Share

Chapter 6 Pagi yang Kelabu

Intan tak bisa tidur sejak semalam. Kakinya yang cacat terasa nyeri pada otot dan linu. Ditambah lagi pikiran yang sedang ruwet karena banyaknya pesanan kerajinan rotan sementara persediaan bahan mentahnya susah didapatkan. Intan belum tahu pasti, kenapa supplier langganannya menghentikan pengiriman, padahal ia tak pernah absen membayar tepat waktu.

Intan pun yang tak bisa tidur mencari tahu tempat supplier rotan asli dan sintetis. Itulah salah satu cara agar pekerjanya tidak menganggur dan usahanya tetap bisa berjalan lancar. Demi mengisi waktu ia menyibukkan diri dengan membuat desain terbaru. Ia pun mencatat harus menemukan tukang las baru untuk membuat kursi santai. Tak terasa ia melakukan itu sampai suara pintu terbuka dari arah kamar Risa terdengar.

"Mbak, udah bangun?" tanya Risa keheranan seraya melirik cangkir teh yang hampir kosong.

"Iya, aku nggak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Linu kakiku."

Intan sengaja tidak mengatakan masalah sebenarnya kepada Risa agar gadis muda itu tidak khawatir.

"Kenapa nggak bangunkan aku sih, Mbak. Kan bisa aku bantu pijitin atau kompres air hangat."

"Ah ngerepotin."

"Mbak, masih cari supplier?"

"Iya."

"Guru bimbel juga ada yang mundur dua orang, Mbak."

"Kenapa?"

"Katanya sih, terlalu personal dan nggak bisa diutarakan. Ibu aja sampai sebel. Masa iya nggak bisa cari alasan lain apa. Seperti kita ini membuat tempat belajar hanya untuk main-main."

"Ya sudahlah, nggak usah dipikirkan. Biarkan saja daripada kamu jengkel. Nanti kita cari guru yang lain."

Kejadian lagi, Intan sebetulnya sempat berpikir jika mungkin ada yang merasa iri dengannya dan menyebar gosip, tapi secepat pikiran itu muncul, secepat itu pula ia meredamnya agar tidak berkembang dan membuat semangat kerjanya menurun.

"Ya udah deh, Mbak. Aku ke dapur dulu. Mbak mau tambah teh jahe nggak? Atau mau kopi?"

"Teh jahe aja deh."

"Iya deh. Nanti Ibu katanya mau ke sini bawa lemper."

"Wah, ada acara apa?"

"Nggak ada acara sih. Cuma Ibu tumben dapat pesanan lemper dan sosis solo untuk hajatan di rumah Pak Dukuh."

"Oh. Kalau gitu aku pesan sekalian deh. Buat snack pekerja."

Risa mengangguk. "Oh ya Mbak. Nanti aku mau buat bolu kukus juga loh."

Intan kini hanya mengangguk mengiyakan. Ia pun bangkit dan membersihkan diri sebelum akhirnya lebih memilih duduk di teras, menatap halaman rumahnya yang terlihat lebih hidup dengan berbagai tanaman hias yang ditanam oleh Risa dan melihat kesibukan orang-orang berlalu lalang.

Intan membuka ponselnya dan terpaku pendapatan sebuah pesan masuk dari nomor asing, tapi dari foto profil ia tahu itu adalah pesan dari salah satu saudaranya.

Melia: [Jika kamu pikir dengan menemui Papi, bisa membuka peluang mendapatkan bagian warisan dan kembali kepada Mas Bram. Jangan mimpi, tempatmu memang di kampung itu. Nggak cocok kamu jadi orang kota.]

Intan menghela napas panjang dan lebih memilih mengabaikan pesan tersebut. Tak berselang lama ponselnya berdering dari nomor yang sama, ia pun lebih memilih mengabaikan dan mematikan ponsel. Ia paham betul bagaimana sifat saudaranya yang pernah menjadi madunya tersebut. Ia pun yakin jika dulu yang menyebarkan fitnah bahwa ia yang berselingkuh bisa jadi saudaranya tersebut. Namun, hal itu tak perlu lagi disesali, semua sudah terjadi. Saat ini baik dirinya dan Melia tak lagi memiliki pria itu.

Lalu soal warisan pun ia tak berharap karena sang ayah sudah menunjukkan sikap dengan mengusirnya. Intan yang selama ini merasa tak mendapatkan kasih sayang selain materi yang selalu dikirim orang tua untuk pendidikan, diabaikan seperti ini juga tetap terasa sakit. Bagaimanapun ia seorang anak yang mendambakan kasih sayang orang tua. Apalagi ibunya sejak Intan menikah dengan Abraham sampai detik ini tak lagi mau bertegur sapa dengannya, ia bagaikan orang asing dalam keluarga itu.

Menatap halaman yang masih diguyur hujan dan langit dengan mendung kelabu, membuat hatinya pun sedikit ikut kelabu. Intan menghentikan kegiatannya memberikan parem kocok pada kakinya saat melihat sebuah mobil memasuki halaman rumahnya. Terlebih yang membuat Intan heran, apa yang dilakukan Dharma sepagi ini menemuinya?

*****

Dharma menyetir dengan perasaan puas melihat wajah sepupunya yang sendu. Penyesalan memang akan selalu datang belakangan bukan. Selama ini ia sudah cukup mengalah pada sepupunya Abraham, saat pria itu memperistri sang pujaan hati. Namun Abraham sudah mengkhianati Intan sangat parah oleh sebab itu ia tidak akan mundur walau menarik perhatian Intan juga tidak mudah.

Dharma memasuki gapura kampung dengan hati-hati. Hujan sangat lebat di pagi hari ini, sepertinya badai belum akan berhenti sampai siang nanti, begitu perkiraannya. Seharusnya ia kembali kemarin tetapi ada hal harus ia kerjakan demi melancarkan aksi mendekati Intan.

Satu rahasia tentang masa lalu Intan ada di tangannya, ia pun sangat yakin jika wanita itu belum tahu tentang hal ini. Semoga saja hal ini bisa menjadi jembatan untuknya menarik perhatian wanita itu.

Dharma membelokkan mobil memasuki pekarangan rumah Intan begitu melihat wanita pujaannya duduk di atas kursi roda. Dharma segera membuka pintu mobil dan berlari kencang menuju teras. Ia berdiri menjulang di depan Intan yang masih asik memijat kakinya.

"Ada apa, Mas?"

Sapaan dan seulas senyum manis dari Intan membuat hati Dharma menghangat.

"Hanya ingin menemuimu."

"Apa tidak terlalu pagi?"

"Justru mumpung masih pagi aku kemari."

Wajah Intan berubah sendu dan segurat rasa khawatir terlihat sekilas walau sejurus kemudian kembali ke air muka ramahnya. Hal itu tentu tidak lepas dari pengamatan Dharma. Ia tahu wanita pujaannya ini pasti sedang memiliki masalah.

"Ada apa?" Tanyanya.

"Kok, malah Mas yang balik bertanya?" protes Intan dengan tersenyum kecut.

"Apa kamu ada masalah?" tanya Dharma kini dengan nada serius.

"Kamu bisa mengatakan padaku, hanya aku tempatmu berbagi cerita."

Intan menunduk dan menurunkan kakinya dari kursi.

"Biarkan saja di atas, kakimu linu?"

Dharma dengan cekatan menghentikan gerakan Intan menurunkan kaki dengan menangkap pergelangan kaki wanita itu dan mengembalikan di posisi semula.

"Jangan Mas, nggak sopan."

"Tidak apa-apa, kamu kan tuan rumah. Kamu seperti dengan orang lain saja. Kita masih berteman, bukan?"

Intan tersipu malu dan itu membuat Dharma gemas bukan main. Sejurus kemudian Risa datang membawakan kopi untuk Dharma.

"Kok, tahu aku datang, Sa?" tanyanya seraya menerima cangkir kopi dari Risa, berikut juga sepiring singkong goreng dan lemper.

"Kelihatan mobilnya, Mas. Mas masih lama di sini?"

"Masih. Mas mau lihat stok rotan dulu."

"Ibu sudah datang?" tanya Intan begitu melihat ada lemper.

"Sudah Mbak. Kata Ibu tadi Mbak lagi asyik sama HP jadi nggak mau ganggu."

"Aku sungguh-sungguh nggak tahu kalau ada orang datang."

"Nggak apa-apa, toh Ibu datang dari pintu samping."

"Ya sudah kalau begitu. Kamu sekalian siapkan bagi makanan ke sebelah."

Risa mengangguk, tersenyum simpul dan segera meninggalkan kedua orang yang lebih tua darinya itu.

"Mas, mau ngecek stok?"

Dharma menatap lekat-lekat wajah yang tampak terkejut di depannya ini. "Iya. Pak Tekno menghubungiku kemarin."

"Kenapa nggak minta izin dulu sama aku ya?" Raut wajah Intan tampak kecewa.

Dharma menghela napas panjang, ia masih paham jika banyak tukang yang notabene berkelamin sama dengannya tidak suka mendapatkan majikan perempuan sehingga kadang mereka memilih mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan majikan mereka. Hal itu sebetulnya sangat tidak disukai oleh Dharma tetapi sebagai orang luar ia tak mau terlalu ikut campur, setidaknya untuk saat ini. Namun jika Tekno sampai kelewatan, ia tak akan segan memberikan pelajaran pada pria itu.

"Untung saja, dia langsung menghubungiku. Jika dia menghubungi orang lain. Aku pasti akan tersinggung."

"Aku tuh juga heran. Setahuku stok pesanan itu cukup. Tapi sudah kali kelima ini selalu saja kurang. Biasanya dengan jumlah segitu cukup paling tidak untuk membuat 50 set sofa dan meja santai."

"Apa kamu mau aku bantu untuk menyelidiki?"

Intan menegakkan tubuhnya, gesturnya terlihat semakin gusar. "Maksudnya Mas?"

"Ini hanya pemikiranku. Apa mungkin ada yang 'nakal' ya?" ujar Dharma seraya membuat tanda petik dengan sebelah tangannya.

"Waduh. Serem banget, Mas."

"Bisa saja kan? Apalagi persaingan bisnis saat ini begitu terlihat."

"Boleh deh, tolong bantu ya, Mas. Aku nggak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa."

Dharma tersenyum lebar. "Kamu bisa mengandalkan aku."

tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status