"Sepertinya ada yang mencoba mengirimkan teluh, santet!" bisik Bik Marni dengan mata melotot menyeramkan saat melihatku. Seketika suasana di kamarku mendadak jadi horor, bulu kudukku hingga meremang. Mataku jadi liar kesana kemari, aku jadi paranoid sendiri, merasa ada yang mengawasi. "Tapi itu hanya pikiran saya saja Mbak," kata Bik Marni. Kali ini sikap dan ekspresinya biasa saja, setelah dia berhasil membuatku ketakutan. Arsen sudah lelap kembali tidurnya. Namun kali ini, kubiarkan dia tetap berada dalam gendonganku. Aku tak mau, terjadi apa-apa dengan Arsen mengingat kejadian tadi."Kita keluar yuk Bik," ajakku pada Bik Marni, setelah merapikan kain gendong Arsen. Kumasukkan semua tubuhnya ke dalam jarik, sehingga aku bisa bergerak dengan leluasa. Di luar kamar, aku melihat Satria yang masih tergeletak tak berdaya, hanya ditungguin Lek Noto dan Mas Yudi. Sementara di luar, masih ramai orang. Apa yang terjadi, hingga Satria jadi begini? Apa benar yang dibilang Bik Marni, kalau
Tubuhku rasanya sangat tak bertenaga pagi ini. Mungkin efek kurang tidur, juga lelah hati dan pikiran. Namun, memiliki anak seusia Arsen, membuatku tak bisa membuang banyak waktu untuk sekedar berleha-leha di atas kasur. Aku tetap saja bangun di subuh hari, usai menunaikan sholat aku mencuci baju-baju kotor. Di rumah ini, semua kukerjakan sendiri. Tak seperti di rumah Bapak, yang semua dikerjakan oleh Bik Sum. Tak mengapa, aku cukup senang kok, menikmati aktifitasku sebagai seorang Ibu baru. Usai menjemur kain, aku mendengar suara mesin mobil. Pasti itu Bapak. Aku siapkan dulu, menjemur kain dan baju-baju yang sudah kucuci. Mumpung cuaca cerah. Paling Bapak menunggu di teras. Hari ini rencananya aku mau lihat keadaan Satria. Mudah-mudahan, penanganan medis bisa menolong Satria. Aku benar-benar berharap, Satria cepat pulih kembali. Tak ada tempatku bersandar saat ini, selain Satria. Hanya dia yang bisa melindungiku."Sudah siap?" Aku sangat kaget, ternyata Bapak ke belakang. Mungkin
Bapak, langsung menyambut Nenek ketika kami sudah keluar dari ruangan UGD. Bapak membimbing Nenek untuk duduk di bangku panjang yang ada di depan ruangan tempat Satria dirawat.Aku segera mengambil Arsen dari gendongan Bik Sum. Baik bud in ya anakku. Dia tak rewel sama sekali. "Chandra. Ibu rasa, sebaiknya Satria dibawa pulang ke kampung. Ibu mau Satria diruqyah," kata Nenek. Nenek kalau sudah bicara yang serius begini, lebih sering pakai bahasa Indonesia. Dahi Bapak mengernyit memandang wanita sepuh di hadapannya."Penyakit Satria belum tau apa, Bu. Dokter kan belum datang, ngasih tau hasil CT SCAN. Bisa jadi ada gangguan di kepalanya, makanya tubuhnya nggak bisa merespon perintah dari otaknya." Argumen Bapak. "Divya, sudah cerita kejadian tadi malam. Ibu yakin, ini bukan penyakit medis." Nenek mencoba meyakinkan Bapak. Bapak melihat ke arahku. Entah apa maksudnya? Sepertinya Bapak menyesalkan sikapku yang menceritakan peristiwa tadi malam sama Nenek."Bu, sekarang udah zaman mod
Kulihat seorang dokter tampak jalan dengan tergesa-gesa menuju ke ruangan UGD. Seorang suster juga tergesa-gesa berjalan mengiringi di belakangnya. Aku segera saja mengikuti. Kutinggalkan Nenek dan Bulek Ratmi di belakang."Maaf Bu. Sementara, tidak diizinkan masuk dulu," cegah suster itu. "Saya mau lihat Adik saya, Sus," kataku dengan wajah memelas. Berharap dia mengizinkan aku masuk ke dalam. "Maaf Bu, di dalam sedang emergency." Suster itu langsung menutup pintu UGD tanpa mengindahkanku. Jantungku terus saja berdebaran dengan kencang. Laksana deburan ombak yang saling berkejaran di lautan lepas. Aku masih terpaku di depan ruangan UGD. Tanpa bisa berbuat apa pun."Divya," panggilan Nenek lembut. Beliau sudah duduk di bangku panjang yang ada di depan UGD. "Sini, duduk. Kita berdoa sama Gusti Allah. Semoga bukan Satria yang dibilang tadi," kata Nenek lembut. Bulek Ratmi, mewakili Nenek membimbingku untuk duduk. Diambilnya Arsen yang tengah tidur dari gendonganku. Sangat perlahan
Baru lagi Umi Awi selesai bicara, Ustad Mahmud sudah keluar dari kamarnya. Semoga dia tidak mendengar perbincangan berbisik, tapi kedengaran tadi. Ustad Mahmud langsung mengambil posisi duduk di sebelah Satria. Bapak yang tadinya duduk di dekat Satria, bergeser jadi di dekat Nenek. Seorang laki-laki muda datang membawa sebuah baskom yang tak terlalu besar.Pemuda yang memakai kurta itu meletakkan baskom itu di hadapan Ustad Mahmud. Aku melihat, air itu banyak berisi daun-daun."Bulek, daun apa itu?" bisikku sangat pelan pada Bulek Ratmi. "Daun bidara," jawab Bulek. Bibirku langsung membentuk huruf O. Aku pernah dengar, daun bidara salah satu media yang bisa digunakan untuk mengusir Jin. Tapi aku belum pernah tau, seperti apa bentuknya. Ustad Mahmud memasukkan jarinya ke dalam baskom. Lalu mulai membaca ayat-ayat suci, tangannya memutar, searah jarum jam di dalam baskom, sepanjang ayat dilantunkan. Setelah itu, air ruqyah itu disapukan ke seluruh wajah dan tubuh Satria, hingga ke k
Satria memuntahkan darah yang berwarna kehitaman. Tak banyak, tapi baunyasangat menyengat. Kami semua hampir saja muntah mencium baunya. Tanpa rasa jijik dan kebauan, Usman segera melap darah itu dengan tisu. Aku membantu melap mulut Satria dengan lembut. Alhamdulillah, mata Satria mulai terbuka. Tak henti aku mengucapkan rasa syukur di dalam hatiku, melihat Satria sudah sadar kembali. Usman membawa tisu yang digunakan untuk melap mulut Satria keluar, lalu kembali lagi dengan membawa air bersih di dalam sebuah timba kecil, juga dua buah handuk kecil. Dibasahinya satu handuk, lalu diperas dengan kuat. Dia hendak melap mulut Satria, segera kutadahkan tanganku meminta kain itu. Dia mengerti dan memberi kain itu. Kulap lagi mulut dan leher Satria hingga benar-benar bersih. Hal yang sama dilakukan Usman juga pada handuk satunya, lalu kembali digunakan untuk melap mulut Satria. Mungkin, agar baunya tak tercium lagi, bila berulangkali dilap dengan kain bersih. Baru setelahnya, kain-kain
"Apa kalau itu benar, keadaan jadi berubah Kak?" Pertanyaan Satria membuatku menelan saliva. Seandainya, salah satu di antara kami memang bukan anak Bapak. Kurasa tak banyak yang akan berubah. Toh kami tetap sekandung satu ibu. Satria menundukkan kepalanya, sangat dalam. Kenapa dia harus terlalu pusing, kalau pada kenyataannya aku atau dia bukan anak kandung Bapak. Aku sudah tak peduli akan itu. Bapak juga tak terlalu mementingkan diriku. Dia hanya memikirkan tentang nama baiknya saja. "Tak akan ada yang berubah, kau dan Kakak tetap adik Kakak. Toh kita seibu," tegasku. "Lalu … bagaimana kalau pada kenyataannya, kita tak seibu dan seayah?"DEGHatiku seketika berdebaran. Aku ingat sekarang. Waktu Bapak memaksa Satria untuk pulang, Bapak bilang, kami bukan muhrim. Lalu … kalau kami tak seibu, juga tak seayah, berarti benar kalau kami bukan muhrim. Astaga, memikirkannya saja sudah membuat mataku jadi panas. Aku ingin menangis, tapi untuk apa? Kalau kami bukan muhrim, jelas keada
Entah kenapa, aku juga enggan untuk mencegahnya. Aku tak mengerti dengan perasaanku sendiri, kenapa sejak kami pulang joging tadi, aku merasa ada jarak dengannya. Aku sekarang merasa tak nyaman berduaan dengan adikku sendiri. Aku takut, sangat takut mendapati kenyataan, bahwa kami tak memiliki ikatan darah. Dan itu akan merubah segalanya. Kalau itu benar, lalu siapa yang bukan anak keluarga Chandra Rajasa. Apakah aku? Ah, tak mungkin. Bukankah Bapak sendiri yang menjadi wali nikahku dengan Mas Bima. Berarti jelas, aku anak Bapak. Kalau Satria, bisa jadi Satria anak Pak Danu. Tapi bukankah kami tetap seibu? Kalau benar kata Satria kami tak seayah dan tak seibu. Apakah … ibuku bukan Malika Prameswari?Aku mempercepat langkahku. Lututku terasa gemetar memikirkannya."Ndok, arep nandi." Kuabaikan teguran Nenek, dan langsung saja melewatinya begitu saja. Aku ingin merebahkan tubuhku, minda ku sangat lelah memikirkan segala kemungkinan yang membuatku menjadi takut. Ya, aku takut mengeta