LOGINAngin dingin malam menyapu perjalanan Arion. Salju yang menempel di mantelnya bergetar ringan, seperti merasakan energi jauh di atas, Aeralis. Potongan Red Gloire keempat kini berada di dalam darahnya, dan getaran yang ia rasakan jauh lebih kuat dari sebelumnya.Seon, masih dalam wujud kucing abu gendut yang menyebalkan, duduk di bahu Arion sambil menjulur-julurkan ekor. Matanya coklat tua normal, namun kilatan merah darah sesekali muncul ketika ia mendengar nama bangsa penyihir putih, musuh Klan Demonia sepanjang sejarah.Seon menggerutu pelan. “Kau serius, Yang Mulia? Barier langit Timur…? Ini akan lebih merepotkan daripada aku dipaksa makan ikan mentah.”Arion menatap langit malam, napasnya tenang tapi matanya berkilat hitam dan emas setiap kali ia menyebut Aeralis.“Bukan hanya merepotkan… tapi itu salah satu lokasi potongan Red Gloire selanjutnya. Dan… aku bisa merasakannya. Mereka tahu… mereka tahu energi itu sudah bergerak.”Devian mendesah panjang, nada sinis tapi penuh kepuas
Di langit utara Valeoryea, Aeralis, kuil terapung bangsa penyihir putih, bergetar keras. Kilatan energi yang tak biasa menembus kabut magis, membuat batu terapung berderak. Semua pengawal dan penyihir muda yang sedang meditasi terbangun, panik.Di aula utama, Ratu Evangeline Quentin berdiri tegak. Rambut pinknya berkibar lembut, mata hijau zamrudnya bersinar tajam. Tubuhnya tetap tenang, namun setiap gerakannya menyiratkan waspada tinggi. Lambang bulan di keningnya berdenyut terang, sinyal sihir dari inti kuil yang memperingatkan bahaya besar.“Getaran ini… bukan gangguan biasa. Seseorang, atau sesuatu, mendekat. Energi ini… berbahaya, liar, tapi terkendali.”Di sisinya, adik perempuannya Khaleesi Quentin, seusia Arion, memerhatikan dengan mata perak redup. Rambutnya sama pink, namun sorot matanya berbeda, tenang tapi waspada, menandakan intuisi kuatnya menangkap gelombang iblis yang tersembunyi di balik energi itu.“Aku merasakan… kekuatan yang bukan dari dunia biasa. Ini bukan sekad
Di kaki Gunung Gleighmor, malam turun perlahan. Api kecil menyala di antara batu-batu es, nyaris tak memberi kehangatan. Arion duduk diam, punggungnya bersandar pada batu besar, sementara Seon, dalam wujud kucing abu gendut melingkar di sampingnya, setengah terlelap.Arion memejamkan mata.Ia tidak membuka jalur telepati sepenuhnya. Hanya sinyal.Getaran energi singkat, terkontrol, nyaris seperti denyut jantung yang dikirim melintasi jarak dan dunia.Di ruang kerjanya, Kenio terhenti di tengah kerjanya. Tangannya refleks menekan dada, napasnya tercekat.Sinyal dari Arion. Hidup. Selamat. Lulus ujian petualangan pertama.Itu saja. Tak ada suara. Tak ada wajah.Namun Kenio tahu. Ia tersenyum tipis, lega yang nyaris membuatnya runtuh.Di sampingnya, Deanna ikut membeku. Ia tidak mendengar apa pun, tapi hatinya bergetar hebat. Matanya berkaca-kaca, seolah naluri seorang ibu menangkap pesan yang tak diucapkan.Lucy juga merasakan getaran itu. Ia menoleh liar, senyum gilanya merekah.“Dia…
Cahaya merah dari potongan Red Gloire perlahan meredup, menyisakan kehangatan samar di udara. Arion menatap batu itu lama, sebelum memasukkannya ke dalam kantong kulit di sabuknya. Seon meregangkan tubuhnya, masih dalam wujud kucing gendut. Memanjat naik ke bahu Arion, mengibaskan ekor.“Kalau begitu, tinggal mencari potongan berikutnya. Sekitar tiga atau empat lagi, kan?”Arion mengangguk pelan. "Mungkin saja." Ia menyandarkan kepalanya pada batang pohon, menghembuskan napas panjang.“Dua peti runtuh sudah… berarti sisa potongan berikutnya pasti ada di Aeralis.” Ia menggumam. “Kuil terapung penyihir langit…”Seon mengerutkan hidungnya kesal.“Yang tempat masuknya dijaga ketat, dan satu-satunya jalan adalah gerbang sihir yang cuma terbuka untuk penduduk asli? Yang itu?”Arion menutup mata. “Hmm.”Suara Devian terdengar lagi. Dingin, menilai, masih memendam kekesalan yang tebal.“Kalian berdua benar-benar punya hobi menghancurkan diri sendiri.”Arion membuka mata setengah. “Kupikir kau
Kabut salju perlahan menipis. Angin malam mengerang pelan melewati celah tebing.Arion membuka mata sepenuhnya, menahan desisan kesakitan ketika mencoba bangun. Seluruh tubuhnya seperti dihantam palu raksasa.Di atas dadanya, seekor kucing abu gendut dengan mata coklat menyala, berdiri sambil melipat kedua tangannya—entah bagaimana caranya. Bulu-bulunya mekar seperti landak marah.“Aku cuma pergi dua detik buat memikirkan strategi melawan monster itu… DUA DETIK, YANG MULIA. Dan kau, KAU NYARIS MATI!”Arion mengerjap, bingung. “Aku... huh, tunggu. Kau ngomel?”Seon menatapnya seperti ingin melempar batu raksasa ke kepalanya.“YA. AKU. NGOMEL. Karena BOSKU YANG TERHORMAT MEMUTUSKAN BERMAIN ADU TINJU DENGAN MONSTER BERUKURAN KASTIL TANPA OTAK DAN TANPA STRATEGI.”Arion menghela nafas dan memegangi tulang rusuknya yang mungkin retak. Tapi perlahan kembali meregenerasi.“…Tutup mulutmu lima menit saja bisa tidak?”“TIDAK BISA. APA KAU KIRA AKU MAKHLUK YANG SABAR?!”Kucing itu menjentikkan
Devian hampir mengambil alih, lalu Seon menahan, Arion pingsan.Ledakan api hitam mengoyak badai salju seperti langit yang dibelah dua. Suaranya menggelegar, bukan seperti api biasa, melainkan jeritan ribuan jiwa yang terbakar. Cahaya hitam itu menyambar tubuh monster salju raksasa, membuat bentuknya meleleh dan terpelintir, berubah menjadi kabut es beracun yang berteriak kesakitan.GGRRRAAAHHHH!!Arion terdorong mundur oleh kekuatan yang ia sendiri tidak mengerti. Seluruh tubuhnya gemetar hebat, napasnya terputus-putus. Pembuluh darah di bawah kulitnya bersinar gelap seperti tinta yang mendidih.Arion terengah, panik. “Aku... tidak bisa menghentikannya...”Dan tiba-tiba semua suara luar lenyap. Dunia menjadi sunyi seperti tenggelam di dasar laut.Di ruang gelap dalam pikirannya, sosok Devian muncul sepenuhnya. Tinggi, berbalut bayangan hitam pekat dan api neraka yang menjilat punggungnya seperti sayap iblis. Matanya merah menyala, senyumnya bengis.“Sudahlah. Kau sudah melewati batas







