungan orang adalah hal yang memalukan baginya.
"Lancang sekali kau–"
Ucapan Julea menggantung di udara, juga tangannya yang akan melayangkan tamparan pada perempuan tadi untuk membalas perbuatannya.
Punggung lebar dan juga bau parfum maskulin langsung menyapa Indra penciumannya.
"Pak Andrew?" Julea bergumam lirih saat tangannya dicekal oleh Andrew yang entah datang dari mana.
Tatapan pria itu tajam dan juga dingin seperti biasanya, tentu itu membuat nyali Julea menciut.
"Jangan kotori tanganmu hanya untuk orang seperti dia," ucap Andrew sambil melirik ke arah perempuan tadi.
Juela mengangguk paham dengan apa yang diucapkan Andrew. Lalu tanpa melepaskan genggaman tangannya di pergelangan Juela, Andrew berbalik dan menatap perempuan tadi nyalang.
"Apa yang kamu lakukan di sini Nona Pricilla?" Tanya Andrew dingin.
Perempuan bernama Pricilla itu mendecik, dia lalu bersidekap. "Kamu malah bertanya apa yang aku lakukan, tentu saja untuk memberi pelajaran pada perempuan murahan itu!"
Lagi-lagi Julea yang tidak tahu apa-apa dijadikan sasaran. Ingin sekali Julea mencakar wajah Pricilia saat itu juga.
Akan tetapi tangan Andrew dengan kuat menahan pergerakannya.
"Siapa yang kamu sebut perempuan murahan? Apa kamu sudah lupa kalau diantara kita tidak ada hubungan apapun lagi?" Andrew berkata dingin.
Pricilla membulatkan matanya sempurna mendengar ucapan Andrew itu. Dia merasa sangat tertohok dan juga dipermalukan di tempat umum.
"Kita masih punya hubungan Andrew! Dan ya, sekarang aku tahu apa alasanmu mengabaikan aku. Jadi karena perempuan itu hah!" Pricilia naik pitam.
"Berhenti menyebutnya perempuan murahan, ingat lah satu hal Pricilia kalau hubungan kita sudah lama berakhir, dan itu tidak ada hubungannya dengan Julea." Andrew berusaha menahan emosi, dia tidak bisa bersikap bar-bar di tempat ini.
Ada banyak karyawan yang menonton kejadian itu. Sudah bisa ditebak pula apa yang akan terjadi setelah ini. Gosip-gosip jahat pasti akan bertebaran di lingkungan kantor dan disebarkan oleh para karyawan yang mengurusi hidup orang.
Julea merasa dibela oleh Andrew, dia tahu kalau pria ini juga manusia yang bertanggung jawab. Andrew tidak mungkin membuat namanya tercemar begitu saja hanya karena mantan pacarnya datang dan membuat onar.
"Oh jadi perempuan itu bernama Julea, apa sih istimewanya dia sehingga kamu terus berada di pihaknya?" Pricilia menendang Julea dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai.
Julea yang ditatap begitu merasa tersinggung, bisa-bisanya dia diperlakukan seperti ini. "Hei jaga bicaramu!" Julea meninggikan suaranya satu oktaf dari sebelumnya.
"Diamlah Julea! biar aku yang menyelesaikan masalah ini," bisik Andrew tepat di telinga Julea.
Diperlakukan seperti itu tentu membuat Julea mati kutu, dia tidak bisa mengontrol degup jantungnya yang seperti sedang berdisko. Julea hanya mengangguk kecil, dan diam ditempatnya.
"Dia sangat istimewa, dan pastinya dia jauh lebih baik dari pada kau. Jadi sekarang pergilah Pricilla, kau sudah mendapat jawabannya bukan?" Andrew menyunggingkan senyum miring.
Pricilla merasa tertampar mendengar jawaban itu, dia makin hina saja berada di kantor milik keluarga Andrew.
"Awas saja nanti, akan aku pastikan kamu kembali padaku Andrew!" Pricilia berbalik setelah dia mengatakan hal itu.
Dia berjalan dengan langkah yang terburu-buru, Pricilia juga menyibakkan kerumunan para karyawan yang menghalangi jalannya.
Sementara Julea dan Andrew masih saja bertahan di posisi mereka sampai Pricilia benar-benar pergi. Setelah merasa 'bahaya' sudah pergi. Andrew melepaskan tangannya dari Julea dan membenarkan jasnya.
"Saya hanya menolong kamu dari amukan Pricilia tadi, jadi jangan besar kepala dan merasa istimewa." Andrew berbisik ketika mengatakannya seiring dengan matanya yang memperhatikan para karyawan yang masih berkerumun.
Andrew menatap para karyawannya tajam, dan karena itu lah kerumunan tadi mulai terurai.
"Iya Pak saya tahu," jawab Julea yang mendengar ucapan tidak mengenakkan dari Andrew.
"Hmm baguslah, dan jangan lupakan kalau kamu harus ikut saya nanti. Ingat itu Julea!" Andrew mengatakannya santai, tapi terdengar seperti ancaman bagi Julea.
Gadis itu hanya menghela nafas berat sebelum akhirnya dia mengangguk. "iya Pak."
Andrew tersenyum sekilas lalu dia menekan tombol lift dan masuk ke dalamnya. Julea hanya memperhatikan dari luar saja, dia tidak berniat satu frame lagi dengannya.
Saat pintu lift akan tertutup dan siap naik, Andrew menatap Julea intens.
"Jam setengah empat sore bersiaplah Julea," ucapanya.
Setelah itu pintu lift benar-benar tertutup dan saat yang bersamaan Julea baru bisa bernafas lega sejenak.
"Ya Tuhan masalah apa lagi ini?" Tanyanya pada diri sendiri, dia menutup wajahnya dengan berkas proposal yang sejak tadi dia bawa.
Julea tidak mau membuang waktu, dia menoleh pada jam tangan silver yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih ada sekitar dua jam lagi sebelum setengah empat, dia bisa menggunakannya untuk mengerjakan pekerjaannya.
Di dalam kubikelnya Julea tidak bisa benar-benar fokus pada apa yang akan dia kerjakan. Laptopnya menyala, juga dengan berkas-berkas yang berserakan di atas meja kerja. Akan tetapi Julea justru menelungkupkan kepalanya di atas meja.
Hal itu memancing rasa penasaran dari Marsha, apalagi tadi Julea dan juga Andrew sudah terang-terangan akan pergi bersama.
"Julea, kamu kenapa sih?" Tanya Marsha yang mendekati Julea dengan menarik kursi yang dia duduki.
"Aku baik-baik saja," jawab Julea yang masih bertahan pada posisinya.
Marsha tidak merasa puas dengan jawaban Julea mulai menjahilinya agar gadis itu duduk dengan benar dan menceritakan semuanya tentang detail kejadian tadi.
"Masa sih kamu tidak apa-apa padahal baru saja keluar dengan Pak CEO, lebih-lebih lagi kamu dibela langsung sama beliau di depan mantan pacarnya, Hmm ini sih mustahil!" Marsha memukul cukup keras lengan Julea.
Akhirnya Julea bangun juga dari aksinya menelungkupkan kepalanya, dia menatap nyalang wajah Marsha yang asik menggodanya dengan menaikturunkan sebelah alisnya.
"Apaan sih, memang benar kok tidak apa-apa. Pak Andrew hanya membelikan aku sepatu baru karena dia tidak mau melihat aku melanggar peraturan lagi." Julea menjawabnya malas.
Moodnya langsung turun drastis mengingat bagaimana hari tenangnya bisa porak-poranda karena berurusan dengan Andrew Nugraha su Dewa Kerja itu.
"Kalau tidak ada apa-apa mana mungkin Nona Pricilla tiba-tiba datang dan mengamuk di lobi tadi? Pasti ada sesuatu di antara kamu sama Pak CEO benar kan?" Marsha masih berusaha keras mengorek informasi, dia yang kalau mendengar gosip langsung tertarik tentu tidak bisa mengabaikan fakta menarik itu.
Julea mengeja nafasnya panjang dan membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman dan berhadapan dengan Marsha.
"Memangnya harus terjadi apa-apa dulu baru bisa menjadi korban asal tuduh dari perempuan gila itu?"
Marsha tertegun dia tidak bisa menjawab apapun perkataan Julea. Memang benar bahwa tidak ada alasan khusus agar bisa menjadi objek asal tuduh dari perempuan arogan seperti Pricilla. "Aku tidak tahu bagaimana bisa Pricilla tahu kalau aku pergi dengan Pak CEO," ucap Julea lirih. Marsha manggut-manggut tangannya dia letakkan untuk menopang dagunya memperhatikan Julea. Mereka berdua diam sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. "Ah aku tahu!" Marsha berseru sambil memukul ringan paha Julea hingga gadis itu nengaduh mengusap-usap bekas pukulan dari sahabatnya. "Apa?" Tanya Julea masih dengan meringis menahan sakit. "Mungkin saja ada karyawan yang iri padamu Julea, dan dia memanfaatkan kejadian tadi untuk mempermalukan kamu di depan penghuni kantor ini dengan mengimpori Nona Pricilla," jelas Marsha memberikan alasan yang paling logis.Julea mengangguk mengiyakan. "Itu benar juga, tapi siapa?" Marsha menggedikan bahunya, dia tidak bisa memberikan jawaban. "Kita harus cari itu Jule
Julea mengangguk mengiyakan dia menghela nafas panjang. Kemudian menarik tasnya dan juga mengambil ponsel yang teronggok di atas meja. "Aku pergi dulu Marsha, dan kau harus ingat satu hal. Jangan pernah menceritakan hal ini pada siapapun!" Jule memperingatkan sambil menunjuk wajah Marsha. Gadis itu mengangguk-angguk patuh. Sedetik kemudian Julea berbalik dan pergi meninggalkan kantor. Saat melihat kepergian Julea banyak karyawan yang langsung menoleh pada Marsha untuk meminta penjelasan. "Kenapa Bu Wakil Katua Devisi pulang cepat, bukannya masih ada setengah jam lagi untuk bekerja. Dia juga terbiasanya lembur kan?" Tanya salah satu karyawan yang seperti juru bicara karyawan lain. Marsha memijit pelipisnya perlahan, pusing juga menghadapi sikap pada karyawan lain yang suka sekali kepo. Ingin tahu urusan orang lain dengan detail. Bahkan mereka bertanya seperti seorang wartawan saja."Aku tidak tahu, Julea hanya mengatakan kalau dia akan pergi untuk urusan penting." Marsha memberika
Andrew menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti. Kenapa Julea tiba-tiba mengehentikan aktifitas mereka yang tanggung sekali untuk dihentikan. Kalau orang bilang, Andrew itu sudah terlanjur masuk tapi tidak ditawari duduk. Sedikit waktu lagi Andrew bisa memuaskan keinginannya mencicipi bibir manis milik Julea. "Ada apa?" Andrew bertanya pelan, dia memegang pundak Julea. Julea tampak gelisah dia menundukkan kepalanya dalam. "Saya mau ke toilet Pak," ujarnya diselingi senyum kecut. Plak! Andrew memukul jidatnya sendiri. Bisa-bisanya Julea memotong adegan romantis mereka hanya karena kebelet. "Ya sudah sana, nanti kamu malah ngompol di sini. Kan tidak lucu juga!" Andrew beralih untuk duduk di kursinya dan memasang wajah kesal. Sementara Julea langsung berlari kecil menuju toilet yang paling dekat dari tempat yang sudah Andrew pesan. Buru-buru Julea menutup pintu dan berjalan ke arah wastafel. Dia menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya bersemu merah. "Pak Andrew sialan! Mana
Julea mematung dia memegangi lehernya yang pasti ada jejak sialan di sana. Sementara itu Andrew yang menjadi pelaku atas bekas merah-merah itu malah menatapnya santai. "Jul kenapa malah berdiri di situ?" Andrew melambaikan tangannya agar Julea mendekat ke arahnya. Dan apa tadi yang dia katakan? Andrew memanggilnya dengan sebutan 'Jul'. Julea yang mendengarnya malah melotot tajam. Dia tidak suka di panggil seperti itu!Karena kesal Julea akhirnya mendekati Andrew dan sengaja menginjak kaki pria itu cukup keras. Andrew mengaduh karenanya dan menatap tajam wajah Julea. "Maaf nggak sengaja Pak," ucap Julea disertai senyuman mengejek. Andrew ingin sekali marah-marah padanya akan tetapi di sana masih ada pelayan dan dia juga melihat ada seorang mata-mata ayahnya yang bersembunyi di sudut ruangan itu.Dengan terpaksa Andrew akhirnya menyunggingkan senyum manis yang amat sangat dia paksakan. Tangannya justru menarik Julea yang hendak duduk. Hingga gadis itu jatuh ke pangkuannya, Julea lan
Merasa kalau Andrew mulai terbuai dengan apa yang dia lakukan Julea justru berhenti dan langsung berdiri. Dia tersenyum penuh arti pada pria yang sangat dia jauhi sebelumnya. "Sudah Andrew, aku sudah melakukan apa yang kamu minta." Julea mengatakannya santai dia juga sengaja mengarahkan pandangannya ke arah di mana sang mata-mata berada. Julea sudah melihat ada yang mengawasi mereka saat melakukan sedikit permainan panas dengan Andrew. Sedangkan pria itu justru sedang mengatur nafasnya yang sempat tersengal karena ulah Julea. "Julea kamu ini kalau melakukan apa-apa suka yang setengah-setengah, ini belum tuntas malah udahan!" Andrew menggerutu dan mengatakan uneg-unegnya dengan jujur. Padahal dia tipe orang yang punya gengsi besar. Tapi kali ini tidak di temukan sifat yang seperti itu dalam dirinya. "Loh memangnya kamu mintanya bagaimana?" Julea mencondongkan tubuhnya ke arah Andrew yang masih duduk, keringat bercucuran di keningnya hingga membasahi pelipisnya. Andrew diam k
Julea menggeliat pelan karena merasa tidak nyaman, sinar matahari yang masuk ke matanya sudah mengganggu tidurnya. Tangan gadis itu meraba-raba ranjang dengan mata yang setengah terbuka dia mencari letak ponselnya. Akan tetapi dia menyadari sesuatu, ini bukan kamar apartemennya. Karena bau ruangan itu sangatlah berbeda. "Tunggu, tidur di mana aku ini?" Julea langsung membuka matanya sempurna dan terduduk. Ini bukanlah kamar apartemennya, dan jika dilihat dari interiornya kamar ini sepertinya adalah kamar pria. Sangat kentara dengan perabot dan juga warna-warna di sana dominan hitam. "Ini kamar pria, aku ada di mana dan bagaimana bisa aku tidur di kamar orang lain?" Julea mengusap wajahnya kasar.Dia juga mengecek pakaian yang dia kenakan, dan Julea baru menyadari kalau dia sudah berganti pakaian. Kemarin malam dia masih sangat ingat kalau mengenakan dress tapi pagi ini dia malah mengenakan baju tidur. "Aku juga sudah berganti pakaian, lalu siapa yang mengganti nya?" Julea bertany
Julea membulatkan matanya sempurna, jantungnya seperti ingin melesat dari tempatnya. Apa-apaan Andrew ini sebenarnya!"Jangan buat orang salah paham dengan ucapan konyol mu itu Andrew Nugraha!" Julea memalingkan wajahnya, dia kesal.Sungguh dia benar-benar kesal dengan sikap Andrew yang semakin kacau saja jika di teruskan. "Loh memangnya kenapa? Kamu dan aku kan pasangan kencan buta, apa salahnya jika memanggil dengan sebutan itu?" Andre bertanya dengan memasang wajah tanpa dosa. Julea menggeram, dia kesal saat ini. Kalau saja bukan karena sepatu sialan itu dia pasti tidak akan terjebak dengan Andrew Nugraha si bos dingin. "Tapi kita melakukan itu atas dasar kesepakatan Andrew, kalau hal-hal lain yang kau minta itu tidak ada poinnya di perjanjian kita!" Julea menaikan suaranya satu oktaf dari sebelumnya. Andrew malah tersenyum lebar melihat tingkah Julea yang mudah sekali terpancing emosi. "Hei tenanglah Julea Anastasia. Itu hanya hal kecil yang aku minta, toh itu hanyalah sebuah
Andrew mengangguk, dia hanya tersenyum tipis. Setelah itu dua menuntun Julea agar masuk ke kantor bersama dengannya. Seperti apa yang dikhawatirkan Julea, ada banyak pasang mata yang memandang mereka dengan tatapan tajam, menunjukkan rasa tidak suka dan berbagai perasaan yang lainnnya. "Entah ini karena pikiran ku yang negatif atau mereka memang mereka yang memandangku aneh?" Lirih Julea yang menundukkan kepalanya sambil terus berjalan mengikuti Andrew. Hingga sampai ke koridor tempat lift berada, Julea menepis tangan Andrew yang asik bertengger di pergelangan tangannya. Berhubung di tempat itu terbilang cukup sepi, jadi dia berani berbuat demikian pada sang bos. "Lepas Andrew!" Julea menatap tajam ke arah Andrew. Sementara pria itu malah menatapnya bingung, apalagi saat melihat ada raut kemarahan di wajah gadis yang senang sekali berceloteh itu. Andrew mengerutkan keningnya tidak mengerti. "Ada apa lagi Julea?" Tanya dengan nada yang lembut. Julea tidak menjawab apapun, dia han