Share

PUTUS ASA

4

Wajah dingin Alexander semakin merengut. Sepasang alis tebalnya saling bertaut. Rahang kokohnya mengeras, bahkan urat-urat halus di pelipisnya terlihat berkedut. Lelaki itu marah mendengar ucapan Aira. 

Aira sendiri tidak peduli, ia langsung meninggalkan ruangan yang disinyalir ruang kerja boss dengan urat-urat wajah kaku itu. 

"Apa yang kau inginkan, Aira Andriani? Apa kau ingin gajimu aku naikkan?"

Langkah Aira terhenti di depan pintu. Ia urung membukanya karena mendengar pertanyaan Alexander bernada tinggi. 

Aira berbalik. Terlihat lelaki berwajah sedingin es itu berdiri di belakang mejanya. 

"Tidak Tuan, terima kasih," jawab Aira datar seraya meraih handle pintu. 

"Lalu kau mau apa, Perempuan?" Lagi, suara lelaki itu menahan langkahnya. Kembali Aira berbalik. 

"Sudah saya katakan, saya tidak mau apa-apa, Tuan. Saya hanya ingin mengundurkan diri dan pergi dari sini," ujar Aira sedikit kesal. 

"Kau pikir semudah itu pergi dari rumahku?" Alexander keluar dari belakang mejanya, kemudian melangkah gagah mendekati Aira. 

"Aku sudah menerimamu menjadi ibu susu anakku. Dari sekian puluh pelamar, hanya kau yang terpilih. Kau pikir bisa pergi dari sini begitu saja, setelah anakku cocok denganmu? Aku tidak akan membiarkan hal itu. Kau hanya boleh pergi dari sini setelah anakku berumur dua tahun!"

"Apa?" Mata Aira terbelalak. Namun, tidak lama. Ia segera meraih handle pintu, lalu membukanya, dan keluar dari ruangan tersebut. 

Enak sekali orang kaya itu bicara. Ia pikir semua orang bisa diatur olehnya hanya karena ia memiliki uang? 

Wanita itu gegas pergi dari sana sambil menggendong Raka dan menenteng tas bajunya. Bahkan tak peduli saat Hasna memanggil. Ia setengah berlari menyusuri lorong rumah untuk mencari jalan keluar. 

Entah sampai beberapa lama Aira berjalan menyusuri lorong rumah itu. Namun, ia tak jua menemukan jalan keluar. Ada banyak pintu serupa di sana, dan setiap ia mencoba membukanya, lagi-lagi pintu sebuah ruangan. Bukan jalan keluar yang ia cari. 

Sementara pintu bercat putih yang ia yakin ruang kerja bos berwajah dingin itu, entah untuk ke berapa kali ia lewati. Itu artinya ia berjalan bolak-balik sejak tadi. 

Aira seperti berjalan di sebuah labirin rumit yang membingungkan dan hampir membuatnya putus asa. Apalagi Raka mulai menangis ketakutan atau mungkin lelah, hingga membuat wanita itu semakin putus asa. 

Entah rumah macam apa ini. Kenapa begitu luas dan tak kunjung menemukan tepi, hingga akhirnya langkah putus asa membawa Aira kembali ke depan pintu bercat putih yang ia yakin ruangan kerja lelaki berwajah sedingin es itu. 

Aira mengetuk pintunya dengan dada sesak dan rasa putus asa hingga suara bariton yang tidak ingin ia dengar lagi, menyuruhnya masuk. 

Wajah sedingin es kembali menyambutnya begitu ia membuka pintu dan masuk. Wanita itu segera menghampiri lelaki tanpa ekspresi di mejanya. 

"Saya ingin membuat perjanjian, Tuan!" ujar wanita itu tegas dan penuh penekanan. Akhirnya, Aira memutuskan kembali bekerja karena putus asa. 

"Perjanjian akan dibuat hanya saat aku menginginkannya." Lelaki es menjawab tanpa melihat wajah Aira. 

"Kalau begitu biarkan aku dan anakku keluar dari sini!" Suara Aira meninggi antara marah dan putus asa. Dadanya sesak menahan berbagai rasa yang berkecamuk di dada. 

"Apa aku menahanmu?" Alex menatap Aira dengan tatapan sedingin esnya. "Pergilah kalau kau bisa!"

Aira balas menatap mata tajam Alexander dengan berbagai rasa yang ingin meledak di dadanya. Rasa yang sudah berbaur antara marah, kesal, sakit, sedih, putus asa dan entah apalagi yang ia bawa sejak meninggalkan rumah Randi, dan kini harus bertambah parah karena perlakuan semena-mena Alexander. Lelaki yang baru ia temui. 

Bahu Aira berguncang bersama tangisnya yang tiba-tiba saja meledak tak tertahan. Wanita itu menangis pilu tanpa malu, sambil memeluk Raka yang juga ikut menangis dalam dekapannya. Kegaduhan seketika memenuhi ruang kerja Alexander, hingga membuat lelaki itu kebingungan. 

Dengan wajah sedikit pucat, Alex segera menekan beberapa nomor di interkomnya.

"Hasna, cepat ke mari!"

***

Aira menidurkan tubuh mungil Raka di box bayi setelah anak itu menyusu dan tertidur pulas. 

Tadi Raka menangis kejer karena ketakutan mendengar tangis hebat ibunya. Hingga akhirnya Hasna dan beberapa pelayan membawa Aira kembali ke kamar Raka. 

Setelah beberapa lama, akhirnya Aira bisa menenangkan Raka. Menyusui bayi itu, hingga akhirnya tertidur. 

Napas panjang ditariknya berkali-kali untuk menenangkan dirinya sendiri. 

Sungguh, sebenarnya luka hati Aira sangatlah dalam akibat pengkhianatan Randi. Suami yang sudah membersamainya tiga tahun ini. Namun, tak ada waktu untuk meratap. Karena baginya, kenyamanan dan masa depan Raka lebih penting daripada rasa sakit hatinya. 

Tadi, di ruang kerja Alex, entah kenapa Aira menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala yang ia pendam di hati. Tanpa rasa malu sedikit pun. Hingga Raka ketakutan mendengar tangisan ibunya, dan Alex kebingungan karenanya. 

"Sebenarnya, Tuan Alex itu hatinya baik." Suara Hasna terdengar setelah Aira selesai menyelimuti tubuh mungil Raka. Bayi tiga bulan itu terlihat pulas dan nyaman. 

"Hanya saja, karena banyak menerima kekecewaan dari orang-orang terdekatnya, Tuan jadi pribadi tertutup dan terkesan kejam," lanjut Hasna tanpa diminta. 

'Memang kejam, kok,' bisik Aira, tentu hanya dalam hati. 

"Itu juga kenapa Tuan ingin memberikan yang terbaik untuk bayi Alister. Segala cara Tuan lakukan agar anaknya mendapatkan yang terbaik. Termasuk mencari ibu susu dengan bayaran tinggi. Karena bayi itu tidak mau menyusu di botol." Hasna terus menjelaskan sekali pun Aira tidak bertanya apa-apa. 

"Kasihan memang bayi Alister itu, ia harus kehilangan kasih sayang ibunya sejak lahir."

"Memang ibunya ke mana, Bu?" Aira mulai tertarik dengan celoteh Hasna. Karena hal itu yang menjadi pertanyaan besar sejak kedatangannya ke rumah ini. Namun, baru saja Hasna ingin menjelaskan sesuatu, seseorang mengetuk pintu dan masuk setelah Hasna membuka benda persegi panjang itu. 

"Ada apa?" tanya wanita paruh baya itu kepada pelayan yang barusan mengetuk pintu. 

"Mbak Aira ditunggu Tuan Alex untuk makan malam," jawab pelayan seraya menunjuk Aira dengan ibu jarinya. 

Hasna dan Aira saling lempar pandang. 

"Tapi sesuai aturan Tuan, Mbak Aira harus mandi dan didandani lagi. Tidak boleh kotor dan bau. Tuan bilang tidak ingin meja makannya ikut menjadi kotor."

"Apa?" Mata Aira terbuka lebar. Sungguh keterlaluan manusia es itu. 

"Tolong sampaikan sama Tuan besar, aku tidak akan makan. Daripada harus mengotori meja makannya!"

"Tapi, Mbak…." Wajah pelayan memucat. 

"Tapi apa, Mbak? Sudah, sampaikan saja begitu! Aku tidak akan makan…."

"Dan kau akan membiarkan anakku menyedot darahmu karena air susumu habis akibat kurang gizi?!" Suara dingin dengan oktaf tinggi memotong ucapan Aira, disusul sosok pria berwajah dingin muncul di belakang pelayan. 

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pantas aja kau diselingkuhi suami mu. harusnya sebelum berhenti jau negosuasi dulu,bukannya meradang kangsung minta berhenti. ada saatnya otak mu kau pakai buat berpikir biar g sakah ambil keputusan.dasar dungu dan tolol
goodnovel comment avatar
Winda Ike
ampun deh pak bos... galak bener...
goodnovel comment avatar
Rya Mom's Wilzy
seruuuu sepertinya memang Aira yang paling cocok jadi ibu susunya tuan muda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status