Share

Tamparan Sina

"Keren banget Sin. Emang Farel pantes dapat pukulan itu dari lo. Di sini mana ada yang berani. Gue dukung lo Sin. I'm support you, darling."

Kejadian menghebohkan terjadi tadi pagi di kelas IPA I, nama Farel menjadi tumbang oleh gadis yang berstatus sebagai murid baru di SMA Nusa Bangsa.

Tepat di wajah Farel terdapat tamparan bekas sepatu. Pipinya berubah merah padam lebih tepatnya merah keungu-unguan. Sementara matanya seperti bajak laut--sebelah matanya ikut lebam.

Saat ini banyak orang yang memenuhi ruang kelas Sina. Sedang Farel masih terkapar di lantai dibantu Didi yang ikut meringis melihat wajah tampan pria itu berubah mengerikan.

Mata Sina basah. Dia bisa melawan?

Lo budek? Congean telinga lo?

Bangun goblok, lawan mereka! Kalo diem aja mereka akan terus menjadi buat mainin lo. Tendang kek apa kek.

Suara-suara itu muncul lagi. Tapi Sina merasakan kelegaan setelah memberi pelajaran pada cowok itu.

"Rel, lo gak apa-apa? Lo baik-baik aja kan?"

"Eh, lo kira-kira kalo mukul dong. Muka Farel jadi bengkak gini. Wah, kalo bokapnya tau bisa abis lo!" Didi membantu Farel berdiri lalu membawanya keluar dari kelas menakutkan itu. Semua pasang mata mentertawakan wajah Farel yang terdapat tamparan bekas sepatu miliknya sendiri.

"Tobat Rel, jangan suka nindas kaum lemah lagi. Noh sekarang udah ada yang bisa ngelawan Lo."

"Semoga cepat berubah ya TUAN FAREl!"

"Wah, kayaknya muka lo kudu dioperasi deh. Parah banget bengkaknya."

Suara-suara mereka sudah tak terdengar ketika Farel sudah berada di UKS.

Dua jam mendapat perawatan akhirnya dokter menyarankan agar Farel untuk dibawa kerumah sakit. Pukulan Sina berdampak serius pada sebelah mata Farel.

***

Sepulang sekolah Sina mampir ke pasar untuk membeli bahan makanan nanti malam. Nesa memang rutin menyuruh Sina untuk berbelanja akan kebutuhan dapur.

Ia memilah buah-buahan segar di salah satu pedagang. Pria itu tersenyum ke arah Sina.

"Mau berapa kilo, Neng?" tanya pria paruh baya pada Sina.

"Dua kilo aja, Pak."

"Minta duit dong, Bu. Ntar malam Lia mau gabung parti sama kakak kelas Lia."

Sina mendelik ke arah sumber suara. Ia melihat Lia--adik kelasnya di sekolah lama memaksa ibunya untuk memberikannya uang. Dia adalah satu-satunya adik kelas yang dulu pernah ikut membulinya.

Wanita dengan sebagian rambut yang sudah beruban itu mengusap peluh keringat di dahinya. Ia menolak Lia secara halus dengan memberitahukan daganannya belum ada penglaris satu pun.

"Lihat dompet ibu! Kosong' kan?" Bu Erni memperlihatkan isi dompet yang sudah berdebu.

"Ah, ibu jangan bohong! Coba sini toples itu!" Lia menarik paksa toples kaleng yang terdapat uang recehan sisa kemarin.

"Jangan Lia! Ini buat makan kita nanti malam--" Suara serak Bu Erni nyatanya tak mampu membuat Lia jadi iba. Berbeda dengan Sina.

Lia merampas semua isi toples itu, ia tak menghiraukan ibunya yang bersedih hati melihat kelakuannya.

"Makasih, ya, Pak." Sina pamit setelah membeli buah jeruk pada paman itu. Kemudian Sina beralih pada warung Bu Erni.

"Mau sayur apa, Neng?" Bu Erni menunjukan senyumannya pada Sina. Padahal Sina tau senyuman itu hanyalah topeng untuk menutup kesedihannya.

"Boleh bayam sama wortel, Bu. Emm, sekalian tempenya ya, Bu."

Mendengar permintaan Sina, ibu itu lantas bergerak dengan antusias. Tersenyum penuh kelegaan.

***

Saat Sina melangkahkan kakinya ke dalam rumah, ia disambut tatapan tajam dari tantenya.

Sina melihat ikat pinggang milik Om Rio melingkar di tangan Nesa. Benda yang dulu pernah membuat Sina sakit untuk yang pertamakalinya.

"Sayurannya Sina taruh di dapur aja, ya?"

"Sini kamu!?" gertak Nesa.

Sina masih diam di tempat. Ia menelan salivanya kuat-kuat kala Nesa berjalan cepat ke arahnya.

Plak!

"Bagus kamu! Udah mulai jadi so pahlawan ya. Mukul anak orang sampe masuk rumah sakit!"

Plak!

Nesa menampar Sina untuk yang kedua kalinya.

"Mau jadi apa kamu? Jadi preman, hah? Malu-maluin nama tante!" Nesa menoyor kepala Sina membuat tubuh Sina hampir kehilangan keseimbangan.

Suara ketukan pintu menghentikan aksi Nesa. Ia menyimpan kembali sabuk itu kebelakang punggungnya.

"Hai, Tante. Aku bawain pizza," sapa Oliv sembari menenteng dua kotak pizza ditangannya.

Sina langsung berlari menaiki tangga, mengunci kamarnya rapat-rapat dan menyalakan keran kamar mandi dengan keras. Lalu ia menangis bersamaan dengan suara air di sana.

Gue yang akan jadi pelindung lo, Sin. Bahkan jika itu nyawa gue sendiri, gue sanggup. Gue gak mau lihat Lo nangis, gue tau lo cewek kuat.

"Pembohong!" lontar Sina. Bayangan Glen malah membuatnya makin sakit.

Ada gue, Sin. Gak bakal ada yang berani ngebully lo lagi. Gue peluru lo, gunain gue sesuka lo buat berantas setan-setan itu. Gak ada yang berani dengan Raka Atmajaya dan pacarnya--Sinar Rembulan.

Kalimat-kalimat Raka membuat Sina tertawa bak orang gila.

"Omong kosong!"

Raka dan Glen adalah sumber semangatnya kala ia menginjakkan kaki di sekolah. Mereka berdua adalah malaikat yang tidak disangka-sangka akan melindunginya, tetapi sekarang Sina baru tahu mereka hanyalah iblis yang berpura-pura menyamar menjadi malaikat.

Dulu ketika Raka pertamakali ke rumahnya, ia sangat bahagia karena Raka ikut membelanya ketika pulang terlambat, tetapi saat Raka mengetahui Oliv adalah kakaknya, semuanya jadi berubah.

"Oliv kakak, lo, Sin? Wah, kebetulan." Raka menjamah dagunya.

"Maksud kamu?"

Raka menoleh sepintas. Ia tak mampu melihat wajah Sina.

"Kita putus aja, ya Sin."

Sina memahami apa yang baru saja Raka katakan. Ia tahu, Raka memilih Oliv daripada dirinya. Dan sejak saat Sina putus dengan Raka, semuanya kembali seperti semula. Namun, selang beberapa bulan, Glen datang dengan mengucapkan janji yang sama, tapi mengingkari dengan cara yang sama pula--ia menghianati Sina dengan Oliv lagi.

***

"Kapan yah, gue punya seseorang yang sayang banget sama gue. Temen gapunya, cowok tulus apalagi." Desahnya masih setia menatap dirinya di depan cermin.

Suara tawa yang mengarah ke kamar mandi, membuat Sina cepat-cepat keluar dari toilet.

Ketiga cewek yang tadinya tertawa kini malah terdiam penuh misteri. Ekspresinya menunjukkan tidak suka ketika berpapasan dengan Sina.

Cewek dengan pita di kepalanya berdeham saat Sina melewatinya begitu saja.

Sina menoleh dan langsung menjadi serangan tatapan api dari Shela.

"Jangan Shel, itu cewek bahaya," larang Karin seraya menahan lengan Shela.

"Lo yang minggu kemarin nonjok Farel?" tanya Shela menyembunyikan rasa gugupnya. Jujur saja ia kaget saat tahu Farel masuk rumah sakit karena murid baru dari kelas IPa satu. Selama ini tidak ada yang berani menyentuh Farel.

"Astaga, mati kamu, Sin." Sina membatin.

"Gue--anu ... gue--" Sina tak bisa meneruskan kata-katanya, karena tatapan Shela begitu menyeramkan. Ia seperti ingin menelan Sina saat itu juga. Apakah Shela marah atas kejadian yang menimpa Farel?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status