"Masuk aja!" perintah Shela saat Sina masih mematung di depan pintu. Karin dan Devi bersedikap dada menunggu Sina untuk ikut masuk.
Sina tak menyangka ternyata Shela seramah itu saat mengajaknya berkenalan. Ia pikir Shela akan menindasnya di toilet, ternyata perkiraannya salah. Dia justru mendukungnya tentang apa yang sudah ia lakukan pada Farel.
"Ayok, Sin. Gausah takut!" Shela menarik tangan Sina dan membawanya ke lantai dua.
Di belakang, Karin dan Devi saling berbisik tentang apa rencana yang sedang dilakukan Shela sebenarnya.
"Apa si maksud Shela bawa cewek itu ke sini?" kata Karin pelan.
"Gak tau, kita lihat aja nanti," balas Devi tak kalah berbisik.
Saat Shela membuka pintu, Sina langsung terkejut. Hampir saja jantungnya imigrasi ke lambung.
Seorang anak laki-laki dengan lebam besar di sebelah matanya melirik tajam ke arah cewek-cewek yang dengan lancang masuk begitu saja ke kamarnya.
"Ngapain lo ajak cewek sialan itu?" decak Farel sambil menyempurnakan posisi duduknya.
Sina menunduk. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Meminta maaf atau membela diri lagi. Benar kata Tante Nessa, tindakannya ini sangat keterlaluan. Bahkan Farel sampai masuk rumah sakit karena pukulannya.
Sebenarnya Sina memang terlahir dengan kapasitas tenaga yang berbeda dari yang lain. Bisa dibilang, Sina tidak akan tumbang walau seribu kali dilempari bola basket sekalipun. Sejak kecil, ia mampu membawa barang berat dari pasar ke rumah dan ayahnya adalah saksinya.
Sina tidak memiliki kemampuan super seperti di film-film atau cerita novel, seperti; mematahkan besi, terbang atau membiarkan dirinya tertabrak mobil--Sina tidak mampu melakukan itu semua. Ia hanyalah manusia biasa yang masih bisa merasakan sakit dan kelelahan--seperti manusia pada umumnya. Dan sakit yang Sina rasakan untuk yang pertamakalinya adalah saat Nessa menyambuknya di bagian perut, saat itu Sina langsung terkapar.
"Sutt! Lo mau kena pukul Sina lagi?" tandas Shela membuat Sina semakin gugup.
"Gue ajak Sina ke sini karena gue ingin ajak dia masuk ke geng kita--"
Farel langsung cengo mendadak..
"Apa, Shel?" Kaget Karin dan Devi.
Tak hanya mereka, Sina pun ikut kaget mendengar pengakuan dari Shela. Ia tidak mengerti kenapa Shela melakukan ini. Apa sebenarnya niat perempuan blasteran itu? Pikir Sina.
" ST Five akan berubah menjadi ST Six!" putus Shela seenaknya.
"Stres lo!" kata Farel yang sekarang bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan keluar dengan wajah kesal. Shela memang selalu seenaknya membuat keputusan.
"Shel? Lo apa-apaan si!" Karin menarik Shela menjauhi Sina.
"Gue gak setuju, tampang kayak Sina itu gak cocok masuk geng kita. Gue denger-denger dia itu pernah di-bully di sekolah lamanya. Masa lo mau masukin ampas ke geng kita," jelas Devi panjang lebar. Devi ini adalah spesies manusia paling kepo di seluruh dunia. Jangankan Sina, para leluhur semut saja sering Devi cari tahu asal-usulnya.
"Stop, ya menentang keputusan gue. Sina ini berarti banget buat kita. Apalagi sebentar lagi, The Blue mau buat perhitungan sama kita. Lo tau kan ada Deo di sana. Cowok yang berani mukul cewek," bisik Shela membuat kedua temannya bungkam.
Karin dan Devi menganggukan kepala.
"Jadi ini cuma?" Devi dan Karin tersenyum ke arah Shela.
"G--gue udah boleh pulang?" Tiba-tiba Sina menghampiri Shela dan yang lain membuat mereka segera memasang ekspresi wajah seperti semula.
"Eh, ntar dulu dong, Sin. Btw, Farel itu sepupu gue, jadi lo gak usah takut lagi."
***
"Wah, kayaknya papa udah pulang," gumam Sina. Ia melihat mobil sedan berwarna silver terparkir di halaman rumah.
Cepat-cepat Sina masuk, ia langsung mendapati papanya di dalam rumah. Pria itu sedang asik mengobrol dengan Tante Nessa dan Om Rio. Tak lupa Oliv yang kini berada di pelukannya. Bukan hanya Oliv, Sina juga sangat merindukan pria bernama Rian Adieguna itu.
Nessa berbisik, memberitahukan kedatangan Sina pada Rian. Rian mengedarkan pandangannya ke arah anaknya yang sedang berkaca-kaca.
Rian berdiri mendatangi Sina. Sina pun tersenyum bahagia melihat kedatangan papanya.
"Pa, Sina rind--"
Plak!
Baginya ini adalah tusukan paling menyakitkan dari rasa sakit apapun yang sudah ia dapat.Tamparan pertama papanya adalah hal yang paling menusuk dari benda tajam manapun. Perlahan rasa ngilu di pipinya menghilang, kemudian Sina mendongak ke arah papanya.
"Jangan selalu membuat papa berpikir kamu anak pembawa sial, Sina!" lontar Rian. Oliv ikut terkejut kala melihat papa tirinya menampar Sina--anak kandungnya sendiri. Selama ini Oliv tak pernah melihat Rian semarah ini.
"S--salah Sina apa?" Perlahan air mata Sina mulai bercucuran.
"Kemarin Tante Nessa dipanggil pihak sekolah gara-gara kamu mukulin anak orang sampe masuk rumah sakit' kan?"
"Tapi, anak itu yang mulanya gak sopan sama Sina, Pa. Apa salah Sina membela diri?" Sina menatap penuh harap agar papanya dapat iba apa yang menimpa dirinya.
Rian memutar bola matanya ke arah lain, memalingkan wajahnya dari Sina. Terlihat sekali, sebenarnya Rian amat sayang dan menyesal telah menampar Sina. Tetapi ego dan rasa bersalah pada mendiang istrinya lebih dominan dari rasa kasihan terhadap Sina. Mendiang istrinya yang mengorbankan nyawanya untuk Sina.
"Membela diri itu memang t
Perlu, Sina. Tapi apa yang kamu lakukan itu salah! Kamu sudah mempermalukan kante kamu. Apalagi kamu ini perempuan, seharusnya kelebihan yang kamu miliki tidak seharusnya menjurus untuk membahayakan nyawa orang!""Cukup mendiang mama kamu dan mendiang Rindu--"
"Aku nggak bunuh mereka, Pa?!" Air mata Sina tumpah seketika. Ia lekas berlari menuju kamarnya. Perkataan papanya sudah melewati batas. Ternyata orang yang kiranya membuat dirinya semangat ternyata dialah orang yang lebih dulu menghancurkannya. Orang terdekat adalah sarang dari patah hati dan itu ternyata ayahnya sendiri.
Sina mengunci diri di kamar mandi. Hal yang selau ia lakukan adalah menyalakan keran kamar mandi dan menangis bersamaan dengan suara deru air.
"Aku anak kandung papa. Tapi kenapa papa tega sama Sina. Kenapa papa gak sayang sama Sina?" Sina menjambak rambutnya prustasi.
"Jangan sebut aku pembunuh, Pa. Jangan ... aku gak kuat papa bilang kayak gitu. Aku sakit!" Ia merengut dadanya kuat-kuat.
Ibunda Sina telah tiada saat melahirkan dirinya. Kemudian ketika Sina menginjak umur tiga tahun, Rian menikah lagi dengan perempuan cantik bernama Rindu. Rindu sebelumnya juga pernah menikah dan dikaruniai satu orang anak yaitu Olivia Raindu.
Rindu tak pernah membedakan antara anak tiri dan anak kandung. Ia benar-benar wanita yang amat penyayang, membuat hati Sina tercuri. Mereka tumbuh menjadi keluarga harmonis. Namun, saat Rindu meninggal karena menyelamatkan Sina semuanya berubah seketika. Sina jadi terasingkan bahkan oleh ayahnya sendiri.
Tiga tahun berlalu. Embusan angin menyapa di setiap sudut kota. Seorang laki-laki bertubuh jangkung baru saja keluar mini market dengan segelas soft drink di tangannya.Wush!"Uhuk-uhuk!""Gila, hampir aja tuh debu masuk semua ke paru-paru," keluh sang empu, sebab angin dari barat begitu kencang.Farel menaiki kendaraannya kembali. Sebelum itu ia tampak mentahbiskan minumannya dan membuang botol kaleng itu ke tempat sampah yang tak begitu jauh darinya.Ia melesat dan masuk membelah jalanan kota yang masih dipenuhi oleh lalu lalang kendaraan.Meski cuaca terasa panas, laki-laki itu tampak tak terburu-buru dalam berkendara. Justru ia malah menikmati perjalanannya.Akhirnya sampailah ia di halaman rumah. Pria itu lekas turun dari motor dan membawa plastik putih berisikan eskrim pesanan sang adik."Bang, Falel pulang!" sorak anak kecil berusia hampir empat tahunan. Anak itu berlari dan langsung menghambur ke pelukan Farel.
"Pah," panggil Olive dengan suara lirih. Ia melihat pria yang semakin beruban itu tengah duduk melamun di kursi rodanya. Gurat kesedihan dan gurat usianya bercampur menjadi satu. Rian terlihat sangat menyedihkan."Pah, udah yuk, papah makan dulu." Olive membawa semangkuk bubur untuk sang ayah."Habis makan papah istirahat. Ingat lho kata dokter. Papah ngga boleh kebanyakan bengong. Gak baik," ucap Olive mengingatkan. Sejak kepergian Sina, Rian jatuh sakit dan sakitnya berasal.dari sebuah lamunan dan rasa bersalah."Aa, buka mulutnya Pah." Olive melayangkan sendok ke depan mulut Rian. Namun, pria beruban itu enggan membuka kedua bibirnya."Pah, sekali aja! Yah, ayo makan.""Papah ngga mau makan, Liv," toko Rian seraya terus menatap ke depan."Gimana papah mau sembuh kalo ngga mau makan. Sakit juga butuh tenaga Pah. Yah, makan dulu," bujuk Olive yang masih menggantung sendok di udara."Ngga liv--""Sesuap aja pah--"
Farel berjalan dengan tetap menatap ke layar ponselnya. Ia mendapat pesan dari seseorang yang tidak dikenal.Farel tetap terfokus pada layar ponselnya, sampai seseorang yang tengah berlari ke arahnya tak ia sadari hingga akhirnya ....Bruk!Orang itu menabrak tubuh Farel. Namun malah ia yang tersungkur. Dan hampir saja ponsel Farel terjatuh.Seorang gadis meringis. Ia segera berdiri dan meminta maaf pada cowok yang sudah ditabraknya."Maafin, Sinar, ya, Kak. Sinar gak senagaja," ucap gadis itu yang terus menunduk.Mendengar nama gadis itu, dada Farel tiba-tiba berdebar tak karuan."Sina?" kata Farel membuat gadis itu mendongak. Lalu memperlihatkan wajahnya yang manis."Nama lo, Sina?" tanya Farel tak percaya. Saat mendengar nama itu, Farel langsung teringat dengan gadis yang sudah satu tahun meninggalkannya."Sinar! Ada huruf R nya, kak," ralat cewek itu membenarkan."Sinar?" Kedua alis Farel terangkat."Le
Shela memberi satu botol air mineral pada Rangga yang sedang duduk merenung di halaman sekolah. Gadis itu terduduk dan memerhatikan raut wajah Rangga dari samping. Rangga meneguk air itu setengah habis. Kemudian meletakkannya di samping dengan penuh emosi sampai botol itu berdentum. "Kenapa, Ga?" tanya Shela melihat hari Rangga agaknya kurang baik. "Bokap dan nyokap, maksa gue buat kuliah di luar negeri," sahut Rangga sambil terus menatap nanar ke arah depan. "Ya bagus dong. Di sana kan--" Shela segera menutup mulut kala Rangga mendelik sinis padanya. "Gue gak suka, Shel! Gue gak suka dipaksa. Gue ingin jadi diri gue sendiri!" pekik Rangga. Shela mengusap bahu Rangga berusaha untuk menyabarkannya. "Lo bisa bicarakan ini baik-baik," saran Shela. *** Usai dari sekolah, Rangga tidak langsung pulang. Ia berjalan-jalan di lorong sekolah. Rangga meraba setiap jendela yang ia lewati. Dan sampailah
"Ngomonglah, Di! Masa dari tadi diem aja." "Di!" ulang Farel. Namun sang empu masih juga tidak menengok. Akhirnya Farel kembali terfokus menyetir. "Kenapa si Rel, lo maksa banget buat gue pulang? Gue tuh masih kesel sama mereka!" gerutu Didi yang akhirnya membuka suara. "Kesalnya udahan kali, Di. Beri mereka kesempatan." Farel mendelik sekilas sesusah itu terfokus pada jalanan lagi. "Udah berulang kali gue beri kesempatan. Tapi apa? Nyatanya mereka tetep ngga bisa menghargai gue!" pekik Didi. "Ya lo ngegasnya jangan ke gue dong!" "Udahlah, berpikiran positif aja," lanjut Farel. Ia sedikit menambah kecepatannya, agar segera sampai ke rumah Didi. Di sana Sinta dan Dafa sudah menunggu kepulangan Didi. Setibanya di depan rumah, anak itu malah tetap duduk di dalam mobil. Farel mengembuskan napas jengkel. "Ayo turun!" paksa Farel seraya menarik lengan Didi dari mobilnya. "Akh!" sentak Didi yang terus dipaksa Far
Setelah dua hari Didi tidak kunjung pulang. Anak itu pergi entah ke mana, yang pasti sungguh membuat Sinta dan Dafa khawatir. Bahkan Dafa sudah melapor pada polisi atas kehilangan anaknya. Sinta pergi untuk menemui Farel. Barangkali anak itu mengetahui keberadaan Didi. Sinta mengetuk pintu. Ia sedikit ragu. Namun tetap melakukannya. Tak berapa lama, Farel membukanya. Ia terkejut melihat kedatangan mamahnya Didi. "Tante Sinta?" "Rel bisa saya bicara sama kamu?" kata Sinta terlihat panik. "Masuk Tante. Kita ngobrol di dalam aja." Sinta duduk di sofa ruang tamu. Ia disuguhkan minuman dingin oleh Farel. "Santai aja ya, Tan di sini lagi ngga ada siapa-siapa kok. Orang rumah lagi pada ke luar." "Iya Rel. Sebelumnya Tante minum dulu ya." Sinta segera meneguk minuman yang telah disediakan untuknya. Sinta sangat merasa haus sehingga menghabiskan segelas sirup itu. "Iya, Tante silakan di minum."