MasukEthan tetap berdiri tegak, rahangnya mengeras. Meskipun tangannya mencengkeram pinggang Bella dengan tekanan yang hampir menyakitkan, suaranya saat berbicara ke mikrofon tetap tenang dan penuh wibawa."Mari kita nikmati sisa malam ini dengan optimisme baru untuk Moonville," tutup Ethan, disambut riuh tepuk tangan.Begitu ia menurunkan mikrofon, Ethan segera menarik Bella turun dari podium. Langkahnya lebar dan terburu-buru, menyeret Bella melewati kerumunan tamu yang mencoba menyapa. “Aku butuh penjelasan,” todong Bella tanpa harus menunggu.“Nanti. Tapi kau pantas mendapatkan yang terbaik,” jawab Ethan dengan suara rendah.“Semua ini sudah keluar dari isi perjanjian kerjasama kita, Ethan.”“Mas—panggil aku dengan sebutan itu, jika di hadapan semua orang.”“W-What the fck? Lepas! Tanganmu menyakitiku..." Bella meringis, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman pria itu.Ethan tersadar dan melepaskan pegangannya, namun matanya selalu mencuri pandang pada amplop itu. "Sorry…" desis
"Berani juga. Pantas saja Elena meradang di luar sana," Sovia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebatang lipstik. "Dengar, Bella. Butik Butterfly milik keluarga kami yang sekarang aku kelola tidak hanya menjual baju, kami menjual citra. Dan sejauh ini, kau memberikan citra yang menarik bagi Ethan. Tapi ingat satu hal..."Sovia menatap Bella melalui pantulan cermin, sorot matanya berubah serius."Di keluarga Dirgantara, rahasia adalah mata uang. Jika kau punya rahasia yang bisa menjatuhkan Ethan, sebaiknya kau simpan itu rapat-rapat. Karena jika aku bisa melihat kegugupan di balik gaunmu, orang lain juga bisa."Ia kemudian menyodorkan sebuah kartu nama berwarna perak ke arah Bella. "Datanglah ke butikku besok pagi. Gaun yang kau pakai sekarang sudah 'ternoda' karena tatapan kebencian Elena. Kau butuh sesuatu yang baru untuk acara makan malam keluarga besok."Bella menerima kartu itu dengan ragu. "Makan malam keluarga?""Oh, Ethan belum memberitahumu?" Sovia tertawa kecil samb
Langkah kaki Bella terasa ringan meskipun jantungnya bertalu-talu di balik gaun emerald green-nya. Ia bisa merasakan tatapan tajam Elena yang seolah ingin melubangi punggungnya, namun ia menolak untuk menoleh. Di sampingnya, Ethan berjalan dengan dagu terangkat, memancarkan aura dominasi yang selama ini menjadi ciri khasnya."Sangat berani," bisik Ethan tanpa menggerakkan bibir terlalu banyak saat mereka mulai memasuki area ballroom yang luas. "Aku tidak menyangka kau bisa menjawabnya secepat itu.""Aku hanya melakukan pekerjaanku, Ethan. Bukankah kau tidak mau rugi karena sudah membayarku?" jawab Bella datar, meski jemarinya yang melingkar di lengan Ethan sedikit gemetar.Aula Tuscan Twilight dipenuhi oleh aroma cerutu mahal, parfum kelas atas, dan denting gelas kristal. Di sudut ruangan, sekelompok pria paruh baya berpakaian formal tampak sedang berdiskusi serius. Mereka adalah para investor yang disebutkan Ethan—orang-orang yang memegang kunci masa depan proyek ambisiusnya di M
Zivanna hanya mengangguk singkat tanpa mengalihkan pandangan dari piringnya. Atmosfer di meja makan itu terasa begitu berat, seolah setiap denting sendok yang beradu dengan piring porselen adalah detak bom waktu. Ethan menepuk punggung tangan Bella sekilas—sebuah kode agar gadis itu segera duduk dan mulai makan. "Panggil dia Mama, Bella. Itu bagian dari peranmu sekarang," bisik Ethan nyaris tak terdengar. Bella duduk dengan kaku. Di depannya tersaji sarapan ala bangsawan yang terlihat sangat lezat, namun seleranya seolah menguap. Ia melirik Zivanna, wanita yang tampak sempurna tanpa cela itu. Ada otoritas yang mutlak dalam setiap gerakannya. "Jadi," Zivanna akhirnya meletakkan serbetnya setelah beberapa suapan. "Tuscan Twilight. Kau yakin membawanya ke sana, Ethan? Kau tahu siapa yang akan ada di sana selain investor?" Ethan menyuapkan makanan ke mulutnya dengan tenang. "Aku tahu. Dan itulah alasan utamanya aku membawa Bella. Aku ingin semua orang tahu bahwa posisiku tidak lag
"Aku memilihmu karena..." Ethan pun melihatnya, dalam, penuh arti.“Hem,” kepala Bella dimiringkan, menanti sebuah jawaban yang menggantung.“What… Ethan?” tagih Bella, suaranya ditekan, hingga terdengar seperti—kurang sabar.Ethan menarik smirknya, "Itu karena… kamu berani mengumpat di depanku," jawab Ethan asal. Bella menautkan kedua alisnya. “Hanya itu? Gila,” pupus sudah rasa percaya diri Bella, kedua bahuku diturunkan."Ya. Itu karena kamu tidak memandangku seperti mereka memandangku,”“Mereka… siapa?” sahut Bella cepat.Ia terdiam sejenak, lalu tangannya bergerak naik, membelai pipi Bella dengan ibu jarinya. "Kamu belum menyadarinya, Bella?”Gadis itu terdiam, ia tidak menyela.“Di balik kemarahanmu, kamu hanya menyembunyikan sebuah luka. Kita berdua adalah orang yang sedang bertahan hidup, dengan cara kita masing-masing."Bella terpaku. Sentuhan itu terasa berbeda—tidak ada aura mengancam, hanya ada keheningan yang intim. "Ngomong apaan sih kamu? Aku nggak ngerti deh," bis
Lantai ruang makan Chateau de Valois terbuat dari kayu ek tua yang dipoles hingga mengkilap, memantulkan cahaya lilin dari tempat lilin perak di tengah meja. Suasana hening, hanya denting pelan alat makan yang beradu dengan porselen halus. Zivanna duduk di ujung meja, memegang gelas kristal berisi anggur merah dengan keanggunan seorang ratu. Matanya yang tajam tidak pernah lepas dari Bella, bahkan saat ia menyesap minumannya. “Jadi, Isabella,” suara Zivanna memecah kesunyian, “Ethan bilang kamu memiliki latar belakang di bidang seni. Tapi sejauh pengamatanku, tanganmu tidak terlihat seperti tangan seorang pelukis yang berlumuran cat. Lebih seperti... tangan seseorang yang terbiasa bekerja keras untuk bertahan hidup.” Bella merasakan remasan halus tangan Ethan di bawah meja—sebuah peringatan sekaligus dukungan. Bella meletakkan garpunya perlahan, berusaha tidak membiarkan tangannya gemetar. “Seni tidak selalu tentang cat dan kanvas, Nyonya,” jawab Bella, menatap langsung ke mat







