6
"Apa?" Mata wanita semampai terbelalak lebar, mulutnya menganga. "Ibu sambung Alister?""Ya, kenapa?" Alexander bertanya dengan santainya. Tak menghiraukan dua wanita hampir loncat bola mata dan jantungnya. Kembali wanita itu mendekati Alexander yang masih duduk di tempatnya. "Apa kau masih waras, Alex? Bagaimana bisa kau mencari ibu sambung untuk Alister? Sementara aku ini masih istrimu!""Tidak lagi semenjak kau keluar dari rumahku, Vallery! Aku sudah menceraikanmu!" Alexander menjawab sambil memukulkan kedua tangannya ke meja. Kedua bola mata wanita bernama Vallery semakin melebar. Wajahnya memucat. Ia meraih lengan Alexander. "Tidak! Kau tidak pernah menceraikanku, Alexander! Kau masih suamiku. Kita tidak akan pernah bercerai. Aku hanya minta waktu dua tahun saja untuk mewujudkan mimpi yang tertunda, lalu kita melanjutkan pernikahan ini. Aku akan mengurus Alister nanti!" Vallery memekik seraya mengguncang lengan Alexander. Namun, lelaki itu mendengkus sebelum menepis tangan jenjang sang wanita dengan kasar. Alexander berdiri kemudian berlalu, meninggalkan ruang makan. Namun, sebelumnya ia berucap ke arah Aira. "Habiskan makananmu, Aira! Lalu segera susui Alister!"Setelah mengucapkan itu, Alexander berjalan cepat meninggalkan ruang makan. Wanita semampai bernama Vallery mengekorinya dengan terus mengoceh. Sementara Aira menarik napas panjang, sebelum lanjut menghabiskan makanan di atas piringnya. ***"Alex, apa kau masih waras mau menggantikan aku dengan wanita seperti itu?" Kembali Vallery berteriak. Wanita itu tidak terima posisinya digantikan dengan seseorang yang menurutnya tidak sepadan. "Dia lebih baik darimu dalam segala hal." Alexander balas dengan santai. Kini mereka berada di ruang kerja lelaki itu. "Hanya pria buta dan bodoh yang mengatakan itu! Bahkan hanya dengan sebelah mata pun, dapat terlihat betapa dia tak ada seujung kuku tanganku." Vallery masih berteriak. "Kau hanya menang secara fisik. Selebihnya, dia jauh lebih baik darimu. Dia mau menyusui anaknya dan tidak takut tubuhnya menjadi kendur seperti yang selalu kau katakan. Dia juga mau menyusui anak orang lain yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Itu kelebihan dia. Kalau menurutmu dia tidak secantik dirimu, aku bisa membuatnya menjadi wanita paling cantik di dunia.""Stop Alex! Kau mengatakan itu hanya untuk menyakitiku, kan?" Vallery menatap tajam Alexander. "Kau hanya kecewa denganku karena aku harus meninggalkan kalian dua tahun ini, kan? Sesungguhnya kau masih sangat mencintaiku, kan?" Suara Vallery melemah, ia berjalan mendekati Alexander yang berdiri menatap keluar jendela. "Tidak Vallery! Semua sudah berakhir sejak sebulan lalu, sejak kau meninggalkan rumah ini. Meninggalkan Alister yang membutuhkanmu!" Alexander melangkah menjauh saat Vallery mendekatinya. "Please, Lex! Aku hanya minta waktu dua tahun saja. Tidak lama. Kau tahu, kan, kalau ini cita-citaku sejak lama? Aku tidak mungkin melepaskan kesempatan emas ini begitu saja. Aku sudah memperjuangkan ini puluhan tahun." Vallery mulai mengiba. "Setelah kontrak ini selesai dalam dua tahun, aku akan berhenti. Aku janji akan tinggal di rumah mengurusi kau dan Alister.""Dan saat itu Alister sudah tidak mengenalimu sebagai ibunya. Dua tahun bukan waktu sebentar Vallery. Dua tahun itulah masa emas pertumbuhan bayi. Selama dua tahun itu dia membutuhkan ASI dan kasih sayang dirimu! Aku tidak mau Alister tumbuh sepertiku….""Sudahlah, jangan lebay, Lex! Bukankah nanti kalian bisa mengunjungiku di sana?" Vallery memotong. "Ah, kenapa juga Alister harus lahir di saat aku mendapat kontrak itu. Andai aku tidak lupa memakai kontrasepsi, pasti Alister ….""Kau menyesali kelahirannya?" Alexander menatap tajam wanita yang tingginya hampir sama dengan dirinya. "Bukan menyesal, Lex. Hanya saja Alister lahir di waktu yang tidak tepat! Harusnya kita merencanakan kehamilanku dulu saat kita menikah! Kita tidak perlu memperdebatkan ini kalau saja kehamilan Alister bisa ditunda!""Sudahlah, kita tidak perlu membahas masalah ini lagi. Percuma Vall, toh tidak pernah menemukan titik temu, bukan? Kejarlah cita-citamu setinggi langit. Aku dan Alister tidak akan menghalangi. Kami sudah melepaskanmu. Oh ya, ada apa kau datang? Kalau untuk menanyakan surat cerai, baru akan keluar beberapa minggu lagi. Jangan khawatir….""Lex, sudah berapa kali kukatakan, kalau aku tidak mau bercerai. Aku hanya butuh tanda tanganmu sebagai suami sebagai bukti kalau kau mengizinkan aku menerima pekerjaan itu." Vallery membuka tas branded yang sejak tadi tersampir di pundaknya. Lalu menyodorkan beberapa lembar kertas yang ia ambil dari sana. Alexander menatap sekilas kertas-kertas itu sebelum berucap, "kau tidak membutuhkan tanda tanganku lagi karena aku bukan lagi suamimu, Vallery. Kau hanya butuh akta cerai untuk bukti kalau kau wanita bebas, dan surat itu akan keluar sebentar lagi. Bersabarlah!""Alex, sudah kukatakan aku tidak mau bercerai! Bagaimana mungkin terjadi perceraian kalau aku tidak setuju? Jangan gila kamu!" Kembali Vallery berteriak. Wajahnya memerah. Alexander mendengkus seraya tersenyum sinis. "Sayangnya aku sudah mendaftarkan perceraian kita, sejak kau keluar dari rumahku!" Alexander balas dengan suara tinggi. "Bagaimana bisa itu terjadi? Aku tidak pernah ….""Apa yang tidak bisa dilakukan Alexander Ferdinand? Proses cerai kita sudah berjalan, dan akan segera selesai. Jadi, sekarang silahkan tinggalkan rumah ini, dan tunggulah hingga surat cerai selesai, lalu kau bebas melakukan apa pun yang kau suka!"Vallery menatap nanar Alexander yang menatapnya tajam. Sungguh, wanita itu masih sangat mencintai lelaki di hadapannya, tidak pernah terbersit untuk bercerai. Ia hanya minta waktu sebentar saja untuk meraih cita-citanya, tetapi Alexander rupanya tidak mau memberi kesempatan. Vallery terus menatap dalam mata dingin Alexander. Mencari pancaran cinta yang dulu selalu tercipta setiap kali mereka bertatapan seperti ini. Sayangnya, pancaran cinta itu perlahan menghilang dari mata sang lelaki sejak dirinya selalu mengeluh menjalani kehamilan Alister hingga hari ini. Berganti dengan kekecewaan besar, hingga menjadikan lelaki menawan itu berubah sedingin es. Sepasang mata indah milik Vallery berkedip lemah, sebelum wanita tinggi semampai itu berjalan pelan mendekati Alexander. Wanita itu sangat tahu kelemahan sang lelaki, dan sangat mengerti cara menghiburnya. Ia tersenyum manis sebelum mengangkat kedua tangan jenjangnya, lalu dikalungkan di leher sang lelaki. Didekatkan tubuhnya hingga mereka saling menempel, kemudian berbisik mesra di dekat wajah Alexander yang menegang. "Kita bisa saling melepaskan rindu malam ini, Sayang. Aku yakin kau sangat merindukanku. Kau bisa melepaskan rindu sesuka hatimu," bisik Vallery mesra dengan terus menebar pesonanya lewat tatapan mesra. Wanita itu mendekatkan wajahnya. Alexander terbuai, pesona seorang Vallery memang tidak dapat ditolak. Lelaki itu memejamkan mata dengan perlahan, saat merasakan wajah mereka semakin dekat. Namun, ia segera menarik dirinya saat suara pintu ruangan diketuk dari luar. "Siapa?" teriak Alexander hingga membuat Vallery kesal karena telinganya berdengung. "Saya Tuan. Saya sudah menyusui Tuan Muda." Seseorang berteriak dari balik pintu. Alexander melepaskan diri dari pelukan Vallery yang menghentakkan kakinya dengan kesal. Lelaki itu berjalan menuju pintu, lalu membukanya. Sosok Aira dengan gaun malam warna hitam hasil make over pegawainya berdiri di ambang pintu. Wanita itu mengangguk hormat. "Masuklah! Kita harus membicarakan hal penting!" ucap Alexander dengan nada tidak sedingin biasanya. Lelaki itu menyingkir dari pintu untuk memberi Aira jalanMelihat Aira masuk, Vallery gegas menghampiri. Dengan sengaja menghadang langkah wanita itu, lalu memperhatikan Aira dari ujung rambut hingga kakinya. "Kita sudah selesai Vall, keluarlah! Aku mau bicara dengan Aira." Alexander memecah ketegangan yang tiba-tiba tercipta. "Aku akan tetap di sini. Aku ingin tahu apa yang akan kau bicarakan dengan wanita ini." Vallery menjawab ringan dengan terus menatap Aira yang salah tingkah. "Tidak! Pembicaraan kami ini rahasia, siapa pun tidak boleh mendengar. Keluarlah sebelum penjaga….""Ok ok, kalau aku tidak boleh mendengar. Tapi aku akan menunggu di kamar saja, ya!" potong Vallery jengah. Namun, senyum sinis ia lempar ke arah Aira. Lalu mendekatkan wajah ke dekat telinga wanita yang tingginya hanya sebatas pundaknya itu. "Kamu, jangan mimpi terlalu tinggi! Ngaca!!" ucap Vallery pelan tapi penuh penekanan. Aira refleks memundurkan kepala. Terlebih melihat mata wanita semampai itu berkilat-kilat.7"Duduklah, ada beberapa hal yang harus kita bicarakan!" perintah Alex setelah Vallery keluar ruangan. Lelaki berwajah sedingin es itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya. "Maaf, Tuan. Apa maksud Anda mengatakan kalau saya calon ibu sambung Tuan muda Alister?" tanya Aira tidak sabar. Ia bahkan masih berdiri di tempatnya tadi. Aira tidak nyaman dengan ucapan Alexander yang satu itu. Terlebih wanita cantik tadi jadi menebarkan kebencian karenanya. Alexander yang sudah duduk lebih dulu, mendongak. Menatap wajah Aira yang masih berdiri kaku. Lelaki itu menarik napas panjang sebelum berucap lagi. "Duduklah dulu, biar kujelaskan ….""Tidak, sebelum Anda menjelaskan apa maksudnya. Saya ….""Memangnya apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir ucapanku itu serius?" potong Alex dengan kesal. Lelaki itu sampai bangkit dari duduknya. "Kau pikir aku serius mengatakan itu?" ulang Alex menatap tajam Aira yang terhenyak. "Percaya dirimu terlalu tinggi, Perempuan. Aku sarankan jangan terlalu banyak
8Aira memasuki kamar Raka dengan gontai. Wanita itu mulai mengenali seluk beluk rumah besar itu, hingga tak perlu ditemani untuk sekadar mencari kamar anaknya. Dengan lemah ia mendudukkan dirinya di kursi samping box Raka. Bayi tiga bulan yang sedang ia perjuangkan masa depannya itu terlihat sudah pulas. Raka memang anak yang tidak menyusahkan sejak lahir. Tidak pernah nangis rewel yang membuat kedua orang tuanya kerepotan kecuali sedang sakit. Aira yang sejak melahirkan, harus mengurus bayinya sendiri karena sudah tak memiliki orang tua dan jauh dari mertua, tak pernah merasa kerepotan walaupun Randi tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah. Anehnya, walaupun Raka begitu anteng untuk ukuran bayi, tak pernah membuat Randi –sang ayah bahagia dan bangga atas kelahiran bayi itu. Randi malah lebih sering menyalahkan Aira yang terlalu terburu-buru hamil, dan tidak lagi fokus mengurus suami gara-gara kehadiran Raka di antara mereka. Ayah yang aneh bagi Aira. Namun, itulah Randi. Sejak
9Pagi-pagi sekali Aira sudah bersiap. Selepas salat Subuh, dan menyusui Alister, wanita itu menyempatkan diri ke kamar Raka, yang juga tengah disusui dengan ASI yang ia perah semalam. Miris memang, bayi orang lain disusui langsung dengan dipeluk penuh kasih sayang, sedangkan bayi sendiri harus disusui dengan cara diperah. Bahkan bila masih kurang, terpaksa dibuatkan susu formula. Namun, lagi-lagi Aira meyakinkan dirinya kalau semua demi kebaikan Raka juga. "Mbak. Biar saya susui langsung Raka, sebentar. Mumpung Alister sudah kenyang dan tidur lagi." Aira meraih tubuh mungil Raka yang berbaring di box-nya, kemudian disusui sambil duduk. "Raka, Sayang. Anak ganteng Mama. Gimana tidurmu, Nak? Raka nggak rewel, kan?" Aira mengajak ngobrol Raka yang juga menatap dirinya sambil menyusu. Melihat sepasang bola mata bening milik sang anak, rasa bersalah kembali menyeruak. Apalagi membayangkan tadi malam Raka tidur tanpa pelukan dirinya seperti biasa. Dada yang tiba-tiba sesak mendorong a
10Alexander membuang pandangan setelah keduanya terlibat saling tatap nyalang. Lelaki itu memutuskan kontak mata lebih dulu. "Hanya saja sayang, kalau pegawai salon tidak ada kerjanya. Padahal aku juga sudah membayar mereka," ujarnya dengan suara tidak setinggi tadi. Pandangannya tertuju keluar jendela. Ya, ia memang memiliki salon pribadi di rumah. Pekerja salon yang dulu ia pekerjakan atas permintaan Vallery. Aira tidak menjawab. Ia sudah terlanjur kesal dengan pria dingin dan menyebalkan itu. Tangannya terulur hendak meraih kertas kontrak yang tadi diletakkan di atas meja. Niatnya membatalkan saja pekerjaan itu sekalian, daripada terus berada dalam tekanan lelaki aneh seperti Alexander. Namun, sedetik saja tangannya berhasil meraih kertas-kertas itu, tangan lain dengan cepat mendahului. Tangan kekar mengambil kertas kontrak dan menggenggamnya erat, hingga Aira tak dapat meraihnya. Tangan Alexander. "Mulai hari ini kau resmi jadi ibu susu Alister. Masa kerjamu selama dua tahun
11"Ai," panggil Randi dengan bibir bergetar, setelah beberapa saat lalu terpaku melihat Aira dan penampilannya. "Mas Randi?" Kening Aira berkerut. Ia sedikit mundur saat tangan lelaki itu nyaris menyentuhnya. Wanita itu berdiri agak jauh. Sempat menarik napas panjang setelah memperhatikan dengan seksama sosok lelaki yang masih berstatus suaminya. Heran melanda, melihat Randi yang sekarang jauh berbeda dengan Randi yang ia tinggal sebulan lalu. Tubuh kurus, rambut sedikit gondrong, wajah layu, pipi tirus, dan lingkar mata yang menghitam. Lelaki itu terlihat lebih tua dari usianya. Padahal usia Randi baru dua puluh enam tahun. Selisih empat tahun saja dengannya yang baru dua puluh dua tahun. Apa yang terjadi dengan lelaki itu sepeninggal dirinya? Bukankah dia sedang bersenang-senang dengan selingkuhannya? "Ada yang bisa dibantu, Mas?" tanya Aira pada akhirnya setelah mereka hanya saling memperhatikan penampilan masing-masing. "Kamu cantik sekali, Ai," ucap Randi dengan tatapan ka
12Alexander berdiri kaku di tempatnya. Menatap wanita yang berjalan menuju jendela dengan terus berusaha menenangkan bayi Alister yang nangis kejer, akibat kaget, juga karena tidurnya terganggu. Alexander masih berdiri kaku di sana tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Sekilas ia melihat kilat kemarahan di mata Aira. Namun, sepertinya bagi wanita itu menenangkan Alister lebih penting daripada mengurus kemarahannya. Alexander sendiri kaget bukan kepalang. Ia tidak tahu kalau Aira sedang berpenampilan seperti itu di dalam. Gara-gara tak sengaja melihat foto-foto Vallery, sakit hatinya kembali menyeruak. Tak percaya rasanya wanita yang begitu ia cintai tega meninggalkan dirinya, juga buah cinta mereka yang masih bayi hanya demi mengejar cita-cita masa mudanya menjadi model internasional. Untuk mengusir rasa sakit hati dari luka yang menganga akibat kepergian sang mantan istri, Alexander berniat menemui Alister yang ia kira sudah tidur. Ia ingin memeluk dan mencium bayinya itu sebelum
13"Tidak, Tuan! Tetap harus dimasukkan ke dalam kontrak, untuk melindungi hakku sebagai wanita!" Aira menyambar dengan cepat, lalu bicara tegas penuh penekanan seraya melemparkan tatapan tajam ke arah wajah dingin yang juga menatapnya. Alexander memutuskan kontak mata lebih dulu, dengan kembali menatap lurus ke depan. Membuang napas kasar berkali-kali. "Baik, besok tanda tangani lagi suratnya di ruang kerjaku!" jawabnya dengan sedikit getar kesal dalam suaranya. Hening. Tak ada yang bicara lagi setelah itu. Baik Alex ataupun Aira hanya diam memperhatikan hamparan kerlap-kerlip di kejauhan sana. Aira merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sementara Alex tidak tahu harus berkata apa. Hanya desau angin malam yang semakin dingin menerpa tubuh keduanya. "Hampir setiap malam kau berdiri di sini menatap bintang. Kau suka sekali berdiri di sini malam-malam, ya? " tanya Alex pada akhirnya. Membuat Aira menoleh heran. Keningnya berkerut dalam. Dari mana Alexander tahu kalau ia serin
14Hampir saja Aira membanting ponsel yang sejak tadi diremasnya kuat. Marah? Tentu saja. Bagaimana ada manusia seperti Randi? Setelah apa yang dilakukan kepada dirinya, dengan tidak tahu malu laki-laki itu datang lagi menceritakan semua kesusahannya. Memohon bantuan. Memaksa lebih tepatnya. Sungguh laki-laki tidak tahu diri. Apa ia lupa bagaimana perlakuannya? Apa Randi pikir, dirinya manusia tanpa hati, yang walaupun sudah disakiti masih bisa dimanfaatkan? Sayangnya, Aira sudah tak peduli lagi apa yang terjadi dengan laki-laki itu. Ingin Aira mematikan ponsel agar Randi tak bisa menghubunginya lagi. Namun, ia ingat masih ada urusan yang belum selesai dengan laki-laki itu. Mereka belum bercerai resmi. Aira takut Randi menyerangnya dengan alasan itu. Ia takut Randi nekat dan berbuat ulah. Aira menarik napas panjang. Sepertinya ia harus bersabar untuk saat ini. Jangan terpancing emosi. Jangan gegabah. Ikuti dulu arusnya. Sampai mereka benar-benar bercerai. Ia harus mulai menyusu