Setelah perjalanan ke Los Angeles itu, Wolf menghilang hampir selama seminggu. Tidak benar-benar menghilangkan karena kadang Zoe masih melihatnya pulang. Sekadar berganti baju, mengambil sesuatu atau entah melakukan apa. Yang jelas Wolf tidak pernah ada di rumah lebih dari dua jam, dan Zoee tentu saja amat sangat bersyukur untuk itu.Selain karena berarti dirinya bebas tugas tidur, Zoe bisa melanjutkan kegiatannya untuk menguntit.Sebenarnya Zoe juga ingin tahu bagaimana kelanjutan konsultasi dengan psikiater itu, tapi ia tidak akan memaksa Wolf dengan bertanya-tanya, karena itu adalah keinginan Wolf.Dan sejujurnya Zoe hanya tidak ingin kecewa seandainya psikiater yang ditemuinya nanti mengatakan keadaannya sulit ditanggulangi atau lain sebagainya. Zoe saat ini lebih memilih untuk lari dan merasa aman. Pelariannya tentu saja mengerjakan apa yang menjadi tujuannya sejak awal. Balas dendam.Zoe memakai kacamata hitam murahan yang dibelinya kemarin. Meski sudah tertutup, Zoe masih mema
“MATAMU BUTA?!” bentak Iris. Zoe menahan senyum mendengar itu. Tapi tentu ia tidak menampakkannya.Zoe dengan cepat mengetikkan balasan di ponselnya.“Maaf, aku tidak sengaja. Dan maaf lagi, aku tidak bisa bicara karena tenggorokanku sakit.”“Yakin hanya tenggorokanmu yang sakit? Matamu juga sakit! Kau tidak memakainya dengan benar!” Iris mengamuk, dan menepis saat Zoe berusaha mengusap bahunya.“Maaf, aku benar-benar tidak sengaja. Aku akan mengganti biaya laundry pakaianmu.” Zoe meminta maaf sekali lagi, dan menambahkan soal uang karena tahu hal itu akan membuat Iris semakin marah.“Uang? Aku tidak membutuhkan uangmu! Kau membuat tubuhku lengket dan tidak nyaman!” Iris menendang minuman yang Zoe letakkan di lantai, membuat basahnya melebar.Zoe saat ini menyayangkan karena ia tidak bisa mengambil video karena itu tadi kekasaran yang epic. Tapi suara itu sudah sangat mewakili. “Iris, aku mohon jangan marah.” Cleo menghampiri dengan panik. Sambil menatap sekitar untuk melihat apakah
“Aku ingin melihat wajah seperti apa yang kau anggap buruk itu,” kata Max, sambil tersenyum menatap wajah Zoe.Zoe rasanya ingin mati saat Max terus menatapnya. Mata Max bergulir memandang bintik di atas hidung Zoe, tapi hanya itu.Jantung Zoe yang tadinya mekar karena panik, perlahan bergetal melambat dan menyusut saat tidak melihat tanda Max mengenalinyaSelain wajahnya sangat memerah saat ini, make up yang dipakai Zoe memang bisa dikatakan sangat tebal—jauh dari dirinya yang dulu lusuh. Tapi bintik di pipi dan atas hidungnya itu, sangat tidak mencerminkan Zoe, karena wajahnya dulu bersih mulus.“Aku tidak melihat keburukan di sini. Kau tidak perlu malu berfoto denganku.” Max melepaskan dagu Zoe, dan tentu saja Zoe otomatis menjauh.“Maaf, tapi aku benar-benar malu.” Zoe menuliskan itu dengan tangan yang sangat gemetar untungnya masih bisa tertulis dengan benar.Max kembali tertawa. “Kau lucu sekali,” katanya.“Begini saja. Aku akan memberimu nomor ponselku. Kalau kau ingin sesi f
“Apa kau sudah bangun? Aku ingin bertanya sesuatu.”Zoe baru saja menggeliat—dan ingin kembali tidur, tapi terpaksa membuka mata saat mendengar itu. Zoe berpaling dan terkejut melihat Wolf masih duduk di sampingnya. Ia masih tidak memakai baju, melihat dari pinggangnya yang terbuka, tapi masih sopan dengan mencoba menutupi separuh tubuhnya dengan selimut. Zoe melihat ada tato ular yang ternyata melingkari pinggangnya itu.Dan ini adalah kali kedua Zoe melihat Wolf di tempat tidur saat bangun.Zoe merapatkan selimut sambil mengerutkan kening dan mengangkat tangan. Ingin tahu apa yang diinginkan Wolf sampai membangunkannya.“Aku ingin kau mendengar sesuatu, dan katakan apa pendapatmu.”Wolf melepaskan salah satu airpod dari telinganya, menyerahkannya pada Zoe yang juga langsung memasangnya. Tapi ia meminta waktu pada Wolf untuk bertanya—mengambil ponselnya terlebih dulu.“Kenapa aku harus mendengar ini?” Zoe ingin tahu.“Kau terlalu banyak bertanya. Dengarkan dulu.” Wolf menyingkirkan
“Sara bekerja untuk perusahaanku. Hampir semua artis yang ada di bawah Wolf selalu berkonsultasi dengannya. Rutin kalau memang diperlukan.”Wolf menjelaskan saat mereka berjalan memasuki gedung tempat psikiater itu berada. Tidak jauh dari gedung Wolf—perusahaan milik Wolf. Nama perusahaan itu memang sama dengan namanya sendiri. Dan itu membingungkan Zoe sejenak.“Siapa namamu yang asli?” Zoe menunjukkan pertanyaannya saat mereka naik ke lantai sepuluh. Zoe hanya ingin mengisi pikirannya yang panik dengan pembicaraan ringan.“Kau tahu Wolf bukan namaku yang sebenarnya?” Wolf mengernyit.“Aku tidak yakin ada ibu di dunia ini yang tega menamai anaknya sebagai binatang buas.” Wolf tertawa membacanya tulisan Zoe. “Aku pikir nama Wolf keren. Aku memilihnya dengan hati-hati.”“Tidak. Kau hanya memilihnya untuk terlihat seram.”“Tapi aku memang seram bukan? Aku memilih nama itu karena nama asliku tidak seram sama sekali. Nama itu terlalu pintar.”Zoe ingin tahu apa maksudnya dengan nama pint
“Venti caramel ribbon crunch frappuccino, ekstra pisang, ekstra sprinkle, ekstra karamel, ekstra krim kocok, ekstra es, ekstra taburan cinnamon, dan tujuh pompa saus karamel hitam.”Zoe memandang Sara yang sedang memesan minuman dengan mulut ternganga. Ia hanya memerlukan dua kata untuk memesan minuman tadi. Americano hangat dan sudah.Tapi barista yang ada di belakang kasir tidak tampak gugup, karena sudah terbiasa. Ia bahkan masih bisa tersenyum saat menyerahkan pesanan Sara yang penuh warna itu—dan pesanan Zoe yang berwarna hitam polos.“Kita duduk di sana.”Sara menunjuk salah satu sudut di halaman kedai kopi itu, dan mereka duduk di sana. Cuaca dingin, tapi masih bisa tertahan. Yang tidak tertahan bagi Zoe adalah bagaimana Sara bisa meminum—memakan?—pesanannya itu dengan santai, memakai sendok.Karena terlalu banyak extra, Sara tidak bisa menyedot minumannya begitu saja, ia harus memakai sendok.“Apa sesi kita sudah selesai?” tanya Zoe. Ia menulisnya di atas sticky note berwarna-
“Wolf?”“Hm?” Wolf melepaskan headphone dari kepalanya. Becca menjentikkan tangan di depan wajahnya untuk menarik perhatian.“Ada apa?” Wolf mendesis. Ia tak suka gangguan saat dirinya bekerja di studio. Terutama saat sedang melakukan proses final untuk memutuskan apakah lagu siap dilepas atau tidak. Proses ini membutuhkan waktu, karena Wolf sangat detail—dan tidak segan meminta rekaman ulang atau proses mixing ulang saat tidak puas. Ia akan membutuhkan konsentrasi tinggi dan benci diganggu setengah jalan.Hampir seminggu ini Wolf tidak keluar dari studio, melakukan marathon quality checking banyak lagu yang dijadwalkan akan keluar bulan depan. Kesabarannya sedang ada dalam titik nir toleransi.“That Bitch is here.” (Wanita Sialan itu di sini)Becca tidak merasa bersalah telah mengganggu, malah mengumpat karena siapapun yang datang itu adalah orang yang dibencinya.“Which Bitch?” (Sialan yang mana?)Tapi Wolf tidak paham karena Becca punya daftar panjang untuk orang yang mendapat jul
Sara mendengus. “Kalau hanya itu traumanya, dia tidak akan menjadi bisu. Ini masalah psikologis lain. Kalau memang hanya jatuh dari tangga, kemungkinan besar ia akan takut ketinggian atau mungkin tidak akan pernah menaiki tangga lagi seumur hidup. Bisu ini bukan karena ia jatuh dari tangga. Dia merepresentasikan rasa sakit lain, kemungkinan karena pria. Shit! Seharusnya aku tidak mengatakan itu padamu!”Sara mengumpat karena ia membagi terlalu banyak. Tidak seharusnya ia mengatakan soal pria yang kemungkinan menyakiti Zoe itu.“Pria bagaimana?” Wolf tentu tidak mengerti. Sara mengibaskan tangan. Tidak ingin Wolf membahas pria lagi.“Begini. Aku hanya ingin mengatakan kalau masalah Zoe mungkin tidak akan mudah untuk ditangani, karena ia tidak mau terbuka padaku. Padahal inti permasalahannya sebenarnya adalah itu. Dia menahan sesuatu dalam dirinya, dia menyimpan rasa sakit atau apapun itu dalam dirinya. Aku tidak akan bisa menyembuhkannya kalau bukan dari Zoe sendiri yang mulai membuka