“Aku tidak akan menjadi mayat. Lebih baik aku menjadi Iblis agar bisa membalaskan semua dendam keluargaku!”
Liong Yun berteriak. Anak lelaki yang masih berusia delapan tahun itu sudah menanggung beban dendam yang besar. Ia tanpa rasa takut memasuki jalan setapak yang terbentang di depannya.
Saat Liong Yun mulai memasuki bagian dalam pulau itu, ia melihat sebuah cahaya terang yang mencolok diantara kegelapan pulau diselimuti hutan. Ia pun menjadikan titik cahaya itu sebagai tujuan. Beberapa kali ia meringis kesakitan merasakan terinjak batu berduri ataupun digigit binatang. Karena gelapnya tempat itu ia tidak mengetahui hewan apa saja yang sudah menggigitnya.
Anak itu terus berjalan dengan sisa-sisa tenaga dan semangatnya. Sesekali ia terjatuh dan merasakan hewan-hewan dibawah langsung menyerangnya. Hanya dengan menyapu dengan tangan ia coba menepis hewan-hewan yang merayapi tubuhnya. Hewan yang menggigit dimana saja tempat ia singgahi.
Keadaan Liong Yun semakin payah. Ia merasa pandangannya mulai kabur. Sudah dapat dipastikan hewan-hewan yang menyerangnya itu adalah hewan berbisa.
Pada akhirnya anak itu sampai juga ke tempat cahaya yang dilihatnya tadi. Ternyata cahaya itu berasal dari dalam goa yang letaknya tepat di tengah-tengah pulau itu. Tepat di depan goa itu, Liong Yun roboh tak sadarkan diri.
Beberapa saat setelah Liong Yun tidak sadarkan diri hujan pun turun. Hujan yang entah dari mana datangnya, karena langit yang tertutupi pepohonan besar nan lebat membuatnya tidak bisa terlihat. Entah dari langit entah dari kekuatan lain.
Ada keanehan yang terjadi diakibatkan oleh tetesan hujan yang mengenai tubuh Liong Yun. Semua luka yang dialami Liong Yun perlahan mulai membaik sampai akhirnya tidak berbekas lagi. Begitu juga keadaan luka dalamnya. Air hujan itu benar-benar menyembuhkannya.
Liong Yun pun perlahan mulai membuka matanya. Ia merasakan tubuhnya terasa sangat segar. Perasaannya terasa sangat bersemangat. Ia sendiri tak mengerti apa yang terjadi. Liong Yun Bangkit, di depan gua ia melihat tulisan…
‘Bangkit dari kematian sebagai pertanda langit memilih. Gerbang Dewa di depan mata’
Sepuluh Tahun Kemudian
“Amitabha.. Ada apa denganmu Kaiming. Namamu yang artinya tercerahkan itu berbanding terbalik dengan wajahmu yang nampak muram. Kau adalah pemimpin di Kuil Dewa ini. Ketua Sekte Kuil Dewa tak selayaknya memiliki wajah yang masam!”
“Suhu.. Sebenarnya aku masih berat hati menerima tanggung jawab sebagai penggantimu. Seandainya tidak mengingat keinginanmu untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan, tentu aku akan menolak. Kejadian waktu itu masih menghantuiku, aku merasa sangat bersalah.”
Pembicaraan dua orang biksu itu terjadi di ruang pribadi Biksu Tian Kong. Guru Besar dari Sebuah Sekte ternama di dunia persilatan. Sekte yang anggotanya merupakan para pelayan dewa dari sebuah Kuil bernama Kuil Dewa di sebuah gunung bernama gunung Shenshan. Sebuah aliran pelayan dewa sekaligus perguruan silat yang bernama Sekte Kuil Dewa.
Di ruang pribadi Biksu Tian Kong guru besar Kuil Dewa yang telah mengundurkan diri itu, biksu Kaiming menghadap. Ketua baru Sekte Kuil Dewa yang menggantikan orang tua berusia sembilan puluh tahunan itu. Ia menyampaikan segala keluh kesahnya kepada gurunya itu.
Biksu Tian Kong merupakan satu dari Empat Malaikat Sakti dunia persilatan. Ia mendapat gelar Malaikat Wajah Pualam. Gelar yang disematkan karena sifatnya yang welas asih, juga wajahnya yang tampan meski sudah menginjak usia yang sangat tua. Dengan nasehat bijak, biksu Tian Kong berusaha menenangkan muridnya itu.
“Kejadian yang menimpa keluarga Liong itu bukan salahmu sepenuhnya. Kau hanya dijebak hingga terlibat rencana berdarah itu. Permusuhan pribadi orang itu dengan keluarga Liong membuat dia dengan kekuasaannya merencanakan pembantaian i…”
Tiba-tiba saja perkataan Biksu Tian Kong terhenti. Wajahnya berubah menjadi sangat pucat, “A-apa ini?” batin orang tua itu.
“A-ada apa guru?”
Biksu Tian Kong tidak tidak menjawab pertanyaan muridnya. Ia langsung melesat keluar dari kediamannya. Gerakan sangat cepat yang diperagakan Biksu Tian Kong bahkan tidak dapat dilihat oleh muridnya, Biksu Kian Ming.
Kesaktian Biksu Tian Kong memang tidak bisa diragukan lagi. Sebagai salah satu dari delapan orang paling sakti di dunia persilatan tentu Ilmu Meringankan Tubuh nya sangat tinggi. Seorang tokoh yang tenaga dalamnya sudah berada di tingkatan bertindak atas kemauan hati. Tingkatan tertinggi dari sebuah ilmu kesaktian.
Biksu Tian Kong melayang di atas atap kediamannya. Ia mengitari sekitar tempat tinggalnya itu dengan kemampuan penglihatan tingkat tinggi. Wajah orang tua itu terlihat sangat kebingungan.
“Aneh sekali! Aku sempat merasakan kekuatan yang sangat mengerikan di luar. Tapi mengapa tiba-tiba lenyap. A-apa mungkin itu hanya perasaan ku saja?” batin Biksu Tian Kong.
Bongg…
Terdengar bunyi lonceng besar Kuil Dewa di bunyikan. Sebuah pertanda datangnya bahaya yang sangat besar. Semua orang bergegas menuju bangunan utama kuil Dewa. Begitu juga Biksu Kaiming dan Biksu Tian Kong.
Mereka adalah Dewa Tangan Sakti, Dewa Pedang Kilat, Dan Raja Harimau Putih. Tanpa ragu ketiganya langsung bergabung di samping Lin Lian Xue, menghadapi keempat Naga Pelindung. Dengan kehadiran mereka, serangan yang awalnya mengancam nyawa kini berhasil dilawan dengan serangan balasan yang sama ganasnya.Pertarungan pun mulai berbalik. Dalam sekejap, Lin Lian Xue berhasil melancarkan pukulan telak pada Naga Selatan, membuatnya terjatuh dengan nafas terputus-putus sebelum akhirnya terkapar tak bernyawa. Ketiga Naga Pelindung lainnya mulai kewalahan menghadapi serangan dari empat pendekar yang begitu kuat.Di tengah kekacauan pertempuran, Kaisar Naga Hitam yang menyaksikan kehancuran pasukannya tak dapat lagi menahan amarah. Dengan wajah merah padam, ia melesat ke arah Lin Lian Xue, bertekad untuk menghabisinya. “Beraninya kau!” teriaknya dengan penuh kebencian.Namun, tepat sebelum Kaisar Naga Hitam berhasil menyentuh Lin Lian Xue, kilatan cahaya putih menyilaukan memotong jalannya, diir
Pagi yang dinanti pun tiba, hari kesembilan di bulan kelima. Langit di atas perbatasan Kekaisaran Utara tampak kelabu, seolah alam turut merasakan ketegangan dari kedua belah pihak yang akan segera terlibat dalam peperangan hidup dan mati. Pasukan gabungan dari Kekaisaran Selatan dan Timur, dipimpin oleh Majikan Pulau Naga, bergerak dalam formasi yang rapi. Di kejauhan, mereka melihat pasukan Kekaisaran Naga Hitam yang telah bersiap di seberang lembah, dipimpin langsung oleh Kaisar Naga Hitam bersama empat Naga Pelindungnya, formasi jabatan baru yang dibentuk setelah kematian banyak petinggi sekte di tangan Liong Yun.Pasukan Kekaisaran Naga Hitam berbaris dengan disiplin. Para prajurit mengenakan jubah hitam dan topeng menyeramkan, diiringi oleh para ahli aliran hitam yang terkenal kejam dan tidak segan-segan mengorbankan nyawa. Sorakan keras terdengar dari barisan mereka, seolah ingin mengguncang keberanian lawan.Majikan Pulau Naga berdiri di atas sebuah bukit kecil, memandang ked
Dua hari kemudian, pasukan dari Kekaisaran Timur dan Kekaisaran Selatan tiba di perbatasan Kota Kekaisaran Utara. Deru langkah ribuan prajurit terdengar bergemuruh, membelah kesunyian pagi di perbatasan yang dingin. Di tengah barisan, sosok-sosok yang menjadi simbol harapan itu bergerak dengan tenang. Kaisar Selatan, didampingi oleh Panglima Guo dan Majikan Pulau Naga, memimpin langsung pasukannya, sementara di sisi lain, Kaisar Timur yang kharismatik tampak maju bersama para jenderal terkuatnya.Kaisar Selatan dengan karisma dan pengalamannya sebagai kaisar nampak berwibawa, sementara kaisar Timur yang dulunya merupakan seorang pendekar sakti menunjukkan kegagahannya. Dua sosok pemimpin pasukan besar yang akan menyerang Kekaisaran Naga Hitam.Menyadari dua pasukan besar ini sangat beresiko terjadi bentrokan dan akan merugikan kedua belah pihak, Kaisar selatan dan Kaisar timur sepakat untuk mengadakan pertemuan.Di tengah-tengah perkemahan pasukan, tenda pertemuan megah didirikan. Pan
Dengan kekuatan yang kini telah ia kerahkan hingga setengah dari kekuatannya, Lo Hao menghantam tanah dengan satu tinju kuat, dan guncangan hebat seketika merambat, membuat retakan-retakan besar merayap ke arah Lin Lian Xue. Pepohonan di sekitar mereka bergetar, beberapa akar tua mencuat dari tanah, membuat medan pertempuran semakin kacau. Lin Lian Xue menghindari retakan itu dengan lompatan gesit, tetapi Lo Hao sudah berada di hadapannya, siap menebasnya dengan tangan yang kini berubah menyerupai cakar hitam tajam.Benturan antara cakar Lo Hao dan pedang Lin Lian Xue memicu kilatan energi yang menyilaukan. Udara di sekitar mereka berdesis seperti terbakar, memancarkan percikan-percikan api dari hantaman yang saling bertarung tanpa henti. Setiap jurus Lin Lian Xue yang berbalut cahaya bak bayangan naga terus mengarah pada titik vital Lo Hao, namun Lo Hao kini bukan hanya bertahan, ia mulai melancarkan serangan-serangan balik yang lebih ganas. "Inilah akhir dari darah Pendekar Naga L
Kegelapan hutan di sekeliling Lin Lian Xue semakin pekat, seperti menggulungnya kabut misterius yang menyelimuti pepohonan dan membuat setiap langkah terasa berat. Pohon-pohon tua dengan akar menjalar seperti makhluk hidup mengintai, dan suara malam yang biasanya tenang kini bergema dengan getar aneh, seakan hutan itu bernafas dengan irama yang seram. Lin Lian Xue tetap bergerak lincah, mengikuti bayangan hitam yang sebelumnya ia kejar di perkemahan, tapi perlahan ia menyadari bahwa ia telah terpisah jauh dari pasukan kekaisaran.Tiba-tiba, sosok itu berhenti di tengah hutan, tepat di sebuah tanah lapang yang disinari temaram cahaya bulan. Di sana, ia berdiri tegak dengan pakaian yang kasar, terbuat dari bulu-bulu hitam yang bercampur darah. Wajahnya keras dan garang, bibirnya melengkung dalam senyuman yang memperlihatkan gigi bertaring.“Selamat datang di kediamanku, Nona Manis,” ucapnya dengan suara berat yang bergaung dalam kegelapan. “Serahkan diri, dan kau akan hidup senang seba
Pasukan besar dari Kekaisaran Selatan terus bergerak menuju utara. Ribuan tentara gagah berderap bersama di bawah kibaran bendera dengan lambang harimau emas, simbol kekuatan dan keberanian Kekaisaran Selatan. Di antara pasukan itu, terlihat sosok Panglima Besar Guo, berdiri kokoh di atas kudanya. Matanya tajam memandang ke depan, seolah membaca setiap rintangan yang akan mereka hadapi. Tubuhnya yang besar dan berotot memancarkan wibawa seorang pemimpin tangguh, dengan wajah yang tampak siap menghadapi apapun demi keselamatan dunia.Di sampingnya, Majikan Pulau Naga, seorang pria tua berambut putih yang tetap tangguh dan penuh kewibawaan. Wajahnya tegas, dengan mata yang memancarkan ketenangan seorang pendekar yang telah melewati banyak pertempuran. Putrinya, seorang pendekar wanita berparas cantik namun memiliki keteguhan yang tak kalah dari ayahnya, mengiringi di sisinya, memegang gagang pedang pusaka keluarga yang dipercayakan padanya sejak kecil. Wajahnya tegas namun tersirat ke