Alexander seperti orang bodoh saat ini. Berjalan tak tentu arah ke kanan dan ke kiri di depan pintu kamar puterinya yang tertutup. Menunggu kepastian dari dokter pribadi keluarga Smitt yang ia datangkan untuk memeriksa Alan yang jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi siang tadi.
Ia beberapa kali melihat jam di tangannya sudah 30 menit dokter pribadi itu berada di dalam dan belum ada tanda-tanda akan keluar. Alexander tak sabar rasanya ia ingin mendobrak pintu itu saja. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan Alana. Trauma akan kematian istrinya masih membekas di kepala Alexander.
Saat tubuhnya berbalik dengan deru napas memburu, terdengar suara pintu kamar milik Alan terbuka, dan tubuh Alexander langsung kembali berbalik dan mendapati dokter pria berusia setengah baya muncul dari dalam kamar Alan.
"Apa yang terjadi dengan puteriku, dokter Wasburn?" tanyanya. Ada raut gelisah tertangkap kedua mata dokter Wasburn dari wajah Alexander.
"Saya ingin berta
Hampir 30 menit Alexander dirajam rasa takut. Pria kaya raya itu berjalan mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan puterinya. Jika kenyataan memang puterinya hamil ia akan terima dan tak akan mengusir Alanair kembali. Sudah cukup kebodohannya di masa lalu hingga ia harus kehilangan istri dan cucunya. Ia akan menanggung segala lara milik Alana.Begitu ruangan itu terbuka, seorang dokter wanita berambut pirang dengan mata birunya yang cantik keluar dengan senyum teduhnya menyambut Alexander yang panik."Dokter, bagaimana dengan puteriku?" tanyanya tak sabaran.Wanita berjas putih itu kembali tersenyum. "Mari ikut saya ke ruangan, saya akan menjelaskan semuanya."Alexander mengangguk lalu melirik dua orang pelayan wanita yang ikut bersamanya tengah berdiri di belakang pria kaya itu dengan seragam yang sama."Maria, Helena!" panggilnya membuat kedua pelayan yang masih berusia muda itu lantas mengangguk dan berjalan mendekat pada Alexander.
10 Tahun Kemudian.Kyoto, JepangMentari pagi yang terlihat malu-malu kini memulai hari dengan begitu cepat. Angin dingin mulai berhembus di pertengahan musum gugur kali ini. Asap yang mengepul dari cangkir yang berisi penuh coklat yang baru diseduh menjadi pemandangan di atas meja yang terbuat dari kayu mahoni yang terletak di Gazebo sebuah mansion mewah bak istana raja di kota Kyoto, Jepang.Ada tawa yang menjadi penghangat di saat cuaca begitu mencekat hingga ketulang. Tawa hangat dari seorang bocah berusia 9 tahun yang kini duduk seorang diri sambil menikmati manisnya coklat berpadu caramel yang mengisi kerongkongannya sedikit demi sedikit. Di pangkuannya ada sebuah laptop bermerek terkenal yang tengah menyala, yang menjadi sumber tawa pemuda tinggi tersebut."Sepertinya kau sedang melihat hal yang menyenangkan."Pemuda itu menoleh saat suara orang yang begitu ia sayangi berada tepat d
Alexander Smitt duduk termenung di ruang kerjanya yang tepat berada di samping taman mansion bak istana yang tinggi menjulang. Melihat hamparan bunga lily putih yang ia tanam di lahan seluas setengah hektar tersebut. Sebenarnya, Minami Aoyama atau Alexander lebih suka memanggilnya Ryana, nama yang ia berikan agar ia bisa berbaur dengan kalangan bangsawan keturunan Eropa. Garis keturunan keluarga Smitt yang seorang Billioner di negeri ini sempat protes pria itu menanam lily putih untuk memenuhi taman mansion mereka. Wanita berkebangsaan Jepang itu tak begitu menyukai bunga tersebut, ia lebih suka menanam bunga mawar atau dandelion. Namun, suaminya tetap keras kepala untuk menanam bunga tersebut. Akan tetapi setelah kematian Ryana, Alexander juga membuatkan taman dandelion untuk mengenang wanita tersebut."Bahkan aku menyimpan sisa-sisa kenangan kita dengan menanam bunga kesukaanmu," gumamnya. Alexander Smitt, lelaki itu masih terjebak masa lalu, tentang kis
Gavin tak pernah tahu jika pemimpin tertinggi dari perusahaan sebesar JRC adalah seorang wanita anggun dan menawan. Matanya bahkan sampai tak berkedip saat wanita itu memperkenalkan dirinya. Mungkin saja air liurnya akan menetes ke mana-mana jika ia tak punya malu.Ayahnya mengatakan jika pemimpin tertinggi JRC itu seumuran dengannya. Tetapi, dilihat dari wajahnya orang tidak akan percaya jika wanita itu telah berusia lebih dari kepala 3. Gavin bahkan berani mengakui kalau istrinya saja masih kalah cantik dari orang yang sekarang menjadi atasannya. Jujur, dia terpesona saat pertama kali menatap wajah atasannya, siapa yang mampu menolak pesona pahatan Tuhan yang nyaris sempurna tersebut, hanya orang bodoh yang menolaknya."Selamat pagi Mr. Wildberg." Wanita menawan itu menyapa orang yang pernah menjadi suaminya. Yah walaupun ada rasa sesak di dalam hatinya, namun dia harus mampu menjaga ekspresinya. Seolah-olah dia tak pernah mengenal lelaki itu."Se-
Laki-laki itu terus tersenyum sepanjang ia masuk ke dalam rumahnya. Meskipun Alanair atasannya terlihat sangatlah galak dan tegas, namun dia senang saja karena mampu menikmati wajah cantik itu. Oh, tidak. Gavin sudah terjebak love first at sigh.Jika dilihat-lihat wajah Alanair begitu mirip dengan cinta pertamanya, ah tidak itu sudah 12 tahun berlalu. Lagipula meskipun mirip.wajah meteka memiliki perbedaan dan sikap mereka pun berbeda. Alana conta pertamanya adalah wanita polos, manis dan pemalu. Sangat berbeda dengan CEOnya yang sekarang, terlihat dingin, angkuh dan arogan pastinya."Dia tidak mungkin Alana. Sangat jelas berbeda. Meskipun wajah mereka sedikit ada kemiripan, jelas tidak mungkin dia," gumamnya.Lelaki itu berjalan tanpa melihat ke sana ke mari hingga menabrak sofa dan gadis kecil yang tengah bermain boneka itu tersentak. Gadis itu menatap sosok ayahnya dalam diam. Dia hanya tersenyum lalu melompat dari atas s
Gavin bangun lebih pagi dari biasanya. Ia tak bisa seenaknya berangkat ke kantor karena perusahaan itu bukan lagi miliknya melainkan milik JRC yang CEOnya sedingin es di kutub selatan bahkan pemarah. Akan tetapi wanita itu secantik dewi Aprodhite, parasnya begitu menawan dan tak mampu membuat wajah Gavin berpaling dari wanita yang nyaris sempurna itu. Dengan lekuk tubuhnya yang menggoda tentu saja membuat semua pria akan meneteskan air liurnya jika melihat tubuh milik Alanair Smitt.Ia melihat sosok istrinya masih tertidur lelap di atas ranjang ketika baru saja keluar dari kamar mandi. Entah jam berapa Aluna tiba di rumah. Ia bahkan tak tahu, karena saat terbangun istrinya telah terlelap di sampingnya masih mengenakan gaun pesta berwarna hitam, bahkan aroma alkohol yang menyengat masih tercium dari bibir wanita itu.Gavin beranjak dari depan kamar mandi tanpa mau peduli pada Luna. Ia berjalan ke arah lemari, lagi-lagi bayangan masa lalu itu berpijak di kepalanya
Menjadi seorang pesuruh pemimpin tertinggi JRC pantas disematkan untuk sosok Gavin Wildberg, bukannya asisten pribadi dalam pekerjaan yang melibatkan urusan kantor. Napasnya terengah ketika harus lari menaiki satu persatu anak tangga yang mungkin saja akan membuat napasnya putus. Sial, kenapa lift khusus karyawan harus rusak. Ketika ia sampai terdapat tulisan jika lift itu rusak dan belum diperbaiki.Penampilannya yang rapi kini terlihat mengenaskan dengan keringat yang membasahi jas dan kemejanya. Rambutnya yang tadi ditata rapi mirip aktor Hollywood kini lepek tak karuan."Damn it, is someone playing a prank on me!" Pria itu mengumpat saat berjalan di lorong menuju ruangan Alanair Smitt di lantai teratas gedung ini."Siapa yang menyuruhmu mengumpat." Suara itu terdengar dingin dan mencekat di telinga Gavin. Dadanya berdebar ketika ia mendongak mendapati sosok atasannya berdiri dengan bersandar pada tembok dan kedua tangan yang terlipat di depan dad
Senyum itu memudar ketika ia kembali menapakan kakinya di rumah. Gavin melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya. Kakinya melangkah masuk dan keadaan rumah begitu sepi. Sial, padahal dulu jika ia kembali ke rumah ini semua pelayan akan menyambutnya. Namun sekarang apa, hanya senyap yang akan menanti saat ia tiba dan pertengkarannya dengan Aluna.Kakinya melangkah cepat masuk ke dalam. Sepi seperti tak berpenghuni. Gavin menyalakan saklar lampu ketika ia melihat putrinya terkapar di atas lantai seketika ia membuang tas kerjanya ke sembarang arah. "Patricia!" teriaknya.Gavin menggendongnya dengan segera dan menidurkannya di atas sofa. "Pat, ada apa denganmu." Anak itu terlihat pucat dan denyut nadi yang teraba begitu lemah."Luna! Di mana kau!" Dia terus berteriak, namun tak ada jawaban dari istrinya. Ketika perasaan itu semakin kalut, Gavin tak sabar dan segera menggendong Patricia, membawanya masuk ke dalam mobil dan melesat ke rumah sakit