Share

Ngelunjak

Hampir tiga puluh menit kami semua menunggu, Luna tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Aku yang mulai geram menyuruh Fathir menyusulnya.

Bener-bener menguji kesabaran, baru saja sehari serumah sama Luna, sudah bikin kerutanku nambah. 

Fathir muncul sambil menggandeng Luna yang rambutnya masih basah tanpa disisir.

Dan apa yang kulihat ini? Sungguh merusak mata.

Pakaiannya, kaus polos tipis yang ketat  dan berdada rendah, memperlihatkan hampir setengah payudaranya, serta celana super pendek ikut memamerkan pahanya yang putih mulus. Pemandangan yang sangat seksi.

Bagaimana dia bisa berpakaian seperti itu? Sedangkan disini ada tiga laki-laki (selain suaminya) yang menurutku tak pantas disuguhi pemandangan seperti itu.

Kulihat Fathir juga santai, terkesan biasa aja.

Tatapanku beralih ke Mas Rival, melongo  melihat penampilan ipar nya tersebut, seakan-akan tau aku sedang menyelidikinya, ia buru-buru menatap kearah lain. 

Arif -suami Chintya- memandang Luna tanpa berkedip. Aku menyenggol lengan Chintya di samping kiriku, mengkode pandangan suaminya.

Kulihat Chintya mencubit pelan pinggang suaminya, hingga Arif tersadar dan bingung membuang tatapannya.

Luna duduk di samping Fathir berhadapan dengan suamiku, kulihat Mas Rival menundukkan pandangannya. Bagus.

"Loh kok pada bengong gitu, gak pada laper apa? Yuk mulai makannya," ucapnya tanpa rasa bersalah sambil menyendokkan nasi ke piringnya .

Bapak menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Mari kita makan," seruku mencairkan suasana dan kami mulai makan dengan tenang.

Hingga beberapa menit kemudian,

"Aduh Mas, ini tuh pedes banget sih sayurnya. Mana ikan gorengnya asin gini. Aku mau go-food aja deh kalau gitu" Luna melepeh makanannya di piring dan berlalu pergi.

Fathir segera menyusulnya tanpa bersuara apa-apa.

Aku melihat wajah bapak merah padamsedangkan di samping kirinya, Ibu sibuk mengelus lengan Bapak terlihat seperti menenangkan.

****

Selesai makan, Mas Rival kusuruh menjaga Alea -putrikami- bersama Arif yang menjaga Kiara.

Bapak masuk ke dalam kamar disusul Ibu.

Aku dan Chintya sibuk membereskan meja dan mencuci piring.

Kulihat kamar Fathir tertutup, tapi bisa kudengar sedikit perdebatan mereka.

"Ayo kamu minta maaf sama Bapak Ibu sana."

"Minta maaf soal apa Mas? Kan emang bener apa yang aku katakan. Aku gak bisa makan pedes, ikan goreng asin gitu bukan seleraku. Terus salahku dimana?"

"Tapi bahasamu tadi gak sopan Lun, aku bisa merasakan kemarahan Bapak, Ibu juga sepertinya kecewa sama kamu. Aku mohon Lun, minta maaflah."

"Apasih Mas, ribet banget. Gitu aja baper banget sih!" Luna mendecak kesal.

Aku mengepalkan tangan, gak bisa dibiarin bocil satu ini. Pikirannya bukan lagi kekanakan dan sudah melebihi batas wajar.

"Oke. Kalau kamu gamau minta maaf, aku gaakan ambil kotak angpau resepsi kemarin. Biar aja buat ibu semua" ancam Fathir.

"Eh iya iya, ayo kita minta maaf"

Aku segera bergegas menuju dapur. Sebelum mereka menangkapku mengupingnya.

Terdengar dari dapur suara pintu berderit, mungkin Luna dan Fathir keluar kamar menuju kamar Bapak.

Tak kudengar apa-apa lagi.

Aku kembali sibuk berkutat dengan cucian piring, dan Chintya memotong-motong brownies .

Suara berisik terdengar lagi, kali ini seperti suara Ibu dan Bapak juga.

Aku mengajak Chintya yang terlihat bingung, untuk memastikan apa yang terjadi di depan.

Apalagi kira-kira ???

*****

"Pak maafin Luna ya, Luna gak sengaja. Luna gak bermaksut menyinggung. Tapi Luna memang berpendapat sesuai fakta."

Bapak diam saja.

Luna melirik ke arah Fathir. Fathir memberikan kode, entahlah.

Tiba-tiba Luna mengambil tangan Bapak dan menciumnya. Sambil berurai air mata.

Cck drama.

"Sudahlah, jangan mengulanginya. Berusahalah menghormati dan menghargai" hanya itu yang Bapak sampaikan.

Suasana menjadi canggung.

Hingga Kiara yang baru bisa berjalan, masuk dari arah halaman menuju ruang tamu memecahkan keheningan.

"Uak uuuu aing uaaak uuuu" Kiara menuju ke arah Luna, memperhatikan wajah Luna dan merentangkan tangannya. Pertanda minta direngkuh atau digendong.

Luna yang kaget merespon dengan senyum yang dipaksakan. Tak sedikitpun berniat menggendong batita yang menggemaskan tersebut.

Chintya yang memahami keadaan, langsung membawa Kiara ke pangkuannya.

Alea ikut masuk ke dalam disusul dengan Mas Rival dan Arif.

"Mumpung semuanya lagi kumpul disini. Bapak mau menyampaikan sesuatu" tiba-tiba bapak berbicara serius.

"Karna Fathir sudah menikah, saat nya Bapak membagi warisan bagian kalian masing-masing, mumpung Bapak masih sehat."

"Bapak ngomong apasih, pasti bakal sehat terus kok," aku menyahut.

"Iya mumpung Bapak masih ada dan sehat, Nduk. Bapak ndakmau nantinya kalo Bapak meninggal, kalian malah berebutan warisan."

Hatiku seperti dicubit, Bapak semakin ngelantur.

Luna yang duduk tak jauh di sampingku menatapku dengan tak suka. Kutatap balik matanya hingga ia salah tingkah.

"Bapak punya tiga sawah, satu untuk Ningsih yang di ujung gang depan sebelah kanan, satu untuk Chintya yang di sebelah kiri, serta sawah yang di ujung perbatasan jalan lebar itu untuk Ibu, untuk kebutuhan hidup serta tabungan Bapak&Ibu di hari tua." Semua menyimak serius ucapan Bapak.

"Lho, Mas Fathir dapet bagian apa Pak? Bukannya dalam agama kalo anak laki-laki itu pembagiannya lebih banyak ya dari anak perempuan? Dua dibanding satu kan harusnya, Kok ini malah ga dapet apa-apa sih?." Luna menyela pembicaraan Bapak.

Tau apa dia tentang keluargaku? berani nya menceramahi Bapak. Soal ginian ilmu agama nya paham sekali.

"Jaga bicaramu Luna, kamu sudah kelewatan! Bukan hak kamu ikut campur! Kamu bukan siapa-siapa!" Kubentak adik ipar yang tak tau malu itu.

Bapak menghembuskan nafas kasar.

"Untuk Fathir, kamu dapet bagian rumah ini Le, rumah yang saat ini di tempati Bapak&Ibu. Nantinya ini bagianmu ya. Karna bapak sangat paham tentang pembagian warisan, jadi Fathir lah yang berhak mendapatkan rumah ini. Semuanya sudah jelas, jangan ada iri diantara kalian, kalian saudara sedarah daging. Jangan sampai ribut hanya perkara harta. Karna Bapak sudah membagi dengan seadil-adilnya. Kalian hiduplah dengan rukun dan damai. Paham ya semua?."

"Nggeh Pak, terimakasih" Fathir menyahut.

Aku dan Chintya pun hanya manggut-manggut mengiyakan.

Kutatap ipar sableng itu, sedang tersenyum penuh kemenangan.

Betapa liciknya wanita ular itu, sungguh membuatku gemas.

"Oh iya Bu, mumpung ingat. Luna mau tanya, kotak angpo resepsi kemarin mana ya? Luna mau menghitungnya, itu kan punya Luna dan Mas Fathir." Luna menatap Ibu dengan senyum mengembang.

Semua mata mengarah ke Luna dengan tatapan tajam.

Bapak tak menghiraukan langsung berjalan menuju kamar, disusul Ibu.

Krekkkk

Kujambak rambut blondenya hingga ia sedikit terjungkal karna kaget, aku sudah tak tahan liat tingkahnya! Menguji kesabaran sekali, ingin menghajarnya sekali-sekali.

*****        *****     *****

Terimakasih kawan , sudah mau membaca cerita2 ku yang receh ini hehe.

Follow dan jangan lupa bintang lima nya juga yaaa.

Tinggalkan jejak serta krisannya .

Terimakasih, semoga kalian semua diberikan kesehatan dan kelancaran rejeki selalu, aamiin yarobbal alaamiin .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status