Share

Bab 5 : Bertemu Kepala Sekolah

“Kamu rapi banget, apa mungkin kemarin kamu salah kostum dan dimarahi bosmu?”

Mirna memindai penampilan putrinya pagi itu. Sabrina yang belum menceritakan peristiwa perkelahian akibat ulah anak sang atasan hanya bisa mencebik lalu duduk. Ia mengangkat piring dan langsung mengambil satu centong penuh nasi. Namun, Sabrina kaget karena Mirna malah menahan tangannya. Wanita yang melahirkannya itu mengambil alih centong nasi sambil geleng-geleng. Alih-alih menambah porsi nasi di piring Sabrina, Mirna malah mengembalikan separuh nasi itu lalu mengingatkan putrinya untuk diet.

“Jaga penampilan kamu, kamu itu kerja di agensi model.”

“Ya ‘kan cuma kerja Bu, bukannya aku modelnya.” Sabrina merajuk, dia pandangi nasi dipiringnya yang tinggal sedikit, tapi tak mengapa melihat telur dadar dia langsung mengambil dua. Terang saja Murni langsung memukul tangannya dengan centong nasi yang masih dipegang. 

“Iya tapi kamu setiap hari ketemu model, bosmu saja model, kamu mau kontrakmu nggak diperpanjang karena penampilanmu yang tidak meyakinkan?” Murni mengambil satu telur dari piring Sabrina dan meletakkannya ke tempat semula.

“Lagian kita cuma berdua. Ibu ngedadar telur tiga, kalau yang dua bukan buat aku terus buat siapa?” amuk Sabrina. 

“Buat Ibu lah.”

Kicep, Sabrina membuang muka karena kesal, bibirnya sudah maju mundur karena tidak bisa membalas ucapan Mirna. Ia pun memilih untuk tak berdebat lagi dan mulai sarapan dengan tenang.

“Ini kamu makan sayur togenya aja yang banyak biar subur. Ingat Sab, kamu sudah dua puluh empat tahun, buruan cari pacar! Liat anaknya pak RT si Nurleli udah punya dua buntut.” Murni mulai membandingkan kehidupan pribadi sang putri, hal yang paling tidak disukai oleh Sabrina tapi juga tidak bisa dihindari.

“Aku akan cari pria yang sudah berbuntut, jadi nanti tak lama saat aku menikah dengannya aku langsung punya dua buntut,” ucap Sabrina sambil menyuapkan nasi ke dalam mulut.

“Hati-hati ngomong kalau ada malaikat lewat!” 

Murni memberi peringatan tapi Sabrina tak peduli, sebenarnya pagi itu dia ingin sarapan banyak untuk mengisi tenaga. Semalam saat menelpon, Gama bertanya banyak soal peristiwa perkelahiannya dengan ibu dari teman Maha. Ia sudah lega karena sepertinya belum ada laporan terhadapnya. Namun, subuh tadi Sabrina dikagetkan dengan pesan yang dikirimkan oleh Gama. Atasannya itu memintanya ikut ke sekolah sang putra.

“Doakan Sab ya Bu,” ujar Sabrina. 

Padahal tadi dia sempat kesal pada Mirna. Namun, tetap saja sebagai anak dia merasa butuh doa sang ibunda, agar apa yang akan dilaluinya lancar hari ini. Ia takut jika akan dijadikan tersangka. Semalam Sabrina mencoba mencari informasi di gulugulu tentang sekolah di mana anak atasannya menimba ilmu. Tak main-main, biaya pendidikan di sana pertahun hampir empat ratus juta rupiah. Jiwa missqueen Sabrina meronta-ronta. Gadis itu berpikir sampai kambing bisa terbang pun dia tidak akan bisa menyekolahkan anaknya di sana.

“Ampun deh Sab, kamu kayak mau pergi wajib militer aja. Kayak drama yang ibu tonton streaming kemarin, mana akhirnya ditembak sama temannya dan dikubur hidup-hidup,” ucap Mirna sambil membuka gerbang rumah dan mengeluarkan papan bertuliskan ‘cucian buka’. Halaman rumah mereka memang sangat besar, maka dari itu Mirna dan almarhum suaminya memilih membuka bisnis cucian mobil, terlebih rumah itu berada di pinggir jalan raya dan dekat pasar.

Sabrina semakin takut. Bukan membuatnya bersemangat, Mirna malah semakin mengecilkan hatinya. Gadis itu berjalan menuju tempat pemberhentian bus sambil memikirkan cara yang baik dan benar untuk memberitahu mas Dodot, bahwa dia tidak jadi mengambil mobil.

***

“Maaf ya merepotkan, tapi kepala sekolah Maha meminta aku datang bersamamu.” Gama menoleh Sabrina yang duduk tepat di sebelahnya, di matanya gadis itu sangat tegang.

“Tidak masalah Pak,” ujar Sabrina yang malah sungkan karena sang atasan memilih untuk mengendarai mobil sendiri. Ia sudah meminta kunci mobil SUV mewah milik Gama, tapi ditolak mentah-mentah tadi. 

“Apa kamu benar tidak terluka? Katakan saja jika memang ada yang sakit, kamu bisa ke rumah sakit dan tidak perlu memikirkan biayanya, aku akan …. “ 

Sabrina menggeleng, dia benar-benar merasa Gama terlalu baik. Pembawaan pria itu yang tenang dan santun membuat dirinya berpikir harus lebih berhati-hati dalam bersikap. Jangan sampai dia lepas kendali dan berubah menjadi Reog. Mulutnya memang terkadang tidak bisa terfilter jika sudah keasyikan bicara. Sungguh, berdekatan dengan Gama membuat Sabrina berubah menjadi sosok kalem.

“Ayo!” Gama menoleh, dia heran karena Sabrina berjalan sangat pelan saat hendak masuk ke gedung sekolah Maha.

“Pak, nanti saya harus bilang apa kalau ditanya, sa-sa-saya takut salah ucap.” Gadis si ahli bela diri itu gentar, tangannya bertaut di depan badan. Bibirnya mengatup dan wajah Sabrina berubah sedikit pucat.

“Bicara saja apa adanya soal kejadian kemarin.”

“Ja-jadi saya juga harus bilang kalau saya pelintir tangannya?” Sabrina memasang mimik muka hampir menangis, dia benar-benar merasa riwayatnya akan tamat sebentar lagi. 

_

_

Sabrina hanya bisa menunduk saat mendapati wanita yang dia jambak kemarin ternyata juga sudah berada di sana. Ia tidak berani mendongakkan kepala karena terlalu ngeri. Wanita itu datang bersama seorang pria yang Sabrina duga pasti adalah pengacara. Dia hanya mendengarkan saja orang-orang yang ada di sana bergantian berbicara. Dan benar saja pria yang bersama ibunda teman Maha ingin melaporkan dirinya ke polisi atas dugaan tindak penganiayaan.

“Anda mau melaporkan dia?” Gama tersenyum menghina, dia tatap kepala sekolah dengan sorot mata mengancam.

“Kalau begitu bagaimana dengan tindak pembulian yang dilakukan ke putra saya.” Gama beralih menatap wanita sombong ibu teman Maha dan berhasil membuat wanita itu memalingkan muka. 

“Putranya mengatai anak saya tidak punya ibu, lahir dari batu seperti sungokong, bukankah itu artinya Maha disamakan dengan monyet? Saya pikir pertemuan ini untuk mendamaikan kami, tapi ternyata ada pengacara, jika seperti ini saya pasti akan membawa pengacara saya Pak Rudi Tabuti ke sini.” 

Gama tiba-tiba memegang pergelangan tangan Sabrina dan membuat asistennya itu kaget. “ Anda bilang luka memar ‘kan? lalu bagaimana dengan ini?” Gama menunjukkan tangan Sabrina ke semua orang yang ada di sana.

Sabrina mengerjab, dia tidak menyangka bahwa Gama bisa melihat luka lecet bekas cakaran wanita itu di tangannya. Meski tidak dalam tapi memang sedikit meninggalkan bekas merah. 

“Silahkan laporkan dan lihat apa yang akan saya lakukan,” ancam Gama. Menguap sudah sosoknya yang tenang, kalem dan tak banyak bicara. Di mata Sabrina, pria itu kini nampak keren dan sungguh berwibawa. 

Kepala sekolah pun menggerakkan kedua tangan, wanita berbadan gempal dan berkacamata itu membuat tanda menolak atas apa yang baru saja Gama ucapkan, dia tidak bisa membiarkan hal ini sampai terjadi di sekolah yang dia pimpin. Selain menjaga reputasi sekolah, Gama adalah salah satu donatur terbesar yang sekolahnya miliki. Berbeda dengan orangtua Kenzo yang kaya tapi pelit.

“Siapa sih wanita ini sampai Anda membela mati-matian, melihat dari penampilannya dia pasti pengasuh putra Anda?” hina ibunda Kenzo. 

Namun, tak mereka sangka di saat yang bersamaan Kenzo dan Maha sudah masuk bersama guru mereka. Putra Gama itu tiba-tiba saja berlari dan langsung menghambur ke arah Sabrina. Maha memeluk pinggang gadis yang duduk di samping papanya itu posesif. 

“Mama!”

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Ummi Khai
definisi ucapan adalah doa nih kayaknya. hahaha. Maha bisa aja pilih calon mama
goodnovel comment avatar
Ria Rifantiani
nahh yg jatuh cinta maha dlu sama mama hercules
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
mama Hercules .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status