“Aku punya ibu.”
Beberapa menit yang lalu Maha kembali berdebat dengan Kenzo. Bocah yang umurnya hanya terpaut beberapa bulan saja itu sudah berdiri berhadapan dan adu argumen. Maha bahkan sudah menampilkan wajah masam dengan mata menyipit.
“Tidak punya, kamu itu cuma punya papa, jangan bohong!” Kenzo, teman sekelas yang paling menyebalkan untuk Maha. Entah kenapa mereka seperti musuh bebuyutan, padahal sama-sama bau kencur, tapi soal sombong menyombong sudah melebihi orang dewasa.
Dua murid berseragam olahraga itu masih saja berdebat di ruang senam sekolah mereka, hingga Miss Farah - sang guru mendekat. Ada perintah dari atasannya untuk mengajak dua anak itu ke ruang kepala sekolah.
“Maha, Kenzo kenapa sih kalian berdua itu tidak bisa rukun? Miss sampai bingung atau Miss yang salah ya? Tidak bisa mengajari kalian bagaimana cara berteman yang baik?” Miss Farah menggandeng Maha dan Kenzo di kiri dan kanan, sedangkan dua bocah itu berjalan sambil menunduk. Seolah sadar akan kesalahan yang sudah mereka perbuat.
Sesampainya di depan ruang kepala sekolah, Miss Farah langsung membuka pintu. Siapa sangka saat melihat Sabrina di sana timbul perasaan aneh di hati Maha. Bocah itu ingin menunjukkan ke Kenzo bahwa dia memiliki ibu. Ya, Ibu. Sebentar lagi akan diadakan study wisata ke kebun binatang. Teman-temannya pasti akan didampingi papa dan mama. Maha juga menginginkan hal itu, dia yang sangat mendamba sosok ibu seketika menghambur ke arah Sabrina. Memeluk pinggang wanita itu dan mengucapkan kata-
“Mama!”
Sabrina melongo, begitu juga dengan Gama yang heran dengan tingkah putranya. Terlebih lagi ibunda Kenzo yang baru saja mengatai Sabrina adalah pengasuh Maha, mulutnya menganga sampai rahangnya hampir terlepas.
Mendapati bocah itu memeluk sangat posesif, Sabrina pun merasakan ada yang aneh di dalam hati. Tangan kanannya bergerak tanpa bisa dia kendalikan untuk mengusap punggung Maha. Bibirnya memulas senyum, entah kenapa dia suka bau cologne yang digunakan anak itu.
“Mama cantik hari ini.”
“Hah!”
Sabrina terbengong seolah baru sadar dengan panggilan yang Maha berikan kepadanya, padahal dia sudah merasa salah kostum sampai dihina oleh ibunda Kenzo sebagai pengasuh.
Namun, pujian dari Maha sukses membuat pipi Sabrina merona. Ia juga heran, bocah yang kemarin hanya diam saja saat dia antar pulang itu kini ramah bahkan terus melempar senyum manis.
Gama sendiri paham, dia tahu apa yang ada dipikiran putranya. Pria itu menoleh menatap tajam ibunda Kenzo, pengacaranya lalu kepala sekolah. Dengan tegas Gama pun bertanya,
“Apa yang anda inginkan sekarang? Bukankah Anda yang menyerang Sabrina duluan dengan menjambak rambutnya? CCTV terpasang di semua sudut sekolah ‘kan? kalau masalah anak kecil bertengkar menurut saya wajar, tapi di sini saya jelas akan menuntut Anda dengan tuduhan penyerangan.”
Ibunda Kenzo mengulum bibir, dia senggol pengacaranya yang malah nampak bingung. Saat menoleh, pengacara itu mengernyit karena kliennya malah pura-pura batuk.
Pada akhirnya mereka memutuskan untuk damai, tapi Gama menginginkan Maha dipindah kelas. Ia tidak ingin mental anaknya terganggu karena sering diejek tidak punya ibu oleh Kenzo. Ia takut dengan kemungkinan siswa lain yang akan ikut-ikutan.
“Kenapa? aku tidak takut diejek, aku ‘kan punya mama Sab,” celoteh Maha yang membuat mata semua orang kini tertuju ke Gama.
Pria itu bingung, apa lagi saat Sabrina menatapnya dengan sorot mata yang tak kalah bingung darinya. Gama tak tahu harus berbuat apa, tapi sebuah kalimat bijak dia pakai untuk menjawab Maha.
“Kalau Maha janji tidak akan bertengkar lagi dengan teman, Maha tetap boleh berada di kelas yang lama.”
“Janji, tidak ada yang akan mengejek aku lagi, aku sudah punya mama,” jawab Maha dengan senyuman lebar. “Mama Sablina,” imbuh bocah itu yang seketika tidak bisa mengucapkan huruf ‘r’.
_
_
Sabrina terdiam, tangannya bertaut di atas paha. Lagi-lagi Gama tidak mau dia yang membawa mobil. Pria itu melirik jam di dashboard, melihat pukul sebelas hanya kurang sepuluh menit lagi, Gama pun memutuskan untuk langsung pergi ke PG Group.
“Sab, lusa pemotretan di Be Hotel apa kamu sudah memastikan bahwa MUA yang digunakan bukan Zack?”
Pertanyaan Gama membuat Sabrina gelagapan, dia menoleh lalu mengangguk. “sudah Pak, saya tahu dari bu manager kalau dia pernah … “ Sabrian menjeda kata, dia sungkan melanjutkan kalimat.
Bukan tanpa alasan Gama tak menyukai Zack. Karena tidak memiliki istri, banyak orang yang menyangka dia penyuka sesama jenis, salah satunya pria bernama Zack – yang bekerja sebagai make up artis, pria itu bahkan berani menggoda dan membuat Gama jijik.
Padahal jelas Gama adalah pria tulen, pikiran orang tentang Maha yang anak pungut sebagai alibi penyimpangan seksual Gama itu salah besar.
“Aku pria betulan Sab, aku bukan pria jadi-jadian,” ujar Gama sambil melirik Sabrina. Ia tersenyum dan malah membuat sang asisten merasa tak enak hati.
“Kenapa Anda bilang ke saya?”
“Apa?” Gama seketika cengo. Ia bahkan mengerjab beberapa kali karena bingung bagaimana merespon pertanyaan Sabrina.
***
Sementara itu, di sudut lain dari kota ini seorang wanita duduk diam di mobil sambil menggigiti kuku jari. Ia bingung karena sebuah vonis dari dokter membuatnya takut untuk memberitahu papanya.
“Tumor di rahim Anda sudah membesar dan jalan satu-satunya adalah melakukan pengangkatan rahim.”
Naura kembali mengingat ucapan dokter, dia benar-benar bingung. Sebagai anak tunggal dia pasti akan membuat orangtuanya kecewa jika tidak bisa memberikan keturuan ke keluarga. Naura menyesal, peristiwa beberapa tahun yang lalu, kini kembali berputar di otaknya, dan dia merasa ini karma akan perbuatannya.
“Gama, aku harus kembali ke Indonesia dan menemui dia. Membawa anak itu ke depan papa akan jauh lebih baik, setidaknya papa tidak akan terlalu kecewa,” gumamnya di dalam hati.
_
_
“Ge, apa benar kamu sudah memiliki calon ibu untuk Maha?”
Gama yang diundang makan malam keluarga terkejut dengan pertanyaan sepupunya yang bernama Rain. Kening Gama bahkan sampai terlipat, belum lagi tatapan om, tante juga papa mamanya.
“Bercandamu tidak lucu,” jawab pria itu sambil membuang muka dan menenggak air minum. Terlihat jelas di mata seluruh keluarga dia sedang grogi.
“Olla bilang, Maha cerita kalau kamu punya kekasih namanya Sabrina, apa benar?” Kini Embun istri Rain ikut-ikutan bertanya. Wanita yang pernah menjadi cinta pertamanya itu membuat Gama tersedak sampai terbatuk-batuk.
“Ocehan bocah kenapa kalian percaya?” elak Gama, dia benar-benar tak menyangka bahwa Maha akan menyebarkan gosip sedemikan rupa.
Namun, bak memang sudah direncanakan, mereka kompak ingin menggoda Gama. Satu persatu dari mereka mulai mengeluarkan pendapat. Bahkan Tama – sang papa berkata bahwa dia akan membuat pesta tiga hari tiga malam jika benar tahun ini putranya akan menikah.
“Rain saja sudah memiliki dua putri, apa kamu juga tidak ingin memiliki putri yang lucu seperti Olla?”
Felisya sebagai ibu yang sejak awal yakin ada yang Gama sembunyikan ikut buka suara, wanita itu masih meyakini bahwa putranya berbohong. Ada hal yang tidak bisa putranya itu katakan demi Maha. Felisya pun menoleh cucunya yang asyik bermain dengan Olla. Ia membuang napas kasar lalu memanggil bocah itu.
“Maha, ini makannya sudah belum Nak?”
Maha tak menyahut, bocah itu masih sibuk bersama Olla merencanakan sesuatu. “Besok saat ke kebun binatang aku akan meminta mama Sab ikut. Kata Bik Mun mama Sab adalah konsisten papa, orang yang selalu dekat sama papa.”
“Oh … mereka pasti seperti mami dan papiku, seperti tabebe dan Om Glass, selalu dekat.”
“Anak? Kamu punya anak?”Bagaskara – ayahanda Naura nampak terkejut dengan apa yang disampaikan oleh putrinya. Pria yang rambutnya sudah hampir putih seluruhnya itu geleng-geleng kepala. Ia menolak apa yang baru saja diucapkan oleh Naura, sedangkan suami putrinya yang bernama Adam hanya bisa duduk dan terdiam.Naura mengatakan yang sejujurnya pada Adam, dan pria itu tak menujukkan rasa kecewa sama sekali. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Adam sangat mencintai Naura, istrinya itu bahkan menangis semalaman karena vonis dari dokter kandungan. Belum lagi Naura juga meratap dan berulang kali menyesali perbuataannya karena sudah membuang anaknya sendiri.“Apa kamu sudah gila?” Bagaskara berdiri, tajam matanya menatap sang putri yang terus saja menunduk.“Pa, jangan salahkan Naura. Semuanya sudah terjadi di masa lalu, Papa harus sadar niatan Naura baik. Dia ingin anak itu kembali untuk meneruskan garis keturunan keluarga.” Adam membela, tapi bentakanlah yang dia dapat dari sang mertua.“Ap
“Kenapa kakak memakai baju seperti ini?”Sabrina yang hari itu datang ke kebun binatang mendapat keluhan dari putra atasannya. Gadis berumur dua puluh empat tahun itu tidak menyangka bahwa meski masih kecil, tapi sebagai anak seorang model, selera fashion Maha sangat tinggi, bahkan jauh di atasnya. Anak itu baru berkomentar bahwa dandanannya lebih mirip pekerja kantoran ketimbang ingin jalan-jalan.Sabrina mencebikkan bibir, dia berharap Gama yang sedang berada di kamar mandi segera datang untuk menyelamatkannya dari Maha yang menurutnya sedikit menyebalkan. Entah kenapa tiba-tiba saja bocah itu tidak seramah beberapa hari yang lalu saat memeluknya dan memanggilnya Mama. Pasti ada sesuatu, Sabrina curiga Gama mengatakan sesuatu yang tidak baik tentangnya.“Harusnya kakak memakai kaos seperti aku dan yang lain.”Karena ucapan Maha, Sabrina pun melihat sekeliling. Matanya tertuju pada orang-orang yang memakai baju berwarna merah muda bertuliskan study wisata dengan logo sekolah internas
Entah berapa kali Sabrina harus mondar-mandir pagi itu. Sebagai asisten Gama dia harus ikut serangkaian pemotretan yang dilakukan bosnya. Ia benar-benar sibuk, bahkan karena berangkat pagi untuk mengejar angkutan yang datang pertama, gadis itu melupakan sarapannya. Sabrina sudah sedikit merasa pusing, tapi dia memilih menenggak air mineral sebanyak-banyaknya. Padahal dia bisa saja meminta izin sebentar keluar mencari roti atau sekadar camilan pengganjal perut di minimarket yang tak jauh dari studio. Namun, pikiran gadis itu memang tidak dia bisa ditebak. Ia memilih duduk lesehan di bagian paling belakang studio sambil melihat bosnya melakukan pemotretan bersama empat model lainnya.Sabrina tersenyum sendiri karena malu. Sepertinya benar kalau melihat orang tampan bisa membuat kenyang. Ia sejenak melupakan perutnya yang keroncongan karena belum sarapan.Sementara itu, Gama nampak sedikit tidak fokus. Beberapa kali fotografer harus mengulangi pengambilan gambar karena pose dan ekspresi
Sabtu pagi, hari di mana Bianca harus dibuat pusing dengan kelakuan kakak iparnya. Felisya mengajaknya untuk datang ke rumah Sabrina. Felisya dengan mudah bisa mendapat alamat gadis itu, tentu saja dibantu oleh orang dalam di agensi tempat Gama bekerja. Bianca mencebik kesal, dia seharusnya bisa tidur dengan nyaman atau sekadar menghabiskan waktu bermesraan dengan suaminya - Skala. Meski tidak bisa dibilang masih muda tapi untuk urusan asmara Bianca masih semangat empat lima, tak kalah saing dengan anak dan menantunya.“Awas kalau sampai ketahuan Gama, aku tidak mau ikut menanggung akibatnya,” ucap Bianca saat Felisya memaksanya masuk ke dalam mobil.“Tenang saja, aku hanya ingin melihat bagaimana keseharian gadis itu, ibunya punya bisnis cucian dan aku ingin berpura-pura mencuci mobil di sana,” kata Feliya dengan santai, dia injak pedal gas untuk melajukan mobil, sudah tak sabar rasanya wanita itu mengorek informasi tentang Sabrina.__“Kamu sepertinya sudah gila, Fel!”Hinaan dari
Mendengar ucapan wanita di depannya, Sabrina limbung. Mulutnya mengaga karena tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ia menoleh Mirna, dan ibunya itu seketika memutar tumit tak mau melihatnya.“A-a-anda.” Sabrina masih terbata-bata.“Hem … aku ibunya Gama, aku ke sini bukan untuk alasan seperti apa yang ada di dalam pikiranmu, aku ke sini karena ingin bertemu dengan sosok gadis yang sangat disukai oleh cucuku Mahameru.”Penjelasan Felisya membuat Sabrina menelan saliva, Jika bisa memutar waktu beberapa menit ke belakang, tentu dia akan lebih bersikap sopan ke wanita anggun ini. Sabrina pun tersenyum bego, dia menggaruk bagian belakang kepala sebelum menyatukan ke dua telapak tangan di depan dada.“Maaf!” ucapnya dengan mimik muka hampir menangis.__“Dia benar-benar mirip Maha, lihat bentuk matanya,” ujar Felisya saat akan mengantar Bianca pulang ke rumah. Wanita itu benar-benar curiga, tapi untuk mengorek informasi lebih dalam dia tidak bisa karena Sabrina sudah berpiki
“Apa kamu benar akan mencarinya ke Indonesia?”Adam melihat Naura mondar-mandir di dalam kamar, pria berwajah blasteran itu sedikit cemas dengan keputusan sang istri.“Aku tidak akan membiarkan harta papa jatuh ke tangan orang lain, sudah cukup bagiku dulu menderita selama dua puluh tiga tahun, karena dia mencariku waktu itu hidupku menjadi berubah dan aku tidak bisa membuatnya membuangku lagi.” Naura yang memang keras kepala tidak akan mempan digurui, keputusannya memiliki kembali anaknya sudah final.“Lalu apa kamu tahu di mana pria itu dan anakmu tinggal?” tanya Adam lagi.“Gama adalah cucu pengusaha terkenal di Indonesia, dia juga seorang model jadi sangat mudah menemukannya.”Adam terdiam meski khawatir dengan apa yang menjadi pilihan istrinya, dia pun tak bisa melakukan apa-apa. Ia malah meminta maaf karena tidak bisa menemani Naura, ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan di sana.“Tenang saja! aku akan membereskan semuanya dengan cepat, aku yakin anak itu pasti akan tet
Sabrina tak bisa berkata-kata. Ia memilih melompat dari atas ranjang lalu meminta Maha lekas memakai sepatu untuk segera diantar pulang. Gadis itu menggenggam tangan kecil putra sang atasan keluar, sepanjang jalan menuju halaman sekolah Maha hanya menunduk menekuri lantai.“Maha, apa kamu mau makan es krim?” bujuk Sabrina, menurutnya tidak masalah mengeluarkan uang lima puluh ribu asalkan anak itu bisa kembali senang.“Tidak mau, aku mau pulang saja!” jawab Maha. Dia melepas tangan Sabrina dan berlari kecil menuju mobil, Maha yang kesal menarik gagang pintu mobil dengan kasar, tapi sayangnya gagal karena Sabrina belum menekan kunci yang berada di tangan. Bocah itu memaksa dan akhirnya terjengkang ke belakang.“Astaga sangat mirip dengan papanya,” cicit Sabrina sebelum berjalan cepat dan membantu Maha bangun. Gadis itu terkesiap mendengar isakan kecil dari bibir bocah itu. “Maha kamu nangis?” tanyanya padahal sudah tahu.Bukanya terdiam setelah ditanya seperti itu, Maha malah semakin k
“Dari mana bapak tahu?” Pipi Sabrina memerah menahan malu. Ia tidak menyangka Gama bisa membahas soal mobil yang dia inginkan. Bahkan membuatnya sebagai alasan.“Brosurnya ada di mejamu, kamu memandanginya terus jadi bagaimana bisa aku tidak tahu.”Sabrina kicep, dia mengangguk lalu menyesap minuman soda yang ada di meja. Baik dia dan Gama terdiam beberapa saat, hingga Gama mengurai tangan yang masih bersedap. Ia akhirnya memilih untuk jujur.“Hanya kamu yang bisa membantu, karena kamu satu-satunya orang yang aku nilai tulus.”__Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Sabrina hanya diam sambil memeluk tasnya. Dia bahkan seperti orang linglung setelah Gama menjelaskan padanya. Untuk pertama kali, Gama jujur dengan asal usul Maha ke orang lain dan itu adalah dirinya.Sabrina mendengkus kasar, dia bahkan harus berjalan satu kilometer karena angkutan umum yang ditumpanginya bablas. Ia tidak turun di halte yang seharusnya dia berhenti.Mirna begitu cemas menunggu putrinya itu datang, dia s