Share

Terbelenggu

Istri 100 Kilogram

Part 2

Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya, kaki dan tanganku terasa panas dingin saat Pak Bagas berbicara lama dengan Papa mertua. Aku takut jika Pak Bagas memberitahu kejadian tadi pada Papa.

"Gimana sih, tadi katanya Papa dan Mama kamu nggak bisa datang!" decakku marah pada Ayu yang masih berdiri menggandeng tanganku. Tapi kami tetap berbicara dengan suara yang sangat pelan, jangan sampai orang lain mendengar pertengkaran kami. Untung saja ada alunan musik yang mengiringi jalannya pesta ini. Jadi suara kami tidak akan jelas terdengar oleh tamu-tamu yang lain.

"Nanti aku jelaskan dirumah," jawabnya santai dan terus tersenyum kearah beberapa rekan kerja yang melihat kearah kami. Mungkin mereka kasihan melihatku di gandeng oleh gajah bengkak, seharusnya Claudia yang berdiri disampingku sekarang.

"Dasar gajah bengkak, kamu nggak sadar ya kalau nggak pernah dianggap," maki Claudia dengan suara rendah pada Ayu. Tapi Ayu hanya diam tidak menanggapi ucapkan Claudia yang mengatakan secara langsung padanya dengan sebutan gajah bengkak.

"Dasar tuli," caci Claudia lagi, mungkin dia kembali berapi-api karena makiannya tidak ditanggapi oleh Ayu.

Aku samasekali tidak bisa berbuat apa-apa sekarang, karena ada mertua yang akan menghabisiku jika aku berani menyakiti anaknya.

"Kamu kok diam aja sih, Mas? Nggak ada niat apa ngebela aku," bentak Claudia padaku dengan suara yang tinggi. Sekarang semua tamu melihat kearah kami yang sedang bertengkar, termasuk Papa dan Mama mertua.

"Habis kamu, Mas," ucap Ayu yang dengan santainya meneguk minuman yang disediakan. Aku menelan ludah yang terasa kering, aku hanya bisa pasrah sekarang. Jika aku sampai ketahuan oleh mereka, aku bukan hanya di pecat dari menantu orang kaya, tapi juga akan di pecat menjadi anak sama Mama dan Papa.

"Ada apa ini, Sayang?" tanya Mama mertua pada Ayu yang sedang mencomot kue kering coklat. Ya ampun, masih saja dia memikirkan makanan saat situasi seperti ini.

"Coba Mama dan Papa tanya sendiri sama Mas Adam," ucapnya sambil menunjuk kearahku dengan mulutnya yang penuh dengan kue.

"Kenapa ini, Adam? Siapa wanita ini, kenapa dia marah-marah disini," tanya Papa mertua padaku, mampus, jawaban apa yang harus aku jawab sekarang.

"Kenapa kamu diam?" tanya Papa lagi dengan tatapan tajam.

"Jadi gini lho, Pa. Tadi itu kami kesini bertiga sama Mas Adam juga Claudia, jadi tadi aku nggak sengaja nginjak kakinya Claudia. Jadinya dia sedikit berteriak karena kakinya ke injak." Ayu menjelaskan semuanya dengan santai, dasar penipu ulung.

"Benar begitu, Adam?" tanya Papa lagi.

"I-iya, Pa," jawabku gagap.

"Memangnya dia siapa, Sayang. Kok bisa sih kalian satu mobil sama dia?" tanya Mama mertua pada Ayu.

"Dia ini Sekretarisnya Mas Adam, Ma. Jadi tadi itu mobilnya mogok, jadinya kami kasih tumpangan," jelas Ayu lagi yang masih sibuk memilih-milih makanan yang disediakan.

"I-iya Ma. Dia ini Claudia, sekretarisnya Adam," jawabku terbata. Kulihat sekilas wajah Claudia cemberut, mungkin dia nggak suka karena aku sama sekali tidak membelanya kali ini. Semua ini kulakukan untuk kebaikanku juga perusahaan Papa. Jika nanti perusahaan Papa sudah stabil, akan aku ceraikan saja si gendut ini.

"Kamu sekretarisnya Adam? Siapa yang ngundang kamu kemari? Bukannya ini hanya pesta untuk kalangan keatas ya?" tanya Mama mertuaku sini pada Claudia yang masih berdiri mematung tanpa senyum sedikitpun di wajah cantiknya.

"Eump…." Claudia sedikit ragu untuk menjawab apa atas pertanyaan Mama. Aku sangat takut jika Claudia akan membongkar semuanya disini, di depan semua orang.

"Dia sengaja aku yang suruh ikut, Ma. Buat bantuin aku megang tas sama bantuin aku ngambil makanan," potong Ayu lagi.

"Huufttt…." aku menghembuskan nafas lega karena lagi-lagi Ayu menyelamatkan aku dari posisi terdesak.

"Kamu, ambilin saya minum. Sekalian simpan yang ini," ucap Ayu pada Claudia sambil menyodorkan gelas yang sudah kosong bekas minumnya tadi.

"Apa?" Claudia terkejut mendengar perintah dari Ayu yang terkesan sinis. Claudia melihat kearahku meminta pembelaan dariku, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Aku hanya bisa berpaling melihat kearah lain agar tidak galau karena melihat wajah Claudia yang seakan ingin memakanku hidup-hidup.

"Kenapa kamu diam aja? Kamu nggak dengar anak saya bilang apa?" tegur Mama pada Claudia yang masih saja berdiri ditempat.

"Iya sebentar," jawab Claudia kesal yang dengan sengaja menyentakkan kakinya kelantai.

"Sekretaris kamu itu lelet banget sih, Adam. Pecat aja, cari sekretaris yang lain," ucap Mama mertua sambil berlalu dari hadapan kami. Mungkin dia akan menemani Papa mertua yang bertemu dengan rekan kerjanya. Segera aku tarik tangan Ayu yang sedang menikmati kue kering coklat kesukaannya ketempat yang lebih sepi.

"Kamu apa-apaan coba kesini, pakai acara bawa Papa sama Mama segala lagi," bentakku pada Ayu setelah kami berada di taman belakang.

"Harusnya kamu itu berterima kasih sama aku, Mas. Karena aku berhasil menyelamatkan nama baikmu sebagai suami," ucap Ayu sinis.

"Bukannya kata kamu tadi Mama sama Papa nggak bisa datang? Kenapa sekarang tiba-tiba mereka bisa datang?" selidikku penasaran.

"Tadi setelah kamu pergi, Mama dan Papa telepon. Katanya mereka jadi pergi ke pesta karena mau bertemu dengan orang penting. Jadinya aku nyusul kamu kesini," ucap Ayu menjelaskan. Perlahan aku melepaskan cengkraman tanganku dari lengan besarnya itu, aku juga sedikit salah tingkah karena sudah marah-marah dan ceroboh. Dia sudah sangat baik juga sabar menghadapinya tingkahku selama ini, walaupun aku baru menikahinya selama seminggu. Tapi aku sudah sangat banyak menorehkan luka, bahkan tiap malam aku selalu meninggalkannya sendirian di kamar hanya untuk keluar jalan-jalan dengan Claudia. Bahkan aku tidak segan-segan untuk melakukan panggilan video Dengan Claudia di depan Ayu. Tapi dia sama sekali tidak marah padaku, dia tetap memperlakukan aku layaknya suami.

Bahkan dia tau makanan dan minuman kesukaanku, juga dia tahu hoby yang aku gemari. Pernah sekali dia memberikan aku kado yang berisi sepatu futsal yang kuperkirakan harganya fantastis. Entah dari mana dia tahu jika aku suka bermain futsal, dia tahu segalanya tentang aku. Sedangkan aku, hanya tahu nama lengkapnya saja, itupun aku mengetahuinya ketika akan melakukan ijab kabul.

"Aku mau makan lagi, kamu mau ikut?" tanya Ayu yang mengejutkanku dari lamunan.

"Makan terus kamu, kapan kecil itu badan," ejekku dengan menatapnya dengan tatapan mengejek. Dia terlihat salah tingkah ketika aku mengatakan itu, apa dia marah ya. Ah, bukan masalah bagiku dia marah atau tidak. Yang aku katakan semuanya benar, jadi kenapa dia harus marah.

Dengan wajah yang ditekuk dia pun melangkah pergi dari hadapanku, dibilangin juga bukannya sadar sama bobot tapi malah marah. Aku biarkan saja terserah Ayu mau kemana, sekarang aku akan mencari dimana keberadaannya Claudia. Dari tadi aku tidak melihatnya disekitar sini, apa jangan-jangan dia sudah pulang ya. Karena sikapku yang tidak berani membela dia di depan semua orang, padahal ini semua juga aku lakukan demi masa depan kami nantinya. Karena aku berniat akan menikahi Claudia setalah aku menceraikan Ayu, padahal sudah beberapa kali aku mencoba mengajak Claudia untuk menikah siri, tapi dia tidak mau karena tidak ingin disebut pelakor.

Kemana Claudia, aku bahkan sudah berkali memutari kawasan pesta tapi dia tidak kelihatan. Akhirnya aku mengambil segelas air dan meneguknya hingga tandas. Sekarang bukan hanya Claudia yang menghilang, Ayu juga tidak bisa kutemukan keberadaannya.

Setelah minum, aku memutuskan untuk menelpon Claudia. Tapi percuma, sudah beberapa kali aku hubungi tapi tidak sekalipun dia mengangkatnya. Bahkan kini dia juga mematikan ponselnya, sialan.

Lebih baik aku memang segera pulang, mungkin saja Ayu dan Claudia memang sudah pulang duluan.

*

Tok Tok Tok

"Ayu…." aku memanggil nama Ayu beberapa kali tapi sama sekali tidak ada jawaban. Pintu terkunci, dan sialnya aku tidak membawa kunci cadangan tadi saat pergi saking terburu-buru. Padahal tadi aku membayangkan jika malam ini akan menjadi malam yang panjang antara aku dan Claudia, tapi semuanya malah menjadi kacau karena kedatangan Ayu dan mertua yang tiba-tiba.

"Ayu, buka pintunya," teriakku lagi sambil menggedor-gedor pintu. Beraninya dia tidak menjawab panggilanku, kemana sih dia. Aku mengeluarkan ponsel dan berniat untuk menelponnya, setelah layar pipih itu kuusap berkali-kali mencari namanya, tapi nihil tidak ada. Aku menepuk jidatku sendiri karena ternyata aku sama sekali tidak memiliki nomor ponselnya Ayu.

"Huuftt… sial!" gerutuku sambil menendang ban mobil yang masih terparkir di depan rumah.

"Maaf, Pak Adam. Nyonya belum pulang." Terdengar suara Mang Mamat yang tiba-tiba menghampiriku.

"Apa? Belum pulang, Mamang yakin," aku mencoba memastikan pernyataannya, dan dia mengangguk yakin.

"Mamang tau nggak nomer telponnya Nyonya?" tanyaku pada satpam itu.

"Memangnya Tuan nggak punya?" tanyanya ragu. Bahkan wajahnya menunjukkan jika dia bingung, seakan dia salah mendengar pertanyaan dariku.

"Eump, saya sudah ganti ponsel. Kebetulan semua nomor sudah hilang," jawabku sambil menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya pada satpam yang memang ditugaskan untuk menjaga kami oleh Papa mertua. Bahkan pembantu yang bekerja dirumah ini juga pembantu yang sudah lama bekerja dirumah Mama mertua dulu. Dan mereka berdua adalah sepasang suami istri yang sudah mengabdi puluhan tahun di rumah Papa mertua.

"Oh, ini Tuan," ucap Mang Maman sambil menyodorkan ponselnya. Aku segera menyambar ponsel itu dan menyalin nomor Ayu di ponselku.

"Udah, makasih ya Mang," ucapku sambil masuk kembali kedalam mobil.

Tut Tut Tut !

Aku mencoba menghubungi Ayu, akhirnya panggilan teleponku di jawab pada dering ketiga.

"Assalamualaikum, Mas," ucap Ayu di seberang.

"Kamu dimana? Kenapa belum pulang," aku mencercanya dengan beberapa pertanyaan.

"Ini aku lagi pulang, Mas," jawab Ayu.

"Oke, cepetan."

Aku mematikan sambungan telepon dan menyandarkan punggungku pada kursi kemudi. Pikiranku melayang pada Claudia yang sampai sekarang nomornya tidak bisa dihubungi. Sebaiknya besok sebelum ke kantor aku akan kerumahnya dulu, untuk memastikan jika dia tidak marah padaku.

Lima menit menunggu, ternyata Ayu sudah pulang. Aku segera turun dari mobil dan menghampirinya yang sedang menurunkan beberapa kantong plastik besar.

"Lama banget, mana kuncinya!" gerutuku kesal.

"Ini, Mas. Bantuin aku dong bawain ini semua," ucapnya sok manja.

"Ogah, bukan punyaku!" sinisku. Aku segera mengambil kunci rumah dan membukanya, lebih baik aku segera tidur agar besok aku bisa bangun lebih cepat.

Aku melirik ke belakang, Ayu terlihat kesusahan dengan beberapa kantong plastik besar di tangannya. Entah apa yang dia belanjakan malam-malam begini.

"Ambilkan aku air," ucapku saat sedang melepaskan jas yang aku pakai.

"Sebentar, Mas. Aku taruh ini dulu," jawab Ayu dengan suara khas orang kelelahan.

"Ini, Mas." Ayu menyodorkan segelas air padaku.

"Taruh aja di meja kan bisa," ketusku. Apa dia tidak melihat aku sedang bermain ponsel, aku sangat gelisah karena Claudia sama sekali tidak dapat dihubungi.

Setelah menaruh air di atas meja, Ayu mulai membereskan barang belanjaannya. Ternyata dia membeli stok makanan yang sangat banyak.

"Kamu tau apa perbedaan kamu sama Claudia?" tanyaku memecahkan keheningan.

"Maksud kamu?" tanya Ayu yang bingung dengan pertanyaanku barusan.

"Kalau kamu punya uang itu cuma untuk memanjakan perut, tapi Claudia akan memanjakan tubuhnya yang indah. Dia akan menghabiskan semua uang yang aku berikan untuk ke salon dan membeli baju-baju mahal, agar dia menjadi lebih cantik, bukan seperti gajah," sindirku dengan tersenyum jumawa.

Kulihat Ayu menghentikan aktivitasnya mengatur semua bahan makanan di kulkas. Dia juga terlihat meremas kedua tangannya yang putih tapi bulat-bulat. Dia cantik, tapi sayangnya dia tidak menyayangi dirinya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status