Share

Pendarahan

Author: KARTIKA DEKA
last update Last Updated: 2022-08-01 18:52:18

Sakit di perutku semakin hebat, bahkan hingga membuat kakiku menggeletar. Aku meringis, berusaha menahan rasa sakitnya. Kurasakan ada yang merembes dari dalamanku. Ya Allah, semoga kandunganku baik-baik saja. 

Aku mencoba bangkit, aku harus ke rumah sakit sekarang. Atau ke klinik yang terdekat dari rumah. Tertatih aku berjalan sambil memegangi perutku, kurasakan ada yang mengalir dari sela-sela pahaku. Aku tak dapat melihatnya, karena aku mengenakan gamis juga celana kulot di dalam gamisku. 

Ah sudahlah, tak usah dilihat dulu. Sekarang pikirkan saja, caranya bisa sampai ke rumah sakit. 

Kamar, kamar adalah tujuanku. Tasku tadi ada di kamar. Gawaiku ada di dalam tas. Aku ingin memesan taksi online dulu. Sampai di kamar, aku langsung meraih tasku. Sambil memegangi perut dan pinggangku aku duduk di tepian ranjang. 

Kuhapus kasar air mata yang terus saja mengalir. Ah, kenapa mata ini selalu saja tidak kompak dengan keinginanku. Aku tak ingin menangis, tapi mata ini, terus saja memanas. Mungkin rasa panas dari hatiku, mengalir ke mataku, hingga membentuk larva bening yang berjejalan ingin keluar. 

Mas Bima ikut masuk ke dalam kamar, dia terburu-buru memakai baju juga celananya. Cih, bahkan dia tak teringat untuk mandi junub dulu. Dasar rakus. 

"Mas bawa kamu ke rumah sakit," katanya. Dia hendak menggendongku. Aku menolak tubuhnya dengan kasar. 

"Ayolah Divya. Tunda dulu marahmu. Kamu pendarahan, kita harus cepat ke rumah sakit," katanya. 

Kenapa dia bilang aku pendarahan? Aku tak melihat ada darah di gamisku. Aku abaikan dia, cepat aku ambil gawaiku dari dalam tas. Saat itulah, mataku melihat titik titik darah di keramik kamarku. Hatiku semakin cemas. Jangan sampai ada apa-apa dengan anakku.

Dengan tangan gemetaran, aku mencoba memesan taksi online. Sial! Signal sedang tak bersahabat. Kenapa harus di saat genting seperti ini? 

"Sudah, jangan ngeyel. Kita harus cepat." Mas Bima memaksa menggendongku keluar kamar. 

Aku tak ada pilihan lain. Daripada nyawa anakku jadi taruhan. Bertahan Nak. Temani Bunda di dunia ini. Bunda butuh kamu. Jangan pergi. 

"Gimana Bim?" tanya Ibu. Dia sudah memakai pakaian yang terlihat sopan. Wajahnya tampak cemas. Tapi seperti sandiwara saja di mataku.

"Mau Bima bawa ke rumah sakit Bu. Divya pendarahan." Mas Bima juga terdengar cemas. 

Ibu segera membuka pintu depan dengan lebar, agar Mas Bima yang menggendongku bisa lewat.

Siapa saja yang melihat kepanikan di raut wajah Ibu dan Mas Bima, tak akan menyangka bahwa telah terjadi perselingkuhan paling menjijikkan terjadi antara mereka. 

Aku hanya diam saja. Perutku memang sakit, tapi tak seberapa dibanding dengan sakit di hatiku akibat pengkhianatan mereka. 

"Loh, kenapa Divya?" tanya Bapak, kami berpapasan tepat di ambang pintu. Bapak baru pulang.

"Pendarahan Pak," kata Ibu.

Ingin sekali rasanya mengadu pada Bapak. Tapi saat ini, waktunya belum tepat. Kondisi tidak memungkinkan untuk bicara banyak. 

"Hah, kok bisa! Ini mau dibawa kemana?" Bapak langsung cemas.

"Ke Rumah Sakit Medika, Pak," kata Mas Bima. 

"Ya sudah, naik mobil Bapak aja. Biar Bapak yang nyetir. Kamu temani Divya di belakang Bim," kata Bapak. 

Mas Bima langsung melangkah cepat. Terlebih dahulu aku dimasukkan ke mobil, disusul Mas Bima. Mas Bima memangku kepalaku yang tak berdaya. Tubuhku semakin melemah, tapi airmataku masih saja mengalir. Seakan tak ada habisnya persediaan air mata ini.

Pak, apa yang Bapak lakukan, seandainya Bapak tau perbuatan Mas Bima dan Ibu? 

Kasihan Bapak. Seharusnya di usianya yang sudah senja, beliau tinggal menikmati kebersamaan dengan pasangannya. Apalagi masa Bapak menjabat sebagai kepala desa sudah tinggal sebentar lagi. Tentunya beliau ingin menghabiskan hari-harinya nanti bersama Ibu. 

Selama ini Ibu tak pernah mengeluh, walau terpaut usia sangat jauh dari Bapak. Mereka tetap tampak romantis dan mesra. Walaupun usia Bapak sudah enam puluh lebih, Bapak masih terlihat gagah. Bapak sama seperti Ibu, selalu menjaga kebugaran tubuhnya. 

Setiap pagi, Bapak sama Ibu selalu jogging bersama, keliling kampung menyapa warga. Kelihatan harmonis. Dari kecil, tak sekalipun aku melihat mereka bertengkar. Mereka selalu bisa menyelesaikan masalah dengan baik-baik. Mereka jelas panutan bagiku. 

Namun sekarang, semuanya jadi berbeda di mataku. Ibu tak lebih dari seekor musang berbulu domba. Bahkan dia lebih kejam dari srigala. Rasa hormatku, lenyap tak berbekas buat Ibu. 

Dulu, aku selalu bangga dengan ibuku yang selalu tampak cantik, anggun dan aduhai. 

Ya, tubuh ibu yang langsing. Dengan tinggi badan 165 cm membuat postur tubuh Ibu sangat proporsional. Kulit ibu juga putih, dengan wajah oriental. Terlihat sangat cantik. 

Berbeda dengan aku, yang mirip Bapak. Wajahku sangat khas wajah ayu orang jawa, dengan warna kulit sawo matang. Tubuhku juga lebih kecil dari ibu. Walaupun banyak yang bilang wajahku manis, tetap saja, tak sedikitpun ada kemiripan dengan Ibu. Terkadang, banyak yang tak percaya kalau kami ibu dan anak. Karena perbedaan fisik kami tentunya. Tapi Ibu selalu saja bisa menampik anggapan orang-orang. Dengan mengatakan kalau aku mirip Bapak.

Sampai di rumah sakit, para suster langsung menyambutku dan membawaku ke ruangan IGD. Kesadaran hampir habis. Mataku hampir tak bisa dibuka. Pandangan mataku mulai kabur. Entah apa yang terjadi? Terakhir aku merasa, terjadi kepanikan di ruangan IGD. 

★★★KARTIKA DEKA★★★

Kubuka mataku perlahan. Sangat silau. Kupejamkan lagi, untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinaku. Tubuhku lemas sekali.

"Syukurlah kamu sadar juga," kata seorang berjas putih. 

Aku belum bisa melihat dengan jelas, masih berupa bayang-bayang yang kabur saja. Aku merasa, banyak orang di ruangan ini. Dimana ini? Terakhir yang kuingat, aku di ruangan IGD.

Kupejamkam lagi mataku, lalu kubuka lagi perlahan. Bayang-bayang itu mulai jelas kelihatan. Kupejamkan sekali lagi mataku, kubuka lagi. Sekarang semua tampak jelas. Ada Mas Bima, Ibu, Bapak juga seorang Dokter di dekatku. Aku membuang muka dari Mas Bima dan Ibu. 

Aku merasa ada yang lain. Tapi apa? 

Cepat aku tersadar, aku ingat dengan kandunganku. Kuraba perutku perlahan dengan sisa tenaga yang ada, kenapa rata? Dimana anakku? 

"Dok, mana anak saya?" lirihku. Aku panik. Tapi tak berdaya.

"Tenang dulu, ya Bu," kata Dokter bernama Karmila itu. Terlihat dari name tag yang ada di dadanya.

Bagaimana aku bisa tenang, anakku tak ada lagi di perutku. Anak yang kunantikan kehadirannya di dunia ini. Anak yang kuharapkan menjadi pelipur laraku, pengobat rasa sakit akibat pengkhianatan Ayahnya. Seandainya aku ada tenaga, pasti aku sudah histeris saat ini.

"Divya, tenang ya Nak," kata Bapak seraya mengelus dahiku. 

"Pak, mana anak Divya?" tanyaku lirih pada Bapak. Otot-otot tubuhku terasa kehilangan kekuatan. Bahkan suaraku tak mau dengan keras, keluar dari kerongkonganku.

Aku takut, sangat takut terjadi hal yang tak diinginkan pada anakku. Aku berusaha bangkit, tapi perutku sangat sakit. Sakitnya berbeda. Seperti ada luka di perutku. 

"Jangan bergerak dulu Bu. Ibu baru saja selesai operasi caesar beberapa jam yang lalu," jelas Dokter saat mencegahku yang ingin bangkit dari tempat tidurku. 

Operasi Caesar? 

Astaga. Kapan aku operasi? 

Kenapa aku tak tau? 

★★★KARTIKA DEKA★★★

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • IBUKU PELAKOR   Episode terakhir

    "Mbak Divya, Arsen sepertinya haus. Dia nggak mau minum susu lagi," kata Bik Sum gang baru datang dari arah dalam rumah. "Oh iya Bik. Sebentar lagi saya ke kamar," sahutku. "Maaf ya Bripda, saya mau ke dalam dulu," pamitku pada Bripda Farhan. Agak sedikit sungkan juga sih. "Oh silahkan. Tapi sebelumnya, saya boleh minta izin?" Kutahan langkah kakiku yang hendak pergi dari hadapannya. "Minta izin apa Bripda?" "Maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya kurang sopan. Apakah masa iddah kamu sudah selesai? Kalau sudah, bolehkah saya menjalin silaturahim melalui hape?" Agak lucu aku mendengar pertanyaannya. Mungkin maksudnya, dia ingin menelepon aku. "Um … maksudnya sebagai sahabat," katanya agak gugup. "Baru saja selesai. Boleh saja kalau ingin menjadi sahabat saya," jawabku. Senyumannya langsung merekah sempurna. "Saya ke dalam dulu ya Bripda." Aku pamit. Takut Arsen mengamuk karena terlalu lama menunggu. Saat sampai di kamar, Arsem yang melihatku langsung menangis manja. Kuraih t

  • IBUKU PELAKOR   Rafikah meninggal

    Bu Mega sangat aktif mengajak Bunda berbincang. Cukup membuatku terharu juga. "Kami nggak bisa lama-lama Divya. Takut kemalaman di jalan," kata Bu Mega padaku."Oh iya Bu. Sebentar saya ambilkan surat kuasanya." Aku segera bergegas mengambil surat kuasa yang sudah selesai kubuat tadi sore dan sudah ditanda tangani di atas materai. Aku kembali lagi ke ruang tamu dan memberikan surat itu ke tangan wanita berkacamata minus yang cukup tebal ini. Bu Mega memeriksa isi surat kuasa yang kubuat. "Ok. Berdoa ya, semoga besok hakim bisa memutuskan hukuman yang tepat untuk para tersangka," kata Bu Mega. "Aamiin. Semoga Bu. Saya terima apapun keputusan hakim. Kalau dirasa tak sebanding dengan perbuatannya, biarkan saja, tak perlu ajukan banding lagi. Saya capek, saya hanya ingin tenang sekarang. Mudah-mudahan, hukuman yang mereka terima, benar-benar menjadi pelajaran berharga buat mereka, supaya tidak mengulangi lagi di kemudian hari," kataku. Bu Mega tersenyum. "Kamu besar hati sekali. Jaran

  • IBUKU PELAKOR   Menjelang sidang kedua

    #Menjelang sidang keduaAku sudah menghubungi Bu Mega, membicarakan tentang rencanaku untuk mencabut gugatanku terhadap Bu Malikah. Sebenarnya prosesnya lebih rumit, karena kasus sudah sampai ke meja persidangan. Aku harus menyatakan langsung di depan hakim kalau aku mencabut gugatan terhadap Bu Malikah. Itupun kalau hakim berkenan mengabulkan atas persetujuan tergugat. Mengingat juga, tersangka lebih dari satu orang. Tak apalah sedikit repot, kalau memang begitu prosedurnya. Hari demi hari terus berlalu. Aku juga masih tetap di kampung. Urusan kebun kuserahkan sepenuhnya pada Mas Bagus, agar aku bisa fokus dengan sidang, juga fokus menghabiskan sisa waktu bersama Bunda. Semakin hari kondisi Bunda semakin drop. Dia bersikeras tak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya, dia ingin meninggal dengan seluruh keluarga ada di sampingnya. Bunda beralasan, percuma ke rumah sakit. Tak ada lagi obat yang bisa mengatasi penyakitnya. Dia tak mau jauh dari Arsen. Tau sendiri, kalau Bunda dirawat di r

  • IBUKU PELAKOR   Ibu depresi

    #Ibu depresiTak perlulah aku menceritakan semuanya kasihan Bunda bila terseret dalam kasus ini. Biar semua itu menjadi rahasia bagi kami yang sudah mengetahuinya. Aku juga tak mau mengungkap, kalau karena masalah itu, Ibu Malikah sampai berulangkali melakukan perselingkuhan dengan orang-orang yang berbeda. "Saya nggak tau Bu. Hal seperti itu sangat pribadi. Hanya Ibu saya yang mengetahuinya," jawabku menutupi hal yang sebenarnya. Aku juga tak mau bilang, kalau Bu Malikah berbohong. Aku bertumbuh sebagai anaknya, bagaimanapun, di sudut hatiku yang lain, aku merasa tak sampai hati padanya setelah aku mengetahui cerita yang sebenarnya. Bu Mega bangkit dari duduknya. "Keberatan Yang Mulia," kata Bu Mega pada hakim, untuk menentang kata-kata Ibu. "Hal yang diungkapkan oleh Bu Malikah adalah masalah intern dia dan Pak Chandra. Seharusnya, sebagai seorang istri, Bu Malikah mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Bukan justru menghancurkan suaminya," papar Bu Mega. Aku sang

  • IBUKU PELAKOR   Semakin membaik

    #Semakin membaikUstad Mahmud sudah pulang kembali ke rumahnya. Kini hanya tinggal kami saja di rumah. Mas Bagus kuminta melihat kebun yang ada di sini, daripada dia bosan menunggu kami."Mbak. Arsen sudah bangun," kata Bik Sum. Kebetulan dia sedang melintas Dari dapur, aku sengaja membiarkan pintu kamar terbuka, jadi kalau Arsen bangun, kami akan segera mengetahuinya. Aku bangkit meninggalkan Bunda yang kembali tidur. Sementara Nenek juga masuk ke kamarnya. Tak bisa dipungkiri, pasti Nenek merasa terpukul atas kenyataan yang baru didengar. Tinggal Bulek Ratmi yang masih menemani Bunda sambil membaca masalah wanita zaman dulu yang sudah entah berapa kali dia baca. Yang kupahami dari pengakuan Bunda. Bundalah penyebab semua ini. Ini seperti kasus berantai, saling terkait antara satu dan yang lainnya. Bunda yang sakit hati sama Kakek, membuat Bapak menjadi suami yang tak bisa memenuhi nafkah batin Ibu Malikah. Ibu Malikah yang kecewa, menduga Bapak tak bisa mencintainya dan tak bisa m

  • IBUKU PELAKOR   Bunda diruqyah

    #Bunda diruqyahSetelah berbasa basi sebentar. Ustad Mahmud permisi numpang sholat. Setiap akan mulai mengobati, Ustad Mahmud memulainya dengan sholat Sunnah terlebih dahulu. "Kita mulai ya Bu. Ingat, ikhlaskan semua hal yang membebani hati Ibu. Lepaskan semuanya, maafkan orang-orang yang Ibu anggap telah menyakiti Ibu. Sejatinya, kalau Ibu benar-benar mau sembuh, harus Ibu sendiri yang memohon dengan hati Ibu kepada Allah untuk menyembuhkan. Saya hanya membantu saja," kata Ustad Mahmud pada Bunda. Bunda hanya mengangguk menjawabnya. Ustad Mahmud menggunakan sarung tangan, beliau mulai mengarahkan tasbihnya ke arah Bunda dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Bacaannya begitu tartil dan merdu, hingga membuat merinding yang mendengar.Bunda tampak biasa saja, tidak ada reaksi apapun. Sampai saat dipertengahan Ustad Mahmud membaca doa ruqyah, Bunda mulai gelisah. Matanya liar kesana kemari. Agak terkejut kami melihat reaksinya. "Errgghhh errggghhh." Bunda tiba-tiba menggeram, seperti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status