"Bisa-bisanya kamu menipu saya! Kamu bikin Bagas kehilangan apa yang seharusnya jadi miliknya! Satu-satunya yang selalu saya perjuangkan! Harga diri dia di mata Papa nya! Kamu pikir kamu siapa?!" teriak Mama Bagas histeris, kali ini ia sudah berhenti memukuli Kara. Bagas masih menutupi Kara, menjadi tameng kalau-kalau Mama nya mendadak murka lagi. "Ma, aku udah bilang, aku yang menginisiasi pernikahan kontrak ini, bukan Kara! Dan sekarang dia hamil Ma, hamil cucu Mama! Udahlah Ma, mungkin emang udah saatnya aku lepas dari bayang-bayang Papa, Mama gak usah khawatir, I'll be fine," tukas Bagas dengan tenang, ia tak beranjak sedikitpun dari sisi Kara. Di balik tubuh Bagas, Kara menangis tersedu-sedu. "Omong kosong! Ini bukan hanya tentang kamu! Ini tentang harga diri kita Bagas! Gimana bisa kamu ngebiarin Gavin duduk di kursi kamu! Berlagak seperti anak sah Papa kamu! Kamu gak mikirin gimana perasaan Mama?! Gimana bisa kamu ngelakuin ini sama Mama! Seumur hidup Mama gak akan pernah bis
Pagi hari pukul 10.00, orang-orang dengan pakaian rapih tampak menggedor masuk ke dalam Penthouse, menempelkan sticker tulisan 'this property belong to Mahendra Group' di semua barang-barang milik Bagas. Membuat Kara gemetar di tempatnya berdiri. "Siapa mereka?" tanya Kara dengan suara bergetar. "Orang suruhan Papa," jawab Bagas dengan kedua tangan terkepal. Papa Bagas, bukanlah tipikal orang yang pemaaf. Bagi Bagas sejak dulu Papa nya adalah sosok monster. Ia tak pernah bisa melihat Mama Bagas ataupun Bagas dengan perasaan penuh kasih, ia selalu menekan dan meminta semua orang untuk berlaku baik, patuh dan membanggakan. Sekeras apapun Bagas berusaha membanggakan Papa nya, sekeras itu juga Papa nya meremehkannya. Rasa benci Bagas kepada Papanya semakin menjadi-jadi, ia berjanji akan membalas semua perbuatan Papanya dengan kesuksesan yang akan membuat Papa nya berhenti merendahkan dia dan Mama-nya. "Kunci mobil?" pinta seorang leader yang bertugas menyita seluruh barang. Dengan gusar
Sore itu setelah sempat berputar-putar mengelilingi Jakarta untuk mencari harga terbaik, akhirnya Bagas dan Kara menemukan sebuah toko emas yang mau membeli perhiasan Kara dengan harga tinggi karena si empunya toko adalah seorang kolektor perhiasan. Kara tersenyum puas saat menerima uang tunai sebanyak enam ratus juta rupiah yang langsung ia simpan baik-baik di dalam tasnya. “Kita ke IKEA sekarang juga!” seru Kara penuh semangat. Bagas tertawa, “Emangnya kamu gak capek?” tanya Bagas sambil menatap ke arah perut Kara. Kara menggeleng, “Gak sih, asalkan kita makan dulu!” seru Kara dengan senyum lebar.Setengah jam kemudian Bagas dan Kara sudah berada di IKEA, mereka segera meluncur menuju food court untuk makan dengan cepat. “Makan yang banyak ya Kar, biar anak kita sehat!” tukas Bagas sambil membantu Kara memotong ikan salmon di piringnya. Kara menatap Bagas dengan wajah menahan senyum, betapa baiknya Tuhan menyisipkan kebahagiaan kecil di tengah huru-hara yang melelahkan ini. Setel
"Gas, saya minta maaf ya, tadi saya kesel banget gara-gara Thalita ngerendahin saya terus, jadi saya beli aja tas nya! Sekarang saya nyesel," cicit Kara pada Bagas saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran sehat. Bagas menghela nafas panjang, "Lain kali gak usah kepancing lah sama Thalita. Ngeladenin orang kayak dia, bikin kamu lama-lama jadi sama kaya dia juga," jawab Bagas dengan nada letih. Kara menundukkan kepalanya sambil menatap jemari kakinya yang pucat. "Tas nya gimana ya Gas," tukas Kara bingung. "Memangnya berapa harganya?" tanya Bagas. Kara menggigit bibir, "Tujuh puluh juta," jawab Kara lirih. Ia bisa melihat wajah Bagas yang cukup terkejut, tapi hanya sepersekian detik saja. "Ya udah udah terlanjur, next time kita mesti lebih hemat, kita berdua masih jobless Kar, kita harus punya tabungan, khususnya buat melahirkan nanti," ujar Bagas berusaha tidak terdengar sedang menghakimi. Kara mengangguk, dan berjanji dalam hati akan semakin bijaksana dalam menggunakan uan
Kara berlari mengejar Bagas, "Gas! Aku ikut! Please?" teriak Kara dari teras rumah. Ia merasa sangat khawatir dengan Mama Bagas. Bagas menghentikan langkahnya, "Kamu yakin?" tanya Bagas sambil menatap Kara ragu. Kara mengangguk, lalu kembali ke kamar mengambil jaket dan segera berjalan cepat menyusul Bagas ke mobil. Di dalam mobil Bagas hanya mengemudi dalam diam, di sebelahnya Kara menggigit bibir merasa sangat bersalah. Bagaimanapun ia adalah salah satu dari penyebab segala kekacauan yang terjadi. Jika sampai terjadi sesuatu dengan Mama Bagas, mungkin segala sesuatunya tidak akan pernah sama lagi.Dua puluh menit kemudian mereka sampai di Royal Hospital. Bagas dan Kara berjalan bersisian menuju instalasi gawat darurat. Tiba-tiba saja Bagas berhenti karena dari kejauhan ia bisa melihat dengan jelas Papanya dan Gavin yang sedang duduk di bangku ruang tunggu. "Kamu tunggu sini dulu ya Kar," tukas Bagas menarik Kara ke sebuah bangku di dekat apotek. Setelah itu Bagas berlalu ke dalam
Kara turun dari taksi dengan tergesa-gesa, ia masuk ke dalam Royal Hospital dengan kaca mata hitam dan hoodie yang rapat menutupi sebagian wajahnya. Dari kejauhan ia bisa melihat Juan sedang berjaga di depan ruang tunggu, yang artinya Mama Bagas masih dirawat di dalam sana. Tapi, dimana Bagas? Dengan cepat Kara menghampiri Juan, ia ingin mendesak Juan untuk mengatakan dimana keberadaan Bagas sesungguhnya. Namun belum sampai langkahnya ke tujuan, Papa Bagas dan Gavin tampak muncul keluar dari ruang rawat inap Mama Bagas. Kara langsung putar balik dan mengamati mereka dari balik banner promosi rumah sakit. Beberapa saat kemudian mereka terlihat berjalan ke arah Kara, sepertinya hendak keluar menuju lobby rumah sakit dengan ditemani oleh Juan. Kara langsung menundukkan wajahnya berlagak sedang sibuk dengan ponselnya. Setelah mereka sudah tak terlihat lagi, Kara segera berjalan cepat menuju ruang rawat inap Mama. Kara tak punya banyak waktu, dengan cepat ia menyelinap masuk ke dalam ru
"Kita ke rumah sakit ya Kar!" seru Gavin dengan wajah yang khawatir. Kara hanya terdiam sambil memejamkan mata, ia mengusap perutnya, dalam hati ia berbicara dengan janinnya, meminta janin dalam kandungannya untuk kuat dan bertahan. Ia mengulang kata-katanya sampai beberapa kali, sampai akhirnya perutnya mulai terasa lebih baik. Ia tidak lagi merasakan keram. Kara membuka matanya dan langsung bertatapan dengan mata Gavin yang sedang berdiri sambil menatap Kara dengan wajah pias karena terlalu merasa khawatir. Dalam hati Kara berpikir, mungkin seharusnya ia tidak sekeras itu kepada Gavin, karena toh dia ada disini karena permintaan Bagas. Setelah merasa lebih baik, Kara bangkit untuk duduk, dengan sigap Gavin membantu Kara. "Saya ambilin minum ya," ujar Gavin lalu berlalu menuju ke dalam, mencari-cari letak dapur. Tak lama kemudian Gavin kembali dengan segelas air putih dan langsung menyodorkannya pada Kara. "Makasih," ucap Kara lirih. Gavin duduk di depan Kara dengan wajah muram. "
"Nyuk kenapa gak cerita dari kemaren sih!" tukas Nadine setelah ia sampai di rumah Kara. Kara hanya terdiam sambil memainkan ponsel di tangannya. "Lo gak mau ngelakuin sesuatu?!" desak Nadine dengan gemas. Kara mengigit bibirnya, "Bagas nyuruh gue buat percayain aja semua ke dia," jawab Kara sambil berpikir. Nadine menghempaskan tubuhnya di atas sofa di sebelah Kara. "Kalo ternyata Bagas gak ngelakuin apa-apa gimana?" pancing Nadine. "Gak mungkin lah Nyuk! Bagas pasti ngelakuin sesuatu!" sanggah Kara dengan agak kesal, tapi jauh di lubuk hati Kara sejujurnya ia menanyakan hal yang sama. "Sekarang gini, seandainya Bagas gak ngelarang lo, apa yang mau lo lakuin di situasi ini?" tanya Nadine yang terlalu mengenal Kara. Ia tahu betul jika Kara bukan tipe orang yang bisa berpangku tangan ditengah situasi yang merugikan dirinya. "Gue pengen nemuin Papanya Bagas! Gue mau tau kenapa dia gak bisa ngebiarin aja Bagas bahagia sama gue! Kalau sampai dia ngancem gue, gue bakal ngancem dia balik