Keesokan harinya, Arumi dan Jordhy keluar dari kamar hotel president suite yang dipesankan orang tua Jordhy untuk mereka menghabiskan malam pertama. Seperti permintaan Jordhy, Arumi harus mengenakan cadar ketika sedang bersama dengannya. Karena Arumi belum membeli cadar, dia masih mengenakan cadar yang bekas resepsi kemarin.
Mereka menyelesaikan sarapan. Lalu, setelah itu, Jordhy mengajak Arumi ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, tak ada percakapan. Hanya saja, sebelum pulang, Jordhy mengajak Arumi mampir dan membeli beberapa set pakaian dan cadar baru. Mereka mampir ke salah satu outlet Sabia Fashion. Salah satu outlet pakaian branded yang cabangnya sudah menyebar di berbagai kota di Indonesia. “Ambillah! Gak usah sungkan! Gue yang bayar! Asal lo tahu, Sabia fashion ini salah satu outlet fashion terbaik di negeri ini! Rancangannya unik karena langsung di desain oleh ownernya yang merupakan lulusan S1 ESMOD di Paris. Mumpung jadi istri gue, puas-puasin elo pilih!” tutur Jordhy sambil menunjuk ke arah deretan gamis panjang dan jilbab lebar lengkap dengan cadar. Semuanya tentunya limited edition dan memiliki harga yang cukup mahal. Arumi tersenyum di balik cadar. Tak perlu dijelaskan pun, Arumi sudah sangat paham bahkan jauh lebih paham dari pada siapapun terkait Sabia Fashion. Dia pun memilih beberapa desain gamis terbaik limited edition yang terpajang di outlet tersebut, lalu diserahkan pada Jordhy. “Selera lo bagus juga,” ucap Jordhy ketika menerima beberapa set gamis pilihan Arumi lalu beranjak ke kasir untuk membayarnya. Lagi-lagi Arumi hanya tersenyum samar di balik cadar. “Ya Tuhaaan, apakah ini caramu agar aku menutup aurat dengan benar?” batin Arumi sambil menatap deretan gamis yang tersisa dan masih terpajang di sana. Sebelum kejadian yang membuatnya trauma beberapa tahun silam, Arumi adalah penyuka fashion dan cukup berani tampil dengan seksi dan pakaian terbuka. Hingga akhirnya kejadian mengerikan itu hampir membuatnya kehilangan mahkota yang dia jaga. Sejak saat itulah, dia mulai beralih pada model yang lebih tertutup, lalu bertahap mulai mengenakan penutup kepala. Meskipun hanya jilbab biasa. Usai berbelanja gamis dan cadar, Jordhy mempersilakan Arumi membeli perlengkapan perempuan lainnya termasuk baju-baju santai dan pakaian tidur. Karena malas mengambil pakaian ke rumah, Arumi pun menurut saja. Usai berbelanja, Jordhy langsung mengajak Arumi ke rumah keluarga yang berada di sebuah cluster elit. Di sanalah kediaman Jordhy bersama keluarga Atmaja lainnya. Mobil pajero sport warna hitam yang Jordhy kendarai menepi. Sebuah rumah dengan desain eropa berdiri gagah di balik pagar tinggi yang menjulang. Jordhy memijit remot dan gerbang pun bergeser dengan sendirinya. Lalu, mobil yang mereka tumpangi lekas melesat ke halaman yang terbentang luas dengan tatanan bunga-bunga bougenvil berwarna ungu, bunga bakung putih dan juga kuntum-kuntum bunga pukul delapan berwarna pink muda yang merambat menghiasi tepi jalan. Tiba di depan rumah megah, dua orang ART yang sudah Jordhy telepon, tergopoh keluar. Lalu, mereka membantu membawakan barang-barang Arumi dan Jordhy ke kamar. Sementara itu, Arumi mengekori Jordhy yang berjalan ke dalam. “Eh, dah balik, Mas? Kirain honeymoon elo diperpanjang?” Suara seseorang membuat Arumi dan Jordhy yang baru saja tiba, menoleh. Tampak seorang lelaki dengan bertubuh tinggi tegap, iris hitam, hidung mancung, jambang tipis dengan rambut sebahu yang diikat ke belakang berjalan menghampiri. Kesannya sangat berbanding terbalik dengan Jordhy yang cenderung terlihat tegas, dominan dan pengatur. Lelaki yang baru saja menyapa itu, tampak memiliki kesan lembut dan murah senyum. Sepasang alis Arumi saling bertaut. Rasanya wajah itu tak asing. Namun, entah di mana dia bertemu, Arumi lupa. “Elo dah balik, Kev? Kirain masih nyari cewek impian elo di Paris!” Jordhy menatap sinis pada sang adik, Kevandra Suryadinata. Lelaki berparas rupawan yang masih betah melajang itu hanya tersenyum sambil melirik ke arah Arumi. “Gak nyangka gue, Mas. Selera elo adem banget,” tukasnya seraya tersenyum dan mengangguk ke arah Arumi. Hanya saja, Kevandra mengernyitkan alis. Sepasang netra itu, entah mengapa mengingatkannya pada seseorang. “Kenapa mirip sekali dengannya?” batin Kevandra seraya mengingat-ingat kejadian beberapa tahun silam. ***** “Tolong lepasin aku, kumohon ….” Suara itu terdengar memelas. Kevandra yang memang kala itu baru pulang dari sebuah cafe di Paris merapatkan jaket tebal karena udara malam yang terasa dingin. Kalau bukan gara-gara mobilnya mogok, tak mungkin dia berjalan kaki di taman kota sendirian malam-malam begini. “L—lepas, Mas! T—tolong lepasin! Aku gak mau kita gini!” Suara itu terdengar jelas berasal dari sebuah mobil yang terparkir di dekat taman kota. Kevandra mencoba abai dan meneruskan langkahnya, tetapi suara itu samar terdengar lagi. “A—Aku m—mohon!” Bugh! “Aduhhhh!” Tak berapa lama, seorang wanita setengah tak berpakaian keluar dari mobil dan berlari. Pada saat itu, mereka tak sengaja bertubrukkan dan sepasang netra yang memelas itu menatap Kevandra. “Tolong selamatkan aku dari dia, Tuan!” *** “Ck, susah emang ngomong sama bujang lapuk! Diajak ngomong malah bengong!” oceh Jordhy seraya meninju pelan bahu Kevandra sambil terkekeh. “Elaaaah, Mas! Maren-maren juga lapukan elo.” Kevandra mengelak sambil menggeleng perlahan. Diam-diam ekor matanya kembali mencuri pandang pada wajah yang tertutup cadar itu. “Kalian kenapa malah ngobrol disitu! Ayo ajak mantu mama masuk!” Suara Reska membuat dua kakak beradik itu, menoleh. Kevandra melirik sekilas pada Arumi, lalu menoleh pada Jordhy. “Ajak kakak ipar makan bersama, maaf kemarin gak sempat datang! Kado buat kalian, sudah Shelma simpan di kamar!” tuturnya sambil melenggang dan mendahului menuju meja makan. Arumi tersenyum, tetapi hanya netranya yang menyipit terlihat. Dia lekas mengekori Jordhy, Kevandra dan juga Reska menuju ke meja makan. Tiba di meja makan, Atmaja sang ayah yang masih duduk di kursi roda pasca operasi, tersenyum cerah. Ditatapnya Arumi dan Jordhy bergantian, lalu menatap ke arah Kevandra. “Lihat kakakmu, sudah punya istri, Kev! Kapan kau akan bawa wanita idamanmu itu ke sini?” tanya Atmaja sambil melirik ke arah putra sambungnya. “Ck, mau makan, jangan bahas itu, Pap!” keluh Kevandra seraya menarik kursi. Shelma terkikik melihat wajah kakaknya yang ditekuk. “Sok-sokan sih ngejar cinta sejati! Eh, tapi mending Mas Kev dari pada Mas Jordhy yang gak punya pendirian! Katanya jijik punya istri tompelan, eh diembat juga!” “Shelma!” Suara Atmaja membuat gadis dengan wajah yang terlihat angkuh itu mendelik. “Sudah! Sudah! Ayo kita makan!” Suara Reska menengahi. Dia mendelik ke arah putri bungsunya dan lekas duduk di samping Atmaja. “Ck, ribetnya makan pake cadar,” batin Arumi sambil duduk di samping Jordhy. Lalu, semua senyap dan sibuk dengan makanan pada piring masing-masing. “Oh ya, nama kakak ipar gue siapa, Mas?” Suara Kevandra terdengar menyela di antara bunyi sendok dan piring yang beradu pelan. “Ck, baca sendiri! Gue sudah kirim link undangan virtual juga ke w******p elo! Eh gak dibaca!” ketus Jordhy tampak malas. “Ah iya, oke, oke.” Kevandra mengangguk saja. Lalu, tak menunggu lama, dia tampak makan sambil mengotak-atik gawainya. Usai makan, Arumi mengekori Jordhy menuju ke kamar. Rupanya semua kamar berada di lantai atas. Jordhy berjalan cepat sehingga Arumi tertinggal sendirian karena memang berjalan lambat sambil memeriksa pesan di gawai. Hanya saja, fokusnya terbagi ketika terdengar suara Kevandra menyapa dari arah belakang. “Hmm, nama Mbak, Arumi, ya?” “Iya, kenapa?” Arumi menghentikan langkah dan menoleh ke arah kevandra. “Apa kita pernah bertemu sebelum ini?” Kevandra menatap sepasang netra beriris cokelat dengan bulu mata lentik itu. Indah, sangat indah. “Bertemu? Mungkin belum. Saya baru di kota ini.” Arumi menautkan alis. Memang, sketsa wajah Kevandra tak asing terasa. Hanya saja, dia tak mengingat di mana pernah bertemu. “Bisa jadi, bertemunya bukan di kota ini. Apakah Mbak pernah tinggal di Paris beberapa tahun lalu?” Pertanyaan Kevandra selanjutnya membuat sepasang netra Arumi membulat. Kenapa tiba-tiba lelaki yang menjadi adik iparnya menanyakan hal itu. Apakah lelaki itu tahu jati dirinya?“Ya Allah, Mas! Kenapa jadi kamu yang ribet kayak gini, sih? Lahirannya juga masih lama!” kekeh Arumi.Jordhy menoleh dan mendekat ke arah sang istri. Sebelum berbicara, satu kecupan dia daratkan pada kening Arumi. Tak peduli Bi Muti memalingkan muka karena malu.“Apapun akan kulakukan demi kebaikan anak kita. Anggap saja ini adalah penebusan kesalahan!” kekehnya sambil membelai rambut Arumi. Jika di dalam rumah, Arumi kerap mengenakan pakaian santai. Toh, Pak Kamin memang di larang berkeliaran di dalam.“Baiklah, terserah kamu, Mas! Ini buat kamu!” tutur Arumi sambil menyerahkan segelas cappuccino hangat untuk sang suami. “Ayo! Temani Mas minum!” bisik Jordhy sambil menarik lengan Arumi dan mengajaknya meninggalkan kamar bayi mereka.Sebelum menginjak bulan ke Sembilan, mereka berdua melaksanakan agenda baby moon yang sudah dirancang. Puncak Bogor yang Jordhy pilih dari sekian banyak destinasi wisata yang Rasya sodorkan. Udara sejuk dan pemandangan pegunungan yang indah menjadi daya
“Lisa,” jawab Jordhy singkat.Wajah Arumi menunjukkan sedikit keterkejutan, tetapi ia segera tersenyum tenang. “Bagaimana keadaannya sekarang?”Jordhy menceritakan secara singkat keadaan Lisa yang kini telah jatuh dalam keterpurukan. Arumi mendengarkan dengan seksama, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa cemburu atau marah. Sebaliknya, ia justru menepuk bahu suaminya dengan lembut.“Mas, kalau kamu merasa perlu membantunya, lakukan saja. Kadang, Tuhan memberi kita kesempatan untuk membantu orang lain agar kita bisa belajar dari masa lalu,” kata Arumi bijaksana.Jordhy menoleh dan menatap tak percaya pada apa yang Arumi katakana padanya, “Kamu serius berpikiran demikian, Dek?” Arumi tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Jordhy. “Semua orang pernah berbuat kesalahan, jika kesempatan kedua itu tak pernah ada, maka hari ini kita pun tak akan pernah bersama, Mas.”Jordhy termenung. Benar yang dikatakan Arumi. Namun, sisi logikanya masih bertahan. Tak semudah itu juga memberikan penga
Beberapa menit kemudian, ia tiba di sebuah pasar kecil. Di sana, matanya langsung tertuju pada gerobak kecil dengan tulisan “Rujak Serut Spesial” yang ditempatkan di samping sebuah pohon besar. Tanpa ragu, Jordhy berjalan cepat menuju gerobak tersebut dan menanyakan pesanan rujak serutnya. Saat menunggu penjual menyelesaikan pesanan, pandangannya tiba-tiba tertumbuk pada sosok perempuan yang berdiri tak jauh darinya. Perempuan itu pun tampak memandangi Jordhy dengan mata yang tampak kosong dan lelah, namun di balik itu, ada sorot yang berkaca-kaca, seolah menyimpan begitu banyak perasaan yang tak terucapkan.Jordhy memandang perempuan itu dengan kening berkerut. Butuh beberapa detik untuk mengenali siapa sosok tersebut. Wajah yang dulu selalu ia lihat dalam kesibukan kantor dan momen-momen pribadi mereka kini tampak berbeda—lelah, penuh bekas luka kehidupan. Lisa, mantan sekretaris sekaligus mantan kekasihnya, berdiri di sana dengan tubuh yang tampak kurus dan kusut dan perut yang te
Arumi tersipu, tapi dengan lembut ia menerima uluran tangan suaminya. “Baiklah karena dipaksa.”Mereka berdansa pelan diiringi musik lembut yang mengalun dari speaker di sudut ruangan. Jordhy memeluk Arumi dengan lembut, mendekapnya penuh cinta sambil berbisik, “Terima kasih sudah ada di hidupku. Kamu tahu, aku mungkin bukan suami yang sempurna, tapi aku berjanji akan selalu berusaha menjadi yang terbaik buat kamu dan anak kita nanti.”Arumi menyandarkan kepalanya di bahu Jordhy, merasakan kedamaian dan cinta yang tak terbendung. “Aku nggak butuh yang sempurna, Mas. Kamu, dengan segala kekurangan dan kelebihan, sudah lebih dari cukup.”Mereka terus berdansa dalam keheningan penuh makna, saling menguatkan tanpa banyak kata.Setelah makan malam, mereka memutuskan mampir ke sebuah mal yang masih buka untuk membeli beberapa keperluan bayi. Meski sudah larut, Jordhy masih tampak bersemangat memeriksa satu per satu barang yang ada di toko bayi. Arumi, yang sesekali duduk di kursi yang terse
“Malam ini bersiap, ya! Mas mau ajak kamu pergi! Cuma siang ini, Mas harus udah kerja, Rasya takut keburu botak kepalanya!” tutur Jordhy sambil meneguk susu hangat miliknya. Tentunya bukan susu untuk ibu hamil seperti yang Arumi sangka. “Mau ajak ke mana? Aku masih capek, tau!” keluh Arumi. “Ada, deh … rahasia!” balas Jordhy sambil mengambil potongan roti bakar miliknya lalu disuap dengan lahap. Pagi itu mereka berpisah dengan senyum yang tersemat pada bibir masing-masing. Ada rasa hangat yang menjalar dari dekapan singkat dan kecupan Jordhy pada kening Arumi sebelum pergi ke kantor. “Jangan lupa, malam nanti dandan yang cantik!” bisik Jordhy sambil melepaskan rangkulan dari pinggang Arumi. “Kan aku pake cadar, cantik juga gak kelihatan!” elak Arumi.Jordhy terkekeh sambil menggaruk tengkuk, “Hmmm … kalau mau dibuka, boleh, sih!” “Dih, enggak, ah! Dulu ‘kan kamu yang minta,” tutur Arumi menyangkal. “Iya deh, iya, Nyonya! Pamit, ya!” Jordhy mengecup sekali lagi kening Arumi, lal
Sepasang netra Arumi membeliak ketika melihat hiasan kamar bak kamar pengantin baru. Semerbak dengan taburan mawar dan ronce melati segar.“Mas?” Arumi menoleh ke arah Jordhy dan menatapnya. Namun bukan jawaban, melainkan tiba-tiba saja Jordhy membopong tubuhnya dan membaringkannya di atas king size bed bertabur mawar.“Malam ini, milik kita,” bisiknya sekali lagi. Lalu pinti dikuncinya dan lampu yang terang berubah temaram. Arumi hanya bisa pasrah ketika Jordhy mengajaknya berpetualang. ***Pagi menyambut dengan sapuan sinar surya yang lembut. Arumi baru saja bangun dan mengerjap ketika sinar matahari pagi menyelinap lewat tirai. Setelah shalat shubuh tadi, Arumi merasakan lelah yang luar biasa dan memilih untuk tidur lagi. Ditatapnya tempat tidur yang kosong di sampingnya, Jordhy sudah tak ada di tempat.Arumi mengerjap, mencoba mengingat-ingat. Baru saja kemarin dia landing di bandara dan menginjakkan kembali kakinya di Indonesia. Lalu bayangan manis malam tadi dan kalimat cinta y