Airin menggertakkan rahang, mencoba menahan emosi yang memuncak. Dia membayangkan saat itu juga dirinya melangkah maju menembus kerumunan tamu undangan.
Suaminya akan sangat terkejut melihat dia tiba-tiba datang ke tempat itu. Dengan penuh emosi dia menampar suaminya, lalu menampar wanita yang saat itu sedang bersama suaminya. Diambilnya jus yang ada di atas meja, lalu disiramkannya ke muka keduanya sambil melontarkan berbagai macam cacian. Dijambaknya rambut panjang wanita itu, dan mereka akhirnya berkelahi tanpa memperdulikan para tamu di sekeliling mereka.
Airin tersadar dari lamunan. Tidak, dengan berbuat seperti itu dia justru akan merendahkan dirinya sendiri. Airin membuang napas, lalu menatap suaminya yang masih berbincang dengan koleganya sambil merangkul pinggang ramping wanita cantik itu.
Airin mengambil gawainya, lalu mengambil foto mereka berdua dari kejauhan. Dia segera mengirimkan foto itu pada Bella. Gawainya seketika berdering, dan Airin segera mengangkatnya.
"Apa ini, Airin?" suara Bella langsung melengking memengkakkan telinganya.
"Akan kuceritakan nanti," jawab Airin mencoba untuk bersikap tenang, meskipun hatinya bergemuruh. "Selidiki siapa wanita itu, lalu segera beri tahu aku."
"Baiklah, tapi kamu tidak apa-apa, kan?"
Airin menelan saliva yang terasa teramat pahit.
"Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara berat, sebelum menutup telepon.
Airin memutar tubuhnya, lalu perlahan meninggalkan tempat itu dengan hati yang masih terbakar. Lihat saja, Mas. Aku tidak akan tinggal diam kau perlakukan seperti ini. Akan kubuat kau menyesal, batin Airin.
"Istri Pak Irfan ternyata cantik sekali, kenapa baru sekarang mengajaknya ke acara pertemuan seperti ini?" tanya salah satu rekan kerja Irfan.
Irfan tersenyum, lalu menatap wanita cantik di sampingnya.
"Kami belum lama menikah, dia masih malu untuk keluar rumah," jawab Irfan sambil merangkul mesra wanita itu.
Para koleganya tertawa renyah sambil mengangguk mengerti. Wanita itu menarik tangan Irfan, menjauh dari para tamu undangan.
"Denger ya, Mas. Aku gak mau berpura-pura jadi istrimu seperti ini terus!" protesnya pada Irfan.
"Sabar dong, Amel sayang. Sebentar lagi juga kamu akan jadi istri sungguhan Mas," jawab Irfan.
Wanita yang ternyata bernama Amel itu merengut.
"Kapan kamu mau menceraikan istrimu dan menikahiku, Mas?" tanyanya kemudian.
"Sebentar lagi, tunggu sampai Mamaku berubah pikiran," jawab Irfan lagi.
"Lagian kenapa sih, Mas mau menikahi perempuan buruk rupa itu hanya karena Mama Mas yang menyuruh? Kan Mas bisa menolak?"
Irfan membuang napas, lalu merangkul Amel lembut.
"Mas tidak bisa menolak karena suatu hal. Jadi Mas minta kamu yang sabar, ya?" bujuknya pada Amel.
Amel membuang napas kesal, lalu mengangguk.
"Senyum, dong," bujuk Irfan lagi.
Amel mulai tersenyum sambil mencubit manja pinggang Irfan. Irfan tertawa lalu menggandeng Amel kembali bergabung bersama tamu undangan yang lain.
...Airin duduk di depan meja riasnya dengan pikiran kalut. Napasnya terasa begitu sesak mengingat suaminya bergandengan mesra dengan wanita lain. Selama ini dia begitu percaya pada suaminya itu, tanpa menyangka bahwa dia akan berkhianat di belakangnya.Airin mengangkat wajahnya, lalu menatap cermin di depannya. Wajahnya sebagian rusak karena kebakaran hebat yang merenggut nyawa kedua orang tuanya. Beruntung dia masih bisa selamat meskipun harus menanggung luka dan trauma yang terus membekas.
Airin mengambil bedak, lalu mencoba mengoleskan ke wajahnya. Bekas luka itu tak berkurang sedikitpun. Airin mengoleskan bedak lagi dengan air mata yang mengalir. Karena tak kunjung berhasil, akhirnya dia lempar kotak bedak itu ke arah cermin dengan penuh emosi.
PRANG!
Cermin itu langsung retak seketika. Airin menangis sejadinya. Dia bukan wanita lemah, tapi bukan berarti dia tak bisa menangis. Dia hanya ingin menumpahkan semua yang membuat dadanya sesak.
Setelah lega, dia mengusap air matanya dengan kasar lalu duduk bersandar di atas tempat tidurnya.
"Dek."
Airin menoleh ke arah pintu kamar. Suaminya rupanya sudah pulang dan tersenyum di depan pintu. Tiba-tiba pandangannya mengarah pada cermin yang pecah.
"Loh, itu kenapa cermin rias kamu pecah, Dek?" tanyanya heran.
Airin pura-pura tersenyum dan bersikap biasa saja.
"Tadi ada tikus, Mas. Aku lempar tikusnya, eh, kena cermin," jawabnya santai.
"Ya Ampun, hati-hati dong, Dek," ucap Irfan sambil duduk di samping Airin. "Ini, Mas bawakan martabak manis kesukaanmu."
Airin menerima bungkusan pemberian suaminya seraya tersenyum getir.
"Kita makan sama-sama ya, Mas?" ajaknya.
Irfan berdiri sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Mas sudah makan tadi, Dek. Kamu makan sendirian saja, ya? Mas mau mandi dulu," ucapnya sambil buru-buru pergi ke arah kamar mandi.
Airin lagi-lagi tersenyum pahit. Benar, selama ini suaminya selalu menolak makan bersama dengannya. Ada saja alasannya. Airin sekarang tahu, mungkin suaminya jijik melihat wajahnya.
Gawai Airin berdering. Pesan masuk dari Bella.
[ Aku sudah tahu tentang identitas wanita itu ]
Airin mengetik balasan.
[ Kirimkan datanya padaku ]
Terkirim. Sesaat kemudian Bella membalas lagi, kali ini dengan biodata seseorang. Airin tersenyum miring saat membacanya.
Jadi kamu mengkhianatiku hanya demi perempuan seperti ini, Mas? Lihat saja, akan kubuat kalian menangis darah atas perbuatan kalian setelah ini, batinnya.
Airin mengetik balasan lagi.
[ Bisakah kita bertemu besok, Bell? ]
[ Tentu saja! Aku ingin tahu apa yang terjadi! Awas saja kalau Irfan berani macam-macam padamu ! ]
Airin membuang napas, lalu membaringkan tubuhnya. Sepertinya malam ini otaknya akan penuh dengan rencana.
"Aku tidak bisa menikah denganmu, Mas," ucap Airin saat Irfan datang untuk melamarnya.Saat itu Airin masih terbaring di rumah sakit karena luka bakar di tubuhnya."Kenapa, Airin?" tanya Irfan sambil menatap Airin penuh tanda tanya."Aku takut kamu malu karena wajahku seperti ini, Mas," jawab Airin lagi. "Aku juga sudah tidak punya apa-apa. Di luar sana masih banyak wanita cantik dan mapan yang cocok menjadi istrimu."Irfan menggenggam erat tangan Airin."Dengar, Airin. Mas tidak peduli apapun perkataan orang. Mas mau kamu menjadi istri Mas, seperti apapun keadaan kamu," ucap Irfan meyakinkannya."Meskipun luka di wajahku tidak bisa disembuhkan?""Iya, Mas tetap mau menjadi suamimu."Airin tersentak bangun. Ah, rupanya mimpi dari masa lalu. Dia menoleh ke samping dan mendapati suaminya sudah tidak ada di sampingnya. Dia bangkit, lalu langsung menuju ke kamar mandi. Hari ini dia punya janji untuk bertemu dengan Bella."Mau ke mana, Mas?" tanya Airin ketika mendapati suaminya sudah berd
"Ayo, jawab! Kamu pergi ke mana?" Nyonya Mia tetap menekan putranya untuk mengaku.Irfan menelan saliva, lalu membuang mukanya."Pergi dengan teman, Ma," jawab Irfan kemudian."Teman kamu yang mana?" selidik Mamanya lagi.Irfan meringis menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal."Sudah, sudah. Mama duduklah, biar Airin buatkan minum," ucap Airin sambil mempersilahkannya duduk.Airin mengambil belanjaannya dan berjalan menuju dapur."Jangan macam-macam kamu, Irfan!"Airin menghentikan langkah, urung menuju dapur. Dia menyandarkan tubuhnya di dinding pembatas ruang tamu, mendengarkan apa yang mereka bicarakan."Kamu kan tahu keluarga kita punya banyak hutang pada mendiang orang tua Airin!" ucap Mama mertuanya dengan suara yang tertahan.Deg! Jantung Airin berdegup kencang mendengar perkataan Nyonya Mia. Hutang?"Orang tua Airin kan sudah meninggal, Ma?""Bodoh kamu! Semua itu masih tercatat dalam data notaris! Sekali Airin tahu, tamat riwayat kita. Makanya kamu jangan macam-macam!""Ma
"Mas berangkat dulu ya, Dek. Ingat, kalau keluar pakai masker, jangan sampai para tetangga ngomong yang gak enak tentang kamu," ucap Irfan sebelum berangkat.Dia menarik kopernya dan memasukkannya ke bagasi mobil."Iya, Mas, aku mengerti," jawab Airin sambil berdiri di samping mobil suaminya yang sudah dipanasi mesinnya dari pagi itu. "Mas juga, selamat menikmati ya?"Irfan tersentak mendengar ucapan Airin. Dia seketika menoleh pada Airin dengan gugup."Apa maksudmu, Dek?" tanyanya. "Mas kan ke sana untuk kerja?" Airin tertawa geli dalam hati. Dia menatap pria yang belum lama dinikahinya itu."Maksudku selamat menikmati perjalanannya, Mas. Kenapa Mas jadi gugup begitu?" tanya Airin lagi."Ooh," Irfan mengusap pelipisnya yang tiba-tiba berkeringat. "Iya, doain Mas sampai dengan selamat, ya?""Iya, Mas. Pasti," jawab Airin. "Cepet pulang ya, Mas?""Iya, begitu pekerjaan Mas selesai, Mas akan segera pulang," ucap Irfan lagi.Airin membuang napas. Pekerjaan? Mempersiapkan acara pernikah
Ara menatap luar jendela rumah sakit, sambil memangku laptopnya. Wajahnya masih dibalut perban. Diliriknya sekali lagi rekaman yang terpampang di layar laptopnya. Terlihat Irfan dan Amel berfoto dengan pakaian pengantin di samping patung singa. Airin membuang napas, lalu menutup laptopnya.Tiba-tiba gawai Airin berdering. Telepon masuk dari Irfan. Airin tersenyum miris, lalu mengangkatnya."Hallo, Dek," terdengar suara Irfan di seberang telepon. "Maaf, Mas baru sempat telepon. Sibuk sekali di sini. Kamu sudah makan?"Sudah, Mas, makan hati, batin Airin."Belum, Mas," jawab Airin."Kok belum sih, Dek? Nanti kamu sakit loh."Airin membuang napas, muak dengan perhatian yang cuma pura-pura semata."Iya, Mas. Sebentar lagi. Mas ada di mana? Kok kayak dengar suara air mancur?""Oh, iya, Mas lagi keluar kantor jalan-jalan sebentar," jawab Irfan terdengar gugup."Ke Taman Merlion, Mas?""I-iya, Mas kan kerja di Distrik Bisnis Center yang ada di dekat sini, Dek," jawab Irfan lagi."Owh, sendir
"Ayo, Mas, kita masuk," Amel menarik tangan Irfan masuk ke dalam toko.Pandangan Irfan masih belum bisa lepas dari Airin."Mas kenapa menatap ke arah wanita itu terus sih?" tanya Amel kesal. "Mas kenal dia?"Irfan tersentak kaget, lalu menatap Amel."Bukan begitu, Dek. Mas sepertinya pernah melihat wanita itu," jawab Irfan gugup."Bilang saja Mas terpesona karena dia cantik," ucap Amel lagi, mulai cemberut."Tidak, Dek, bener. Muka dia tembem begitu, jauh dari kamu lah," ucap Irfan sambil merangkul Amel, meskipun dalam hati dia mengakui kalau wanita itu memang cantik.Mereka berjalan dan berdiri di samping Airin, sehingga membuat jantung Airin berdegup kencang. Bella menyenggol lengan Airin dengan sikunya, sehingga membuatnya tersentak kaget."Bersikap biasa saja. Ingat, wajahmu sudah berubah," bisik Bella padanya.Airin menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan dirinya yang dari tadi merasa. Benar juga, Irfan tidak mungkin mengenalinya. Tak ada alasan baginya untuk merasa gugu
Para tamu undangan yang hadir masih fokus menatap Airin yang berdiri di depan microphone."Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian," ucap Airin seraya tersenyum manis."Apa kalian tidak mengenaliku?" tanya Airin pada Irfan dan Amel.Irfan dan Amel membulatkan mata mereka, lalu saling bertatapan. Mereka masih bingung tentang siapa wanita yang berdiri di hadapan mereka itu. Apa mungkin dia seseorang yang mereka kenal?Sementara itu Bella mengawasi semua itu dari jauh."Ayolah Airin, bongkar semuanya, permalukan mereka. Aku sudah tidak sabar ingin melempar kue pernikahan itu ke muka mereka berdua," gumannya sambil mengepalkan kedua tangan.Tiba-tiba pandangannya jatuh pada sosok pria yang berdiri tak jauh dari kedua mempelai. Mata Bella membulat dengan jantung yang berdegup kencang. Bukankah pria itu ....Bella berjalan mendekati pria itu, untuk memastikan dia tidak salah lihat. Benar saja, ternyata pria itu benar-benar Handoko, salah satu orang yang masuk dafta
Airin mencoba menenangkan dirinya agar tidak panik. Dia harus tenang agar bisa berpikir. Akhirnya dia mengambil masker di atas meja dan memakainya, lalu membuka pintu."Loh, Mas sudah pulang?" Airin pura-pura terkejut seraya mencium tangan suaminya."Kok kamu pakai masker, Dek? Mau ke mana?" Irfan balik bertanya."Mau pergi belanja sebentar, Mas," ucap Airin beralasan. "Mas pulang kok gak ngasih kabar?"" Iya, Dek. Pekerjaan Mas sudah selesai, ini mau ke kantor untuk membuat laporan," ucap Irfan sambil membawa kopernya masuk.Airin diam. Pasti ada sesuatu sampai Irfan tiba-tiba harus pulang."Katanya mau pergi belanja, Dek? Pergi saja, Mas gak apa-apa. Sebentar lagi Mas mau berangkat lagi ke kantor," ucap Irfan yang membuat Airin semakin curiga."Iya, aku pergi dulu ya, Mas?"Airin pura-pura keluar rumah, tapi dia berbelok ke samping pagar. Dia ingin tahu apa yang Irfan lakukan. Irfan tampak sedang menelpon seseorang setelah memastikan dia pergi.Tak beberapa lama kemudian tampak seb
Airin dari tadi berusaha menghubungi Bella, tapi tak diangkat. Tidak biasanya Bella tak menjawab teleponnya. Ke mana perginya Bella?Dari depan terdengar suara teriakan tukang sayur langganannya. Airin mengambil maskernya, lalu bersiap berbelanja. Tapi tiba-tiba gawainya berdering. Telepon masuk dari Bella."Bella, kamu di mana?" tanya Airin saat dia mengangkat teleponnya. "Kenapa susah sekali dihubungi?""Aku sedang ada di kota B, Rin," jawab Bella dari seberang telepon."Kenapa tiba-tiba kamu pergi ke luar kota, Bell?" tanya Airin lagi."Aku menemukan sesuatu yang mengejutkan, Rin. Aku tidak akan bisa tidur sebelum tahu."Airin membuang napas. Sifat Bella memang seperti itu. Begitu tahu sesuatu, dia akan langsung bertindak cepat tanpa berpikir macam-macam. Karena itulah dia selalu bisa mengandalkan wanita berpenampilan tomboy itu."Aku juga menemukan sesuatu, Bell," ucap Airin lagi."Kita bicarakan saat aku pulang. Ini penting, karena ada hubungannya dengan Amel," ucap Bella lagi.A