Share

Chapter 5 Posesif Sekali

Rintik hujan semakin lebat bahkan disertai angin kencang yang menghantam kaca jendela kamar Intan. Tinggal di wilayah Kabupaten Garut yang dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah, dengan iklim 9 bulan basah dan 3 bulan kering mau tak mau membuat Intan harus membiasakan diri dengan seringnya curah hujan yang turun walau dirinya termasuk orang yang takut dengan suara guntur. Hal itu bukan tanpa alasan karena kakek dan neneknya meninggal bersama dengan bus pariwisata tertimpa pohon yang tumbang terkena sambaran petir.

Rasa kantuk sebetulnya baru saja datang, entah mengapa semalaman ia tak kunjung bisa memejamkan mata dan kini saat ingin memejamkan mata, listrik di rumahnya padam. Untung saja, kamarnya ada di lantai dasar sehingga ia tidak ketakutan saat keadaan rumah gelap gulita seperti saat ini. Adanya badai kencang membuat aliran listrik mati, mungkin saja ada pohon tumbang mengingat desa tempatnya tinggal berada di lembah gunung, tidak jauh dari Gunung Putri yang sangat dekat dengan Gunung Guntur.

Intan menatap lekat pada jendela dengan gorden terbuka itu. Menampakkan pemandangan halaman depan rumah yang temaram karena masih sangat pagi. Suasana ini sama persis dengan tempo dulu, sesaat sebelum suaminya datang dengan membawakan dokumen bukti fitnah perselingkuhannya. Intan bahkan tidak diizinkan untuk datang ke pengadilan saat proses berlangsung. Namun, Intan memberanikan diri sekali dalam hidupnya melanggar perintah suaminya dan nekat datang ke pengadilan. Walaupun dengan itu, konsekuensinya juga tidak main-main.

Jatuh cinta pada seorang Abraham tidaklah mudah. Ia pikir hidupnya akan menjadi lebih baik, memiliki tempat nyaman untuk bersandar seperti yang selalu didapatkan dari sang kakek yang selalu ia panggil Abah dan juga belaian sayang dari nenek yang ia sering panggil Nyai.

Semua hanya harapan yang tak pernah menjadi nyata. Intan lupa jika berharap kepada manusia yang salah, kita hanya akan merasakan kekecewaan yang lebih besar. Terluka lebih dalam seperti definisi kata jatuh itu sendiri. Intan terlalu naif dan percaya jika tatapan menginginkan dari Abraham dulu merupakan cinta. Nyatanya pria itu hanya menginginkan tubuhnya, rahimnya lebih tepatnya.

Memasang telinga baik-baik dan masih tidak mendapati kegiatan apapun dari balik pintu kamarnya membuat Intan kembali merebahkan tubuhnya setelah merapikan gorden. Berusaha mengenyahkan kilasan masa lalu yang suram dengan kembali membayangkan adik yang telah mengkhianati, membandingkan dengan kehidupannya sekarang dan bersyukur. Setidaknya apa yang ia coba raih saat ini berangsur membaik. Masih ada orang baik yang mau membantunya mewujudkan impian dan mempertahankan rumah ini. Dirinya memang bukan seorang tukang kayu seperti kakeknya tapi meneruskan usaha dengan membantu beberapa orang yang memerlukan lapangan pekerjaan tidaklah hal yang sulit.

Intan meluruskan kedua kakinya seraya menyorotkan sinar senter pada ponselnya untuk meraih minyak tawon dan kemudian mengurut parut dan keloid bekas luka pada kakinya. Kecelakaan itu meninggalkan bekas di fisiknya yang jelas akan selalu mengingatkan dirinya pada salah satu sisi kepahitan hidup masa lalu. Udara dingin yang menusuk memang sering kali membuat otot-otot kakinya dan mungkin juga tulangnya terasa nyeri serta linu. Hanya minyak tawon inilah yang bisa membantunya meredakan sementara. Intan sudah lelah dan bosan untuk mengkonsumsi obat pereda nyeri belum lagi jika migren atau bahkan vertigo menyerang. Nah, untuk penyakit yang satu itu ia memang harus terpaksa minum obat jika tak ingin berakhir mengenaskan tergolek di ranjang dan bahkan untuk membuka mata saja sulit.

Intan tak sadar berapa lama tertidur sampai ketukan beruntun di pintu kamarnya membangunkannya. Bahkan keringat sudah membasahi lehernya karena kipas angin mati semalam. Intan melirik pada tangan yang masih setia menggenggam botol minyak tawon segera menutup benda itu dan menaruhnya di atas meja. Ia bersyukur tidak menumpahkan isinya. Seruan dari Risa dari balik pintu memaksa Intan bangkit dan dengan perlahan menurunkan kedua kakinya yang kesemutan karena terlalu lama tertekuk.

“Sebentar,” jawab Intan.

“Mbak, nggak takut mati listrik subuh tadi? Aku nggak berani keluar karena di jendela terdengar seperti ada ketukan berkali-kali,” cecar Risa begitu daun pintu terbuka.

“Agak takut sebetulnya tapi ya apa boleh buat, dan soal ketukan itu paling hanya ranting pohon rambutan yang mengenai jendela,” balas Intan, “jam berapa sekarang?”

Tatapan matanya memindai seisi ruangan yang tampak sudah terang benderang dan langit yang sangat biru karena Risa sudah membuka pintu kaca sisi samping dan semua jendela hingga sinar matahari memenuhi seluruh ruang tamu yang menyambung dengan ruang santai yang kini berfungsi sebagai tempat kerja sekaligus galeri seni tempatnya menaruh semua gerabah buatannya. ya, itu lah salah satu hiburannya saat kedua kaki mengalami kelumpuhan dan mengalihkan pikiran dari pria cinta pertama yang menorehkan luka sangat dalam.

“Jam 8 Mbak. Tadi Ibu Surni datang bawakan sup ikan dan dodol. Ibu juga sudah masak rica-rica ceker.”

Mendengar ceker ayam rica favoritnya sudah masak membuat cacing di perut Intan menggeliat. “Baiklah siapkan makan pagi, aku mandi dulu.”

“Sudah siap kok, Mbak. Oh ya, soal Risa yang membantu pembukuan bagaimana Mbak?” Melihat Intan yang masih bergeming gadis berlesung pipit itu kembali menambahkan, “Risa bukannya lancang ya, Mbak. Urusan pembukuan memang sensitif apalagi menyangkut keuangan tapi kasihan Mbak nggak ada yang bantu. Apalagi Mbak jadi nggak bisa buat gerabah nanti padahal pesanan banyak.”

“Pesanan? Pesanan apa?”

“Pesanan piring keramik dan mangkok.”

“Dari siapa?”

“Wah, Risa nggak hapal. Orangnya kemarin telepon ke sini, waktu Risa bilang Mbak masih di Bandung dia bilangnya nggak apa yang penting bisa order khusus.”

“Berapa banyak?”

“200 untuk piring lepek biru metalik sama mangkoknya.”

“Apa dia memberikan nama?” Intan mulai antusias. 200 biji bukan jumlah yang sedikit terlebih ia membuat secara khusus bersama dengan beberapa gadis di desa ini yang sudah ia ajari khusus. gerabah yang dibuat oleh Intan adalah gerabah keramik yang menggunakan bahan baku seperti pasir, kaolin atau tanah liat putih, bahan pengikat serta bahan baku lainnya yang diperlukan.

“Ada, sudah kutulis di buku. Apa Risa harus panggil Indi?”

Indi adalah salah satu dari lima gadis yang Intan ajari membuat kerajinan itu. “Boleh. Suruh ke sini nanti jam 10 dan gadis lainnya. Bagaimana dengan tas anyamannya?”

“Sudah dibawa ke pameran katanya. Tinggal tunggu Pak Rizky ambil mebel hari ini kan Mbak?”

“Oh iya aku lupa kamu sudah bilang semalam. Tapi, aku tidak bisa pergi. Kalau begitu kamu saja nanti yang pergi dengan dia.”

Setelah membersihkan diri dan sarapan, Intan memeriksa beberapa laporan pesanan yang masuk. Baru saja hendak menutup buku catatan manual di meja kerjanya, Juki datang tergopoh-gopoh dari gudang sebelah.

“Ada apa, Kang?”

“Itu Neng, saya lupa bilang kalau ada pesanan mendadak tikar rotan sekaligus 5 set meja dan kursinya.”

“Lalu?”

“Nah itu, bahan bakunya kurang.”

“Baiklah saya akan hubungi Kang Dharma dulu.”

“Makasih Neng.” Setelah menyampaikan maksudnya, pria setengah baya itu pun berlalu.

Intan beranjak meraih ponselnya dan menghubungi Dharma, sementara itu Dharma yang tadi sudah sempat pergi kini kembali lagi dan duduk di sofa ruang tamu menunggu Novita membungkuskan masakan untuk bundanya di desa saat ia menerima panggilan itu.

“Ada yang bisa saya bantu, Neng Geulis?”

Intan terkekeh mendengar panggilan yang tak pernah berubah dari Dharma kepadanya sejak mereka kecil. “Kang, begini saya butuh rotan secepatnya. Bisa tolong diusahakan?”

“Tentu, apa sih yang nggak untuk Neng,” balas Dharma.

Terdengar gerutuan tak jauh darinya yang berasal dari Abraham. “Dasar tukang rayu.” Rupanya Abraham juga belum pergi padahal pria itu tadi sudah keluar rumah.

Biasanya Abraham tidak akan ambil pusing dengan bualan Dharma tetapi entah untuk saat ini ia merasa tidak nyaman. Mungkin juga karena pagi ini ia sudah terganggu dengan kedatangan wanita gatal itu. Namun keputusannya benar setelah kembali masuk ke rumah. Abraham penasaran setengah mati dengan orang yang dipanggil ‘Neng Geulis’ oleh Dharma.

“Butuh berapa banyak, Cantik?”

“Seperti biasanya, Kang. Saya belum ngecek ke gudang belakang, maaf lupa langsung pesan.”

“Nggak apa. Mumpung ada 2 truk tronton datang hari ini bawa Rotan. Akang kirim hari ini begitu mereka nanti datang. Mungkin agak siangan karena Akang juga masih di Bandung.”

“Makasih Kang.”

Intan tersenyum puas, tak sia-sia hasilnya menjual rumah sebagai modal usaha dan biaya pengobatannya dulu. Apalagi bekerjasama dengan Dharma sangat memudahkan dan membantu karena boleh mencicil membayar bahan baku.

****

Abraham terkekeh mendengar Dharma menyebut dirinya ‘Akang’. “Sudah tahun berapa ini, kamu menyebut dirimu sendiri ‘Akang’?”

Dharma mengedikkan bahu santai seraya menyeringai. “Hanya dia yang memanggilku begitu tidak dengan wanita lain, spesial.”

“Apa itu janda muda yang kamu maksud?” Kali ini pertanyaan berasal dari Novita.

“Iya. Wanita muda hebat walau hidupnya nggak mudah tapi masih peduli dengan banyak orang dan membuka lapangan pekerjaan. Dicampakkan oleh suami dan keluarganya tidak membuat dirinya terpuruk.”

“Luar biasa sekali,” ujar Novita.

Dharma mengangguk takzim. “Tante, tidak akan menyangka pastinya.”

“Mungkin bisa kamu kenalkan pada Tante,kapan-kapan?”

Dharma menghela napas panjang dan berkata, “Aku nggak yakin, karena dia berasal dari lingkup pergaulan yang berbeda dengan Tante yang sosialita.”

"Kamu ini seolah ingin menyimpannya untuk diri sendiri, posesif sekali. Apa kamu benar-benar sedang jatuh cinta?"

"Harus, karena batu permata akan tetap bersinar walau telah dicampakkan dan berlumur lumpur sekalipun."

tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status