Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Seorang perempuan berambut cokelat sebahu mengendap-endap di balik kubikel kerjanya. Matanya awas memperhatikan sekeliling, takut kalau-kalau ada yang melihat kehadirannya."Kamu ngapain di situ Julea?"Pertanyaan yang tenang itu membuat gadis bernama Julea mendongak kaget, dia tersenyum kecut kepergok sembunyi oleh atasannya sendiri."A-anu buk saya–" Ucapan Julea terhenti karena wanita yang berdiri di depannya ini menghela nafas panjang dan buru-buru memotong ucapannya. "Apa Julea kamu akan katakan kalau kena macet atau kamu harus menolong Ibu kamu dulu sebelum ke kantor sehingga saat ini kamu telat hampir dua jam?" Wanita dengan setelan jas rapi dan ber name tag Sarah itu bersidekap dan melotot tajam pada Julea yang menundukkan kepalanya dalam."Maaf buk," jawabnya penuh sesal. Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam melihat Julea yang dimarahi habis-habisan oleh atasan mereka. "Ingat Julea kamu ini Wakil Devisi perencanaan, seharusnya kamu mencerminkan kedisiplinan di t
Dengan langkah yang dipaksakan Julea berjalan malas ke ruangan CEO tempat dia bekerja yang ada di lantai tiga kantor periklanan terbesar di kota itu. Julea menghela nafas berat saat dia sampai di depan ruangan CEO. Dia menatap gagang pintu kaca yang ada di sana sejenak. "Ya Tuhan kalau saat ini aku harus mati karena menghadapi CEO yang kejam itu maka aku ikhlas, tapi biarkan aku jadi hantu yang akan mengganggu hidupnya." Julea bergumam sambil mengusap-usap gagang pintu. Seolah-olah dia sedang berbicara dengan seseorang yang bisa dia ajak curhat tentang bagaimana kejamnya CEO di tempat itu. "Siapa yang akan kamu ganggu Bu wakil Devisi?" Julea mendongak ketika suara bass itu memasuki indra pendengarannya. Dia melongo karena ternyata CEO kejam yang dia maksud sudah berdiri tepat di depannya. Mereka hanya terhalang oleh pintu kaca saja, dan pastinya wajah merah Julea terlihat olehnya. "Ti-tidak Pak, tidak ada. Bapak pasti salah dengar," kilahnya sambil mengibaskan tangan. Tanpa me
"Ti-tidak Pak, demi Tuhan saya tidak bermaksud membentak bapak." Julea menangkupkan tangannya di depan dada bermaksud meminta maaf atas kesalahannya. Mulutnya ini memang tidak bisa diajak kompromi, Julea memang kesal pada Andrew tapi dia tidak berniat untuk membentaknya. Sebab dia tahu apa akibatnya jika dia melakukan itu. Andrew hendak marah dan mengomeli gadis itu sampai puas akan tetapi dering ponsel IOS miliknya memaksa dia berhenti.Dengan cepat dia merogoh ponsel itu dari dalam saku celananya, dia menggeser tombol hijau. Merasa mendapat keselamatan untuk kabur Julea hendak pergi secara diam-diam. "Tetap diam di sana Julea!" Perintah Andrew lagi-lagi mutlak.Julea mendecik ingin sekali rasanya dia mencekik leher pria itu sekarang juga. Kalau saja dia tidak hidup di negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia pasti sudah lama dia melakukan itu. Julea tetap berdiri di tempatnya menunggu Andrew yang tengah mengangkat telfon. Pria itu berjalan mendekat ke arah jen
Andrew hanya bisa geleng-geleng kepala mengetahui bagaimana sifat dari bawahnya yang bodoh bin ceroboh itu. Kalau saja dia tidak punya misi khusus, maka Andrew tidak akan Sudi berurusan lebih lama dengannya. Jika kalian pikir sikap Andrew ini karena dia peduli maka itu salah besarAndrew hanya memikirkan dirinya sendiri."Hm ya ya, baiklah karena sepatumu tidak ditemukan maka ayo kita beli." Andrew berbalik dan pergiLagi-lagi Julea selalu ditinggal olehnya dengan langkah yang terburu-buru dia akhirnya bisa mengikuti sang bosAndrew berjalan melewati ruangan lara karyawan dengan dari masing-masing devisi dengan tenang karena itu merupakan jalan utama yang biasa dia lewati."Pak kenapa kita tidak pakai lift saja sih? Kan malu pak dilihat banyak orang," Keluh Julea sambil menatap orang-orang canggungAndrew tiba-tiba berhenti begitu saja membuat Julea tidak sengaja menubruk punggung kekar miliknya. Hal itu juga terjadi tepat di depan karyawan devisi perencanaanSontak semua mata tertuj
Julea menggeleng-geleng pelan, dia masih sangat sayang dengan gajinya. Dia juga tidak mau kehilangan mereka dengan mudah setelah bekerja sangat keras.Mendapatkan jawaban yang memuaskan Andrew akhirnya tersenyum puas dan melepaskan mulut Julea yang tadi dia bekap."Bagus itu adalah jawaban yang tepat Julea," ucapnya lengkap dengan senyum manis.Julea hanya mengangguk lesu dia merutuki kebodohannya sendiri yang mau saja tergiur tawaran dari Andrew. Kalau sudah begini akan repot lagi urusannya. "Tapi Pak kenapa harus saya?" Julea menoleh hendak protes tapi Andrew sudah tidak ada lagi di sampingnya. Julea menoleh ke sana-sini untuk mencari pria yang telah membawanya, akan tetapi dia tidak menemukannya di atas metromini ini. Atau jangan-jangan dia sengaja mengerjainya dan ditinggal begitu saja?"Mbak cari pacarnya ya?" Tanya seorang kondektur yang melihat wajah kebingungan Julea. "Ah itu bukan pacar saya pak dia–""Dia sudah turun mbak, itu sedang menunggu mbak di pinggir jalan," tunj
Julea masih mengerjapkan matanya untuk kembali fokus dengan apa yang dia dengar barusan. Perempuan tadi mengatakan bahwa dia telah merebut Andrew, sedangkan kabar yang santer terdengar dari pria itu adalah dia merupakan pria lajang. "Saya tidak tahu apa yang anda katakan, tapi yang jelas saya tidak bersalah jadi berhenti memanggil saya dengan sebutan perempuan murahan!" Julea memandang perempuan itu sama sengitnya. Julea membenarkan posisi jas kerja yang dia kenakan dan mengalihkan berkas proposal yang di bawa dari tangan kiri ke tangan kanannya. "Hah! Perempuan seperti kamu memang pantas di sebut seperti itu. Memangnya sebutan apa lagui yang pantas untuk perempuan perusak hubungan orang?" Perempuan itu menunjuk wajah Julea dengan jarinya yang lentik lengkap dengan kukunya yang berkuteks.Dari penilaian Julea dia bisa tahu kalau lawan bicaranya bukan orang sembarangan. Perempuan itu bukanlah karyawan biasa seperti dirinya, dilihat dari cara berpakaiannya dan juga barang-barang yang