Rintik hujan semakin lebat bahkan disertai angin kencang yang menghantam kaca jendela kamar Intan. Tinggal di wilayah Kabupaten Garut yang dikategorikan sebagai daerah beriklim tropis basah, dengan iklim 9 bulan basah dan 3 bulan kering mau tak mau membuat Intan harus membiasakan diri dengan seringnya curah hujan yang turun walau dirinya termasuk orang yang takut dengan suara guntur. Hal itu bukan tanpa alasan karena kakek dan neneknya meninggal bersama dengan bus pariwisata tertimpa pohon yang tumbang terkena sambaran petir. Rasa kantuk sebetulnya baru saja datang, entah mengapa semalaman ia tak kunjung bisa memejamkan mata dan kini saat ingin memejamkan mata, listrik di rumahnya padam. Untung saja, kamarnya ada di lantai dasar sehingga ia tidak ketakutan saat keadaan rumah gelap gulita seperti saat ini. Adanya badai kencang membuat aliran listrik mati, mungkin saja ada pohon tumbang mengingat desa tempatnya tinggal berada di lembah gunung, tidak jauh dari Gunung Putri ya
Intan tak bisa tidur sejak semalam. Kakinya yang cacat terasa nyeri pada otot dan linu. Ditambah lagi pikiran yang sedang ruwet karena banyaknya pesanan kerajinan rotan sementara persediaan bahan mentahnya susah didapatkan. Intan belum tahu pasti, kenapa supplier langganannya menghentikan pengiriman, padahal ia tak pernah absen membayar tepat waktu. Intan pun yang tak bisa tidur mencari tahu tempat supplier rotan asli dan sintetis. Itulah salah satu cara agar pekerjanya tidak menganggur dan usahanya tetap bisa berjalan lancar. Demi mengisi waktu ia menyibukkan diri dengan membuat desain terbaru. Ia pun mencatat harus menemukan tukang las baru untuk membuat kursi santai. Tak terasa ia melakukan itu sampai suara pintu terbuka dari arah kamar Risa terdengar. "Mbak, udah bangun?" tanya Risa keheranan seraya melirik cangkir teh yang hampir kosong."Iya, aku nggak bisa tidur.""Kenapa?""Linu kakiku." Intan sengaja tidak mengatakan
Dharma pulang saat hari sudah sangat sore. Bahkan matahari sudah hampir tenggelam. Begitu memarkirkan kendaraannya ia segera menuju pendopo tempat biasa kedua orang tua duduk menikmati suasana sore. Banyak hal yang harus ia kerjakan di tempat Intan salah satunya adalah mencari tempat perbaikan CCTV karena alamat yang lama ternyata sudah tidak bisa dihubungi. CCTV di gudang ternyata rusak dan wanita itu tidak tahu karena tidak ada yang melapor sementara di layar pantauan, fungsi kamera tampak baik-baik saja. Sepertinya memang ada yang menyabotase tapi untuk hal IT seperti ini sayang sekali Dharma tidak tahu menahu cara memperbaikinya. Ia harus mencari Ilhan untuk membantunya, sedangkan temannya itu masih berada di Jakarta sampai hari Sabtu ini."Kata tantemu kamu sudah pergi dari pagi. Kok, baru sampai rumah sore, Dhar?" tanya Hesty begitu Dharma menegakkan tubuh setelah mencium punggung tangannya."Tadi singgah di rumah Intan dulu, Bu."Hesty men
"Kamu yakin mau antar aku?" tanya Intan begitu melihat Risa sudah siap dengan ransel berwarna pink pastel di kursi teras."Yakin Mbak. Bapak sama Ibu juga suruh begitu. Lagipula kita nggak langsung balik 'kan?""Iya enggak. Aku harus ketemu teman dulu. Katanya dia punya rekomendasi guru matematika dari Kecamatan.""Ya sudah kalau begitu. Mbak nggak mungkin sendiri. Apalagi masih kambuh begitu kakinya. Risa nggak tega lepas Mbak sendiri.""Sudah mau berangkat?" tanya Aminah dengan membawa nampan berisi 4 gelas kopi dan sepiring pisang goreng."Belum Bu, masih mau sarapan," balas Risa."Kalau gitu jangan taruh tas di luar. Kamu nggak ingat ada yang curang?" tegur Aminah."Ah … nggak ada yang berharga juga kok, Bu.""Ck … anak ini dibilangi juga. Taruh dalam sana. Bapakmu lihat nanti kamu tambah diomelin."Intan tersenyum simpul melihat Risa yang cemberut kena omel. "Makan yang banyak. Ibu sudah masak masakan kesukaanmu. Kabari Ibu ya kapan pulangnya. Nanti Ibu suruh Sarbi untuk jemput
“Makasih Mas mau ketemu sama aku,” ujar Melia. “Aku melakukan ini bukan karena kamu tapi Mami yang meminta.” Sungguh benar, jika bukan karena jadwalnya untuk mengantar wanita yang sudah melahirkannya itu untuk check up kesehatan hari ini. Melia menelan ludah, mendengar nada dingin dan terkesan acuh dari Abraham. Pada akhirnya wanita cantik berkulit kuning langsat itu. “Mas Bram, belum lama ini ketemu Papi ya? Kok, nggak bilang sama aku?” tanyanya mengalihkan pembicaraan. Bram yang sedari tadi tidak mau menatap ke arah Melia menghembuskan napas panjang seraya menyesap kopi hitam di depannya. “Bukan urusanmu dan tidak ada hubungannya denganmu, pastinya.” “Aku ingin tahu, untuk apa kamu masih berurusan dengan Intan.” Nama Intan tersebut dan kemudian tatapan tajam tersemat dari Abraham untuk Melia. “Kalimat mana yang tidak kamu mengerti dari bukan urusanmu?!” Seketika Melia bungkam dan tak berani menjawab dengan roman muka Abraham yang membuat perasaannya yang bercampur antara cemb
Melihat mereka berdua duduk di satu meja adalah hal terakhir yang Intan inginkan. Rasa cinta dan benci itu jelas masih ada, dirinya tak bisa memungkiri itu. Benci karena kekecewaan yang mendalam, susah dijelaskan. Sampai detik ini pun ia masih sulit untuk mengungkapkan, menangis pun rasanya sia-sia. Intan sudah capek menangis. Luka lama itu masih berdarah-darah pastinya. Masih berdiri terpaku di tempat sementara Risa sudah menghilang untuk mencari tempat duduk, tak menyadari dengan apa yang dilihat oleh Intan.Tepukan keras mendarat di punggung atasnya. Saat Intan menoleh, dirinya mendapati mantan ibu mertua sudah berdiri di belakang dengan tatapan tidak suka, bersama dengan mamanya. Namun wanita itu hanya diam, menatap tak kalah tajam ke arahnya.“Ngapain kamu bengong, malah seperti orang bego?” tegur Novita dengan ketus.“Kaget saja, masa nggak boleh.”“Nggak boleh, kalau kamu nggak boleh. Kamu sudah bikin rumah tangga anakku hancur!” Novita menjawab dengan nada mulai histeris.Int
“Aku tidak mengizinkan kamu mengantarku. Ngapain kamu di sini?” tegur Intan.Abraham menatapnya tajam dan hal itu sedikit membuat jantung Intan berdetak lebih keras. Debaran itu masih sama tapi ia tak ingin menunjukkannya. Intan tak ingin jika keberadaan mantan suaminya itu masih mempengaruhinya.“Setahuku tempat ini adalah tempat umum.”“Nggak seharusnya kamu di sini.” Intan masih berusaha agar Abraham segera pergi dari sana. Keberadaan Abraham dan sikap Rizky yang tampak menegang dan menantang membuatnya tidak nyaman. Jangan sampai ada keributan lagi di sini.“Kenapa aku tidak boleh di sini? Aku bebas makan di sini, sudah kubilang ini tempat umum.”“Maksudku di depan mejaku. Ada Amel yang bersamamu,” ujar Intan seraya melirik ke arah belakang tubuh Abraham tempat Amelia menatap benci dengan terang-terangan ke arahnya.“Memangnya kenapa aku tidak boleh ke sini. Kita saling kenal dan seperti yang aku bilang tadi, aku akan antar kamu ke mana pun.”“Aku tidak memintamu.”“Dan aku tidak
Cengkraman mengerat ditambah dorongan sekuat tenaga yang dilayangkan oleh Intan pada rambut Abraham yang kepalanya masih dengan setia berada di pangkal paha Intan. Tenaga semakin menipis dengan pandangan yang kini berkunang-kunang. Kejadian ini sama persis dengan yang terjadi dulu, situasi yang menyebabkan ia harus menjadi istri pria yang suka memaksakan kehendak dan pada akhirnya mencampakkannya dengan dalih tuduhan tak setia yang disematkan kepadanya. Bahkan pria yang dituduhkan menjalin hubungan gelap dengannya saja ia tidak kenal baik.Intan juga bukan wanita yang mudah akrab dengan orang asing atau baru dikenal apalagi mereka menuduhnya sering menghabiskan waktu di klub malam. Jangankan untuk minum, jika saja dulu ia tidak terpaksa mencari keberadaan mantan suaminya itu di sana situasi yang dihadapinya saat ini tidak mungkin terjadi.“Mas!”“Ya Sayang.”Jawaban penuh kasih itu membuat hati Intan tercubit, benaknya kembali ke masa lalu. Dahulu Abraham saat melampiaskan syahwatnya