Intan tak bisa tidur sejak semalam. Kakinya yang cacat terasa nyeri pada otot dan linu. Ditambah lagi pikiran yang sedang ruwet karena banyaknya pesanan kerajinan rotan sementara persediaan bahan mentahnya susah didapatkan. Intan belum tahu pasti, kenapa supplier langganannya menghentikan pengiriman, padahal ia tak pernah absen membayar tepat waktu.
Intan pun yang tak bisa tidur mencari tahu tempat supplier rotan asli dan sintetis. Itulah salah satu cara agar pekerjanya tidak menganggur dan usahanya tetap bisa berjalan lancar. Demi mengisi waktu ia menyibukkan diri dengan membuat desain terbaru. Ia pun mencatat harus menemukan tukang las baru untuk membuat kursi santai. Tak terasa ia melakukan itu sampai suara pintu terbuka dari arah kamar Risa terdengar."Mbak, udah bangun?" tanya Risa keheranan seraya melirik cangkir teh yang hampir kosong."Iya, aku nggak bisa tidur.""Kenapa?""Linu kakiku."Intan sengaja tidak mengatakan masalah sebenarnya kepada Risa agar gadis muda itu tidak khawatir."Kenapa nggak bangunkan aku sih, Mbak. Kan bisa aku bantu pijitin atau kompres air hangat.""Ah ngerepotin.""Mbak, masih cari supplier?""Iya.""Guru bimbel juga ada yang mundur dua orang, Mbak.""Kenapa?""Katanya sih, terlalu personal dan nggak bisa diutarakan. Ibu aja sampai sebel. Masa iya nggak bisa cari alasan lain apa. Seperti kita ini membuat tempat belajar hanya untuk main-main.""Ya sudahlah, nggak usah dipikirkan. Biarkan saja daripada kamu jengkel. Nanti kita cari guru yang lain."Kejadian lagi, Intan sebetulnya sempat berpikir jika mungkin ada yang merasa iri dengannya dan menyebar gosip, tapi secepat pikiran itu muncul, secepat itu pula ia meredamnya agar tidak berkembang dan membuat semangat kerjanya menurun."Ya udah deh, Mbak. Aku ke dapur dulu. Mbak mau tambah teh jahe nggak? Atau mau kopi?""Teh jahe aja deh.""Iya deh. Nanti Ibu katanya mau ke sini bawa lemper.""Wah, ada acara apa?""Nggak ada acara sih. Cuma Ibu tumben dapat pesanan lemper dan sosis solo untuk hajatan di rumah Pak Dukuh.""Oh. Kalau gitu aku pesan sekalian deh. Buat snack pekerja."Risa mengangguk. "Oh ya Mbak. Nanti aku mau buat bolu kukus juga loh."Intan kini hanya mengangguk mengiyakan. Ia pun bangkit dan membersihkan diri sebelum akhirnya lebih memilih duduk di teras, menatap halaman rumahnya yang terlihat lebih hidup dengan berbagai tanaman hias yang ditanam oleh Risa dan melihat kesibukan orang-orang berlalu lalang.Intan membuka ponselnya dan terpaku pendapatan sebuah pesan masuk dari nomor asing, tapi dari foto profil ia tahu itu adalah pesan dari salah satu saudaranya.Melia: [Jika kamu pikir dengan menemui Papi, bisa membuka peluang mendapatkan bagian warisan dan kembali kepada Mas Bram. Jangan mimpi, tempatmu memang di kampung itu. Nggak cocok kamu jadi orang kota.]Intan menghela napas panjang dan lebih memilih mengabaikan pesan tersebut. Tak berselang lama ponselnya berdering dari nomor yang sama, ia pun lebih memilih mengabaikan dan mematikan ponsel. Ia paham betul bagaimana sifat saudaranya yang pernah menjadi madunya tersebut. Ia pun yakin jika dulu yang menyebarkan fitnah bahwa ia yang berselingkuh bisa jadi saudaranya tersebut. Namun, hal itu tak perlu lagi disesali, semua sudah terjadi. Saat ini baik dirinya dan Melia tak lagi memiliki pria itu.Lalu soal warisan pun ia tak berharap karena sang ayah sudah menunjukkan sikap dengan mengusirnya. Intan yang selama ini merasa tak mendapatkan kasih sayang selain materi yang selalu dikirim orang tua untuk pendidikan, diabaikan seperti ini juga tetap terasa sakit. Bagaimanapun ia seorang anak yang mendambakan kasih sayang orang tua. Apalagi ibunya sejak Intan menikah dengan Abraham sampai detik ini tak lagi mau bertegur sapa dengannya, ia bagaikan orang asing dalam keluarga itu.Menatap halaman yang masih diguyur hujan dan langit dengan mendung kelabu, membuat hatinya pun sedikit ikut kelabu. Intan menghentikan kegiatannya memberikan parem kocok pada kakinya saat melihat sebuah mobil memasuki halaman rumahnya. Terlebih yang membuat Intan heran, apa yang dilakukan Dharma sepagi ini menemuinya?*****Dharma menyetir dengan perasaan puas melihat wajah sepupunya yang sendu. Penyesalan memang akan selalu datang belakangan bukan. Selama ini ia sudah cukup mengalah pada sepupunya Abraham, saat pria itu memperistri sang pujaan hati. Namun Abraham sudah mengkhianati Intan sangat parah oleh sebab itu ia tidak akan mundur walau menarik perhatian Intan juga tidak mudah.Dharma memasuki gapura kampung dengan hati-hati. Hujan sangat lebat di pagi hari ini, sepertinya badai belum akan berhenti sampai siang nanti, begitu perkiraannya. Seharusnya ia kembali kemarin tetapi ada hal harus ia kerjakan demi melancarkan aksi mendekati Intan.Satu rahasia tentang masa lalu Intan ada di tangannya, ia pun sangat yakin jika wanita itu belum tahu tentang hal ini. Semoga saja hal ini bisa menjadi jembatan untuknya menarik perhatian wanita itu.Dharma membelokkan mobil memasuki pekarangan rumah Intan begitu melihat wanita pujaannya duduk di atas kursi roda. Dharma segera membuka pintu mobil dan berlari kencang menuju teras. Ia berdiri menjulang di depan Intan yang masih asik memijat kakinya."Ada apa, Mas?"Sapaan dan seulas senyum manis dari Intan membuat hati Dharma menghangat."Hanya ingin menemuimu.""Apa tidak terlalu pagi?""Justru mumpung masih pagi aku kemari."Wajah Intan berubah sendu dan segurat rasa khawatir terlihat sekilas walau sejurus kemudian kembali ke air muka ramahnya. Hal itu tentu tidak lepas dari pengamatan Dharma. Ia tahu wanita pujaannya ini pasti sedang memiliki masalah."Ada apa?" Tanyanya."Kok, malah Mas yang balik bertanya?" protes Intan dengan tersenyum kecut."Apa kamu ada masalah?" tanya Dharma kini dengan nada serius."Kamu bisa mengatakan padaku, hanya aku tempatmu berbagi cerita."Intan menunduk dan menurunkan kakinya dari kursi."Biarkan saja di atas, kakimu linu?"Dharma dengan cekatan menghentikan gerakan Intan menurunkan kaki dengan menangkap pergelangan kaki wanita itu dan mengembalikan di posisi semula."Jangan Mas, nggak sopan.""Tidak apa-apa, kamu kan tuan rumah. Kamu seperti dengan orang lain saja. Kita masih berteman, bukan?"Intan tersipu malu dan itu membuat Dharma gemas bukan main. Sejurus kemudian Risa datang membawakan kopi untuk Dharma."Kok, tahu aku datang, Sa?" tanyanya seraya menerima cangkir kopi dari Risa, berikut juga sepiring singkong goreng dan lemper."Kelihatan mobilnya, Mas. Mas masih lama di sini?""Masih. Mas mau lihat stok rotan dulu.""Ibu sudah datang?" tanya Intan begitu melihat ada lemper."Sudah Mbak. Kata Ibu tadi Mbak lagi asyik sama HP jadi nggak mau ganggu.""Aku sungguh-sungguh nggak tahu kalau ada orang datang.""Nggak apa-apa, toh Ibu datang dari pintu samping.""Ya sudah kalau begitu. Kamu sekalian siapkan bagi makanan ke sebelah."Risa mengangguk, tersenyum simpul dan segera meninggalkan kedua orang yang lebih tua darinya itu."Mas, mau ngecek stok?"Dharma menatap lekat-lekat wajah yang tampak terkejut di depannya ini. "Iya. Pak Tekno menghubungiku kemarin.""Kenapa nggak minta izin dulu sama aku ya?" Raut wajah Intan tampak kecewa.Dharma menghela napas panjang, ia masih paham jika banyak tukang yang notabene berkelamin sama dengannya tidak suka mendapatkan majikan perempuan sehingga kadang mereka memilih mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan majikan mereka. Hal itu sebetulnya sangat tidak disukai oleh Dharma tetapi sebagai orang luar ia tak mau terlalu ikut campur, setidaknya untuk saat ini. Namun jika Tekno sampai kelewatan, ia tak akan segan memberikan pelajaran pada pria itu."Untung saja, dia langsung menghubungiku. Jika dia menghubungi orang lain. Aku pasti akan tersinggung.""Aku tuh juga heran. Setahuku stok pesanan itu cukup. Tapi sudah kali kelima ini selalu saja kurang. Biasanya dengan jumlah segitu cukup paling tidak untuk membuat 50 set sofa dan meja santai.""Apa kamu mau aku bantu untuk menyelidiki?"Intan menegakkan tubuhnya, gesturnya terlihat semakin gusar. "Maksudnya Mas?""Ini hanya pemikiranku. Apa mungkin ada yang 'nakal' ya?" ujar Dharma seraya membuat tanda petik dengan sebelah tangannya."Waduh. Serem banget, Mas.""Bisa saja kan? Apalagi persaingan bisnis saat ini begitu terlihat.""Boleh deh, tolong bantu ya, Mas. Aku nggak tahu lagi harus meminta bantuan pada siapa."Dharma tersenyum lebar. "Kamu bisa mengandalkan aku."tbc“Rangga?” Abraham dengan suara serak kembali bertanya-tanya dengan yang dikatakan orang-orang di depannya. Kembali terucap pertanyaan tentang nama itu, bukan dirinya pastinya tetapi dirinya pun tidak asing dengan nama itu. Abraham berusaha mengingat-ingat siapa kira-kira orang yang memiliki nama itu diantara sepupu-sepupunya tetapi semakin keras ia berusaha mengingat semakin sakit kepala dibuatnya.Mereka orang-orang asing yang baru ia temui tapi rasanya ia seperti bukan orang asing. Apalagi pemilik bola mata indah yang berdiri di sebelah pria yang memiliki kulit lebih gelap dan mata hitam setajam elang, tampan seperti dirinya—nyaris sama dengannya tetapi jelas lebih muda.Apalagi pria tua yang berada di sebelah orang yang ia tebak adalah serorang Dokter, walau jelas tidak memakai seragam kebesaran mereka. Wajahnya mirip dengan sang ayah, Yusuf.“Bagaimana perasaanmu? Adikmu bilang kalau kamu tadi kesakitan?” tanya Abah Yayud
Aris sudah lebih dari tiga jam mondar-mandir di ruang tamu. Boy sama sekali belum memberikan kabar apapun bahkan ponsel anak buahnya itu tidak dapat dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi? Masa mencari satu orang saja sangat sulit, bahkan Aris sudah bisa memastikan bahwa Abraham tidak mungkin bisa bergerak karena sudah sangat lemah. Apa benar dia sudah disantap Macan atau ular seperti kelakarnya?Aris kembali meremas rambutnya dengan jengkel, menyesali kenyataan kenapa sang ibu baru mengabari sekarang bukan kemarin-kemarin. Jika sampai seperti ini memang dirinya yang susah. Namun ya bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Dapat menculik Abraham dan menyiksanya sedemikian rupa buktinya bisa membuatnya puas. Ada kepuasan batin tersendiri menyiksa pria bajingan yang memperlakukan Intan seperti keset usang. Memperlakukan wanita pujaannya itu seperti budak. Lalu kini bisa-bisanya mendekati Intan kembali dan wanita itu seperti budak pelacur dengan suka rela membuka kakinya demi Abraham. S
Risa menggigit bibir bawahnya dengan gemas. Sudah lebih dari sepuluh kali dirinya mencoba menghubungi nomor Bu Lurah tetapi tak sekalipun mendapat sabutan. Padaha jelas sabungannya sangat aktif.Asna mendekati Risa yang duduk di balik meja kerja Intan. “Gimana?” Risa menggeleng. “Aku datangi rumahnya ya?”Risa mendongak bersitatap dengan Asna. “Jangan Teh. Mantan suamimu ‘kan kerja di sana.” Risa tidak mau nanti Asna ikut terkena getahnya jika sampai ketahuan membantu Intan dan keluarganya.“Lalu gimana? Kalau telpon Pak Lurah saja?”Risa kembali menggeleng. “Takut,” ujarnya dengan raut cemberut menahan tangis. Ia sangat kasihan dengan keadaan Intan saat ini yang pasti sangat membutuhkan dukungan dari Abraham. Ah, pria itu. Ke mana sebenarnya apa benar tidak mau bertanggungjawab? Padahal saat terkena paku saja, Intan menjaganya di rumah sakit dan dirinya merengek seperti anak kecil saat mau ditinggal Intan.“Kang Dharma bagimana?”“Sama nggak ada yang angkat. Apa mereka benar-benar su
“Benar itu, Nak?” tanya Wira menatap Intan dengan intens. Intan yang selalu merasa segan sejak kasus sakitnya dulu ditangani oleh Wira kini semakin merasa segan dan ada rasa tidak nyaman disamping rasa malu serta rasa—bersalah. Kesadaran itu membuat Intan kini menunduk, bagaimana bisa dirinya merasa bersalah dengan ditanyai oleh orang yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengannya sementara orangtuanya sendiri saja memutus hubungan—benar-benar tidak peduli dengan keadaanya.Aminah baru mengangkat bokongnya untuk mendekati Intan, menguatkan keponakkannya yang seolah sedang dihakimi saat ini karena jelas suara Wira lebih tinggi lebih seperti teguran daripada hanya rasa terkejut. Namun belum juga dirinya meluruskan tubuh Ajeng sudah lebih dulu duduk merapat di sisi Intan dan merengkuh bahunya. “Jangan takut sama, Papa,” ujarnya lembut dan seketika mata Intan membulat dan menoleh ke arah Ajeng. Ajeng yang awalnya tadi spontan menanyakan soal kehamilan Intan sejujurnya hanya ingin t
Kelima orang dewasa dalam ruang tamu itu saling melempar pandangan dengan kekagetan yang tidak ditutup-tutupi. Keterkejutan yang terlihat pada selebar wajah mereka masing-masing dengan berbagai asumsi yang berbeda.“Dokter kok, bisa di sini dan kenal sama Bapak-Ibu?” tanya Intan lagi setelah membagi minuman dan duduk di seberang mereka semua.Asna muncul tak lama kemudian membawa pisang dan singkong goreng dengan parutan keju diatasnya dan sepuluh susun piring lepek kecil sekaligus garpu kecil.“Mari silakan di makan dan minum. Sebentar lagi hujan turun. Enak kalau jam segini ngemil. Saya masih masak untuk makan malam,” ujar Intan ceria entah mengapa melihat keberadaan Dokter Wira di sini suasana hatinya yang mendung menghilang begitu juga mual yang dirasakannya.“Namamu Intan?” tanya Ajeng dengan suara lembut keibuan. Sementara Wira dengan kesadaran baru bahwa pasien yang selama ini ia tangani tak lain adalah buah hatinya membuat tak ha
“Intan anakku,” jawab Hamdani.“Anakmu? Bukannya Risa, namanya?” tanya Ajeng kembali memastikan mencocokan dengan ingatannya yang mulai membaik.“Risa dan Intan.”Ajeng menggeleng dan tersenyum tipis. “Kita sama-sama tahu Hamdani. Kamu hanya dikaruniai satu anak. Intan pasti anakku, bukan? Kamu akhirnya menemukan dia.”Hamdani dan Aminah lalu terduduk di lantai. Terpekur dengan bahu merosot tak berani beradu pandang kepada Ajeng dan Wira.Ajeng dan Wira pun kaget dengan tingkah keduanya. “Ada apa ini?” Wira paham, jika Intan adalah anak Ajeng sudah pasti itu juga adalah anaknya. Berapa usianya 27 tahun?Hamdani dan Aminah masih terdiam.“Ada apa? Katakan, jangan membuat bingung kami,” ujar Ajeng yang kebingungan.“Hamdan tolong jawab, Tetehmu. Kamu nggak mau dia bingung lagi ‘kan?”Hamdani menangkup kedua tangan di depan dada. “Maaf Teh, aku sudah lama menemukan tapi aku juga teledor. Banyak
“Benar Dokter, Teteh saya sudah sembuh?”“Benar Pak Ham.”“Kenapa sampai hampir 30 tahun baru sembuh?” tanya Hamdani kebingungan. Saat ini ia sedang menghadap ke Dokter Kejiwaan di Panti Rehabilitasi Kejiwaan.“Kita nggak tahu rahasia Tuhan. Saya hanya seorang Dokter, saya perantara sementara kesembuhan sendiri adalah hak prerogative Tuhan tentu saja. Suatu mukjizat untuk Nyonya Ajeng Rahwani bisa sembuh.”“Kalau boleh tahu progresnya bagaimana sampai akhirnya bisa dinyatakan sembuh?”“Ada seseorang yang sering menjenguk ke sini. Tapi beliau tetap ingin bertemu anaknya. Itulah sebabnya saya menghubungi Bapak.”“Kenapa selama ini kalian nggak kasih tahu saya kalau ada orang lain yang menjenguk Teteh saya, Dok?”Dokter Teguh menundukkan kepalanya. Ia sejujurnya merasa bersalah juga bagaimanapun Hamdani selaku keluarga kandung pasien seharusnya yang paling berhak menentukan siapa saja yang bisa membesuk Kakak Perempuannya.
Intan dan yang lainnya sampai di rumah tetapi suasana sudah sepi. Hamdani duduk di ruang tamu seraya memegang sebuah dokumen. Ia terus menyuruh semuanya duduk bersama.“Ke mana orang-orang, Pak?” tanya Intan.“Sudah pulang.”“Lalu itu apa?” tanyanya dengan tidak sabar.“Ini adalah surat kesepakatan warga. Kamu harus pindah dari desa ini.”“Maskudnya Mbak Intan diusir?!” tanya Noto kaget.“Iya To.”“Loh, kok gitu?! Memang salah apa? Apa karena berhenti kerja, ‘kan memang kemauan sendiri,” ujar Noto.“Lagi pula fitnah berkedok gosip itu juga sangat terlalu, jelas-jelas tidak benar,” tambah Izar.Hamdani menghela napas Panjang. “Bapak juga bingung kenapa orang-orang berpikiran pendek.”“Demi kebaikan sih memang kamu mending pindah, Mbak,” ujar Izar.“Duit dari mana untuk pindah?&r
Cuaca hari ini terasa sangat hangat, matahari masih dengan setia menerangi walau kini jam sudah menunjukkan pukul 17.30 menit. Jalan kampung tepat di depan rumah Intan pun masih ramai orang berlalu lalang, bahkan anak-anak tetangga yang mulai banyak bermain petasan pun masih berkeliaran. Sudah terhitung dua bulan lamanya Abraham kembali ke kota dan belum menampakkan batang hitungnya lagi. Terakhir mereka berkomunikasi adalah seminggu setelah ia kembali ke kota.“Maaf Sayang aku tidak bisa kembali secepat yang aku janjikan. Padahal aku ingin sekali membawamu segera ke kota dan supaya kamu lebih mudah untuk terapi,” janji Abraham kala itu.“Kamu ‘kan sudah biasa ingkar janji.”“Bukan. Aku harus menyelesaikan sesuatu demi masa depan kita. Kamu tidak perlu bekerja, Kamu sudah buktikan sendiri bukan? Kalau semua yang kamu lakukan di sana mendapatkan pertentangan oleh warga.”“Menjad