All Chapters of ISTRI 48 JAM TUAN CEO : Chapter 1 - Chapter 10

4 bulan sebelum kejadian .... Zivanna, perempuan cantik, pintar dan mandiri. Semua tidak ia dapatkan dengan mudah, tempaan masa lalu yang berlatar belakang broken home membuat Zee menjadi pribadi yang lebih kuat dari gadis seusianya. "Aku masih menyiapkan beberapa dokumen untuk persiapan meeting nanti siang. Mas Kay bisa pergi dulu ke kantor, nggak perlu nungguin aku." Zivanna menjawab telepon dari calon suaminya, Kayvandra. Hari ini tepat dua bulan setelah mereka melakukan pesta pertunangan. Semuanya direncanakan dengan baik, meskipun acara digelar hanya mengundang keluarga serta kerabat terdekat saja. "Nggak apa-apa, Mas. Kita ketemu di kantor saja, setelah meeting kita bisa makan siang bareng di luar, gimana?" sahut Zivanna yang sepertinya sedang mencari alasan agar Kayvandra tidak menunggunya. "Iya, aku juga sayang sama, Mas. Sampai ketemu di kantor ya, Mas. Love you more, Mas Kay ...." Zivanna pun menutup teleponnya. "Fiuh ...." ia menghela napas panjang, lalu melihat

Satu bulan setelah mereka berpisah, Kayvandra menerima satu email dari mantan istrinya. Email tersebut berisi surat pengunduran diri Zivanna dari perusahaan Dirgantara, "Berani-beraninya dia ...." gumam Kayvandra setelah membuka email tersebut. Ia membuka ponsel yang diletakkan tak jauh dari tempat duduknya. Kayvandra mencari nomor kontak Zivanna yang sudah tidak pernah lagi ia hubungi sejak perceraian kemarin. Jari Kayvandra menekan tombol panggil, "Sialan! Apa dia mengabaikan aku sekarang?" gerutu Kayvandra setelah telepon darinya tidak ada jawaban. Ia mencoba kembali untuk yang kedua kalinya, "Sedang apa kau?!" teriak pria itu begitu emosi. Zivanna mematung, ia memegang erat ponselnya agar tidak terjatuh. Baru saja ia hendak menyapa, namun suara lantang di seberang membuatnya terkejut dan membeku. [Aku? Aku sedikit .... sibuk] Jawab Zivanna dengan tenang, ia berhasil menstabilkan keadaan. "Sibuk? Sok banget kamu sekarang? Ini apalagi? Kenapa tidak datang langsung ke kan

Zivanna terduduk lemas di tepi bathtub, alat uji kehamilan masih tergenggam erat di tangannya yang dingin. Pikirannya berputar kacau, mencoba mencari logika dari kenyataan yang baru saja ia terima. “Aku sudah bercerai… aku sudah pergi jauh… tapi kenapa sekarang?” bisiknya lirih, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam gemuruh emosinya sendiri. Air matanya mengalir pelan, kali ini bukan karena sakit hati pada Kayvandra, tapi karena ketakutan. Takut akan masa depan yang tak pasti, takut harus membesarkan anak sendirian, takut jika jejak lelaki itu tetap akan melekat di hidupnya, bahkan setelah ia pergi sejauh ini. Zivanna memeluk lututnya, menggigil dalam sepi dini hari yang begitu membekukan. *** Pagi harinya, ia tetap pergi ke galeri meski wajahnya tampak jauh lebih pucat dari biasanya. Seorang karyawan kepercayaannya, Alma, menghampiri dengan wajah cemas. “Bu Zee, Anda yakin nggak mau ke dokter? Wajah Ibu pucat banget dari kemarin.” Zivanna tersenyum kecil. “Aku b

Malamnya, setelah galery sepi dan semua pegawai pulang, Zivanna duduk sendiri di ruang kerjanya. Lampu redup menyinari ruangan, membentuk bayangan panjang di dinding. Kotak coklat itu kini tergeletak di meja, terbuka, memperlihatkan isinya yang tampak sepele tapi mengandung ancaman nyata. “Apa yang kalian rencanakan sebenarnya? Ingin menyingkirkan aku atau hanya mau main-main saja?” ia menatap foto yang sobek itu, separuh wajahnya masih utuh, namun bagian Kayvandra sudah tercabik. Seolah sebuah pesan simbolis, bahwa masa lalu mereka belum sepenuhnya mati. “Membayangkan kekonyolan ini membuat kepalaku mau pecah,” Zivanna memejamkan mata, satu per satu kenangan pahit bermunculan. Teriakan, tekanan, kata-kata manipulatif, dan bagaimana ia merasa terkubur dalam bayang-bayang seorang pria yang menganggap cinta sebagai kuasa, bukan perlindungan. Tangan Zivanna menyentuh perutnya perlahan. Ia tidak bisa membiarkan sejarah terulang. Kali ini dia bukan hanya perempuan yang pernah disakiti

Setelah pertemuan itu selesai dan para tamu mulai meninggalkan Better Bean Restaurant, Zivanna tidak langsung pulang. Ia berdiri di luar, membiarkan hembusan angin sore menyentuh wajahnya. Suara riuh lalu lintas di kejauhan terdengar samar, tapi pikirannya masih tertinggal di meja tadi—di tatapan Kayvandra yang mencoba membaca dirinya, dan di bayang-bayang ancaman Jessica yang belum padam.Dari kaca restoran, ia sempat melihat Kayvandra berbicara serius dengan Sedric. Gerakan bibirnya cepat, nada wajahnya tegang. Zivanna tidak tertarik untuk tahu lebih jauh, tapi bagian dirinya sadar: Kayvandra akan mencari jawaban tentang Jessica. Dan itu bisa berarti dua hal—membantunya, atau justru mengacaukan rencananya.Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk dari Maureen: [Zee, kabar terbaru. Polisi nemuin mobil sewaan yang dipakai Jessica malam itu. Ada sidik jarinya di kemudi. Kita udah kasih semua ke penyidik]Zivanna mengetik cepat: [Bagus. Jangan berhenti. Aku mau dia nggak cuma kabur, tapi