Airin masih mendengarkan pembicaraan Irfan dan Handoko."Baiklah, pastikan surat-surat ini aman sampai pelantikan bulan depan," ucap Handoko. "Ada satu tikus kecil yang harus kusingkirkan terlebih dahulu.""Tikus?" Irfan tidak mengerti apa yang mertuanya itu katakan.Handoko tertawa melihat wajah kebingungan Irfan."Bukan apa-apa," ucapnya sambil menepuk pundak Irfan.Handoko berdiri, lalu bersiap meninggalkan tempat itu. Airin cepat-cepat menyingkir dari tempat persembunyiannya. Dia beringsut mundur, bersembunyi di samping tembok pagar rumah itu.Handoko memasuki mobilnya dan meninggalkan rumah itu. Irfan sesaat masih berdiri di teras rumah sampai Papa mertuanya itu pergi, lalu masuk kembali ke dalam rumah."Bagaimana, Mas? Semua sudah beres?" tanya Amel begitu Irfan duduk di sampingnya."Semua beres, Sayang. Papamu sudah resmi membeli perusahaan itu," jawab Irfan."Baguslah, Mas, kamu bisa mengambil hati Papa," Amel merangkul lengan Irfan mesra. "Tadinya aku harus bersusah payah mey
Airin masih mengikuti Amel masuk ke ruang tengah. Amel duduk di sofa empuk yang ada di ruangan itu."Duduklah, aku akan mendengarkan apa yang akan kau katakan," ucapnya.Irfan duduk di kursi sisi lain dari sofa itu, sedangkan Airin masih berdiri di tempatnya."Maaf, ya, Mel. Istriku tidak bermaksud berbuat seperti itu," ucap Irfan sambil tersenyum manis pada Amel."Gak papa kok, Mas. Aku paham kok, kenapa Mbak Airin bersikap seperti itu. Dia pasti tidak suka kalau ada wanita cantik dekat dengan kalian," ucap Amel dengan angkuhnya. "Dia pasti cemburu, aku paham itu kok, Mas.Irfan hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu menatap Airin yang masih berdiri."Duduklah, Dek!" pinta Irfan sambil menarik tangan Airin.Airin mengibaskan tangan Irfan, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada."Aku berubah pikiran, Mas!" ucap Airin sambil menatap mereka dingin."Apa maksudmu, Dek? Bukannya kamu tadi bilang mau minta maaf?" tanya Irfan kemudian."Tadinya begitu, Mas. Tapi sepertinya kami berdua s
Mata Irfan membulat melihat map yang diberikan oleh Rifki padanya, tapi sesaat kemudian dia tertawa terbahak-bahak."Hahaha, kamu salah alamat, Bung!" ucapnya sambil membeber map yang ternyata berisi foto pernikahan itu."Lihat ini! Wanita dalam foto ini jauh berbeda dari Amel! Wajah wanita ini jelek sekali, bagaimana bisa kau menganggap dia sebagai Amel? Mimpi kamu, Bung!" ucap Irfan sambil tertawa, seraya membandingkan foto itu dengan Amel.Rifki tersenyum miring dan tetap tenang, lalu melirik sesaat ke arah Amel yang masih bungkam."Kenapa tidak kau tanyakan padanya langsung?" tanyanya.Irfan berhenti tertawa. Dia menatap ke arah Amel dengan mata membulat. Jangan-jangan ...."Apa yang kau pikirkan itu benar, Irfan!" ucap Rifki lantang. "Wanita dalam foto itu adalah wajah asli Amel Angelina, istrimu! Dia menguras semua hartaku, memakai semua uangku untuk biaya bedah plastik agar dia cantik! Dan setelah aku bangkrut, dia dengan seenak hatinya mencampakkan aku!"Semua yang ada di situ
Airin berlari ke arah Bella yang yang tergeletak tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka."Bella! Bella!" Airin menggoncang tubuh Bella yang tidak bergerak. "Apa yang terjadi padanya?""Warga menemukan pasien dalam kondisi tak sadarkan diri di tepi jurang," jawab salah satu petugas."Maaf, Nona. Pasien sedang dalam kondisi sangat kritis. Kami harus segera memberi pertolongan darurat padanya," ucap petugas ambulan sambil mendorong tandu memasuki gedung rumah sakit.Airin ikut berlari mengikuti para petugas yang langsung menuju ruang IGD. Beberapa orang dokter langsung menyusul ke sana."Dokter, tolong selamatkan dia! Tolong selamatkan dia, Dokter!" ucap Airin pada para Dokter itu."Kami akan berusaha sebaik mungkin," jawab salah satu Dokter sebelum masuk ke dalam ruangan besar yang langsung tertutup rapat itu.Airin menunggu di luar ruangan sambil mondar-mandir karena panik. Rifki berjalan perlahan mendekati Airin."Tenanglah, Bella pasti selamat," ucapnya mencoba menghibur Airin."
"Handoko?" mata Airin membulat lebar ketika mendengar nama itu.Bella perlahan mengangguk."Bukankah kau bilang Handoko itu rekan bisnis yang dekat sekali dengan Papa?" tanya Airin lagi. "Ada dendam apa dia pada keluarga kami?""Entahlah, aku hanya tahu dia yang menyuruh orang untuk membakar rumah kalian."Bella menarik napas panjang, lalu mulai bercerita tentang apa yang dia temukan selama dia menghilang.(Flash back)Bella terus melakukan penyelidikan tentang uang asuransi itu. Dia harus bertindak cepat, sebelum semua uang asuransi itu jatuh ke tangan Irfan sepenuhnya.Dia mengambil jaketnya, dan bergegas melakukan penyelidikan. Jika Airin tidak pernah menandatangani apapun selain surat persyaratan nikahnya, maka dia harus mencari tahu tentang pernikahan itu.Bella menaiki mobilnya, dan langsung menuju kota tempat tinggal Airin yang lama. Sudah lama sekali dia tidak pernah mengunjungi kota itu. Terakhir kali dia ke sana adalah saat pemakaman orang tua Airin. Bella tidak bisa menghad
Airin memacu mobilnya dengan perasaan bimbang. Berulang kali diliriknya buku yang dia letakkan di jok sebelahnya.Handoko dan Mamanya saling mengenal sebelumnya, apa mungkin itu alasan Handoko tega membakar dan membunuh orang tuanya? Dendam apa sebenarnya yang dimiliki Handoko pada keluarganya?Airin akhirnya menghentikan mobilnya di pinggir jalan, di tepi sebuah danau dengan rerumputan yang membentang luas. Airin menarik napas panjang, lalu perlahan mengambil buku itu.Dibukanya sekali lagi lembar pertama, lalu dilihatnya lagi foto Mamanya bersama Handoko. Ada rasa takut menyusupi hati Airin ketika membuka lembar berikutnya, tapi rasa ingin tahunya mengalahkan segalanya.Mamanya memang seorang penulis terkenal yang sudah menerbitkan ratusan buku, tapi dia belum pernah melihat catatan ini sebelumnya. Dari tempatnya ditemukan, buku itu tidak ditaruh bersama jajaran buku-buku yang lain, melainkan disembunyikan di balik lipatan rak buku.Dengan hati berdebar Airin membacanya kata demi k
"Tidak! Papa saya tidak bersalah!" Amel berlari ke atas panggung, menghalangi polisi untuk menangkap Handoko."Tolong menyingkir, Nona. Kami sedang menjalankan tugas," ucap polisi sambil memborgol tangan Handoko.Irfan menarik tangan Amel menjauh dari pak polisi, mencoba untuk menenangkannya."Mas, Tolong Papa, Mas! Jangan biarkan Papa dibawa pergi oleh mereka, Mas!" raung Amel."Kamu tenanglah dulu," ucap Irfan pada istrinya itu."Tenang apanya? Papaku akan masuk ke penjara!"Kedua polisi itu menggiring Handoko menuruni panggung, lalu membawanya menerobos kerumunan para tamu undangan. Amel dengan penuh emosi mendekati Airin."Jahat kamu Airin!" hardiknya. "Berani sekali kamu memasukkan Papaku ke penjara!""Sudah, sudah, Sayang," Irfan masih berusaha menenangkan Amel.Airin hanya menatap dingin pada mereka berdua."Apa itu sebanding dengan nyawa orang tuaku yang melayang karena perbuatannya?" tanyanya dingin."Papaku bukan pembunuh!" tangan Amel terangkat, bersiap menampar Airin.Tapi
Masa Lalu( Flash back kisah Handoko )"Maafkan aku, Mas. Aku harus memenuhi keinginan orang tuaku."Ucapan Widya itu bagaikan sebilah pedang yang menghujam jantungnya. Betapa teganya wanita yang dia tunggu selama ini ternyata membuatnya kecewa. Pikiran Handoko melayang jauh saat pertama kali mereka bertemu.Hujan gerimis menghiasi malam yang sudah mulai sepi itu. Handoko mengendarai sepeda ontelnya menyusuri jalan basah karena hujan. Dia mengusap wajahnya berulang kali karena basah. Tubuhnya juga mulai menggigil. Sesampainya di tepi jembatan, dia menghentikan sepedanya.Dadanya sedikit berdebar karena melihat sosok wanita berjalan terseok dari seberang jembatan. Handoko mengusap matanya? Apa yang dia lihat itu benar-benar manusia? Atau ....Wanita itu berhenti melangkah. Dia berdiri di tepi jembatan itu dengan pandangan kosong. Handoko masih terus memperhatikannya dari kejauhan. Tiba-tiba matanya terbelalak. Refleks dia membanting sepedanya dan berlari ke arah wanita yang mulai berni