Keesokan harinya Kara terbangun dengan perasaan yang tak menentu. Ia merasa sangat amat bodoh karena merusak segala rencana Bagas. Seharusnya mereka tidak melakukan hal bodoh itu di malam tahun baru. Sekarang semuanya jadi berantakan dan Kara sama sekali tak tahu bagaimana ia bisa mengembalikan semua pada tempatnya. Saat sedang merasa gelisah ia teringat ada sesuatu di dalam perutnya, entah dalam bentuk apa sekarang, mungkin gumpalan darah? Atau apa? Kara mengelus perutnya pelan. Sebuah ketukan di pintu mengejutkan Kara yang masih merebah di atas tempat tidur. Belum sempat Kara bangkit, Bagas sudah menerobos masuk dengan sebuah nampan di tangannya. "Sarapan dulu, abis ini kita langsung ke dokter," tukas Bagas lalu meletakkan nampan di atas meja. Belum sempat Kara menyahut Bagas sudah bergegas keluar dari kamar. Dengan gamang Kara memakan sereal yang dibuatkan Bagas. Ia juga menghabiskan satu gelas penuh susu karena khawatir janinnya kekurangan nutrisi. Setelah itu ia bergegas mandi
"Kamu mau bilang ke Thalita hari ini?!" seru Kara agak terkejut dengan keputusan Bagas yang cepat. Ia pikir Bagas akan menunggu beberapa saat sebelum memberitahukan segalanya pada semua orang. Tapi ternyata Bagas tak ingin membuat Kara menunggu terlalu lama. "Kamu makan yang bergizi ya, nanti saya kirim makanan ke butik, gak usah mikirin apa-apa, serahin semua sama saya," tukas Bagas sambil mengenakan dasi. Kara tersenyum malu-malu belum terbiasa dengan perhatian Bagas. "Ready?" tanya Bagas pada Kara yang masih duduk di atas stool. "Hah?" tanya Kara tak mengerti. "Mulai sekarang saya yang akan antar kamu kerja," tukas Bagas sambil mengulurkan tangan kepada Kara. Dengan perasaan berbunga Kara menerima uluran tangan Bagas. Setelah itu mereka berjalan bergandengan sambil sama-sama tersenyum menuju ke area parkir Penthouse. "Loh kok tumben di anterin?!" tanya Nadine yang berpapasan dengan Kara dan Bagas yang baru saja sampai di depan butik. Bagas turun membukakan pintu untuk Kara, memb
"Hai Nad!" sapa Bagas saat keluar dari mobil hendak menjemput Kara. Nadine langsung berkacak pinggang, sebelum Nadine sempat membuka mulut Kara menggeleng, mencegah Nadine untuk berbicara tentang kedatangan Thalita tadi siang. Namun Bagas yang melihat gelagat Kara dan Nadine malah penasaran. "Kenapa Nad?" tanya Bagas, kali ini dengan mata yang memicing tajam. Nadine tak mempedulikan larangan Kara karena ia merasa Thalita sudah sangat keterlaluan. "Si Mak Lampir dateng tadi siang, ngelabrak Kara! Lo tau apa? Dia ngedorong Kara sampe jatoh!" tukas Nadine kesal. Bagas langsung menatap Kara, "kamu gak pa pa?" tanya Bagas sambil memeriksa tubuh Kara. Dengan wajah penuh amarah, Bagas mengambil ponsel di saku celananya. "JANGAN MELEWATI BATAS THA! SAYA BISA MELAKUKAN YANG LEBIH BURUK KALAU KAMU BERANI SENTUH KARA DAN JANIN DALAM KANDUNGANNYA SEKALI LAGI!" bentak Bagas pada Thalita lewat telepon. Kara sampai gemetar saking terkejutnya ia melihat amarah Bagas yang berapi-api. Sementara Nadi
"Bisa-bisanya kamu menipu saya! Kamu bikin Bagas kehilangan apa yang seharusnya jadi miliknya! Satu-satunya yang selalu saya perjuangkan! Harga diri dia di mata Papa nya! Kamu pikir kamu siapa?!" teriak Mama Bagas histeris, kali ini ia sudah berhenti memukuli Kara. Bagas masih menutupi Kara, menjadi tameng kalau-kalau Mama nya mendadak murka lagi. "Ma, aku udah bilang, aku yang menginisiasi pernikahan kontrak ini, bukan Kara! Dan sekarang dia hamil Ma, hamil cucu Mama! Udahlah Ma, mungkin emang udah saatnya aku lepas dari bayang-bayang Papa, Mama gak usah khawatir, I'll be fine," tukas Bagas dengan tenang, ia tak beranjak sedikitpun dari sisi Kara. Di balik tubuh Bagas, Kara menangis tersedu-sedu. "Omong kosong! Ini bukan hanya tentang kamu! Ini tentang harga diri kita Bagas! Gimana bisa kamu ngebiarin Gavin duduk di kursi kamu! Berlagak seperti anak sah Papa kamu! Kamu gak mikirin gimana perasaan Mama?! Gimana bisa kamu ngelakuin ini sama Mama! Seumur hidup Mama gak akan pernah bis
Pagi hari pukul 10.00, orang-orang dengan pakaian rapih tampak menggedor masuk ke dalam Penthouse, menempelkan sticker tulisan 'this property belong to Mahendra Group' di semua barang-barang milik Bagas. Membuat Kara gemetar di tempatnya berdiri. "Siapa mereka?" tanya Kara dengan suara bergetar. "Orang suruhan Papa," jawab Bagas dengan kedua tangan terkepal. Papa Bagas, bukanlah tipikal orang yang pemaaf. Bagi Bagas sejak dulu Papa nya adalah sosok monster. Ia tak pernah bisa melihat Mama Bagas ataupun Bagas dengan perasaan penuh kasih, ia selalu menekan dan meminta semua orang untuk berlaku baik, patuh dan membanggakan. Sekeras apapun Bagas berusaha membanggakan Papa nya, sekeras itu juga Papa nya meremehkannya. Rasa benci Bagas kepada Papanya semakin menjadi-jadi, ia berjanji akan membalas semua perbuatan Papanya dengan kesuksesan yang akan membuat Papa nya berhenti merendahkan dia dan Mama-nya. "Kunci mobil?" pinta seorang leader yang bertugas menyita seluruh barang. Dengan gusar
Sore itu setelah sempat berputar-putar mengelilingi Jakarta untuk mencari harga terbaik, akhirnya Bagas dan Kara menemukan sebuah toko emas yang mau membeli perhiasan Kara dengan harga tinggi karena si empunya toko adalah seorang kolektor perhiasan. Kara tersenyum puas saat menerima uang tunai sebanyak enam ratus juta rupiah yang langsung ia simpan baik-baik di dalam tasnya. “Kita ke IKEA sekarang juga!” seru Kara penuh semangat. Bagas tertawa, “Emangnya kamu gak capek?” tanya Bagas sambil menatap ke arah perut Kara. Kara menggeleng, “Gak sih, asalkan kita makan dulu!” seru Kara dengan senyum lebar.Setengah jam kemudian Bagas dan Kara sudah berada di IKEA, mereka segera meluncur menuju food court untuk makan dengan cepat. “Makan yang banyak ya Kar, biar anak kita sehat!” tukas Bagas sambil membantu Kara memotong ikan salmon di piringnya. Kara menatap Bagas dengan wajah menahan senyum, betapa baiknya Tuhan menyisipkan kebahagiaan kecil di tengah huru-hara yang melelahkan ini. Setel
"Gas, saya minta maaf ya, tadi saya kesel banget gara-gara Thalita ngerendahin saya terus, jadi saya beli aja tas nya! Sekarang saya nyesel," cicit Kara pada Bagas saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran sehat. Bagas menghela nafas panjang, "Lain kali gak usah kepancing lah sama Thalita. Ngeladenin orang kayak dia, bikin kamu lama-lama jadi sama kaya dia juga," jawab Bagas dengan nada letih. Kara menundukkan kepalanya sambil menatap jemari kakinya yang pucat. "Tas nya gimana ya Gas," tukas Kara bingung. "Memangnya berapa harganya?" tanya Bagas. Kara menggigit bibir, "Tujuh puluh juta," jawab Kara lirih. Ia bisa melihat wajah Bagas yang cukup terkejut, tapi hanya sepersekian detik saja. "Ya udah udah terlanjur, next time kita mesti lebih hemat, kita berdua masih jobless Kar, kita harus punya tabungan, khususnya buat melahirkan nanti," ujar Bagas berusaha tidak terdengar sedang menghakimi. Kara mengangguk, dan berjanji dalam hati akan semakin bijaksana dalam menggunakan uan
Kara berlari mengejar Bagas, "Gas! Aku ikut! Please?" teriak Kara dari teras rumah. Ia merasa sangat khawatir dengan Mama Bagas. Bagas menghentikan langkahnya, "Kamu yakin?" tanya Bagas sambil menatap Kara ragu. Kara mengangguk, lalu kembali ke kamar mengambil jaket dan segera berjalan cepat menyusul Bagas ke mobil. Di dalam mobil Bagas hanya mengemudi dalam diam, di sebelahnya Kara menggigit bibir merasa sangat bersalah. Bagaimanapun ia adalah salah satu dari penyebab segala kekacauan yang terjadi. Jika sampai terjadi sesuatu dengan Mama Bagas, mungkin segala sesuatunya tidak akan pernah sama lagi.Dua puluh menit kemudian mereka sampai di Royal Hospital. Bagas dan Kara berjalan bersisian menuju instalasi gawat darurat. Tiba-tiba saja Bagas berhenti karena dari kejauhan ia bisa melihat dengan jelas Papanya dan Gavin yang sedang duduk di bangku ruang tunggu. "Kamu tunggu sini dulu ya Kar," tukas Bagas menarik Kara ke sebuah bangku di dekat apotek. Setelah itu Bagas berlalu ke dalam