Hidupnya seperti tak pernah jauh dari kesialan. Sedari kecil sudah diperlakukan berbeda dari anggota keluarga yang lain. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal dari sebuah perjodohan, kemudian bercerai karena fitnah dan tanpa tunjangan. Oh ya, kemalangan belum selesai sampai di sana. Setelah bercerai ia harus mengalami kecelakaan hingga membuat dirinya lumpuh. Sisa hartanya habis untuk berobat dan saat ia mulai ingin bangkit. Kenyataan menohok di depan mata. Akankah Intan kuat menghadapi semuanya, sementara hatinya sudah sangat terkoyak oleh karenanya?
View More"Dalam keluarga Sukoco tidak ada istilah perceraian, itu aib besar bagi kami dan apa yang sudah kamu perbuat jelas-jelas sudah mencoreng nama baik keluarga ini. Kamu tahu konsekuensinya bukan?"
"Tapi saya nggak bersalah. Saya diceraikan tanpa tahu kesalahan saya di mana?" balas Intan mencoba membela diri karena saat ini ia dikepung setidaknya oleh 20 anggota keluarga besar Sukoco."Kamu belum mengerti juga ternyata, ya?!" tanya Amanda dengan sinis."Apa?""Itu karena kamu mandul! Indung telurmu saja hanya satu yang sehat! Laki-laki mana yang mau mempertahankan wanita seperti kamu?! Hah … mikir dong!"Intan tertunduk lesu, malu sekaligus terhina. Bukan keinginannya untuk memiliki masalah seperti itu. Tidak ada satupun wanita normal yang tidak mendambakan buah hati. Ia jelas ingin, tapi kenyataannya mau bagaimana lagi."Pergi dari rumah ini, tidak ada tempat bagimu di sini!"Kembali terabaikan dan tidak dianggap, bukan masalah besar. Namun, hidup sebatang kara hanya dengan duduk di kursi roda seperti saat ini apa yang harus ia lakukan? Meratapi nasib pun, tak berguna.*‘Slamat … slamat … slamat’Dalam hati Intan, wanita berusia 27 tahun itu bergumam seraya mengelus dada setelah susah payah mengayunkan kursi roda manual meniti jalan dari rumah keluarga besar Sukoco menuju jalan raya depan komplek perumahan elit itu sendirian dan kemudian bersembunyi dengan merapatkan kerudung dan masker wajahnya, tepat di samping pos jaga saat mobil yang sangat ia kenali melintas. Untung saja mobil itu melaju kencang dan Intan berharap si Empunya tidak menyadari keberadaan dirinya. Intan tak ingin mengambil pusing mengapa pemilik mobil itu masih menyambangi komplek ini, penasaran tetapi rasanya sudah bukan menjadi urusannya lagi. Intan harus bisa melupakan semuanya, mengingat bagi mereka ia merupakan aib.‘Kamu bisa, kamu kuat. Jangan biarkan mereka melemahkan kamu. Ayo semangat!’"Mbak Intan, mau ke mana?" tanya Ghali, satpam komplek perumahan elit Pesona Berlian menyadarkan Intan yang terlalu fokus menyemangati diri.“Kenapa di situ Mbak, remang-remang?”"Mau ke Garut, Pak. Ini saya mau cari travel,” jawab Intan mengindahkan pertanyaan kedua Ghali."Sudah selesai isya ini, Mbak. Kantor travel sudah tutup, susah kalau cari dadakan. Kecuali free carter," ujar Ghali seraya melihat Intan yang tampak mengenaskan dengan wajah pucat, duduk di kursi roda dan memangku sebuah tas jinjing dan ransel."Bapak tahu atau ada kenalan mungkin yang bisa saya carter?" tanya Intan seraya meraih ponsel dan seketika ia teringat belum mengisi kuota internet. Rencana untuk melihat tiket secara daring pun pupus sudah. Hampir saja ia menjatuhkan ponselnya saat seketika dering ponsel tak berhenti dari nomor yang tidak ia kenali. Rupanya nomor tersebut sudah menghubunginya sebanyak 12 kali. sebelum ia mengeluarkan dari saku depan ranselnya. Nomor asing dan Intan mengabaikan. Toh, tak ada gunanya sekarang ia sudah sebatang kara.“Ada Mbak, saudara saya Pak Yudi.”“Kenapa nggak di hotel saja,” usul satpam yang lain.Intan tampak berpikir dan menimbang usul tersebut. Resiko dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika dirinya masih berada di Bandung ini.“Gimana Mbak, jadi?”Akhirnya Intan memutuskan untuk segera pergi karena walaupun istirahat di hotel dirinya juga tidak akan bisa nyenyak. “Pak Yudi? Ya, saya mau. Saya kenal kok.”“Syukurlah. Tunggu sebentar ya, Mbak. Biasanya dia standby nggak jauh dari sini saya hubungi dia dulu.”Ghali bergegas kembali ke pos jaga dan menghubungi saudaranya sementara Intan beberapa kali menengok ke arah rumah yang tadi ia tinggalkan. Rasa was-was meningkat jika mobil yang tadi melintas kembali lagi. Dua tahun ia tidak menginjakkan kaki di komplek ini dan ia diminta datang hanya untuk diusir dengan tidak terhormat. Begitulah nasib orang yang sedang berada dititik nol, kamu akan tahu siapa yang menjadi teman sejati saat itu.Sepuluh menit yang terasa seperti selamanya. Namun begitu yang ditunggu datang sedikit ketegangan yang sedari tadi menggelayut di bahu Intan seolah menguap.Yudi membuka pintu belakang dan tengah begitu merapatkan mobil sedekat mungkin dari Intan berada. “Saya bantu Mbak? Mbak Intan, apa kabar? Sudah lama sekali nggak kelihatan?” Yudi pria berusia empat puluhan itu sesungguhnya terkejut dengan keadaan Intan saat ini sudah sangat lama ia tidak melihat wanita itu dan keadaannya sekarang membuatnya sangat iba. Untung saja penerangan tidak terlalu terang hingga bisa menutupi raut wajahnya. Masih cantik walau lebih kurus dari yang ia kenal.“Baik Mas. Mas dan keluarga bagaimana kabarnya?”“Baik juga. Mau ke Garut?”“Iya. Langsung saja. Biar tidak terlalu malam.”“Iya. Mungkin sekitar 2 jam perjalanan. Mbak, mau beli makan malam dulu mungkin?”“Nanti saja di jalan.”“Baik kalau begitu.”Intan sangat bersyukur, Yudi tidak hanya baik bahkan ia membantu Intan untuk duduk senyaman mungkin bahkan Intan juga terkejut mendapati beberapa bantal sofa dan selimut di dalam sana. Seolah memang sudah dipersiapkan untuk dirinya. Intan bukannya tidak bisa berjalan, ia sudah bisa berjalan seperti sedia kala walaupun pincang hanya saja belum bisa terlalu jauh melangkah tanpa alat bantu.“Saya bantu, Mbak?” Yudi dengan sigap sudah berdiri di sebelah Intan yang menggapai pintu bersiap untuk berdiri sementara pria itu memasukkan tas bawaannya.“Saya bisa kok, Mas.”Yudi pun memberi jeda jarak begitu mendapat penolakan ia pun tak ingin memaksa, memang beberapa orang difabel tentu ingin mendapatkan privasinya untuk mandiri demi menaikkan kepercayaan diri dan membuktikan bahwa mereka masih mampu melakukan semua kegiatan sendirian.“Makasih ya Pak Ghali dan bapak-bapak yang lain. saya permisi,” ujar Intan begitu menutup pintu.“Mbak, santai saja. Selimut dan bantalnya bisa dipakai untuk istirahat. Saya kan sudah tahu alamat rumahnya.”Benar dugaan Intan semula. “Mas, nggak perlu repot menyiapkan semua ini. Jangan-jangan ini bantal sofa ruang tamunya ya?” canda Intan.“Bukan lah, Mbak. Itu memang saya selalu siapkan yang sengaja sebagai ekstra itu selimut rajutnya. Siapa tahu Mbak kedinginan, seingat saya Mbak Intan nggak tahan cuaca dingin.”“Ingat saja sih, Mas. Padahal orang yang merupakan keluarganya tidak ada yang jangankan ingat peduli saja tidak.” Untuk kalimat terakhir tentu saja tidak ia ucapkan.*Abraham mengebut dari kantor begitu mendapatkan informasi bahwa Intan berada di kediaman Sukoco. Dua tahun ia sama sekali tidak mendengarkan kabar dari mantan istrinya itu. Wanita itu seolah menghilang ditelan bumi. Sekarang kembali muncul, apakah karena mendengar jika ia akan menikah kembali atau ada maksud lain mengingat Abraham sama sekali tidak memberikan tunjangan sedikitpun? Bisa jadi ia menuntut warisan dari keluarganya karena kakeknya sudah meninggal?“Di mana dia?” tanya Abraham begitu Amanda membuka pintu depan.“Dia siapa?” tanya Amanda balik dengan raut wajah masam, karena sejatinya ia tahu siapa yang dimaksud mantan kakak iparnya ini.“Intan, siapa lagi? Apa dia menuntut warisan?”Amanda mengangguk mantab. “Iya dan Papi tadi mengusirnya. Aib bagi kami dia menceraikan kamu dan Papi baru tahu sekitar seminggu yang lalu.”“Kamu rupanya. Tidak mau masuk dulu? Begitu sopan ya, bicara di depan pintu mantan mertua?!” tegur Prama Sukoco.Abraham menunduk dan kemudian melangkah masuk dan berkata, “Maaf Pi.”“Jangan memanggilku, Papi. Hebat kamu ya merasa memiliki segalanya dan bisa dua kali duda dengan dua anakku?”“Kamu tahu tidak. Itulah teguran buatmu, menikah diam-diam dengan adik istrimu tanpa restu orang tua dan kini kamu ditinggalkan. Bahkan saat kamu menceraikan Intan, tidak ada satu suku kata pun kamu ucapkan pada saya. Ngomong kek, ‘Saya kembalikan putrinya’ lupa kamu ya?”Mulut Abraham terasa terkunci saat ini, otaknya tumpul tak lagi bisa berpikir atau mungkin sudah sangat lelah karena seharian ini ia habiskan untuk meeting demi membangun hotel baru. Sekaligus melupakan pengkhianatan Melia. Intan pun tak pernah hilang dari ingatannya walau wanita yang merupakan mantan istri pertamanya itu juga berkhianat. Kakak-beradik sama saja!“Mereka selingkuh, Om,” jawab Abraham memberanikan diri sekaligus merubah panggilan.“Ya itu karmamu, karena kamu kurang ajar! Ya kalau mau menikah lagi carilah wanita lain, jangan yang berasal dari atap yang sama. Masa iya seorang Abraham Shelter kekurangan wanita?!”Pria berusia 30 tahun itu hanya menggeleng. Sekonyong-konyong ia menyesal tanpa berpikir panjang tadi langsung datang ke sini. Seharusnya ia bisa menghubungi Amanda dulu. Ia tahu wanita muda itu tidak akan pernah menolak telepon darinya.“Pergilah. Dia tidak ada di sini. Saya sudah mengusirnya.”“Dia ke mana, Om?”“Nggak tahu. Sudah pulang saja. Cari wanita lain dan jangan lagi dekati putriku.”Abraham yang merasa tersinggung karena sikap Prama segera bangkit dan berkata, “Saya akan pergi sekarang tapi nanti pasti kalian akan mencari saya.”“Oh, kamu mau mengancam saya?”“Itu bukan ancaman tetapi adalah janji.”tbc“Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud
Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S
Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su
“Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t
Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha
“Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments