“Aku tidak mengizinkan kamu mengantarku. Ngapain kamu di sini?” tegur Intan.Abraham menatapnya tajam dan hal itu sedikit membuat jantung Intan berdetak lebih keras. Debaran itu masih sama tapi ia tak ingin menunjukkannya. Intan tak ingin jika keberadaan mantan suaminya itu masih mempengaruhinya.“Setahuku tempat ini adalah tempat umum.”“Nggak seharusnya kamu di sini.” Intan masih berusaha agar Abraham segera pergi dari sana. Keberadaan Abraham dan sikap Rizky yang tampak menegang dan menantang membuatnya tidak nyaman. Jangan sampai ada keributan lagi di sini.“Kenapa aku tidak boleh di sini? Aku bebas makan di sini, sudah kubilang ini tempat umum.”“Maksudku di depan mejaku. Ada Amel yang bersamamu,” ujar Intan seraya melirik ke arah belakang tubuh Abraham tempat Amelia menatap benci dengan terang-terangan ke arahnya.“Memangnya kenapa aku tidak boleh ke sini. Kita saling kenal dan seperti yang aku bilang tadi, aku akan antar kamu ke mana pun.”“Aku tidak memintamu.”“Dan aku tidak
Cengkraman mengerat ditambah dorongan sekuat tenaga yang dilayangkan oleh Intan pada rambut Abraham yang kepalanya masih dengan setia berada di pangkal paha Intan. Tenaga semakin menipis dengan pandangan yang kini berkunang-kunang. Kejadian ini sama persis dengan yang terjadi dulu, situasi yang menyebabkan ia harus menjadi istri pria yang suka memaksakan kehendak dan pada akhirnya mencampakkannya dengan dalih tuduhan tak setia yang disematkan kepadanya. Bahkan pria yang dituduhkan menjalin hubungan gelap dengannya saja ia tidak kenal baik.Intan juga bukan wanita yang mudah akrab dengan orang asing atau baru dikenal apalagi mereka menuduhnya sering menghabiskan waktu di klub malam. Jangankan untuk minum, jika saja dulu ia tidak terpaksa mencari keberadaan mantan suaminya itu di sana situasi yang dihadapinya saat ini tidak mungkin terjadi.“Mas!”“Ya Sayang.”Jawaban penuh kasih itu membuat hati Intan tercubit, benaknya kembali ke masa lalu. Dahulu Abraham saat melampiaskan syahwatnya
Abraham menempelkan dahinya di pintu yang tertutup rapat. Bukan rasa bersalah yang kini datang tetapi kepuasan. Jika ia tidak nekat sudah sangat mungkin Intan tak akan terjangkau. Apalagi tidak hanya bajingan tengik yang tadi ia temui di restoran itu saja yang berusaha mendekati Intan tetapi juga sepupunya sendiri Dharma dan sudah sangat yakin jika ada pria-pria lain yang pasti akan mendekati istrinya itu. Ya istrinya, Intan harus tahu jika mereka tidak pernah bercerai.Abraham cepat membersihkan diri, sedikit rasa cemas jika Intan akan kabur dari kamar ini. Walaupun ada keraguan jika wanita itu melakukannya karena Risa belum juga datang. Ia pun tersenyum tipis mendapati Intan duduk di sofa menatap kosong ke arah televisi yang menyala. Seolah mengetahui keberadaannya Intan menoleh ke arahnya. Abraham menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut dengan handuk kecil.“Cepat hubungi anak buahmu. Risa harus segera ke sini.”“Iya, iya. Aku akan hubungi mereka.”Abraham tersenyum simpul me
Intan tidak pernah menyangka Abraham bisa sekepala batu ini, keras kepala sekali. Pria itu masih bersikukuh dengan halusinasinya bahwa mereka masih terikat dalam pernikahan."Kembalilah istriku. Pintu rumah kita selalu terbuka untukmu.""Mungkin kamu lupa. Perkataanmu saat ini sama dengan menjilat ludah sendiri. Tetapi aku pun nggak heran karena hanya itu yang bisa kamu lakukan saat ini dan jika menurutmu aku akan baper lalu luluh dengan permintaanmu. Kamu salah besar. Tidak ada jalan untuk kita kembali."Intan mendengkus jengah, ia sangat ingat saat dulu diusir dari rumah suaminya. Ya memang begitu, karena pada kenyataannya ia tidak pernah merasa memiliki rumah itu karena faktanya Amel lebih menjadi nyonya rumah daripada dirinya.“Kamu sadar tidak dengan semua perbuatanmu dulu kepadaku?”“Ingat.” Abraham membalas tanpa ada rasa bersalah, bahkan tatapannya sangat lekat kepada Intan yang duduk meringkuk di sofa.“Lalu kamu pikir aku akan kembali dengan mudahnya?”“Tentu aku berharap be
“Mbak,” tanya Risa dengan nada meragu kepada Intan yang menatap keluar jendela. Saat ini cuaca diluar tidak mendukung. Mobil berjalan lambat karena macet dan hujan deras yang menghantam bumi kembali setelah tadi sempat terhenti. Mendung gelap seperti hatinya.“Ya,” balasnya lirih. Risa tak layak mendapatkan sikap setengah hati, karena bukan gadis itu yang memiliki masalah dengannya.“Mbak sedih?” tanya gadis itu yang rasanya sudah tak sabar menanyakan hal ini walau sangat sadar ada telinga asing yang mungkin saja mendengarkan percakapan mereka.“Kita bicarakan nanti saja. Mungkin sebaiknya kita pulang saja.”“Kita kembali ke hotel kalau begitu?” Intan hanya mengangguk menanggapi. Rasanya sudah begitu tepat keputusan saat ini.Hal tak terduga kembali terjadi, Intan kembali ke hotel tetapi memutuskan untuk menelepon Yudi yang kebetulan sedang bebas hari ini dan bisa mengantarkan kembali ke Garut.“Senang saya bisa mengantar Mbak Intan lagi. Makasih sudah ingat dengan saya.”“Saya akan
“Anakku tidak pulang,” ujar Novita begitu Wandira mengucapkan salam pada sambungan telepon.“Lalu, apa hubungannya denganku?”“Gara-gara anakmu itu!”Wandira melirik ke arah Amel yang duduk tak jauh darinya dan berkutat dengan laptopnya. Wanita muda yang merasa diperhatikan itu menghentikan pekerjaannya dan membalas sang ibu.“Maksudmu apa? Anakku yang mana? Amel saja di rumah sejak diperlakukan dingin sama anakmu,” balas Wandira dengan nada kesal.“Jelas Intan siapa lagi.”“Intan bukan anakku lagi.”“Enak saja … kamu dengan gampang ngomong seperti itu. Anakmu memang gatal semua! Nggak adik, nggak kakaknya kelakuan sama!”“Jaga ucapanmu!”“Memang fakta itu, kan?! Kayak nggak ada laki-laki lain saja. Didik tuh anak-anakmu, jangan sudah mengkhianati anakku sekarang juga dekat dengan keponakanku. Benar-benar nggak habis pikir sama otak manusia seperti kalian ini.”“Kamu benar-benar membuatku tersinggung. Lagi pula anakmu itu sudah dewasa dan kalau tidak pulang bisa jadi dia lagi kelon sa
“Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia.“Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini.Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu.“Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan.Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya.“Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.”“Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.”Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!”Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemburu dan
Decit ban memekakkan telinga, sepesekian detik beikutnya tabrakan pun tak bisa dihindari. Tubuh terguncang dan suara tulang beradu terasa sangat jelas terdengar di telinga, bau bahan bakar yang menguap dan suara teriakan adalah hal terakhir yang ia ingat. Intan pun kemudian membuka mata dalam kegelapan. Suara napas tak teratur beradu dengan cucuran keringat di suhu ruangan yang dingin ini sungguh sesuatu yang kontras tetapi seolah nyata seperti mimpi buruknya.Katukan di pintu kamar membuatnya kembali tersentak dan seketika menoleh ke arahnya. Dari lubang bawah pintu telihat bayangan yang menutupi celah cahaya redup dari lampu dinding. Ia mengejap cepat mencerna keadaan saat ini di mana dirinya berada dan sekaligus meneba siapa gerangan sosok tak sabaran di balik pintu.“Intan, Sayang. Kamu baik-baik saja?”Suara berat itu. Ah ya, Intan baru ingat sekarang. Pria itu berada di rumahnya bersama dengan mimpi buruk peristiwa kecelakaannya kembali datang. Pertanyaan penuh nada khawatir it