5
"Makan semua makanan itu agar tubuhmu sehat dan air susumu melimpah!" Perintah Alexander menunjuk berbagai makanan yang terhidang di atas meja. Aira kini duduk menghadap meja makan ukuran besar, dengan banyak makanan lezat menggugah selera. Semua makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Semua makanan yang ia tidak tahu apa namanya. "Apa semua ini halal?" tanya Aira menunjuk semua makanan itu. Kemudian menatap bos berwajah dingin yang duduk sangat jauh darinya. Alexander duduk di kursi paling ujung dari meja makan berbentuk oval itu, sedangkan dirinya duduk di ujung lainnya dalam satu garis lurus. Jarak mereka sekitar tiga meter dengan makanan lebih banyak berada di hadapannya daripada di depan lelaki itu. "Maksudmu apa?" Wajah Alexander merengut, alis tebalnya bahkan saling bertaut. "Apa aku harus menunjukkan KTP-ku agar kau tahu agama yang kuanut?"Aira membuang muka. Sepertinya lelaki es ini menganut agama yang sama dengan dirinya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, tidak salah bukan, bila dirinya berhati-hati. Karena apa yang ia makan, nantinya akan diminum juga oleh Raka. Ia hanya ingin memasukkan makanan halal ke dalam tubuhnya. Makanan halal menurut agamanya, agar Raka menjadi anak yang saleh. Sesusah apa pun dirinya, Aira bertekad tidak mau menafkahi Raka dengan makanan tidak halal. "Kenapa makanan ini didekatkan dengan saya semua, Tuan?" tanya Aira lagi tidak mengerti. "Karena kamu harus makan makanan bergizi.""Kenapa harus sebanyak ini yang dekat saya? Kenapa tidak dekat Anda? Bukankah Anda juga harus makan makanan bergizi?""Karena yang menyusui, kamu! Bukan aku!""Tapi tidak sebanyak ini juga, bukan?""Kenapa?""Saya bisa gemuk kalau harus makan sebanyak ini, Tuan.""Memangnya kenapa kalau gemuk?" sambar Alexander dengan emosi. "Kenapa wanita selalu takut gemuk? Apa gemuk itu sebuah dosa? Apa kalau kau tetap kurus akan menjamin hidupmu bahagia? Apa kalau kau tetap kurus akan membuat suamimu kembali padamu, hah?"Aira terperangah mendengar suara Alexander yang menggelegar. Tak menyangka lelaki itu begitu marah hanya karena satu kalimatnya. Aira menunduk, tubuhnya mengkerut. Tak kuasa terus bersitatap dengan mata Alexander yang berkilat-kilat. Lelaki itu sedang sangat marah. Terlihat dari rahangnya yang mengeras. Akhirnya, dalam diam dan suasana yang sangat canggung, Aira mulai menyantap makanannya. Makanan yang sebenarnya sangat lezat dan bergizi. Hanya saja ia tak dapat menikmati sama sekali, karena harus makan di bawah pengawasan sang boss langsung. Aira tak pernah menyangka akan berada di situasi ini. Awalnya ia pikir menjadi ibu susu dari anak orang kaya itu mudah, cukup menyusui saja. Nyatanya, ia harus mengikuti aturan yang menurutnya cukup ribet. Bahkan makan pun harus dalam pengawasan sang boss besar. "Waktumu tiga puluh menit untuk makan, Aira Andriani. Setelah itu susui Alister dan temui aku di ruang kerja," ujar Alexander lagi sebelum ia pun menyuap. Aira tidak menjawab. Ia tetap menekuri piring yang sudah diisi berbagai makanan oleh seorang pelayan. Seharusnya ia bisa melahap dengan rakus semua makanan lezat itu, karena tak pernah menjumpai apalagi memakannya seumur hidup. Selama berumah tangga dengan Randi, mereka hanya makan makanan sederhana untuk berhemat demi bisa memiliki sebuah rumah dan kendaraan roda dua. Ya, seharusnya Aira bisa menikmati semua makanan lezat itu kalau saja tidak makan di bawah pengawasan seseorang. Sayangnya, semua makanan yang masuk mulutnya tak bisa ia nikmati dengan tenang. Semua Aira lakukan hanya agar tubuhnya sehat dan menghasilkan air susu yang melimpah untuk Alister juga Raka tentunya. Aira masih berusaha mengunyah makanan dan menelannya dengan susah payah, saat suara gaduh entah berasal dari ruangan mana membuat konsentrasi semua orang buyar. Termasuk juga Aira.Semua pelayan berseragam yang berdiri di belakang meja, menoleh ke asal suara. Pun dengan Aira. Wanita itu penasaran dengan yang terjadi, tetapi instruksi dari mulut Alex membuat ia kembali menunduk dan menekuri piringnya. "Lanjutkan makanmu. Jangan terpengaruh dengan apa pun yang terjadi. Alister harus segera menyusu!"Aira mencoba tak peduli dengan suara gaduh yang sejatinya membuatnya penasaran. Ia melanjutkan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Hei, apa kalian lupa siapa aku? Aku istri boss kalian. Aku nyonya di rumah ini! Kenapa kalian memperlakukanku seperti ini?" Teriakan nyaring seorang wanita membuat suara gaduh berpindah ke ruang makan. Aira ingin menoleh, tetapi saat menengadah ke arah wajah Alexander, gegas ia menunduk dengan detak jantung meningkat. Wajah sang boss dingin terlihat merah padam menahan murka. Aira ketakutan. Sementara seorang wanita bertubuh tinggi semampai dengan penampilan glamour mencoba melepaskan diri dari cekalan dua pria berjas. Kemudian berjalan marah ke arah Alexander. Suara high heels yang menghentak lantai seolah berlomba dengan teriakan wanita itu. "Alex, lihatlah! Anak buahmu memperlakukan aku seolah orang asing. Mereka tidak sopan! Apa mereka lupa siapa aku? Semua orang di rumah ini menyebalkan! Aku ingin kau menghukum mereka!" Wanita yang sudah berdiri di samping Alexander itu semakin berteriak tanpa kontrol. Tangannya sibuk menunjuk semua pekerja tanpa terlewat. Sebelum matanya berhenti pada sosok Aira yang sejak tadi duduk tertunduk. Mata wanita tinggi semampai itu memicing, sebelum suara high heelsnya kembali menghentak lantai dengan keras. Langkahnya tentu dibawa menuju tempat Aira duduk. "Hei, siapa wanita ini?" tanyanya dengan telunjuk mengarah ke wajah Aira, sedangkan wajahnya menghadap Alexander, tanda minta penjelasan. Tidak ada yang menjawab. Bahkan lelaki berwajah dingin kembali menyuap seolah tidak sedang terjadi apa-apa. Sejak tadi, Alexander memang tidak meladeni wanita itu. Merasa diabaikan, wanita dengan barang-barang branded menempel di sekujur tubuhnya itu kembali mendekati Alexander yang tetap melanjutkan makan malamnya. "Alex, aku bertanya siapa wanita itu? Kenapa ada wanita makan satu meja denganmu?!" Kembali suara nyaring keluar dari mulut wanita itu hingga membuat telinga Alexander berdengung. Namun, dengan santai lelaki itu menjawab. "Itu bukan urusanmu!" jawabnya setelah meneguk segelas air dan mengelap mulutnya dengan selembar tisu. "Tentu saja itu urusanku. Aku masih istrimu Alexander. Aku nyonya di rumah ini!""Istri?" Alexander mendengkus kasar sambil membuang muka. "Kalau kau merasa seorang istri, tinggal dan urus anakmu. Susui Alister!"Wanita cantik dengan rambut dicat warna coklat itu balas mendengkus. "Aku bosan mendengar kata-katamu Alex. Selalu itu yang kau katakan. Aku hanya bertanya, siapa wanita itu? Kenapa dia makan satu meja….""Dia ibu susu anakku, dan mungkin akan jadi ibu sambungnya Alister!""Apa?"Bukan hanya wanita bernama semampai itu yang tersentak mendengar ucapan tegas Alexander. Bahkan Aira yang sejak tadi hanya diam menunduk, menoleh cepat ke arah Alexander, dengan jantung terasa mau lompat dari rongganya.Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k