Home / Romansa / INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak) / Chapter 4 Tidak Pada Tempatnya

Share

Chapter 4 Tidak Pada Tempatnya

last update Huling Na-update: 2022-07-07 12:50:17

Usapan di puncak kepala berubah menjadi belaian disusul dengan ciuman di kening, lalu di pipi sebelum kemudian menuju rahang singgah sebentar di sudut bibir. Sumpah, rasanya sungguh nikmat nafkah batin di pagi hari dari orang terkasih. Belaian dan kecupan Intan yang selalu dirindukan oleh Abraham.

Hembusan hangat menerpa sisi leher disusul kembali dengan kecupan dari bibir ranum. Tunggu dulu ... rasanya bibir Intan tidak seranum ini. Rasanya berbeda dengan biasanya. Namun untuk membuka matanya Abraham merasa takut jika semua ini hanya mimpi. Rasanya begitu nyata hingga terasa menyakitkan. Bibir itu mencium di tulang selangka menuju dadanya yang telanjang, lalu lidah hangat membelai salah satu puncak dadanya.

Dadanya terasa sesak diiringi dengan sesak yang berasal dari pangkal pahanya. Abraham tidur hanya dengan mengenakan celana dalam, kemudian ada tangan lain yang mengusap sisi pahanya menuju ke tengah dan seketika mencoba menggenggam miliknya yang paling intim menyusup dari tepi lapisan terakhir, membelai menggoda. Tidak, ini tidak benar. Intan tidak pernah seberani ini, segala aktivitas ranjang selalu Abraham yang memulai dan membimbingnya. Intan tidak pernah memiliki inisiatif dan keberanian untuk menyentuh tubuhnya tanpa disuruh.

Kesadaran langsung menghantam dengan telak dan seketika Abraham membuka matanya dan terlonjak kaget. Ia melotot tajam pada sosok molek seperti gitar spanyol yang duduk di sisi tubuhnya dengan tidak tahu malu menyunggingkan senyum menggoda.

"Ola?! Apa yang kamu lakukan di kamarku?!" tanya Abraham nyaris berteriak namun ia yakin suaranya sampai terdengar keluar kamar ini.

Kepala Abraham berdenyut sakit karena kesiap terkejutnya tadi hingga membuat ia terduduk bersandar pada kepala ranjang dan sedikit terantuk.

"Tante memberikan izin aku masuk." Jawabnya santai walaupun kini jantungnya berdentam keras seolah menggedor tulang rusuknya karena wajah Abraham yang menggelap marah bukan birahi seperti yang tadi ia lihat saat terpejam.

Sakit hatinya saat ia yang mencumbu tetapi nama wanita lain yang meluncur dari bibir pria yang ia cintai sejak SMA ini. Wanita itu seharusnya sudah pergi jauh, tetapi kenapa masih berada di hati Abraham? Sial!

"Bukan berarti kamu menggerayangiku?! Kamu tahu sopan santun tidak? Dasar lancang! Pelecehan itu namanya!" Kali ini kemarahan tidak bisa dibendung dicampur rasa kesal karena bukan wanita dalam mimpinya yang menjadi nyata.

Ola terlonjak saat telunjuk Abraham nyaris mengenai pelipisnya. Wanita itu berdiri di sisi ranjang saat Novita membuka pintu dan kini berada di tengah kamar.

Menatap bingung pada keduanya dan bertanya, "Ada apa ini ribut-ribut?!"

"Mami yang mengizinkan dia masuk?"

"Iya. Untuk membangunkanmu. Sudah hampir pukul tujuh sekarang, nanti kamu terlambat."

"Dia melecehkanku," ujar Abraham seraya menunjuk ke arah Ola.

Wajah Ola memerah karena merasa dipermalukan dan tertangkap basah seperti itu. Sekaligus sakit hati, tentu saja.

"Melecehkan apa?" tanya Novita masih dengan raut kebingungan.

"Dia ...."

"Maaf Tante sebaiknya saya pergi. Bram sepertinya tidak suka saya di sini," potong Ola yang kemudian bergegas keluar kamar terlebih dahulu.

Novita tersenyum miring dengan sorot menuduh ke arah Abraham. "Terlalu kamu, Bram. Kamu tidak boleh begitu dengan calon istrimu!" ujar Novita lantas berbalik dan melangkah menyusul Ola, kemudian langkahnya membeku saat mendengar jawaban dari Bram.

"Persetan dengan dia dan semua wanita yang Mami sodorkan. Bram tidak mau menikah dengan mereka," balas Bram.

Novita menoleh menatap nanar pada punggung tegap sang putra yang berjalan santai menuju kamar mandi. Ia pun kemudian melangkah gontai dan menutup pintu. Novita lantas menyusul Ola yang berada di ruang tamu.

"Tunggu Ola, kita sarapan bersama dulu. Lontong sayur dari mamamu itu banyak sekali buat kami pun tak akan habis."

Ola melirik ke arah kamar Abraham yang tertutup rapat dan kembali teringat akan perbuatan nekatnya tadi dan kembali merasa malu luar biasa kini. Menyesal iya, tapi hanya sedikit yang banyak adalah sakit hati yang semakin mengendap dalam dan tersimpan seolah seperti bom waktu yang hendak meledak.

"Nggak usah aja Tante. Nanti Ola makan di kantor saja. Sepertinya juga Bram tidak mau saya di sini."

Novita tahu tidak bisa memaksa. Gadis cantik favoritnya ini sudah terlihat akan menangis saat ini. Ibanya ia, semua pasti karena ulah Abraham hingga Ola ketakutan dan sekarang gadis itu akan pulang. Novita jengkel, alasan apalagi yang akan ia buat agar anaknya dan Ola bisa dekat.

Novita geram karena selama ini mantan menantu pertamanya itu selalu menghantui putranya. Ia tidak tuli hingga tidak tahu jika sang putra masih sering menyebut mantan istrinya itu dalam tidur hingga berurai air mata. Namun perpisahan sudah terjadi, gadis itu sudah pergi jauh.

Apalagi perbuatan Abraham kemarin yang datang menemui mantan mertuanya. Jelas saja anaknya kena usir, mana mungkin Intan datang ke sana. Bukankah wanita itu sudah mati?

"Mam," sapa Abraham yang kini sudah memakai pakaian kerja.

"Ayo sarapan. Kamu perlu banyak asupan. Itu ada lontong sayur dari Bu Amarita."

"Tidak Bram mau outmeal saja seperti biasa," ujarnya seraya mendudukkan diri.

"Kamu perlu lebih dari itu. Nanti kamu sakit."

"Mami tidak perlu khawatir. Bram masih bisa menjaga diri. Kalau lapar Bram tinggal pesan dan nanti akan diantarkan oleh catering langganan."

"Kamu ini kalau Kami bilang selalu saja menjawab."

"Sudah, sudah jangan paksa dia." Yakub menengahi.

Ketiganya makan dalam diam sampai Dharma muncul dan bergabung dengan mereka. Terasa sekali aura dingin di sekitarnya, ia tahu pasti terjadi perang lagi selama ia tinggal lari pagi.

"Wah ... ada lontong sayur. Kelihatannya enak nih. Apalagi ada sambel gorengnya. Tumben Tante masak, kayaknya tadi nggak ada aktifitas di dapur?"

"Ck ... bukan Tante yang masak. Ini dari Bu Amarita."

"Bu Amarita? Siapa yang antarkan sepagi ini?"

"Anaknya lah. Itu yang cantik," jawab Novita seraya melirik sekilas pada Abraham yang acuh dan terlihat terlalu fokus pada sarapannya.

"Ola atau Maya?"

"Ola. Cantik kan dia Dhar?"

Dharma mengangguk. "Cantik sih. Seksi bodynya. Bohai seperti gitar Spanyol."

"Kalau begitu kamu saja yang menikah dengan dia. Sepertinya dia calon ideal pilihan Mami tuh, Dhar," ujar Abraham.

Dharma mengangkat kedua tangannya. "Wow ... tunggu dulu! Apa maksudnya ini? Nggak deh kalau pakai acara jodoh-jodohan. Aku masih memilih pilihan yang kemarin aku katakan itu."

Entah mengapa Abraham merasa semakin buruk suasana hatinya mendengar penuturan Dharma. Wanita misterius yang dikatakan oleh Dharma itu sedikit mengusik rasa ingin tahu Abraham tapi demi ego jelas ia tidak akan bertanya apa lagi sekarang ada kedua orang tuanya.

"Baiklah aku pergi kerja sekarang. Hati-hati nanti di jalan ya, Dhar. Salam untuk janda pilihanmu," kata Abraham yang seraya mencium punggung tangan kedua orangtuanya.

"Apa! Tunggu dulu. Siapa yang janda?" tanya Novita.

"Itu calonnya Dharma," balas Abraham seraya memasuki kamar mengambil tas kerjanya.

Sementara Dharma meringis melihat raut terkejut dari paman dan bibinya, tanpa membalas satu suku kata pun.

"Ayahmu tahu jika kamu dekat dengannya?" tanya Yakub pada Dharma.

Abraham mendengar juga pertanyaan itu dan sengaja memperlama kegiatan memasang tali sepatunya, mencuri dengar apa yang akan menjadi jawaban dari Dharma.

"Ayah tahu dan tidak masalah dengan itu. Apalagi wanita itu belum punya anak," jawab Dharma santai sambil meraih toples kerupuk.

Novita mendengus jengah.

"Mana ada janda yang baik. Jika dia baik, nggak akan menjadi janda. Jangan mudah terbuai bujuk rayu seorang janda ya, Dhar. Mereka pasti sangat berpengalaman menaklukkan pria."

"Tante, tidak semua kesalahan terjadi pada satu pihak, bisa jadi karena si mantan suami atau mertua yang terlalu ikut campur rumah tangga anak mereka. Lebih parah lagi ada campur tangan dari pihak lain yang bukan merupakan anggota keluarga," balas Dharma seraya mencondongkan badan seperti perkataannya terlalu rahasia jika didengar selain mereka bertiga di meja makan itu.

Hati Abraham berdenyut nyeri mendengar semua itu. Benar tetap terasa sangat salah, ada sesuatu yang sepertinya tidak pada tempatnya.

TBC

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   ABRAHAM BINGUNG

    “Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   MAS BRAM DI MANA?

    Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   TUMBANG DISAAT YANG TIDAK TEPAT

    Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   SEDANG DIHAKIMI

    “Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Bujukan Wira

    Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha

  • INTAN (Sekuat Hati yang Terkoyak)   Sama-sama Tahu

     “Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status