Rintik hujan semakin lebat bahkan disertai angin kencang yang menghantam kaca jendela kamar Intan. Tinggal di wilayah Kabupaten Garut yang dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah, dengan iklim 9 bulan basah dan 3 bulan kering mau tak mau membuat Intan harus membiasakan diri dengan seringnya curah hujan yang turun walau dirinya termasuk orang yang takut dengan suara guntur. Hal itu bukan tanpa alasan karena kakek dan neneknya meninggal bersama dengan bus pariwisata tertimpa pohon yang tumbang terkena sambaran petir.
Rasa kantuk sebetulnya baru saja datang, entah mengapa semalaman ia tak kunjung bisa memejamkan mata dan kini saat ingin memejamkan mata, listrik di rumahnya padam. Untung saja, kamarnya ada di lantai dasar sehingga ia tidak ketakutan saat keadaan rumah gelap gulita seperti saat ini. Adanya badai kencang membuat aliran listrik mati, mungkin saja ada pohon tumbang mengingat desa tempatnya tinggal berada di lembah gunung, tidak jauh dari Gunung Putri yang sangat dekat dengan Gunung Guntur.Intan menatap lekat pada jendela dengan gorden terbuka itu. Menampakkan pemandangan halaman depan rumah yang temaram karena masih sangat pagi. Suasana ini sama persis dengan tempo dulu, sesaat sebelum suaminya datang dengan membawakan dokumen bukti fitnah perselingkuhannya. Intan bahkan tidak diizinkan untuk datang ke pengadilan saat proses berlangsung. Namun, Intan memberanikan diri sekali dalam hidupnya melanggar perintah suaminya dan nekat datang ke pengadilan. Walaupun dengan itu, konsekuensinya juga tidak main-main.Jatuh cinta pada seorang Abraham tidaklah mudah. Ia pikir hidupnya akan menjadi lebih baik, memiliki tempat nyaman untuk bersandar seperti yang selalu didapatkan dari sang kakek yang selalu ia panggil Abah dan juga belaian sayang dari nenek yang ia sering panggil Nyai.Semua hanya harapan yang tak pernah menjadi nyata. Intan lupa jika berharap kepada manusia yang salah, kita hanya akan merasakan kekecewaan yang lebih besar. Terluka lebih dalam seperti definisi kata jatuh itu sendiri. Intan terlalu naif dan percaya jika tatapan menginginkan dari Abraham dulu merupakan cinta. Nyatanya pria itu hanya menginginkan tubuhnya, rahimnya lebih tepatnya.Memasang telinga baik-baik dan masih tidak mendapati kegiatan apapun dari balik pintu kamarnya membuat Intan kembali merebahkan tubuhnya setelah merapikan gorden. Berusaha mengenyahkan kilasan masa lalu yang suram dengan kembali membayangkan adik yang telah mengkhianati, membandingkan dengan kehidupannya sekarang dan bersyukur. Setidaknya apa yang ia coba raih saat ini berangsur membaik. Masih ada orang baik yang mau membantunya mewujudkan impian dan mempertahankan rumah ini. Dirinya memang bukan seorang tukang kayu seperti kakeknya tapi meneruskan usaha dengan membantu beberapa orang yang memerlukan lapangan pekerjaan tidaklah hal yang sulit.Intan meluruskan kedua kakinya seraya menyorotkan sinar senter pada ponselnya untuk meraih minyak tawon dan kemudian mengurut parut dan keloid bekas luka pada kakinya. Kecelakaan itu meninggalkan bekas di fisiknya yang jelas akan selalu mengingatkan dirinya pada salah satu sisi kepahitan hidup masa lalu. Udara dingin yang menusuk memang sering kali membuat otot-otot kakinya dan mungkin juga tulangnya terasa nyeri serta linu. Hanya minyak tawon inilah yang bisa membantunya meredakan sementara. Intan sudah lelah dan bosan untuk mengkonsumsi obat pereda nyeri belum lagi jika migren atau bahkan vertigo menyerang. Nah, untuk penyakit yang satu itu ia memang harus terpaksa minum obat jika tak ingin berakhir mengenaskan tergolek di ranjang dan bahkan untuk membuka mata saja sulit.Intan tak sadar berapa lama tertidur sampai ketukan beruntun di pintu kamarnya membangunkannya. Bahkan keringat sudah membasahi lehernya karena kipas angin mati semalam. Intan melirik pada tangan yang masih setia menggenggam botol minyak tawon segera menutup benda itu dan menaruhnya di atas meja. Ia bersyukur tidak menumpahkan isinya. Seruan dari Risa dari balik pintu memaksa Intan bangkit dan dengan perlahan menurunkan kedua kakinya yang kesemutan karena terlalu lama tertekuk.“Sebentar,” jawab Intan.“Mbak, nggak takut mati listrik subuh tadi? Aku nggak berani keluar karena di jendela terdengar seperti ada ketukan berkali-kali,” cecar Risa begitu daun pintu terbuka.“Agak takut sebetulnya tapi ya apa boleh buat, dan soal ketukan itu paling hanya ranting pohon rambutan yang mengenai jendela,” balas Intan, “jam berapa sekarang?”Tatapan matanya memindai seisi ruangan yang tampak sudah terang benderang dan langit yang sangat biru karena Risa sudah membuka pintu kaca sisi samping dan semua jendela hingga sinar matahari memenuhi seluruh ruang tamu yang menyambung dengan ruang santai yang kini berfungsi sebagai tempat kerja sekaligus galeri seni tempatnya menaruh semua gerabah buatannya. ya, itu lah salah satu hiburannya saat kedua kaki mengalami kelumpuhan dan mengalihkan pikiran dari pria cinta pertama yang menorehkan luka sangat dalam.“Jam 8 Mbak. Tadi Ibu Surni datang bawakan sup ikan dan dodol. Ibu juga sudah masak rica-rica ceker.”Mendengar ceker ayam rica favoritnya sudah masak membuat cacing di perut Intan menggeliat. “Baiklah siapkan makan pagi, aku mandi dulu.”“Sudah siap kok, Mbak. Oh ya, soal Risa yang membantu pembukuan bagaimana Mbak?” Melihat Intan yang masih bergeming gadis berlesung pipit itu kembali menambahkan, “Risa bukannya lancang ya, Mbak. Urusan pembukuan memang sensitif apalagi menyangkut keuangan tapi kasihan Mbak nggak ada yang bantu. Apalagi Mbak jadi nggak bisa buat gerabah nanti padahal pesanan banyak.”“Pesanan? Pesanan apa?”“Pesanan piring keramik dan mangkok.”“Dari siapa?”“Wah, Risa nggak hapal. Orangnya kemarin telepon ke sini, waktu Risa bilang Mbak masih di Bandung dia bilangnya nggak apa yang penting bisa order khusus.”“Berapa banyak?”“200 untuk piring lepek biru metalik sama mangkoknya.”“Apa dia memberikan nama?” Intan mulai antusias. 200 biji bukan jumlah yang sedikit terlebih ia membuat secara khusus bersama dengan beberapa gadis di desa ini yang sudah ia ajari khusus. gerabah yang dibuat oleh Intan adalah gerabah keramik yang menggunakan bahan baku seperti pasir, kaolin atau tanah liat putih, bahan pengikat serta bahan baku lainnya yang diperlukan.“Ada, sudah kutulis di buku. Apa Risa harus panggil Indi?”Indi adalah salah satu dari lima gadis yang Intan ajari membuat kerajinan itu. “Boleh. Suruh ke sini nanti jam 10 dan gadis lainnya. Bagaimana dengan tas anyamannya?”“Sudah dibawa ke pameran katanya. Tinggal tunggu Pak Rizky ambil mebel hari ini kan Mbak?”“Oh iya aku lupa kamu sudah bilang semalam. Tapi, aku tidak bisa pergi. Kalau begitu kamu saja nanti yang pergi dengan dia.”Setelah membersihkan diri dan sarapan, Intan memeriksa beberapa laporan pesanan yang masuk. Baru saja hendak menutup buku catatan manual di meja kerjanya, Juki datang tergopoh-gopoh dari gudang sebelah.“Ada apa, Kang?”“Itu Neng, saya lupa bilang kalau ada pesanan mendadak tikar rotan sekaligus 5 set meja dan kursinya.”“Lalu?”“Nah itu, bahan bakunya kurang.”“Baiklah saya akan hubungi Kang Dharma dulu.”“Makasih Neng.” Setelah menyampaikan maksudnya, pria setengah baya itu pun berlalu.Intan beranjak meraih ponselnya dan menghubungi Dharma, sementara itu Dharma yang tadi sudah sempat pergi kini kembali lagi dan duduk di sofa ruang tamu menunggu Novita membungkuskan masakan untuk bundanya di desa saat ia menerima panggilan itu.“Ada yang bisa saya bantu, Neng Geulis?”Intan terkekeh mendengar panggilan yang tak pernah berubah dari Dharma kepadanya sejak mereka kecil. “Kang, begini saya butuh rotan secepatnya. Bisa tolong diusahakan?”“Tentu, apa sih yang nggak untuk Neng,” balas Dharma.Terdengar gerutuan tak jauh darinya yang berasal dari Abraham. “Dasar tukang rayu.” Rupanya Abraham juga belum pergi padahal pria itu tadi sudah keluar rumah.Biasanya Abraham tidak akan ambil pusing dengan bualan Dharma tetapi entah untuk saat ini ia merasa tidak nyaman. Mungkin juga karena pagi ini ia sudah terganggu dengan kedatangan wanita gatal itu. Namun keputusannya benar setelah kembali masuk ke rumah. Abraham penasaran setengah mati dengan orang yang dipanggil ‘Neng Geulis’ oleh Dharma.“Butuh berapa banyak, Cantik?”“Seperti biasanya, Kang. Saya belum ngecek ke gudang belakang, maaf lupa langsung pesan.”“Nggak apa. Mumpung ada 2 truk tronton datang hari ini bawa Rotan. Akang kirim hari ini begitu mereka nanti datang. Mungkin agak siangan karena Akang juga masih di Bandung.”“Makasih Kang.”Intan tersenyum puas, tak sia-sia hasilnya menjual rumah sebagai modal usaha dan biaya pengobatannya dulu. Apalagi bekerjasama dengan Dharma sangat memudahkan dan membantu karena boleh mencicil membayar bahan baku.****Abraham terkekeh mendengar Dharma menyebut dirinya ‘Akang’. “Sudah tahun berapa ini, kamu menyebut dirimu sendiri ‘Akang’?”Dharma mengedikkan bahu santai seraya menyeringai. “Hanya dia yang memanggilku begitu tidak dengan wanita lain, spesial.”“Apa itu janda muda yang kamu maksud?” Kali ini pertanyaan berasal dari Novita.“Iya. Wanita muda hebat walau hidupnya nggak mudah tapi masih peduli dengan banyak orang dan membuka lapangan pekerjaan. Dicampakkan oleh suami dan keluarganya tidak membuat dirinya terpuruk.”“Luar biasa sekali,” ujar Novita.Dharma mengangguk takzim. “Tante, tidak akan menyangka pastinya.”“Mungkin bisa kamu kenalkan pada Tante,kapan-kapan?”Dharma menghela napas panjang dan berkata, “Aku nggak yakin, karena dia berasal dari lingkup pergaulan yang berbeda dengan Tante yang sosialita.”"Kamu ini seolah ingin menyimpannya untuk diri sendiri, posesif sekali. Apa kamu benar-benar sedang jatuh cinta?""Harus, karena batu permata akan tetap bersinar walau telah dicampakkan dan berlumur lumpur sekalipun."tbcIntan tak bisa tidur sejak semalam. Kakinya yang cacat terasa nyeri pada otot dan linu. Ditambah lagi pikiran yang sedang ruwet karena banyaknya pesanan kerajinan rotan sementara persediaan bahan mentahnya susah didapatkan. Intan belum tahu pasti, kenapa supplier langganannya menghentikan pengiriman, padahal ia tak pernah absen membayar tepat waktu. Intan pun yang tak bisa tidur mencari tahu tempat supplier rotan asli dan sintetis. Itulah salah satu cara agar pekerjanya tidak menganggur dan usahanya tetap bisa berjalan lancar. Demi mengisi waktu ia menyibukkan diri dengan membuat desain terbaru. Ia pun mencatat harus menemukan tukang las baru untuk membuat kursi santai. Tak terasa ia melakukan itu sampai suara pintu terbuka dari arah kamar Risa terdengar. "Mbak, udah bangun?" tanya Risa keheranan seraya melirik cangkir teh yang hampir kosong."Iya, aku nggak bisa tidur.""Kenapa?""Linu kakiku." Intan sengaja tidak mengatakan
Dharma pulang saat hari sudah sangat sore. Bahkan matahari sudah hampir tenggelam. Begitu memarkirkan kendaraannya ia segera menuju pendopo tempat biasa kedua orang tua duduk menikmati suasana sore. Banyak hal yang harus ia kerjakan di tempat Intan salah satunya adalah mencari tempat perbaikan CCTV karena alamat yang lama ternyata sudah tidak bisa dihubungi. CCTV di gudang ternyata rusak dan wanita itu tidak tahu karena tidak ada yang melapor sementara di layar pantauan, fungsi kamera tampak baik-baik saja. Sepertinya memang ada yang menyabotase tapi untuk hal IT seperti ini sayang sekali Dharma tidak tahu menahu cara memperbaikinya. Ia harus mencari Ilhan untuk membantunya, sedangkan temannya itu masih berada di Jakarta sampai hari Sabtu ini."Kata tantemu kamu sudah pergi dari pagi. Kok, baru sampai rumah sore, Dhar?" tanya Hesty begitu Dharma menegakkan tubuh setelah mencium punggung tangannya."Tadi singgah di rumah Intan dulu, Bu."Hesty men
"Kamu yakin mau antar aku?" tanya Intan begitu melihat Risa sudah siap dengan ransel berwarna pink pastel di kursi teras."Yakin Mbak. Bapak sama Ibu juga suruh begitu. Lagipula kita nggak langsung balik 'kan?""Iya enggak. Aku harus ketemu teman dulu. Katanya dia punya rekomendasi guru matematika dari Kecamatan.""Ya sudah kalau begitu. Mbak nggak mungkin sendiri. Apalagi masih kambuh begitu kakinya. Risa nggak tega lepas Mbak sendiri.""Sudah mau berangkat?" tanya Aminah dengan membawa nampan berisi 4 gelas kopi dan sepiring pisang goreng."Belum Bu, masih mau sarapan," balas Risa."Kalau gitu jangan taruh tas di luar. Kamu nggak ingat ada yang curang?" tegur Aminah."Ah … nggak ada yang berharga juga kok, Bu.""Ck … anak ini dibilangi juga. Taruh dalam sana. Bapakmu lihat nanti kamu tambah diomelin."Intan tersenyum simpul melihat Risa yang cemberut kena omel. "Makan yang banyak. Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Kabari Ibu ya kapan pulangnya. Nanti Ibu suruh Sarbi untuk jemput
“Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia. “Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini. Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu. “Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya. “Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.” “Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.” Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!” Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemb
Melihat mereka berdua duduk di satu meja adalah hal terakhir yang Intan inginkan. Rasa cinta dan benci itu jelas masih ada, dirinya tak bisa memungkiri itu. Benci karena kekecewaan yang mendalam, susah dijelaskan. Sampai detik ini pun ia masih sulit untuk mengungkapkan, menangis pun rasanya sia-sia. Intan sudah capek menangis. Luka lama itu masih berdarah-darah pastinya. Masih berdiri terpaku di tempat sementara Risa sudah menghilang untuk mencari tempat duduk, tak menyadari dengan apa yang dilihat oleh Intan.Tepukan keras mendarat di punggung atasnya. Saat Intan menoleh, dirinya mendapati mantan ibu mertua sudah berdiri di belakang dengan tatapan tidak suka, bersama dengan mamanya. Namun wanita itu hanya diam, menatap tak kalah tajam ke arahnya.“Ngapain kamu bengong, malah seperti orang bego?” tegur Novita dengan ketus.“Kaget saja, masa nggak boleh.”“Nggak boleh, kalau kamu nggak boleh. Kamu sudah bikin rumah tangga anakku hancur!” Novita menjawab dengan nada mulai histeris.Int
“Aku tidak mengizinkan kamu mengantarku. Ngapain kamu di sini?” tegur Intan.Abraham menatapnya tajam dan hal itu sedikit membuat jantung Intan berdetak lebih keras. Debaran itu masih sama tapi ia tak ingin menunjukkannya. Intan tak ingin jika keberadaan mantan suaminya itu masih mempengaruhinya.“Setahuku tempat ini adalah tempat umum.”“Nggak seharusnya kamu di sini.” Intan masih berusaha agar Abraham segera pergi dari sana. Keberadaan Abraham dan sikap Rizky yang tampak menegang dan menantang membuatnya tidak nyaman. Jangan sampai ada keributan lagi di sini.“Kenapa aku tidak boleh di sini? Aku bebas makan di sini, sudah kubilang ini tempat umum.”“Maksudku di depan mejaku. Ada Amel yang bersamamu,” ujar Intan seraya melirik ke arah belakang tubuh Abraham tempat Amelia menatap benci dengan terang-terangan ke arahnya.“Memangnya kenapa aku tidak boleh ke sini. Kita saling kenal dan seperti yang aku bilang tadi, aku akan antar kamu ke mana pun.”“Aku tidak memintamu.”“Dan aku tidak
Cengkraman mengerat ditambah dorongan sekuat tenaga yang dilayangkan oleh Intan pada rambut Abraham yang kepalanya masih dengan setia berada di pangkal paha Intan. Tenaga semakin menipis dengan pandangan yang kini berkunang-kunang. Kejadian ini sama persis dengan yang terjadi dulu, situasi yang menyebabkan ia harus menjadi istri pria yang suka memaksakan kehendak dan pada akhirnya mencampakkannya dengan dalih tuduhan tak setia yang disematkan kepadanya. Bahkan pria yang dituduhkan menjalin hubungan gelap dengannya saja ia tidak kenal baik.Intan juga bukan wanita yang mudah akrab dengan orang asing atau baru dikenal apalagi mereka menuduhnya sering menghabiskan waktu di klub malam. Jangankan untuk minum, jika saja dulu ia tidak terpaksa mencari keberadaan mantan suaminya itu di sana situasi yang dihadapinya saat ini tidak mungkin terjadi.“Mas!”“Ya Sayang.”Jawaban penuh kasih itu membuat hati Intan tercubit, benaknya kembali ke masa lalu. Dahulu Abraham saat melampiaskan syahwatnya
Abraham menempelkan dahinya di pintu yang tertutup rapat. Bukan rasa bersalah yang kini datang tetapi kepuasan. Jika ia tidak nekat sudah sangat mungkin Intan tak akan terjangkau. Apalagi tidak hanya bajingan tengik yang tadi ia temui di restoran itu saja yang berusaha mendekati Intan tetapi juga sepupunya sendiri Dharma dan sudah sangat yakin jika ada pria-pria lain yang pasti akan mendekati istrinya itu. Ya istrinya, Intan harus tahu jika mereka tidak pernah bercerai.Abraham cepat membersihkan diri, sedikit rasa cemas jika Intan akan kabur dari kamar ini. Walaupun ada keraguan jika wanita itu melakukannya karena Risa belum juga datang. Ia pun tersenyum tipis mendapati Intan duduk di sofa menatap kosong ke arah televisi yang menyala. Seolah mengetahui keberadaannya Intan menoleh ke arahnya. Abraham menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut dengan handuk kecil.“Cepat hubungi anak buahmu. Risa harus segera ke sini.”“Iya, iya. Aku akan hubungi mereka.”Abraham tersenyum simpul me