Share

Pembalasan Farel

Dentingan garpu dan sendok membuat Sina jadi canggung sendiri untuk ikut makan.

"Duduk, Sin. Sarapan!" Om Rio berseloroh.

Ternyata Om Rio memerhatikan kegugupannya. Sina jadi merasa tidak enak hati.

Sina duduk di sebelah Oliv dan berhadapan dengan papanya. Ia melihat makanan di piring Rian sebentar lagi habis. 

"Papa anterin kalian, ayok, cepat dihabiskan makanannya." Akhirnya Rian membuka suara setelah Sina menahan ketakutannya.

"Papa nggak usah anterin Oliv. Biar Papa sama Sina aja, ya." 

"Lah, memangnya kenapa?" Rian memandang ke arah Oliv.

"Kan sekarang Oliv sama Sina beda sekolah, Pa." 

Tatapan Rian beralih pada Sina. Belum sempat Sina menambahi perkataan Oliv, Nessa malah menyambar lebih dulu.

"Dia pindah ke SMA Trisakti. Ngotot banget minta dipindahin," ujar Nessa sembari menyuap nasi goreng ke mulutnya.

Rian mencengkram sendok kuat-kuat.

Selalu saja ada sisi negatif yang membuat Rian marah pada Sina.

"Bisanya menghambur-hamburkan uang saja kamu. Gak mikir papa kerja banting tulang buat kamu. Sekolah lama kamu itu udah yang paling bagus."

"Yang paling bagus dan mahal itu adalah sekolahan Sina yang sekarang, Yan. Bisa aja tuh anak milih sekolahan elit." Ucapan Nessa membuat keruh suasana dalam hati Rian.

"Ya bagus dong--" 

"Mas!" Nessa menyiku tangan Rio.

Sesak. Itulah yang sedang Sina rasakan di awal paginya. Kenapa mereka langsung menghakimi tanpa meminta penjelasan mengenai alasan dirinya memilih pindah sekolah?

Sina mengurung air matanya untuk turun. Jika tidak, papanya akan memarahinya lagi. Terlebih lagi, ia tidak enak pada om Rio yang sering membelanya dan berakhir bertengkar dengan tantenya.

"Hari ini kamu naik angkutan umum, kalo perlu jalan kaki ke sekolah. Oliv akan papa anterin. Ini sebagai hukuman buat kamu. Ngerti?" Putus Rian membuat hati Sina seperti di gorok dengan pisau tumpul.

"Ngerti gak?" ulang Rian lagi. 

Sina mengangguk dengan mata perih bak disiram air cabe.

***

"Woi, Sin!" teriak Shela. Ia menekan klakson agar Sina menoleh.

"Lo jalan kaki ke sekolah?" tanya Devi. Karin tak memedulikan kedua temannya yang so perhatian pada Sina. Ia memilih fokus merapikan rambutnya.

Sina hanya mengangguki pertanyaan Devi. 

"Mau ikut bareng kita, gak?" tawar Shela. 

"Ish, apaan si Shel. Lo mulai lagi deh!" Karin berdesis.

"Emang boleh?" tanya Sina memastikan. Ia melihat kursi belakang diisi oleh Karin dan Devi.

"Boleh dong. Masuk!" Shela menepuk kursi di sebelahnya.

Perjalanan Sina ke sekolah tak lagi sepi. Ia duduk terdiam sembari mendengarkan ketiga teman barunya bercerita mengenai siapa mereka.

Shela Valovee adalah orang yang paling ditakuti di sekolah dan itupun setelah Farel. Ia akan membuat perhitungan pada siapa saja yang berani macam-macam dengannya. 

Gadis blasteran Indonesia-Belanda itu paling jahil diantara Karin dan Devi. Setiap hari selalu saja ada mangsa untuk Shela kerjai.

Teruntuk Karin dan Devi, mereka adalah penengah anatara Shela dan Farel jika sedang bertengkar. Shela dan Farel memang sering sekali bertengkar, sepeti anjing dan kucing. 

"Eh, itu Farel kan?" Karin berteriak heboh di dalam mobil. Shela cepat-cepat memarkirkan mobilnya dan keluar mendatangi kerumunan di lapangan.

Sina juga ikut turun dan menyusul mereka. Sina berteriak melihat darah bersimbah di dahi Alan.

Shela menarik Farel dari keramaian. Ia menggetok kepala sepupu yang menurutnya idiot.

"Gila ya, Rel? Alan itu sodara lo!" 

"Najis!" Farel membuang muka. Tangannya bergerak menjamah pelipis kirinya yang tadi ditonjok Alan.

Ayahnya Farel memang menikah lagi dengan ibunya Alan, tetapi Farel tak pernah mengetahui jika ayahnya menikah lagi setelah lima hari kepergian ibunya. Sampai sekarang Farel tak pernah mau menemui ayahnya. Ia pun tak pernah menyukai Alan, karena melihat wajahnya ia jadi teringat ayahnya yang berengsek. 

"Stop kayak gini, Rel. Lo gak boleh mukulin Alan lagi, kasihan dia." 

"Kenapa? Lo suka cowok sialan itu?" 

"Nggak kayak gitu. Alan dan lo cuma korban anatara keegoisan papa lo sama nyokaonya Alan. Kalian cuma korban. Alan juga gak mau ibunya nikah lagi, bahkan ibunya itu selingkuh sama bokap lo dan dia dipaksa untuk tinggal bareng selingkuhannya yang sekarang jadi bokap tirinya. Gue--"

"Gue gak peduli! Gue akan tetep gak suka sama cowok bajang itu. Gue gak akan pernah suka sama anak kelas IPA satu. Isinya sampah semua. Murid so cari perhatian semua. Termasuk temen lo yang namanya Sina!"

***

"Lo mau 'kan?" Shela mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Semoga saja Sina mau pindah kelas.

Sina manggaruk tengkuk lehernya. "Kayaknya gak bisa deh." 

"Ini adalah satu-satunya cara supaya Farel nggak musuhin lo terus. Lo tau sendiri kan Farel itu anti anak IPA satu." 

"Lo kan sekarang geng kita. ST Six. Gue tau kok, di sekolah lama, lo itu jadi bahan bullyan. Sekarang lo gak bakal nemuin orang yang berani sama lo lagi. Jangankan nyentuh natap aja mungkin ngga berani. Karena apa? Karena Lo anggota ST Six."

Sina mencerna setiap ucapan Shela. Apa yang Shela ucapkan ada benarnya juga, jika ia ikut gabung dengannya mungkin saja trauma bully dalam dirinya perlahan akan memudar. Dan mentalnya akan berangsur pulih. Ia akan lebih berani dalam melakukan apapun tanpa terikat rasa takut lagi.

Akan tetapi, ia ragu karena sebenernya ia tak suka dengan Farel. Cowok itu pernah tidak sopan dan seenaknya pada dirinya. 

"Ayolah, Sin." Shela membujuk.

"Shel! Shel! Si Rangga pulang!" teriak Karin dan Devi secara serempak. Ia menarik tangan Shela keluar dari kelas.

Ketika mereka keluar, Didi masuk ke dalam duduk di sebelah Sina.

"Lo disuruh Farel ke belakang. Tapi jangan sampe Shela tau," bisiknya. 

Didi menyuruh Sina untuk bangun dan mengikutinya. Sina menelan salivanya perlahan.

"Mau apa si cowok itu?" 

Didi membuka pintu yang sudah usang termakan rayap. Ia menyuruh Sina untuk masuk lebih dalam. 

"Ini gudang?" batin Sina melihat benda-benda yang tak terpakai berserakan tak rapi.

"Datang juga lo!" Farel berbalik badan mengarah pada Sina.

"Sini deketan! Gue mau kasih lo sesuatu." Farel merogoh saku abunya.

"Apa?" 

"Bangkai kecoa?!" gertak Farel. Sina kaget bukan main saat Farel melemparinya dengan beberapa bangkai kecoa. Ia berlari bersembunyi di balik lemari kumuh.

"Jagain Di, jangan sampai ada orang masuk ke sini dan gagalan rencana gue!"

"Iya! Iya! Rel. Cepetan gih balasin dendam lo!"

***

"Mukanya kenapa cemong gitu? Haha."

"Asli, mukanya mirip badut!"

"Badut si mending, lah ini haha ...."

"Itu yang minggu lalu nampar si Farel pake sepatu kan?" 

"Sekarang mukanya lebih parah dari tamparan sepatu!"

"Si Farel emang gak ada duanya kalo jailin orang."

Semua menyoraki Sina yang tengah berjalan tertunduk di lorong sekolah. Ia berusaha menghalangi wajahnya menggunakan kedua tangannya yang gemetar.

Di sisi lain, Shela dan yang lainnya sedang mengoper tas milik pria berkacamata minus ke sana ke mari. Mereka tertawa riang saat pria bernama Topik merengek meminta tasnya dikembalikan.

"Kalo mau tasnya balik, ya lo fose seksi dulu dong, Pik!" saran Shela sambil tertawa.

"Oper ke gue, Shel!" pinta Karin yang semangat 45 ikut menjaili Topik.

Tawa dan keasikan semua orang di kelas seketika luntur, saat Sina datang dengan wajah hancur.

"Aku mau pindah kelas, Shel. Aku mau ikut geng kalian! ST six," putus Sina yakin.

"Tandanya lo cari mati Sina!" Geram Farel yang mengintip di balik jendela.


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status