"Apa kalau itu benar, keadaan jadi berubah Kak?" Pertanyaan Satria membuatku menelan saliva. Seandainya, salah satu di antara kami memang bukan anak Bapak. Kurasa tak banyak yang akan berubah. Toh kami tetap sekandung satu ibu. Satria menundukkan kepalanya, sangat dalam. Kenapa dia harus terlalu pusing, kalau pada kenyataannya aku atau dia bukan anak kandung Bapak. Aku sudah tak peduli akan itu. Bapak juga tak terlalu mementingkan diriku. Dia hanya memikirkan tentang nama baiknya saja. "Tak akan ada yang berubah, kau dan Kakak tetap adik Kakak. Toh kita seibu," tegasku. "Lalu … bagaimana kalau pada kenyataannya, kita tak seibu dan seayah?"DEGHatiku seketika berdebaran. Aku ingat sekarang. Waktu Bapak memaksa Satria untuk pulang, Bapak bilang, kami bukan muhrim. Lalu … kalau kami tak seibu, juga tak seayah, berarti benar kalau kami bukan muhrim. Astaga, memikirkannya saja sudah membuat mataku jadi panas. Aku ingin menangis, tapi untuk apa? Kalau kami bukan muhrim, jelas keada
Entah kenapa, aku juga enggan untuk mencegahnya. Aku tak mengerti dengan perasaanku sendiri, kenapa sejak kami pulang joging tadi, aku merasa ada jarak dengannya. Aku sekarang merasa tak nyaman berduaan dengan adikku sendiri. Aku takut, sangat takut mendapati kenyataan, bahwa kami tak memiliki ikatan darah. Dan itu akan merubah segalanya. Kalau itu benar, lalu siapa yang bukan anak keluarga Chandra Rajasa. Apakah aku? Ah, tak mungkin. Bukankah Bapak sendiri yang menjadi wali nikahku dengan Mas Bima. Berarti jelas, aku anak Bapak. Kalau Satria, bisa jadi Satria anak Pak Danu. Tapi bukankah kami tetap seibu? Kalau benar kata Satria kami tak seayah dan tak seibu. Apakah … ibuku bukan Malika Prameswari?Aku mempercepat langkahku. Lututku terasa gemetar memikirkannya."Ndok, arep nandi." Kuabaikan teguran Nenek, dan langsung saja melewatinya begitu saja. Aku ingin merebahkan tubuhku, minda ku sangat lelah memikirkan segala kemungkinan yang membuatku menjadi takut. Ya, aku takut mengeta
"Loh, kowe urung turu toh Ndok?" tanya Nenek berusaha menutupi rasa terkejutnya."Kenapa kalian semua membohongi Divya!" teriakku. Air mataku sudah menganak sungai di kedua pipiku. Hatiku hancur sekali, mendapati kenyataan, keluargaku sendiri menyimpan rahasia yang begitu besar tentang hidupku. Oke! Aku tau. Banyak keluarga di luar sana yang mengadopsi anak angkat. Tapi setidaknya, mereka akan membuka identitas anak itu di saat usianya sudah baligh. Atau … paling tidak, di saat mereka menganggap, mental anak itu sudah kuat untuk menerima kenyataan.Aku sudah cukup dewasa untuk menerima kenyataan kalau aku bukan anak kandung Bapak dan Ibu. Atau bahkan mungkin, aku tak mempunyai hubungan darah sama sekali dengan keluarga Rajasa. Kenapa mereka justru menikahkan aku dengan berwali Bapak?! Apa mereka tak berpikir, pernikahanku akan menjadi tidak sah, karena tak ada hubungan darah dengan mereka? Kenapa tak menyerahkan perwalianku pada wali hakim saja waktu itu?! Berjuta tanya tersemat di
"Nek." Aku mengguncang bahu Nenek.Wanita tua yang sangat kusayang itu, menatap langsung ke manik mataku. Saat netra kami beradu, aku ingin mencari jawaban dari mata Nenek."Apa Hendra meninggal? Apa dia … Bapak Divya yang sebenarnya?" tanyaku seraya berusaha kuat menahan gejolak di dadaku. Aku berusaha tegar menerima kenyataan kalau aku bukan anak Bapak.Kalau benar aku adalah anak Hendra, anak Nenek yang lain. Pantas saja, Bapak bisa menjadi waliku. "Huhuhuhu." Nenek mengangguk dengan tangisan yang semakin kencang. Kulihat Bulek Ratmi pun tergugu. Berarti Bulek tau semua cerita ini. Kenapa tak ada yang menceritakan semua ini padaku?! Lalu Satria. Bagaimana dia bisa tau tentang semua ini? Justru aku, yang lama tinggal satu rumah dengan Nenek tak tau tentang jati diriku sebenarnya. "Bulek!" Aku memanggil wanita yang sudah kuanggap ibuku sendiri itu. Mencoba bertanya, dengan.tata pan mataku.Dia menatapku dengan mata yang basah. Sayu, seolah meminta maaf karena sudah menyimpan rahas
"Pagi itu, Hendra tak bisa lagi dibangunkan. Rafika histeris, dia menjerit sekuat tenaganya. Dia sampai meraung meratapi kepergian Hendra. Dia sangat takut, takut ditinggal sendirian," cerita Nenek dengan kepala menunduk."Wajar saja kalau Rafika sangat takut ditinggal Hendra. Keberadaannya di rumah ini, tak diinginkan." Bulek ikut bicara. Tersirat ada rasa marah di nada suaranya.Nenek menangis lagi, terisak sambil tetap menunduk dalam, penuh penyesalan. "Maaf Bu. Kita harus cerita semuanya sama Divya," kata Bulek, sambil menggenggam tangan Nenek. Nenek mengangguk, seakan memberi izin pada Bulek untuk melanjutkan ceritanya. Wanita berwajah teduh itu menatapku sayu. "Saat jenazah Hendra akan dimakamkan, Rafika mengalami kontraksi. Dia segera dilarikan ke rumah sakit sama Mas Candra. Waktu itu hanya Bulek yang menemaninya di rumah sakit. Dia melahirkan dengan kepayahan, dokter sudah menyarankan dia untuk dioperasi. Tapi dia bersikeras ingin melahirkan normal. Dia sangat takut dan st
Aku harus bagaimana sekarang? Setelah mendengar semua cerita Nenek dan Bulek, rasanya aku ingin segera mencari ibu kandungku. Tapi kemana? Nenek sama Bulek tak tau kemana dia pergi. Mau mencari lewat media sosial, bagaimana caranya? Banyak orang yang memiliki nama Rafika, tak ada petunjuk lain selain namanya. Sebaiknya aku bertanya pada Bapak. Barangkali Bapak tau? Ah tidak, kalaupun Bapak tau, dia pasti tak mau cerita. Kuangkat Arsen dalam gendonganku. Aku ingin keluar, azan Ashar sudah berlalu, sebaiknya kumandikan Arsen dulu, baru aku sholat. TINGBaru lagi aku mau membuka pintu kamar, kudengar suara notifikasi pesan masuk di hapeku. Kulihat sebentar notif itu, barangkali penting. Dahiku mengkerut, pesan masuk di messenger dari R Wulandari. Pasti dia ingin bertanya tentang hal kemarin. Bagaimana aku bisa menulis di saat pikiranku sedang kalut begini? Nanti saja lah kulihat pesannya, sebaiknya cepat kumandikan Arsen dan langsung sholat Ashar. Baru lagi keluar dari kamar, aku be
"Nek, mobilnya sudah datang. Divya pamit ya." Aku memeluk dan mencium kedua pipi Nenek. Juga menyalami Bulek Ratmi."Kalau ada apa-apa, langsung kasih kabar. Ingat, kami tetap keluargamu," pesan Nenek seraya mengantarku ke teras. Pak driver yang melihatku sudah keluar dari rumah dengan menggendong Arsen dan tas yang sebenarnya tak seberapa besar, langsung turun dan mengambil alih tas itu. "Pak, tunggu sebentar ya," ucapku."Baik Buk," jawab Bapak itu sopan. "Nek, apa tak ada petunjuk tentang Ibu Divya, Ibu Rafika. Fotonya mungkin. Atau alamatnya yang lama." Aku masih berharap, ada sedikit saja petunjuk mengenai ibuku. Setelah mendengar cerita Nenek, aku berniat mencarinya. Bukan salahnya kalau dia terpaksa meninggalkan aku. Keegoisan dan keangkuhan Kakek yang membuat aku harus terpisah darinya. "Nggak ada sama sekali. Dia lebih banyak diam, tak pernah bicara kalau tak ditanya. Nenek tau, dia sebenarnya merasa sangat tertekan tinggal di sini. Tapi, Nenek saat itu benar-benar nggak
"Lebih baik …." Matanya melihat ke arah deretan bangku yang hampir semuanya terisi."Hah, duduk di sana aja," katanya menunjuk pada dua buah bangku kosong."Hayuk cepat, nanti keburu diisi orang." Dengan langkah tergesa dia lebih dulu berjalan dari aku, dibantunya aku membawa tas Arsen. Yang biarpun tak terlalu besar, tapi cukup merepotkan, karena aku sambil menggendong Arsen. "Nah, kan enak udah dapat tempat duduk," katanya lega setelah duduk di bangku itu.Setelah aku duduk di sebelahnya, aku membuka topi Arsen, biar dia tidak merasa gerah, sambil kukipas pelan wajahnya. Meski ruangan ini pakai AC, tapi karena ramainya orang, jadi terasa gerah juga."Waahh, gantengnya. Berapa bulan usianya?" tanya wanita manis ini. "Baru aja tiga bulan, Mbak." "Ah, jangan panggil Mbak. Panggil aja Ibu atau Bunda. Kayaknya kamu jauh lebih muda dari saya," katanya ramah sekali. "Ah masak sih Bu, kayaknya Ibu masih muda," ucapku bukan sekedar basa basi. Walaupun dia nampak matang, tapi wajahnya te