Share

Calon Suami Istri

Kara yang sudah sampai di luar penginapan mengumpat karena ia lupa jika saat ini adalah musim dingin dan ia hanya mengenakan celana kulot dan crop top. 

Dengan sebal ia kembali masuk ke dalam penginapan dan berlari ka lantai tiga. 

"Saya lupa pakai mantel!" tukas Kara sambil membuka pintu, Bagas terlihat sedang menelepon seseorang di dekat jendela, tak menyadari kehadiran Kara. 

"Udahlah Ma, Mama tenang aja! Aku bisa urus semua sendiri. Pokoknya sampai Indonesia aku udah punya istri."

"Gavin gak akan dapat kesempatan itu Ma. Just Relax okay? Mama cukup masukin nama aku di pencalonan CEO. Let me do the rest."

Bagas dengan gusar mematikan panggilan teleponnya dan terkejut mendapati Kara berdiri disana dengan mantel di tangannya. "Sejak kapan kamu di situ?" tanya Bagas sambil berjalan ke arah Kara. "Barusan kok. Mantel saya ketinggalan. Tadi waktu masuk saya teriak-teriak kamu gak dengar?" sahut Kara ketus, ia sudah bersiap untuk keluar kamar lagi saat Bagas menahannya. 

"Saya ikut!" tukas Bagas tiba-tiba, membuat Kara ternganga. "Ngapain? Gak mau ah! Kamu rese sih gak asik!" tolak Kara, ia buru-buru berbalik badan dan mengambil ancang-ancang untuk kabur. 

Bagas berjalan cepat menghalangi langkah Kara. "Kita omongin masalah nikah kontrak yang tadi saya bahas. Kamu boleh tanya apa aja," bujuk Bagas yang sudah di kejar dateline oleh Mamanya. 

Mata Kara melotot, 

"Lah emangnya saya udah mengiyakan?"ujar Kara setengah mencibir. Bagas menghela nafas, "Ya makanya kamu cari tau dulu benefit nya buat kamu. Jadi kamu bisa segera ambil keputusan!" Kara terdiam sejenak, berpikir. Di otaknya hanya ada CUAN CUAN CUAN. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya ia mengijinkan Bagas untuk ikut dengannya. 

"Satu syaratnya! NO COMPLAIN!" tukas Kara seraya memakai mantel tebal abu-abunya. 

Bagas bergegas mengenakan mantel, mengambil ponsel dan dompetnya, lalu berlari mengejar Kara yang sudah lebih dulu turun. 

"Jalan kaki dikit ke sloterdijk station." ujar Kara singkat. 

Bagas baru akan membuka mulutnya saat Kara mengingatkannya untuk tidak komplain. Mereka berjalan bersisian sambil melihat pemandangan di sekitar penginapan, rumah-rumah dengan bangunan klasik khas Amsterdam terlihat indah karena ditutupi salju yang turun perlahan. 

"Jadi saya udah boleh nanya-nanya?" Kara menoleh menatap Bagas yang berjalan disampingnya. 

Telinga Bagas tampak memerah karena kedinginan. Mereka sama-sama lupa mengenakan penutup kepala ataupun penutup telinga. Bagas mengangguk singkat, 

"Boleh. Hanya seputar Kontrak Pernikahan," sahutnya tanpa menoleh. 

Kara manggut-manggut, ia sedang menyusun pertanyaan di kepalanya saat tiba-tiba Bagas bertanya. "Jadi kamu beneran mau di jodohin bapak tua yang banyak kutilnya?"

Kara menghela nafas dan memonyongkan bibirnya, "Iya! Jadi Papa saya pernah mulai bisnis dengan pinjaman dari si bapak kutil itu. Terus Papa saya yang memang kurang kompeten kena tipu, ya terus bangkrut. Dia di ancam bakal di penjara kalau gak bayar utangnya," jelas Kara muram. 

Bagas terdiam sejenak, "Yang ngusulin untuk mengadakan pernikahan siapa? Papa kamu atau bapak itu?" tanya Bagas lagi. 

"Ya Bapak tua itu lah! Dia emang muka cabul gitu! Dari awal dia ketemu sama saya udah keliatan tuh gelagatnya! Amit-amit deh!" sahut Kara sambil bergidik ngeri. 

Bagas hanya tersenyum sedikit, nyaris tak terlihat. 

"Terus yang bikin kamu masih mikir untuk jawab tawaran dari saya apa? Kalau kamu nikah sama si Bapak itu udah pasti kamu bakal di pake! Mending sama saya, kontrak dua tahun, no sentuhan fisik at all!" papar Bagas supaya Kara segera mengiyakan tawarannya. 

Dalam hati Kara menyetujui semua kata-kata Bagas. Tapi dia masih ingin jual mahal, supaya Bagas tidak semena-mena dengannya. 

"Yang saya pikirin adalah, saya bisa tahan gak hidup dua tahun hidup bareng sama orang macam kamu," tukas Kara dengan nada santai tanpa menatap mata Bagas. 

Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, mereka sampai di stasiun Sloterdijk, lalu melanjutkan perjalanan dengan kereta menuju Centraal Station. 

Perjalanan metro dari Sloterdijk menuju Amsterdam Centraal Station hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit. 

Kara dan Bagas melangkah keluar dari Centraal Station lalu melanjutkan berjalan kaki menyusuri trotoar di Jalan Damrak yang menghubungkan Centraal Station dengan Dam Square. 

Walaupun saat ini musim dingin, trotoar di Jalan Damrak tetap dipenuhi oleh wisatawan, baik asing maupun lokal. 

Sepanjang Jalan Damrak dipenuhi oleh aneka toko, cafe dan restoran yang berjejer rapi dengan desain bangunan kuno khas Belanda. Kara tertawa sendiri saat melihat bangunan dengan tulisan 'Sex Museum' di bagian depannya, ia melirik Bagas dan berinisiatif untuk mengajak Bagas masuk kesana. 

"Masuk kesana yuk!" tukas Kara seraya menunjuk Sex Museum yang berada tidak jauh dari mereka. Bagas yang biasanya acuh agak sedikit menahan tawa. Ia sudah berjanji tidak akan komplain, jadi ia dengan cepat mengiyakan keinginan Kara. 

Setelah membayar 10 Euro untuk dua orang, mereka masuk ke dalam Sex Museum dan langsung disambut oleh Pahatan Venus telanjang seukuran manusia. 

Di sepanjang lorong Museum mereka disuguhi aneka patung dan gambar aktivitas Sex dengan jelas tanpa sensor. Kara terkikik sendiri melihat beberapa gambar erotic yang menurutnya lucu. Sementara Bagas hanya berdeham salah tingkah, karena sebagai seorang pria normal, libidonya agak tergelitik melihat pemandangan yang keseluruhan nya bernuansa seksual itu. 

"Pindah tempat lain Kar, betah banget disini!" omel Bagas saat Kara terlihat akan berpindah ke galeri lain di dalam Sex Museum. Wajah Kara langsung tersipu. Sial! Ia pasti terlihat seperti Sex maniac sekarang! 

Setelah keluar dari Sex Museum mereka melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Damrak yang masih panjang, menuju Dam Square 

Tak sengaja mata Kara melihat suatu Cafe yang menjual Stroopwafel dengan saus karamel khas Belanda yang kelihatannya sangat lezat. "Mampir situ dulu Gas! OMG Stroopwafel!!!" seru Kara sambil berlari kecil menuju Cafe tersebut. 

Ia sengaja mengambil tempat duduk al fresco atau tempat duduk outdoor dengan payung-payung di atasnya supaya lebih leluasa melihat pemandangan orang yang berlalu lalang. Hal yang paling Kara sukai adalah melihat orang asing yang tidak sama seperti dirinya. Membuat ia jadi semakin mencintai perbedaan. 

"So, kenapa laki-laki muda seperti kamu mau melakukan nikah kontrak tanpa cinta?" tanya Kara setelah mereka duduk dan menikmati dua cangkir kopi dan dua porsi Stroopwafel. 

Bagas meletakkan cangkir kopi yang baru saja diseruputnya, "Tahta!" jawab Bagas singkat. 

Kara menaikkan satu alisnya tanda ia belum puas dengan jawaban Bagas. Bagas menghela nafas panjang, sebaiknya ia ceritakan saja semua kepada Kara supaya Kara bisa segera mengambil keputusan. 

"Perebutan posisi CEO di perusahaan Ayah saya. Saya anak pria yang sah secara hukum, satu-satunya yang akan mewarisi kekayaan Ayah saya. Tapi saya harus dalam status menikah ketika saya mendapatkan jabatan itu." 

"Ayah saya yang setahun belakangan baru ketahuan memiliki seorang anak haram diluar nikah dengan perempuan lain, dan kebetulan anaknya seusia saya, sedang mempertimbangkan untuk memberikan posisi tersebut kepada si anak haram ini."

Bagas menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya, 

"Ibu saya sebagai istri Sah langsung kalang kabut, di paksalah saya untuk segera menikah! Dari beberapa bulan lalu Ibu saya udah ngasih beberapa pilihan wanita yang semuanya saya tolak, jadi kamu harusnya merasa beruntung, karena saya pilih langsung," tandas Bagas dengan nada arogan yang sudah melekat padanya. 

Kara langsung tersedak kopi panasnya, 

"Kamu emang ngerasa ganteng banget ya? Pede banget sih. Dih!" sahut Kara sambil memutar bola matanya. 

Bagas langsung diam. Kesal. 

"Jadi gimana? The clock is ticking jangan lama-lama mutusin nya!" oceh Bagas mulai kehilangan kesabaran. 

"Saya bisa ngajuin beberapa syarat?" tanya Kara sambil menggenggam kopi panas dengan kedua tangannya. 

"Boleh. Apa?" Bagas balik bertanya, penasaran. 

Kara bersorak dalam hati, namun wajahnya tetap terlihat datar. "Nanti saya kasih kamu list nya!" jawab Kara sok penting. 

Bagas menaikkan satu alisnya, "List?" Ia membayangkan banyaknya syarat yang akan Kara ajukan. Kara mengibaskan tangannya, 

"Cuma sedikit. Nanti malam saya kasih ke kamu listnya."

Bagas mengangguk, lalu mengulurkan tangannya pada Kara untuk bersalaman. 

"Jadi kita calon suami istri. DEAL?" tukas Bagas tegas. 

Kara sempat terdiam sebentar, lalu menyalami tangan Bagas dengan yakin. 

"DEAL!" 

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status